l4d13putAvatar border
TS
l4d13put
Penyebab Gagalnya "G-30-S" Berdasarkan Dokumen Supardjo
Penyebab Gagalnya "G-30-S" Berdasarkan Dokumen Supardjo


Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi Gagalnya "G-30-S" Dipandang dari Sudut Militer

Brigadir Jenderal Supardjo (1966)



Sumber:
1. Dalih Pembunuhan Massal, John Roosa. Institut Sejarah Sosial Indonesia, 2008. hal. 323-343
2. Dokumen Supardjo - https://www.marxists.org/indonesia/i...djoDokumen.htm

Catatan Pengantar

Dokumen ini merupakan bagian dari berkas rekaman persidangan Mahmilub untuk Supardjo pada 1967. Petugas-petugas militer memperoleh salinan dari dokumen asli mungkin ketika mereka menangkap Supardjo pada Januari 1967 atau ketika mereka menyita dokumen-dokumen yang diselundupkan ke dalam penjara. Anggota staf Mahmilub menyalin dari aslinya dengan mengetik. Satu orang yang membaca dokumen asli pada akhir 1960-an saat berada di dalam penjara bersama Supardjo adalah Heru Atmodjo. Ia menegaskan bahwa salinan yang saya perlihatkan kepadanya sama dengan yang pernah ia baca. Ketika saya memperlihatkan salinan yang sama kepada salah satu putra Supardjo, Sugiarto, ia mengenali gaya penulisan ayahnya dan argumen-argumen yang dikemukakan ayahnya kepada keluarganya secara lisan.

Pengetik di Mahmilub kemungkinan sudah membuat kesalahan-kesalahan dalam proses penyalinan. Ia juga mungkin memberi terjemahan bahasa Indonesia dalam tanda kurung biasa untuk istilah-istilah Belanda. Semua komentar dalam tanda kurung siku dari saya.

------

Motto: Dalam kalah terkandung unsur2 menang! (Falsafah “Satu pecah jadi dua.”)

Kawan pimpinan,

Kami berada di “Gerakan 30 September” selama satu hari sebelum peristiwa, “pada waktu peristiwa berlangsung” dan “satu hari setelah peristiwa berlangsung.”[1] Dibanding dengan seluruh persiapan, waktu yang kami alami adalah sangat sedikit. Walaupun yang kami ketahui adalah hanya pengalaman selama tiga hari saja, namun adalah pengalaman saat2 yang sangat menentukan. Saat2 dimana bedil mulai berbicara dan persoalan2 militer dapat menentukan kalah menangnya aksi2 selanjutnya. Dengan ini kami sampaikan beberapa pendapat, dipandang dari sudut militer tentang kekeliruan2 yang telah dilakukan, guna melengkapi bahan2 analisa secara menyeluruh oleh pimpinan dalam rangka menelaah peristiwa “G-30-S.”[2]

Tjara menguraikannya mula2 kami utarakan fakta2 peristiwa yang kami lihat dan alami, kemudian kami sampaikan pendapat kami atas fakta2 tersebut.

Fakta2 pada malam pertama sebelum aksi dimulai:

1. Kami jumpai kawan2 kelompok pimpinan militer pada malam sebelum aksi dimulai, dalam keadaan sangat letih disebabkan kurang tidur. Misalnya: kawan Untung tiga hari ber-turut2 mengikuti rapat2 Bung Karno di Senajan dalam tugas pengamanan.[3]

2. Waktu laporan2 masuk, tentang pasukan sendiri dari daerah2, misalnya Bandung, ternyata mereka terpaksa melaporkan siap, sedangkan keadaan yang sebenarnya belum.

3. Karena tidak ada uraian yang jelas bagaimana aksi itu akan dilaksanakan maka terdapat kurang kemufakatan tentang gerakan itu sendiri di kalangan kawan2 perwira di dalam Angkatan Darat. Sampai ada seorang kawan perwira yang telah ditetapkan duduk dalam team pimpinan pada saat yang menentukan menyatakan terang2-an mengundurkan diri.[4]

4. Waktu diteliti kembali ternyata kekuatan yang positip di fi hak kita hanya satu kompi dari Tjakrabirawa. Pada waktu itu telah timbul ke-ragu2-an, tetapi ditutup dengan sembojan “apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.”

5. Dengan adanya kawan perwira yang mengundurkan diri, maka terasa adanya prasangka dari team pimpinan terhadap kawan lain di dalam kelompok itu. Saran2 dan pertanyaan2 dihubungkan dengan pengertian tidak kemantapan dari si penanya. Misalnya, bila ada yang menanyakan bagaimana imbangan kekuatan, maka dijawab dengan nada yang menekan: “ja, Bung, kalau mau revolusi banyak yang mundur, tetapi kalau sudah menang, banyak yang mau ikut.” Ucapan2 lain: “kita ber-revolusi pung-pung[5] kita masih muda, kalau sudah tua buat apa.”

6. Acara persiapan di L.B. [Lubang Buaya] kelihatan sangat padat, sampai jauh malam masih belum selesai, mengenai penentuan code2 yang berhubungan dengan pelaksanaan aksi. Penentuan dari peleton2 yang harus menghadapi tiap2 sasaran, tidak dilakukan dengan teliti. Misalnya, terjadi bahwa sasaran utama mula2 diserahkan pelaksanaannya kepada peleton dari pemuda2 yang baru saja memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara, tetapi ini pun bukan pasukan yang secara mental telah dipersiapkan untuk tugas-tugas chusus.[6]

Fakta2 pada hari pelaksanaan:

7. Berita pertama yang masuk bahwa Djenderal Nasution telah disergap, tetapi lari. Kemudian team pimpinan kelihatan agak bingung dan tidak memberikan perintah2 selanjutnya.

8. Menjusul berita bahwa Djenderal Nasution bergabung dengan Djenderal Suharto dan Djenderal Umar di Kostrad. Setelah menerima berita ini pun, pimpinan operasi tidak menarik kesimpulan apa2.

9. Masuk berita lagi bahwa pasukan sendiri dari Jon Djateng dan Jon Djatim tidak mendapat makanan, kemudian menjusul berita bahwa Jon Djatim minta makan ke Kostrad. Penjagaan RRI ditinggalkan tanpa adanya instruksi.

10. Menurut rencana, kota Djakarta dibagi dalam tiga sektor, Selatan, Tengah dan sektor Utara. Tetapi waktu sektor2 itu dihubungi, semuasemua tidak ada di tempat (bersembunji).

11. Suasana kota menjadi sepi dan lawan selama 12 jam dalam keadaan panik.

12. Djam 19.00 (malam kedua). Djenderal Nasution-Harto dan Umar membentuk suatu komando. Mereka sudah memperlihatkan tanda2 untuk tegenaanval [serangan balik] pada esok harinya.

13. Mendengar berita ini Laksamana Omar Dani mengusulkan kepada Kw. Untung agar AURI dan pasukan “G-30-S” diintegrasikan untuk menghadapi tegenaanval Nato cs (Nasution-Harto).[7] Tetapi tidak dijawab secara kongkrit. Dalam team pimpinan G-30-S, tidak memiliki off ensi-geest [semangat menyerang] lagi.[8]

14. Kemudian timbul persoalan ketiga. Ja, ini dengan hadirnya Bung Karno di Lapangan Halim. Bung Karno kemudian melancarkan kegiatan sbb:

a) Memberhentikan gerakan pada kedua belah pihak (dengan keterangan bila perang saudara berkobar, maka yang untung Nekolim).

b) Memanggil Kabinet dan Menteri2 Angkatan.[9] Nasution-Harto dan Umar menolak panggilan tersebut. Djenderal Pranoto dilarang oleh Nasution untuk memenuhi panggilan Bung Karno.[10]

c) Menetapkan caretaker bagi pimpinan A.D.

Hari kedua:

15. Kawan2 pimpinan dari “G-30-S” kumpul di L.B. Kesatuan RPKAD mulai masuk menyerang, keadaan mulai “wanordelik” [wanordelijk] (kacau). Pasukan2 pemuda belum biasa menghadapi praktek perang yang sesungguhnya. Pada moment yang gawat itu, saja mengusulkan agar semua pimpinan saja pegang nanti bila situasi telah bisa diatasi, saja akan kembalikan lagi. Tidak ada jawaban yang kongkrit.

16. Kemudian diadakan rapat, diputuskan untuk memberhentikan perlawanan masing2 bubar, kembali ke rumahnya, sambil menunggu situasi. Bataljon Djateng dan sisa Bataljon Djatim yang masih ada akan diusahakan untuk kembali ke daerah asalnya.

17. Hari itu juga keluar perintah dari Bung Karno agar pasukan berada di tempatnya masing2 dan akan diadakan perundingan. Tetapi fihak Nato tidak menghiraukan dan menggunakan kesempatan itu untuk terus mengobrak-abrik pasukan kita dan bahkan P

Demikianlah fakta2 yang kami saksikan sendiri dan dari fakta2 ini tiap2 orang akan dapat menarik pelajaran atau kesimpulan yang berbeda-beda.

Adapun kesimpulan yang dapat kami tarik adalah sbb:

1. Keletihan dari kawan2 team pimpinan yang memimpin aksi di bidang militer sangat mempengaruhi semangat operasi, keletihan ini mempengaruhi kegiatan2 pengomandoan pada saat2 yang terpenting di mana dibutuhkan keputusan2 yang cepat dan menentukan dari padanya.

2. Waktu info2 masuk dari daerah2, sebetulnya daerah belum dalam keadaan siap sedia. Hal ini terbukti kemudian bahwa masih banyak penghubung2 belum sampai di daerah2 yang dituju dan peristiwa sudah meletus (kurir yang ke Palembang baru sampai di Tanjung Karang). Di Bandung siap sepenuhnya tapi untuk tidak repot2 menghadapi pertanyaan2 dijawab saja “sudah beres.”

3. Rencana operasinya ternyata tidak jelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanya pada pengambilan 7 Djenderal saja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak jelas, atau bagaimana kalau gagal juga tidak jelas. Dan apa rencananya bila ada tegenaanval, misalnya dari Bandung, bahkan cukup dengan jawaban: “sudah, jangan pikir2 mundur!” Menurut lazimnya dalam operasi2 militer, maka kita sudah memikirkan pengunduran waktu kita maju dan menang, dan sudah memikirkan gerakan maju menyerang waktu kita dipukul mundur. Hal demikian, maksud kami persoalan mundur dalam peperangan bukanlah persoalan hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap peperangan atau kampanye. Mundur bukan berarti kalah, adalah suatu bentuk dalam peperangan yang dapat berubah menjadi penyerangan dari kemenangan. Membubarkan pasukan adalah menyerah kalah.

Hal ini pula yang menyebabkan beberapa kawan militer mengundurkan diri, selain kawan tsb di hinggapi unsur ragu2, tetapi bisa ditutup bila ada rencana yang jelas dan mejakinkan atas jalannya kemenangan.

4. Waktu dihitung2 kembali kekuatan yang bisa diandalkan hanya satu kompi dari Tjakrabirawa, satu bataljon diperkirakan dari Djateng dapat digunakan dan satu bataljon dari Djatim bisa digunakan sebagai figuran. Ditambah lagi dengan seribu lima ratus pemuda yang dipersenjatai. Waktu diajukan pendapat, apakah kekuatan yang ada dapat mengimbangi, maka jawaban dengan nada menekan, bahwa bila mau revolusi sedikit yang turut, tetapi kalau revolusi berhasil coba lihat nanti banyak yang turut. Ada pula penjelasan yang sifatnya bukan tehnis, misalnya, “kita masih muda, kalau sudah tua, bakal apa revolusi.” Kembali lagi mengenai masalah kekuatan kita, cukup mempunyai kekuatan di Angkatan Darat yang cukup tangguh. Dipandang dari segi tehnis militer, maka serangan pokok, dimana komandan operasi tertinggi sendiri memimpin, harus memusatkan kekuatannya pada sasaran yang menentukan. Saja berpendapat bahwa strategi kawan pimpinan adalah strategi “menjumet sumbu petasan” di Ibu kota, dan diharapkan merconnya akan meledak dengan sendirinya, yang berupa pemberontakan Rakyat dan perlawanan di daerah2 setelah mendengar isjarat tersebut. Disini terdapat sesuatu kekeliruan: pertama: Tidak memusatkan induk kekuatan pada sasaran pokok. Kedua: Tidak bekerja dengan perhitungan kekuatan yang sudah kongkrit.

5. Kami dan kawan2 di Staf melakukan kesalahan sebagai berikut: Menilai kemampuan kawan pimpinan operasi terlalu tinggi. Meskipun fakta2 nyata tidak logis. Tetapi percaya bahwa pimpinan pasti mempunyai perhitungan yang ulung, yang akan dikeluarkan pada waktunya. Sesuatu keajaiban pasti akan diperlihatkan nanti, sebab pimpinan operasi selalu bersembojan “Sudah kita mulai saja, dan selanjutnya nanti jalan sendiri.” Kami sendiri mempunyai kejakinan akan hal ini, karena terbukti operasi2 yang dipimpin oleh partai sekawan, seperti kawan Mao Tzetung yang dimulai dengan satu regu, kemudian kita menumbangkan kekuatan Tjiang Kai Sek yang jumlahnya ratusan ribu. Setelah peristiwa yang pahit ini, maka kita sekalian perlu kritis dan bekerja dengan perhitungan2 yang kongkrit. Apa yang kami lihat di Lobang Buaja, sebetulnya taraf mempersiapkan diri saja belum selesai. Pada malam terakhir bemacam2 hal yang penting belum terselesaikan, umpama: Pasukan yang seharusnya datang, belum juga hadir (dari AURI). Ketentuan atau petunjuk2 masih dipersiapkan. Peluru2 di peti2 belum dibuka dan dibagikan. Dalam hal ini kelihatan tidak ada pembagian pekerjaan, semua tergantung dari Pak Djojo.[11] Kalau Pak Djojo belum datang, semua belum berjalan. Dan kalau Pak Djojo datang, waktu sudah mendesak.

Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan melarikan diri, kelompok pimpinan menjadi terperanjat, kehilangan akal dan tidak berbuat apa2. Meskipun ada advis untuk segera melakukan offensip lagi, hanya dijawab: “Ja”, tetapi tidak ada pelaksanaannya. Selama 12 jam, jadi satu siang penuh, musuh dalam keadaan panik. Tentara2 dikota diliputi suasana tanda tanya, dan tidak sedikit yang kebingungan. (Waktu ini kami di istana, jadi melihat sendiri keadaan di kota.)

Disini kami mencatat suatu kesalahan yang fundamentil yang pernah terjadi dalam suatu operasi (kampanye), jani: “Tidak uitbuiten [memanfaatkan] sesuatu sukses” (prosedur biasa dalam melaksanakan prinsip2 pertempuran yang harus dilakukan oleh tiap2 komandan pertempuran). Prinsip tersebut diatas, sebetulnya bersumber dari ajaran Marx yang mengatakan: “Bahwa setelah terjadi suatu pemberontakan, tidak boleh ada sesaat pun dimana serangan terhenti. Ini berarti bahwa massa yang turut dalam pemberontakan dan mengalahkan musuh dengan mendadak, tidak boleh memberikan suatu kesempatan pun kepada kelas yang berkuasa untuk mengatur kembali kekuasaan politiknya. Mereka harus menggunakan saat yang itu sepenuhnya, untuk mengakhiri kekuasaan rezim dalam negeri.”[12]

Kami berpendapat, bahwa sebab dari semua kesalahan ini karena staf pimpinan dibagi 3 sjaf: a) Kelompok Ketua, b) Kelompok Sjam cs, c) Kelompok Untung cs. Seharusnya operasi berada di satu tangan. Karena yang menonjol pada ketika itu adalah gerakan militer, maka sebaiknya komando pertempuran diserahkan saja kepada kawan Untung dan kawan Sjam bertindak sebagai Komisaris politik. Atau sebaliknya, kawan Sjam memegang komando tunggal sepenuhnya. Dengan sistim komando dibagi ber-syaf2, maka ternyata pula terlalu banyak diskusi2 yang memakan waktu sangat lama sedangkan pada moment tsb. dibutuhkan pengambilan keputusan yang cepat, karena persoalan setiap menit ber-ganti2, susul-menjusul dan tiap2 taraf persoalan harus satu persatu secepat mungkin ditanggulangi.

[tidak ada poin enam]

7. Setiap penyelenggaraan perang, seharusnya jauh sebelumnya mempunyai “Picture of the Battle” (Gambaran Perang). Apa yang mungkin terjadi setelah peristiwa penyergapan, bagaimana situasi lawan pada setiap saat dan setiap taraf pertempuran, bagaimana situasi pasukan sendiri, bagaimana situasi pasukan di Djakarta, bagaimana situasi di Bandung (ingat pusat Siliwangi[13]), bagaimana situasi di Djateng dan Djatim, dan bagaimana situasi diseluruh pelosok tanah air (dapat diikuti via radio). Dengan berbuat demikian, maka kita bisa melihat posisi taktis di Djakarta dalam hubungannya dengan strategi yang luas. Dan sebaliknya, perhubungan strategi yang menguntungkan atau merugikan dapat cepat2 kita mengubah taktik kita di medan pertempuran.

Pada waktu musuh panik seharusnya tidak usah diberi waktu. Kita harus masuk menyempurnakan kemenangan kita. Dalam keadaan demikian musuh dalam keadaan serba salah dan kita dalam keadaan serba benar. Satu bataljon yang panik akan dapat dikuasai oleh hanya kekuatan satu regu saja. Tetapi hal yang menguntungkan ini tidak kita manfaatkan. Bahkan kita berlaku sebaliknya:

1) Komandan Sektor (Selatan/Tengah/Utara) dalam keadaan dimana kita sedang jaya, malah pada menghilang. Mereka bertugas di antaranya mengurus soal2 administrasi, terhadap pasukan yang beroperasi dan berada di masing2 sektornya. Tetapi semua sektor seperti yang telah ditetapkan, hanya tinggal di atas kertas saja. Dari sini kita menarik pelajaran dengan tidak adanya kontak antara satu sama lain (faktor verbinding komunikasi), maka masing2 menjadi terjerumus dalam kedudukan terasing, sehingga buta situasi dan menimbulkan ketakutan.

2) Siaran radio RRI yang telah kita kuasai tidak kita manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan beberapa pengumuman saja. Radio stasion adalah alat penghubung (mass media). Seharusnya digunakan semaksimal mungkin oleh barisan Agitasi Propaganda. Bila dilakukan, keampuhannya dapat disamakan dengan puluhan Divisi tentara. (Dalam hal ini lawan telah sukses dalam perang radio dan pers.)

3). Pada jam2 pertama Nato cs menjusun komando kembali. Posisi yang sedemikian ialah posisi yang sangat lemah. Saat itu seharusnya pimpinan operasi musuh disergap tanpa chawatir resiko apa2 bagi pasukan kita.

8. Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan diantaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam, hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerbu kedalam kota. Pada waktu itu Bataljon Djateng berada di Halim. Bataljon dari Djatim sudah ditarik ke Kostrad dengan alasan makanan. Sebetulnya ada 2 jalan yang bisa ditempuh, pertama: Komandan Bataljon diberi wewenang untuk merektuir makanan di tempat2 dimana ia berada. Hubungan dengan penduduk atau mengambil inisiatip membuka gudang2 makanan, separo bisa dimakan dan selebihnya diberikan kepada Rakyat yang membantu memasaknya. Dengan demikian ada timbal balik dan cukup simpatik dan dapat dipertanggung jawabkan. Djalan kedua: Organisasi sektor seharusnya menyelenggarakan hal tsb.

9. Setelah menerima berita bahwa Djenderal Harto menjiapkan tegenaanval dan Laksamana Omar Dani menawarkan integrasi untuk melawan pada waktu itu, harus disambut baik. Dengan menerima itu maka seluruh kekuatan AURI di seluruh tanah air, akan turut serta. Tetapi karena tidak ada kepercajaan, bahwa kemenangan harus ditempuh dengan darah, maka tawaran yang sedemikian pentingnya tidak mendapat jawaban yang positip. Pak Omar Dani telah bertindak begitu jauh sehingga telah memerintahkan untuk memasang roket2 pada pesawat.

10. Faktor2 lain yang menyebabkan kemacetan, terletak pada tiada pembagian kerja. Bila kita ikuti saja prosedur staf yang lazim digunakan pada tiap2 kesatuan militer, maka semua kesimpang siuran dapat diatasi. Seharusnya dilakukan cara bekerja sbb: Pertama, perlu ditentukan siapa komandan yang langsung memimpin aksi (kampanye). Kawan Sjam-kah atau kawan Untung. Kemudian pembantu2nya atau stafnya dibagi. Seorang ditunjuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan intel (penyelidikan/informasi). Yang kedua, ditunjuk dan bertanggung jawab terhadap persoalan situasi pasukan lawan maupun pasukan sendiri. Dimana, bagaimana bergeraknya pasukan lawan, bila demikian, apakah advisnya tentang pasukan sendiri kepada komandan. Kawan yang ketiga ditunjuk untuk bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan perorangan (personil). Apakah ada yang luka atau gugur, apakah ada pasukan yang absen, apakah ada anggauta yang morilnya merosot. Juga personil lawan menjadi persoalannya umpama: soal tawanan, pemeliharaanya, pengamannya dan dsb. Kemudian kepada kawan yang keempat, ditugaskan untuk memikirkan hal2 yang ada sangkut pautnya dan logistik, pembagian senjata dan munisi, pakaian, makanan, kendaraan dsb. Karena menang kalahnya pertempuran pada dewasa ini tergantung juga pada peranan bantuan Rakjyt, maka ditunjuk kawan yang kelima, untuk tugas seperti tersebut di atas. Jadi singkatnya, komandan dibantu oleh staf-1, staf-2, staf-3, staf-4, staf-5. Komandan, bila terlalu sibuk, ia bisa menunjuk seorang wakilnya. Selanjutnya cara bekerjanya staf, saja rasa tidak ada bedanya dengan prinsip2 pekerjaan partai, berlaku juga prinsip sentralisme demokrasi. Staf memberikan pandangan2nya dan komandan mendengarkan, mengolahnya di dalam fi kiran dan kemudian menentukan. Berdasarkan keputusan ini staf memberikan directive [perintah] untuk melaksana oleh echelon2 bawahan. Dengan cara demikian maka seorang komandan terhindar dari pemikiran yang subjektif. Tetapi juga terhindar dari suasana yang liberal. Apa yang terjadi pada waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi yang langdradig (tak berujungpangkal), sehingga kita bingung melihatnya, siapa sebetulnya komandan: kawan Sjamkah, kawan Untungkah, kawan Latifkah atau Pak Djojo? Mengenai hal ini perlu ada peninjauan yang lebih mendalam karena letak kegagalan kampanye di ibu kota sebagian besar karena tidak ada pembagian komandan dan kerja yang wajar.

win061
win061 memberi reputasi
1
10.5K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.5KAnggota
Tampilkan semua post
centinumAvatar border
centinum
#30
Bukunya John Roosa ini bagus dan layak dibaca karena dia (menurut Roosa sendiri) memakai sumber yang bisa dibilang "baru ditemukan", Dokumen Supardjo. Kalau sumber ini otentik, maka banyak pertanyaan seputar G30S yang bisa terjawab. Ini buku yang paling banyak ngomongin soal aktor-aktor yang kaga dibahas di buku lain, seperti Sjam dan Supardjo. Di buku ini juga gw baru tau kalau ada persiapan ngebom, di buku lain kaga ada.

Dokumen Supardjo ini, lucunya, sering gak dipakai dalam ulasan dan analisa2 tentang G30S yang sebelumnya. Gw sendiri gak ngerti kenapa ini dokumen bisa seperti diabaikan dalam penulisan sejarah.

Buku Roosa ini juga isinya seperti rangkuman dari tulisan-tulisan peneliti sejarah G30S yang sebelumnya, karena dia penulis yang belakangan nulis, jadi sempat mempelajari catatan sebelumnya. Roosa juga peka sama skenario-skenario kejadian yang ditawarkan oleh penulis-penulis pendahulunya. Dia rangkum semua, lalu dia tulis pendapat dia, kayanya skenarionya kaya gini deh.

Menurut gw Roosa ini nulis dengan cukup hati-hati. Dia ngerti misahin mana yang fakta, mana yang dia duga-duga sendiri (dikira-kira, disimpulkan sendiri). Pembaca buku Roosa harusnya juga punya kewaspadaan yang sama dengan Roosa.

Mempelajari G30S itu memang perlu hati-hati. Bukti-bukti dan versi kejadiannya agak simpang-siur. Perlu sabar dan telaten untuk memilah informasinya.

-----

Dari catatan Roosa, menurut gw arahnya adalah PKI membuat keputusan buruk.

Kesimpulan kritik Dokumen Supardjo adalah: kok bisa komando operasi militer ada di tangan orang sipil? Menurut Supardjo, urusan perang/konflik fisik, biarin saja militer yang mimpin. Ini pendapat yang khas dari kalangan militer. Siapa pun yang nulis dokumen / kritik kaya gini, gw yakin pasti buah tangannya orang yang punya pengalaman di bidang militer.

Gw belajar banyak dari catatan Roosa. Catatan yang bagus untuk bisa sedikit lebih tahu tentang sejarah kelam G30S di negara gw.

----

Peran Soekarno: Pendapat pribadi gw atas Dokumen Supardjo dan catatan Roosa

Kalau sumber yang dipakai Roosa ini otentik, maka Soekarno bukan dalang dari G30S. Soekarno ini tokoh yang terjebak di tengah-tengah orang yang lagi berantem, dan mencoba ngerem konfliknya.

Dugaan saya berdasarkan catatan Roosa: Petinggi PKI dan pengawal dan loyalis terdekat BK mungkin sering denger keluhan atau kecemasan BK soal petinggi2 TNI AD. Unek-unek presiden ini diterjemahkan sendiri (tanpa konsultasi balik ke presiden) sama orang2 di atas dalam bentuk operasi pembersihan. Setelah jenderal2 "diculik", mereka ngumumin kalau G30S adalah gerakan melindungi presiden biar dapat dukungan publik. Ternyata gagal.

Dari situ gw mengambil kesimpulan:
1. Pejabat PKI dan Militer G30S bertanggung jawab.
2. BK tidak terlibat dalam perencanaan.

Gw juga perlu nambahin catatan: salahnya pejabat PKI itu bukan berarti semua orang PKI dan komunis di Indonesia ikut-ikutan.

Perburuan dan pembantaian massal setelah G30S itu dua kejadian yang berdiri sendiri. Gw setuju sama sejarawan-sejarawan yang membagi episodenya jadi dua bagian:
1. G30S
2. Pembantaian massal TNI AD terhadap komunis Indonesia

Menurut kesaksian BK (sesuai dengan isi pidato pertanggungjawaban kepada MPRS 1967, Nawaksara- yang ditolak oleh MPRS), dalangnya adalah:
1. keblingeran pimpinan PKI,
2. subversi nekolim atau unsur asing,
3. adanya oknum yang tidak bertanggung jawab

Gw rasa ini penjelasan yang benar dari BK tentang siapa dalang G30S.

Meskipun gak nyebut nama, gw coba menduga siapa yang BK tuduh dalam penjelasannya:
1. Pimpinan PKI: DN Aidit cs. (Pejabat politbiro PKI dan tim khususnnya yang ikutan ngerencanain G30S)
2. Unsur asing: mungkin Sjam, atau orang lain yang dianggap intelijen asing
3. Oknum tidak bertanggung jawab: orang2 yang ngomporin PKI dan loyalis BK untuk main kasar, tapi pas udah kejadian G30S langsung cuci-tangan kaya gak ngerti apa-apa.

Inget ya, MPRS 1967 ini adalah MPRS yang unsur PKI-nya udah dibersihin. Ketua MPRS-nya A.H. Nasution. Penjelasan BK di atas ditolak oleh MPRS. MPRS 1967 ini yang memberhentikan BK, dan mengangkat Soeharto.

Gw gak suka G30S yang main bunuh orang. Yang bikin G30S pantas diganjar hukuman seberat-beratnya.
Gw juga gak suka membalas G30S-nya dengan cara bantai massal komunis. Itu keterlaluan dan mau menang sendiri.

Gara-gara kejadian ini nih sampai hari ini ada kebiasaan di Indonesia, kalau ada yg ngelanggar aturan agama atau lawan pemerintah atau tentara (khususnya di jaman Orba) dia boleh dihajar, sampai negara pun gak boleh halangin, malahan harus bantuin ngehajar. Ini harus kita benerin bro, kita jadi begini gara2 kejadian 1965 ini. Ngebunuh orang dibiarin, gak perlu pengadilan hajar aja. Waduh... ini mah negara apaan.

G30S jangan dilupakan, tapi sebaiknya kita kembali perjuangin Indonesia sebagai negara orang-orang yang merdeka.
agusdwikarna
agusdwikarna memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.