- Beranda
- Stories from the Heart
Teror Hantu Kos Baru Pejaten (berdasar pengalaman nyata)
...
TS
pakdhegober
Teror Hantu Kos Baru Pejaten (berdasar pengalaman nyata)
Assalamualaikum, semoga agan dan aganwati semua sehat, punya pacar dan enggak kehabisan uang.
Agan pernah, diganggu jin atau sejenis makhluk astral lainnya. Kalau belum, Alhamdulillah. Bagi yang udah pernah, agan berarti nggak sendirian. Karena Ane kali ini mau berbagi cerita tentang pengalaman 7 tahun lalu di sebuah rumah kos di Pejaten, Jakarta Selatan. Sekadar overview, ane sudah lama mau nulis cerita ini, tapi banyak pertimbangan. Yang paling berat karena kos-kosan ini masih ada sampe sekarang. Setahu ane juga rame terus. Semoga kondisinya sudah lebih baik sekarang. Karena itu sebelum membaca ada beberapa rules ya, mohon dimaklumi.
1. Ini beneran cerita nyata gan? Iye ada benernye, tapi ane menulis cerita ini dengan metodologi prosa modern, ambil gampangnya novel. Jadi ane perlu nambahin bumbu buat dramatisasi. Kalau terpaksa dibikin komposisi, kira-kira 50:50 gan.
2. Kos gue juga Pejaten gan! Ini Pejaten sebelah mananya? Udeh ye nikmatin aje, jangan ganggu lapak rejeki orang. Jangan-jangan kos ente yang ane maksud lagi, berabe kan?
3. Gan bagusnya ada foto kali, supaya lebih kentara aslinya, bisa difoto gan? Yah entar ane usahain dah, pura2 nanya kamar kosong, tapi ane bakal ambil foto yang anglenya kelihatan susah ditebak ya. Lagi-lagi ini properti orang gan, mereka punya hak. Tapi entar insya allah ane usahain.
4. Kayanya ane ngerti deh tempatnya di mana, yang di jalan ini kan, sebelah ini kan? Udeh kalo ngerti simpen aja dalem hati.
5. Apdetnya kapan gan? Insya allah paling enggak seminggu sekali, antara malem jumat sampe malem minggu. kalo ada waktu banyak bisa dua kali.
6. Gan, kalo penampakan yang ini asli? suara yang itu juga asli apa rekayasa? Ya udah sih baca aja, ini bukan tayangan fact or fiction.
Nah, gitu aja sih rulesnya. semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat. kalau ada kesamaan nama, mohon maaf ya. Buat penghuni kos yang kebetulan baca (soalnya kamarnya banyak banget gan sekarang) semoga gak sadar. Kalopun sadar, ane doain sekarang kondisinya udah nyaman sekarang.
Selamat membaca.
Last Update 13/3/2019
Bersambung....
Agan pernah, diganggu jin atau sejenis makhluk astral lainnya. Kalau belum, Alhamdulillah. Bagi yang udah pernah, agan berarti nggak sendirian. Karena Ane kali ini mau berbagi cerita tentang pengalaman 7 tahun lalu di sebuah rumah kos di Pejaten, Jakarta Selatan. Sekadar overview, ane sudah lama mau nulis cerita ini, tapi banyak pertimbangan. Yang paling berat karena kos-kosan ini masih ada sampe sekarang. Setahu ane juga rame terus. Semoga kondisinya sudah lebih baik sekarang. Karena itu sebelum membaca ada beberapa rules ya, mohon dimaklumi.
1. Ini beneran cerita nyata gan? Iye ada benernye, tapi ane menulis cerita ini dengan metodologi prosa modern, ambil gampangnya novel. Jadi ane perlu nambahin bumbu buat dramatisasi. Kalau terpaksa dibikin komposisi, kira-kira 50:50 gan.
2. Kos gue juga Pejaten gan! Ini Pejaten sebelah mananya? Udeh ye nikmatin aje, jangan ganggu lapak rejeki orang. Jangan-jangan kos ente yang ane maksud lagi, berabe kan?
3. Gan bagusnya ada foto kali, supaya lebih kentara aslinya, bisa difoto gan? Yah entar ane usahain dah, pura2 nanya kamar kosong, tapi ane bakal ambil foto yang anglenya kelihatan susah ditebak ya. Lagi-lagi ini properti orang gan, mereka punya hak. Tapi entar insya allah ane usahain.
4. Kayanya ane ngerti deh tempatnya di mana, yang di jalan ini kan, sebelah ini kan? Udeh kalo ngerti simpen aja dalem hati.
5. Apdetnya kapan gan? Insya allah paling enggak seminggu sekali, antara malem jumat sampe malem minggu. kalo ada waktu banyak bisa dua kali.
6. Gan, kalo penampakan yang ini asli? suara yang itu juga asli apa rekayasa? Ya udah sih baca aja, ini bukan tayangan fact or fiction.
Nah, gitu aja sih rulesnya. semoga cerita ini menghibur dan bermanfaat. kalau ada kesamaan nama, mohon maaf ya. Buat penghuni kos yang kebetulan baca (soalnya kamarnya banyak banget gan sekarang) semoga gak sadar. Kalopun sadar, ane doain sekarang kondisinya udah nyaman sekarang.
Selamat membaca.
Spoiler for Prolog:
Quote:
Last Update 13/3/2019
Bersambung....
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 112 suara
Part bagusnya pake foto ilustrasi apa nggak?
Pake, biar makin ngefeel
42%
nggak usah, ane penakut
11%
terserah TS, yang penting gak kentang
47%
Diubah oleh pakdhegober 14-05-2022 11:55
bebyzha dan 141 lainnya memberi reputasi
128
1.2M
3.4K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
pakdhegober
#2352
Part 48: Bergegas Hanya untuk Kembali
Kokok ayam dari kejauhan menandai tibanya pagi. Seperti ayam jantan, aku juga turut bergerak agar keberuntungan tak lepas. Yang kumaksud ialah tempat tinggal baru. Sepagi mungkin harus kupastikan Wina mendapatkan kamarnya.
Sikapku sendiri terbagi dua. Saling berselisih tajam. Satu hati ingin lari dari situasi menyeramkan, hati yang lain bersikukuh menyigi misteri rumah mbak Fani. Perasaanku lebih condong pada yang kedua.
Aku mematikan mesin bebek kopling di depan rumah indekos..untuk sementara anggaplah namanya kos naruto. Pagarnya masih jangkung seperti kemarin-kemarin. Yang berbeda, pagi ini masih digembok dari dalam.
Bel rumah berbunyi berulang-ulang, tapi tak cukup ampuh membuat pagar terbuka. Baiknya menunggu saja dengan sabar, kalau-kalau ada penghuni kos yang lapar lalu keluar rumah. Belakangan yang kulihat justru naruto alias Narto, penjaga kos yang mulutnya lincah. Rupanya ia baru pulang dari membeli belanjaan. Jinjingan kresek hitam tampak di sela jemarinya yang kurus.
Melihat kedatanganku Narto menyapa. Hanya saja ia kurang cerewet daripada pertemuan yang pertama. Terus terang ia lebih baik begitu, sebab kejantanannya terkesan meningkat dua persen.
Narto mengajak masuk tanpa berkata lebih banyak. Kemudian aku disuruh menunggu sebentar, sementara ia masuk ke kamarnya. Sebentar kemudian pria berbadan skinny itu menghampiriku dan yang dikerjakannya adalah meminta maaf.
Katanya Wina tak bisa menempati kamar rumah itu. Dia ingin mengembalikan uang panjer.
"Lho, kenapa!?" suaraku langsung tinggi.
"Begini, mas beb, kamar itu mau diisi keponakan ibu. Dia mau kerja di sini."
"Kapan? Kenapa nggak ngomong kemarin, masa tiba-tiba batal begini!?"
"Maaf, saya yang salah."
"Bodo amat, saya nggak peduli salah siapa. Saya mau kamar itu, sekarang saya bayar sisanya!"
Diam-diam aku meraba kantong celana. Ternyata uang ketinggalan di kamar Wina! Tetapi kekesalanku tak bisa berhenti begitu saja, kadung tanggung, harus diperpanjang.
"Betul, mas beb, ini salah saya. Ibu sudah bilang dari akhir tahun lalu. Saya yang lupa."
"Begini saja deh, saya mau ngomong sama yang punya kos. Saya nggak percaya, jangan-jangan cuma akal-akalan biar teman kamu yang tinggal di situ!"
"Astagfirullah! Sumpah demi Tuhan saya enggak bohong. Saya biar begini-begini jujur."
Entah apa maksudnya Narto bilang ‘biar begini-begini’.
"Aaah, coba kasih nomor ibu kos. Saya mau ngomong biar percaya!"
Narto bertahan dengan sikapnya. Barangkali ia mencemaskan pekerjaannya kalau sampai nyonya majikan mengetahui ia silap. Sebetulnya pun aku tak sampai hati membocorkan kesalahannya. Toh aku bisa berpura-pura menanyakan kamar.
Namun ada yang luput dari perhitungan; suaraku terlalu keras diucapkan pagi-pagi begini sehingga beberapa penghuni kamar pada keluar. Seorang di antaranya temanku. Dari atas ia tampak tertawa.
Narto terus gigih memohon-mohon supaya aku percaya tapi bagaimana mungkin? Setelah mendesak lebih a lot disertai pengertian dan berjanji bahwa aku takkan mengusik pekerjaannya, baru penjaga kos itu memberikan nomor majikannya. Aku mengetik angka-angka yang ia sebutkan dan langsung menelepon.
"Maaf, pulsa Anda tidak cukup untuk..."
Dengan tambah kesal aku menutup panggilan. Konyolnya, pria di depanku malah tersipu seperti gadis yang sedang digoda.
"Kenapa?"
"Aku dengar tahu. Pakai aja ini," Narto menyodorkan ponselnya, "pulsa aku melimpah kok."
Singkatnya pria tak kasat jender ini berhasil membalikkan situasi. Aku mendengar para penghuni kos tertawa. Sudah pasti temanku yang paling nyaring.
Aku menolak kebaikan Narto. Lebih baik beli pulsa daripada jadi bahan tertawaan lagi.
"Awas saja kalau bohong!" aku mengancamnya sebelum siap-siap pergi.
"Ihh, ngapain bohong sih. Bohong kan dosa kata nenek."
"Lah itu namanya apa. Bilangnya ada kamar kosong!" aku belum sepenuhnya rela mengakhiri kekesalan.
"Aku lupa, beb. Sungguh, lupa."
"Lupa gimana. Situ nggak akan paham kalau kamar itu hidup mati buat pacar saya!"
"Iya maaf, beb. Aku lupa. Mudah-mudahan pacar mas beb panjang umur."
"Nggak usah bercanda. Lupa macam apa?"
"Waktu kamu yang tanya tiba-tiba aja aku lupa."
Rupanya ia malah tambah main-main sekarang. Pagi-pagi kepala sudah dibikin panas. Seumpama menganiaya orang lain itu bukan pidana pasti itu lebih menguntungkan untuk saat sekarang.
Tanpa berpikir panjang uang panjer di tangan Narto aku rebut paksa. Ia tak melawan, barangkali karena malas keluar tenaga. Aku berubah pikiran soal pekerjaannya. Biar saja dia dipecat, salah sendiri kerja seenaknya.
Ketika sampai di pagar, baru akan keluar, biadab tak bermutu itu memanggil namaku dengan nyaring bercampur gemulai.
"Beb Alvin, kamu enggak usah telepon bos akuh. Kan kamu sudah ambil uang DP. Artinya kamu setuju dong!"
Keparat itu!!
Sukar untuk percaya Wina sekali lagi gagal mendapat kamar pengganti. Narto itu si biang kerok! Mengingat namanya, lebih-lebih tingkah polahnya yang genit menjurus liar, kekesalanku sukar padam. Semakin diulas kian bertambah saja kesal itu.
Tetapi mengapa aku harus mengingatnya lagi, gumamku dalam hati setelah lebih insyaf. Ada-ada saja.
Baik, sekarang begini saja, mulai dari awal lagi. Tanggung jawabku belum berkurang. Wina dan janjiku pada mbak Fani. Soal Wina baiknya dibereskan lebih dulu. Kamar kos yang mana sajalah, yang penting tidak kehujanan. Jauh sedikit dari kampus juga harus diterima dalam situasi macam ini. Untuk itu aku perlu bicara dengannya.
Urusan mbak Fani, ehhm, yang ini aku berpikir cukup lama. Oknumnya sedang di luar kota. Lebih sulit bergerak sendiri meski aku sudah mengantongi lebih banyak petunjuk dari Pak Wi. Setidak-tidaknya barangkali ada yang dapat kulakukan dengan usaha sendiri. Aku ragu akan hal itu.
Sambil berpikir lama aku mondar mandir di kamar Wina, antara pintu dan jendela. Tidak sengaja aku melirik buku catatanku. Dan tampak seolah-olah ia melambai minta perhatian.
Benar juga, boleh jadi ada berita terbaru di situ!
Bersicepat kuhampiri buku itu, langsung menuju halaman terakhir. Kosong saja rupanya. Sial.
Kalau penulis misterius itu jual mahal, aku saja yang memulai. Maka kutulis, "Aku sedang bingung, kau pasti tahu sebabnya. Tolong beritahu aku harus bagaimana."
Mengisi waktu luang sebelum ia menjawab, aku berpikir lagi. Tetapi rasanya otak ini macet tak terurai. Jadi aku tak sabar membuka buku catatan lagi. Kosong. Aku berpikir lagi, memeriksa buku lagi. Kosong. Terus berulang seperti itu sampai aku kesal dan menyerah.
Unyil menyalak basa-basi di luar sana. Sepertinya ada orang masuk. Penasaran mendorong aku segera mencari tahu. Wina, lapor mataku yang mengintip dari celah tirai.
Wina membuka pintu dan dengan lugas bertanya. Kata-katanya persis sama dengan dugaanku.
"Aku jadi pindah hari ini atau besok?"
Agaknya ia memerlukan jawaban yang langsung pada intinya. Sehingga kuberitahu saja kesimpulannya. Dan marahnya seketika itu pula melompat tak tertahan.
"Enggak becus banget sih jadi laki-laki. Itu alasan dibikin-bikin. Sini aku telepon ibu kosnya!"
Aku mencegah maunya. Sebab sia-sia saja bakalnya. Wina pasti akan menumpahkan kemarahannya pada pemilik kos itu. Namun upaya menghalanginya lama kelamaan tak berguna juga. Tangannya cekatan mengambil ponselku di atas meja rias.
"Mana nomornya?" ketusnya sambil mencari-cari yang dimaksud. Aku memilih diam tetapi sebentar saja ia sudah terlihat menelepon. Padahal aku belum menyimpannya.
Wina keluar sebentar ketika pembicaraan jarak jauh dimulai. Detik-detik pertama belum terdengar nada tinggi. Baru setelah kira-kira satu menit segalanya berubah. Telingaku bising.
Wina masuk lagi dan tentu sekarang saatnya mencari kambing hitam.
"Kamu betul-betul enggak bisa diandalkan ya. Janji mulu cari kos segera, cari kos segera. Mana? Lagi yang aku lihat kamu lebih banyak waktu santai. Kuliah jarang, lebih sering di sini seharian. Malu aku punya pacar kaya kamu!"
Yang benar saja dia bilang begitu! Tekanan darah saudah naik turun demi mencari kamar untuknya, tapi perempuan ini sama sekali lupa usaha-usahaku. Maka sekarang saatnya membela diri.
Keinginan membela diri pun kesampaian namun akhir-akhirnya hanya menciptakan pertengkaran tanpa dalil yang pasti. Kamar ini mendadak disergap polusi suara. Aku atau ia tidak ada yang bersedia mengalah kecuali masing-masing kerongkongan kami kering dan lelah, lalu keributan ini reda sendirinya. Berdiam-diaman sambil menahan marah pun menjadi senjata terakhir. Seperti inilah sejarah Perang Dingin.
Beberapa waktu kemudian Wina keluar tanpa sepatah kata.
***
Dari pagi sampai Maghrib aku mengalami dua keributan. Sisanya memikirkan apa-apa yang tidak pasti. Tahu-tahu aku baru insyaf, lambung ini hanya sempat diisi kopi. Tiba-tiba juga setelah itu rasa lapar menerjang.
Namun aku memilih mandi dulu, sebab lebih lama tidak mandi ketimbang belum makan. Rencananya aku menginap di rumah teman malam ini. Perlu sedikit waktu menenangkan pikiran.
Masih penasaran dengan penulis astral, aku tengok lagi keadaannya sebelum bergeser ke kamar mandi.
Ada balasan!
"LEBIH MALAM LAGI KAMU AKAN TAHU RAHASIANYA"
Dengan jantung sedikit berdebar aku tinggalkan catatan itu. Di luar keadaannya hening. Namun aku merasakan Pak Wi berada di bawah. Sedikit saja melangkah sampai di depan kamar mandi. Pintu kubuka, deritnya cukup menyiksa.
Astaga! kaget setengah mati melihat ada yang baru di dalam situ. Cermin panjang di dinding samping, kurang lebih setinggi badanku. Siapa orang gila yang memasang benda menyeramkan ini?
Kuurungkan minat sebentar untuk bertanya pada Pak Wi. Kebetulan ia sedang duduk di ranjang.
"Pak Wi yang pasang cermin? Kan yang lama masih bagus."
Dia mengangguk, "Itu saya pindahkan dari kamar mandi basement. Masih bagus. Daripada ndak terpakai. Kalau ngaca kan lebih enak."
Sebagus-bagusnya tidak perlu dipasang di ruangan itu, kataku dalam hati. Hanya saja aku tidak ingin ada keributan ketiga.
Tiba-tiba saja terbersit ide. "Pak, saya izin mandi di bawah ya." Semestinya aku tak perlu izin-izinan, bukan?
“Oalah, kebetulan macet kerannya. Saya saja tadi pagi mandi di atas."
Daripada badan semakin bau babi aku harus menerima kenyataannya. Lagipula aku bisa membalikkan kaca itu kalau tidak tahan.
Aku melucuti baju dan handuk dengan cepat. Sesekali melirik kaca. Aneh dan ngeri awalnya, lama-lama lebih biasa. Siraman air begitu segar di kulit dan akhirnya meresapi pikiran. Sambil bersiul dan bernyanyi aku membersihkan diri hingga merasa cukup.
Saat tinggal beberapa guyuran terakhir ada bunyi asing menyelinap di telingaku. Aku menahan gayung untuk memastikan pendengaran.
Itu bukan bunyi. Lebih jelasnya suara. Hirupan nafas. Terdengar seperti dengkuran yang tipis. Perokok berat yang sudah sakit-sakitan bisa mendengkur begitu. Atau berdasarkan pengalaman, aku pernah mendengar nafas kepayahan semacam itu dari seorang korban yang nyaris tenggelam di Ujung Genteng.
Tenggelam! Mendadak saja cerita Pak Wi pagi tadi melintas.
Bersamaan aku menahan diri, ruangan ini pelan-pelan hening dari riak dan gemericik air. Tetapi suara itu kian jelas.
Perasaanku suara itu berasal dari belakang.
Sikapku sendiri terbagi dua. Saling berselisih tajam. Satu hati ingin lari dari situasi menyeramkan, hati yang lain bersikukuh menyigi misteri rumah mbak Fani. Perasaanku lebih condong pada yang kedua.
Aku mematikan mesin bebek kopling di depan rumah indekos..untuk sementara anggaplah namanya kos naruto. Pagarnya masih jangkung seperti kemarin-kemarin. Yang berbeda, pagi ini masih digembok dari dalam.
Bel rumah berbunyi berulang-ulang, tapi tak cukup ampuh membuat pagar terbuka. Baiknya menunggu saja dengan sabar, kalau-kalau ada penghuni kos yang lapar lalu keluar rumah. Belakangan yang kulihat justru naruto alias Narto, penjaga kos yang mulutnya lincah. Rupanya ia baru pulang dari membeli belanjaan. Jinjingan kresek hitam tampak di sela jemarinya yang kurus.
Melihat kedatanganku Narto menyapa. Hanya saja ia kurang cerewet daripada pertemuan yang pertama. Terus terang ia lebih baik begitu, sebab kejantanannya terkesan meningkat dua persen.
Narto mengajak masuk tanpa berkata lebih banyak. Kemudian aku disuruh menunggu sebentar, sementara ia masuk ke kamarnya. Sebentar kemudian pria berbadan skinny itu menghampiriku dan yang dikerjakannya adalah meminta maaf.
Katanya Wina tak bisa menempati kamar rumah itu. Dia ingin mengembalikan uang panjer.
"Lho, kenapa!?" suaraku langsung tinggi.
"Begini, mas beb, kamar itu mau diisi keponakan ibu. Dia mau kerja di sini."
"Kapan? Kenapa nggak ngomong kemarin, masa tiba-tiba batal begini!?"
"Maaf, saya yang salah."
"Bodo amat, saya nggak peduli salah siapa. Saya mau kamar itu, sekarang saya bayar sisanya!"
Diam-diam aku meraba kantong celana. Ternyata uang ketinggalan di kamar Wina! Tetapi kekesalanku tak bisa berhenti begitu saja, kadung tanggung, harus diperpanjang.
"Betul, mas beb, ini salah saya. Ibu sudah bilang dari akhir tahun lalu. Saya yang lupa."
"Begini saja deh, saya mau ngomong sama yang punya kos. Saya nggak percaya, jangan-jangan cuma akal-akalan biar teman kamu yang tinggal di situ!"
"Astagfirullah! Sumpah demi Tuhan saya enggak bohong. Saya biar begini-begini jujur."
Entah apa maksudnya Narto bilang ‘biar begini-begini’.
"Aaah, coba kasih nomor ibu kos. Saya mau ngomong biar percaya!"
Narto bertahan dengan sikapnya. Barangkali ia mencemaskan pekerjaannya kalau sampai nyonya majikan mengetahui ia silap. Sebetulnya pun aku tak sampai hati membocorkan kesalahannya. Toh aku bisa berpura-pura menanyakan kamar.
Namun ada yang luput dari perhitungan; suaraku terlalu keras diucapkan pagi-pagi begini sehingga beberapa penghuni kamar pada keluar. Seorang di antaranya temanku. Dari atas ia tampak tertawa.
Narto terus gigih memohon-mohon supaya aku percaya tapi bagaimana mungkin? Setelah mendesak lebih a lot disertai pengertian dan berjanji bahwa aku takkan mengusik pekerjaannya, baru penjaga kos itu memberikan nomor majikannya. Aku mengetik angka-angka yang ia sebutkan dan langsung menelepon.
"Maaf, pulsa Anda tidak cukup untuk..."
Dengan tambah kesal aku menutup panggilan. Konyolnya, pria di depanku malah tersipu seperti gadis yang sedang digoda.
"Kenapa?"
"Aku dengar tahu. Pakai aja ini," Narto menyodorkan ponselnya, "pulsa aku melimpah kok."
Singkatnya pria tak kasat jender ini berhasil membalikkan situasi. Aku mendengar para penghuni kos tertawa. Sudah pasti temanku yang paling nyaring.
Aku menolak kebaikan Narto. Lebih baik beli pulsa daripada jadi bahan tertawaan lagi.
"Awas saja kalau bohong!" aku mengancamnya sebelum siap-siap pergi.
"Ihh, ngapain bohong sih. Bohong kan dosa kata nenek."
"Lah itu namanya apa. Bilangnya ada kamar kosong!" aku belum sepenuhnya rela mengakhiri kekesalan.
"Aku lupa, beb. Sungguh, lupa."
"Lupa gimana. Situ nggak akan paham kalau kamar itu hidup mati buat pacar saya!"
"Iya maaf, beb. Aku lupa. Mudah-mudahan pacar mas beb panjang umur."
"Nggak usah bercanda. Lupa macam apa?"
"Waktu kamu yang tanya tiba-tiba aja aku lupa."
Rupanya ia malah tambah main-main sekarang. Pagi-pagi kepala sudah dibikin panas. Seumpama menganiaya orang lain itu bukan pidana pasti itu lebih menguntungkan untuk saat sekarang.
Tanpa berpikir panjang uang panjer di tangan Narto aku rebut paksa. Ia tak melawan, barangkali karena malas keluar tenaga. Aku berubah pikiran soal pekerjaannya. Biar saja dia dipecat, salah sendiri kerja seenaknya.
Ketika sampai di pagar, baru akan keluar, biadab tak bermutu itu memanggil namaku dengan nyaring bercampur gemulai.
"Beb Alvin, kamu enggak usah telepon bos akuh. Kan kamu sudah ambil uang DP. Artinya kamu setuju dong!"
Keparat itu!!
***
Sukar untuk percaya Wina sekali lagi gagal mendapat kamar pengganti. Narto itu si biang kerok! Mengingat namanya, lebih-lebih tingkah polahnya yang genit menjurus liar, kekesalanku sukar padam. Semakin diulas kian bertambah saja kesal itu.
Tetapi mengapa aku harus mengingatnya lagi, gumamku dalam hati setelah lebih insyaf. Ada-ada saja.
Baik, sekarang begini saja, mulai dari awal lagi. Tanggung jawabku belum berkurang. Wina dan janjiku pada mbak Fani. Soal Wina baiknya dibereskan lebih dulu. Kamar kos yang mana sajalah, yang penting tidak kehujanan. Jauh sedikit dari kampus juga harus diterima dalam situasi macam ini. Untuk itu aku perlu bicara dengannya.
Urusan mbak Fani, ehhm, yang ini aku berpikir cukup lama. Oknumnya sedang di luar kota. Lebih sulit bergerak sendiri meski aku sudah mengantongi lebih banyak petunjuk dari Pak Wi. Setidak-tidaknya barangkali ada yang dapat kulakukan dengan usaha sendiri. Aku ragu akan hal itu.
Sambil berpikir lama aku mondar mandir di kamar Wina, antara pintu dan jendela. Tidak sengaja aku melirik buku catatanku. Dan tampak seolah-olah ia melambai minta perhatian.
Benar juga, boleh jadi ada berita terbaru di situ!
Bersicepat kuhampiri buku itu, langsung menuju halaman terakhir. Kosong saja rupanya. Sial.
Kalau penulis misterius itu jual mahal, aku saja yang memulai. Maka kutulis, "Aku sedang bingung, kau pasti tahu sebabnya. Tolong beritahu aku harus bagaimana."
Mengisi waktu luang sebelum ia menjawab, aku berpikir lagi. Tetapi rasanya otak ini macet tak terurai. Jadi aku tak sabar membuka buku catatan lagi. Kosong. Aku berpikir lagi, memeriksa buku lagi. Kosong. Terus berulang seperti itu sampai aku kesal dan menyerah.
Unyil menyalak basa-basi di luar sana. Sepertinya ada orang masuk. Penasaran mendorong aku segera mencari tahu. Wina, lapor mataku yang mengintip dari celah tirai.
Wina membuka pintu dan dengan lugas bertanya. Kata-katanya persis sama dengan dugaanku.
"Aku jadi pindah hari ini atau besok?"
Agaknya ia memerlukan jawaban yang langsung pada intinya. Sehingga kuberitahu saja kesimpulannya. Dan marahnya seketika itu pula melompat tak tertahan.
"Enggak becus banget sih jadi laki-laki. Itu alasan dibikin-bikin. Sini aku telepon ibu kosnya!"
Aku mencegah maunya. Sebab sia-sia saja bakalnya. Wina pasti akan menumpahkan kemarahannya pada pemilik kos itu. Namun upaya menghalanginya lama kelamaan tak berguna juga. Tangannya cekatan mengambil ponselku di atas meja rias.
"Mana nomornya?" ketusnya sambil mencari-cari yang dimaksud. Aku memilih diam tetapi sebentar saja ia sudah terlihat menelepon. Padahal aku belum menyimpannya.
Wina keluar sebentar ketika pembicaraan jarak jauh dimulai. Detik-detik pertama belum terdengar nada tinggi. Baru setelah kira-kira satu menit segalanya berubah. Telingaku bising.
Wina masuk lagi dan tentu sekarang saatnya mencari kambing hitam.
"Kamu betul-betul enggak bisa diandalkan ya. Janji mulu cari kos segera, cari kos segera. Mana? Lagi yang aku lihat kamu lebih banyak waktu santai. Kuliah jarang, lebih sering di sini seharian. Malu aku punya pacar kaya kamu!"
Yang benar saja dia bilang begitu! Tekanan darah saudah naik turun demi mencari kamar untuknya, tapi perempuan ini sama sekali lupa usaha-usahaku. Maka sekarang saatnya membela diri.
Keinginan membela diri pun kesampaian namun akhir-akhirnya hanya menciptakan pertengkaran tanpa dalil yang pasti. Kamar ini mendadak disergap polusi suara. Aku atau ia tidak ada yang bersedia mengalah kecuali masing-masing kerongkongan kami kering dan lelah, lalu keributan ini reda sendirinya. Berdiam-diaman sambil menahan marah pun menjadi senjata terakhir. Seperti inilah sejarah Perang Dingin.
Beberapa waktu kemudian Wina keluar tanpa sepatah kata.
***
Dari pagi sampai Maghrib aku mengalami dua keributan. Sisanya memikirkan apa-apa yang tidak pasti. Tahu-tahu aku baru insyaf, lambung ini hanya sempat diisi kopi. Tiba-tiba juga setelah itu rasa lapar menerjang.
Namun aku memilih mandi dulu, sebab lebih lama tidak mandi ketimbang belum makan. Rencananya aku menginap di rumah teman malam ini. Perlu sedikit waktu menenangkan pikiran.
Masih penasaran dengan penulis astral, aku tengok lagi keadaannya sebelum bergeser ke kamar mandi.
Ada balasan!
"LEBIH MALAM LAGI KAMU AKAN TAHU RAHASIANYA"
Dengan jantung sedikit berdebar aku tinggalkan catatan itu. Di luar keadaannya hening. Namun aku merasakan Pak Wi berada di bawah. Sedikit saja melangkah sampai di depan kamar mandi. Pintu kubuka, deritnya cukup menyiksa.
Astaga! kaget setengah mati melihat ada yang baru di dalam situ. Cermin panjang di dinding samping, kurang lebih setinggi badanku. Siapa orang gila yang memasang benda menyeramkan ini?
Kuurungkan minat sebentar untuk bertanya pada Pak Wi. Kebetulan ia sedang duduk di ranjang.
"Pak Wi yang pasang cermin? Kan yang lama masih bagus."
Dia mengangguk, "Itu saya pindahkan dari kamar mandi basement. Masih bagus. Daripada ndak terpakai. Kalau ngaca kan lebih enak."
Sebagus-bagusnya tidak perlu dipasang di ruangan itu, kataku dalam hati. Hanya saja aku tidak ingin ada keributan ketiga.
Tiba-tiba saja terbersit ide. "Pak, saya izin mandi di bawah ya." Semestinya aku tak perlu izin-izinan, bukan?
“Oalah, kebetulan macet kerannya. Saya saja tadi pagi mandi di atas."
Daripada badan semakin bau babi aku harus menerima kenyataannya. Lagipula aku bisa membalikkan kaca itu kalau tidak tahan.
Aku melucuti baju dan handuk dengan cepat. Sesekali melirik kaca. Aneh dan ngeri awalnya, lama-lama lebih biasa. Siraman air begitu segar di kulit dan akhirnya meresapi pikiran. Sambil bersiul dan bernyanyi aku membersihkan diri hingga merasa cukup.
Saat tinggal beberapa guyuran terakhir ada bunyi asing menyelinap di telingaku. Aku menahan gayung untuk memastikan pendengaran.
Itu bukan bunyi. Lebih jelasnya suara. Hirupan nafas. Terdengar seperti dengkuran yang tipis. Perokok berat yang sudah sakit-sakitan bisa mendengkur begitu. Atau berdasarkan pengalaman, aku pernah mendengar nafas kepayahan semacam itu dari seorang korban yang nyaris tenggelam di Ujung Genteng.
Tenggelam! Mendadak saja cerita Pak Wi pagi tadi melintas.
Bersamaan aku menahan diri, ruangan ini pelan-pelan hening dari riak dan gemericik air. Tetapi suara itu kian jelas.
Perasaanku suara itu berasal dari belakang.
Quote:
Diubah oleh pakdhegober 15-08-2019 19:00
bebyzha dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup