- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#5
PART 5
Quote:
Si orangtua yang bernama Karta itu berjalan di tengah dan paling belakang Inka yang terpaksa sediri karena Nagara dan Jaka sudah duluan berjalan di depan, tiba –tiba mendadak Karta menghentikan langkah. Sekaligus pula membalikkan tubuh menatap Inka yang berjalan perlahan di belakangnya.
Inka mengurai senyuman di bibir karena baru pertama kalinya bertemu dengan orang tua yang telah lama mengabdi di keluarga suaminya. Lelaki itu menatap Inka dengan sepasang mata terbuka lebar. Tubuhnya pun tiba –tiba berubah tegang, kaku. Gemetar. Terlihat dari getaran kopor di jinjingan tangannya. Tampak mengatur nafasnya yang semakin tersengal –sengal.
Orangtua itu kemudian berucap tersendat: "Gusti Ayu...!"
Inka mengernyitkan dahi.
Lantas menjawab disertai senyuman lebar: "Jangan terlalu sungkan, Pak. Lupakan semua peradatan semacam itu panggil saja Inka bukan Gusti Ayu. Toh, aku juga bukan keturunan ningrat atau semacamnya. Kau tentunya Pak Karta, bukan?"
Orangtua itu mengangguk kaku. Dan tetap gemetar. Inka mengulurkan tangannya ke arah koper di jinjingan tangan lelaki itu. Lebih lagi memikirkan, selain sudah tua renta lelaki itu tentunya capek sendiri karena tadi membuka pintu gerbang besi kokoh itu seorang diri, berlari-lari mengikuti mobil mereka sejak dari gerbang. Dan sekarang harus menjinjing dua koper yang memang besar dan berat.
"Mari. Aku tolong aku bawakan!"
Kepala orangtua itu segera ditegakkan. "Tidak usah, Gusti..eh Mbak...."
" Inka. Jangan salah lagi ya?"
Ada perasaan segan atau bahkan ketakutan di wajah Karta sewaktu ia mengangguk patuh. Lalu menyisi dengan tubuh sedikit dibungkukkan sebagai tanda hormat untuk memberi jalan pada Inka. Orangtua itu tidak segera masuk. Ia masih tegak kaku di tempatnya, mengawasi punggung Inka. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan sekali lagi ia tampak gemetar ketakutan, keringat dingin sebesar biji jagung mengalir deras di seluruh pori –pori kulitnya.
Akan halnya Inka yang sempat dibuat bingung oleh cara orangtua itu memandangi dan keliru pula menyebutkan namanya, dengan segera sudah berada di ruangan dalam. Bergabung dengan suami dan saudara iparnya yang telah sampai lebih dahulu. Dan ketiganya sama – sama berdiri tegak, pandangan mata mereka mengarah ke sesuatu yang diletakkan persis di tengah tengah lantai utama puri.
Tepat di bawah gantungan lampu - lampu kristal, tampaklah sebuah peti empat persegi panjang, dengan pelituran warna coklat tua, seakan menyambut dan balas memandangi kehadiran mereka dengan tatapan kaku dan kejam. Sunyi mencekam untuk beberapa detik lamanya, sebelum Nagara meneruskan langkah. Langsung menuju peti mati yang dalam keadaan tertutup itu. Inka tergerak untuk menyertai dan mendampingi suaminya.
Tetapi dicegah oleh bisikan tajam menusuk dari sampingnya: "Kuanjurkan agar tetap di tempatmu, kak Inka ....!"
Inka memandangi Jaka, terheran-heran.
Tanpa berpaling, Jaka melanjutkan ucapannya: "Lupakan saja."
"Mengapa?"
Inka berbisik perlahan.
"Aku sudah cukup repot sore tadi. Oleh kak Nanda yang jatuh pingsan. Dan Anita yang muntah berat. Aku yakin Kak Inka cukup tangguh. Tetapi apa yang terbaring di dalam peti itu ..."
Jaka tak perlu meneruskan. Cukup dengan melihat reaksi Nagara saja. Awalnya, ketegangan yang menggigit manakala terdengar bunyi derit penutup peti didorong setengah terbuka oleh suaminya. Kemudian tangan suaminya mendadak berhenti mendorong. Dan tangan itu segera ditarik mundur kembali. Nagara berpaling sejenak, jelas menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan untuk dilihat.
Di dalam sana terbujur kaku sesosok tubuh, kepalanya terkulai hampir putus dari badan. Rembesan darah masih tersisa, sementara mulutnya terbuka dan sepasang mata mayat itu melotot seperti mau lepas dari rongga. Tubuh Nagara tampak limbung sesaat. Lalu ia kuatkan dirinya untuk melihat sekali lagi ke dalam peti mati. Baru kemudian, dengan lengan lengan gemetar, menarik penutup peti mati ke tempatnya semula.
Tidak persis benar, karena jelas terlihat adanya sedikit celah. Wajah Nagara jelas terlihat sangat pucat ketika ia bergabung kembali dengan isteri dan adiknya. Karta diam-diam sudah masuk dan dari tadi ikut terdiri di dekat mereka, menunggu perintah. Ia melihat betapa Inka gelisah mendengar percakapan suami dan adik iparnya.
Jelas terlihat oleh Karta perasaan tidak senang di wajah Inka, yang terpaksa ia tahan.
"Apakah tidak lebih baik saya antarkan dulu Mbak Inka ke kamarnya"," tanya Karta, sopan.
"Batu! sekali," Jaka menyetujui.
"Lagipula masih ada yang harus kubicarakan dengan Mas Gara."
"Tidak bisa menunggu sampai besok"," Nagara melontarkan apa yang semula akan dikeluhkan Inka.
"Makin cepat makin baik," jawab Jaka.
Nagara terpaksa menganggukkan kepala pada isterinya, yang segera mengikuti Karta menuju tangga ke lantai atas. "Sebentar, Pak Karta!"
Karta berhenti di anak tangga terbawah.Menunggu. Sebelum mengatakan sesuatu pada orangtua itu. lebih dulu Nagara berpaling pada Jaka.
"Sebaiknya kau pakukan saja peti mati itu, Pak Karta."
"Sekarang?!", orangtua itu kebingungan.
"Lakukanlah itu pagi-pagi. Bunyikan palumu keras - keras. Supaya mereka terbangun dan segera siap mengikuti upacara pemakaman!"
"Dan kau"," Inka menyela sembari menoleh ke arah Nagara.
Nagara memaksakan senyum di bibir.
" Aku akan bicara dulu dengan Jaka. Kau jangan khawatir tidak akan lebih dari setengah jam “
Inka mau protes tetapi tidak jadi ia lakukan dan kemudian bergerak mengikuti Karta naik ke lantai atas, sementara di belakangnya ia dengar ajakan Jaka: "Ayo, Mas Gara. Kita ngobrol di perpustakaan saja!"
Sementara ke dua kakak beradik itu memutari bawah tangga menuju perpustakaan.
Inka mengurai senyuman di bibir karena baru pertama kalinya bertemu dengan orang tua yang telah lama mengabdi di keluarga suaminya. Lelaki itu menatap Inka dengan sepasang mata terbuka lebar. Tubuhnya pun tiba –tiba berubah tegang, kaku. Gemetar. Terlihat dari getaran kopor di jinjingan tangannya. Tampak mengatur nafasnya yang semakin tersengal –sengal.
Orangtua itu kemudian berucap tersendat: "Gusti Ayu...!"
Inka mengernyitkan dahi.
Lantas menjawab disertai senyuman lebar: "Jangan terlalu sungkan, Pak. Lupakan semua peradatan semacam itu panggil saja Inka bukan Gusti Ayu. Toh, aku juga bukan keturunan ningrat atau semacamnya. Kau tentunya Pak Karta, bukan?"
Orangtua itu mengangguk kaku. Dan tetap gemetar. Inka mengulurkan tangannya ke arah koper di jinjingan tangan lelaki itu. Lebih lagi memikirkan, selain sudah tua renta lelaki itu tentunya capek sendiri karena tadi membuka pintu gerbang besi kokoh itu seorang diri, berlari-lari mengikuti mobil mereka sejak dari gerbang. Dan sekarang harus menjinjing dua koper yang memang besar dan berat.
"Mari. Aku tolong aku bawakan!"
Kepala orangtua itu segera ditegakkan. "Tidak usah, Gusti..eh Mbak...."
" Inka. Jangan salah lagi ya?"
Ada perasaan segan atau bahkan ketakutan di wajah Karta sewaktu ia mengangguk patuh. Lalu menyisi dengan tubuh sedikit dibungkukkan sebagai tanda hormat untuk memberi jalan pada Inka. Orangtua itu tidak segera masuk. Ia masih tegak kaku di tempatnya, mengawasi punggung Inka. Dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan sekali lagi ia tampak gemetar ketakutan, keringat dingin sebesar biji jagung mengalir deras di seluruh pori –pori kulitnya.
Akan halnya Inka yang sempat dibuat bingung oleh cara orangtua itu memandangi dan keliru pula menyebutkan namanya, dengan segera sudah berada di ruangan dalam. Bergabung dengan suami dan saudara iparnya yang telah sampai lebih dahulu. Dan ketiganya sama – sama berdiri tegak, pandangan mata mereka mengarah ke sesuatu yang diletakkan persis di tengah tengah lantai utama puri.
Tepat di bawah gantungan lampu - lampu kristal, tampaklah sebuah peti empat persegi panjang, dengan pelituran warna coklat tua, seakan menyambut dan balas memandangi kehadiran mereka dengan tatapan kaku dan kejam. Sunyi mencekam untuk beberapa detik lamanya, sebelum Nagara meneruskan langkah. Langsung menuju peti mati yang dalam keadaan tertutup itu. Inka tergerak untuk menyertai dan mendampingi suaminya.
Tetapi dicegah oleh bisikan tajam menusuk dari sampingnya: "Kuanjurkan agar tetap di tempatmu, kak Inka ....!"
Inka memandangi Jaka, terheran-heran.
Tanpa berpaling, Jaka melanjutkan ucapannya: "Lupakan saja."
"Mengapa?"
Inka berbisik perlahan.
"Aku sudah cukup repot sore tadi. Oleh kak Nanda yang jatuh pingsan. Dan Anita yang muntah berat. Aku yakin Kak Inka cukup tangguh. Tetapi apa yang terbaring di dalam peti itu ..."
Jaka tak perlu meneruskan. Cukup dengan melihat reaksi Nagara saja. Awalnya, ketegangan yang menggigit manakala terdengar bunyi derit penutup peti didorong setengah terbuka oleh suaminya. Kemudian tangan suaminya mendadak berhenti mendorong. Dan tangan itu segera ditarik mundur kembali. Nagara berpaling sejenak, jelas menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan untuk dilihat.
Di dalam sana terbujur kaku sesosok tubuh, kepalanya terkulai hampir putus dari badan. Rembesan darah masih tersisa, sementara mulutnya terbuka dan sepasang mata mayat itu melotot seperti mau lepas dari rongga. Tubuh Nagara tampak limbung sesaat. Lalu ia kuatkan dirinya untuk melihat sekali lagi ke dalam peti mati. Baru kemudian, dengan lengan lengan gemetar, menarik penutup peti mati ke tempatnya semula.
Tidak persis benar, karena jelas terlihat adanya sedikit celah. Wajah Nagara jelas terlihat sangat pucat ketika ia bergabung kembali dengan isteri dan adiknya. Karta diam-diam sudah masuk dan dari tadi ikut terdiri di dekat mereka, menunggu perintah. Ia melihat betapa Inka gelisah mendengar percakapan suami dan adik iparnya.
Jelas terlihat oleh Karta perasaan tidak senang di wajah Inka, yang terpaksa ia tahan.
"Apakah tidak lebih baik saya antarkan dulu Mbak Inka ke kamarnya"," tanya Karta, sopan.
"Batu! sekali," Jaka menyetujui.
"Lagipula masih ada yang harus kubicarakan dengan Mas Gara."
"Tidak bisa menunggu sampai besok"," Nagara melontarkan apa yang semula akan dikeluhkan Inka.
"Makin cepat makin baik," jawab Jaka.
Nagara terpaksa menganggukkan kepala pada isterinya, yang segera mengikuti Karta menuju tangga ke lantai atas. "Sebentar, Pak Karta!"
Karta berhenti di anak tangga terbawah.Menunggu. Sebelum mengatakan sesuatu pada orangtua itu. lebih dulu Nagara berpaling pada Jaka.
"Sebaiknya kau pakukan saja peti mati itu, Pak Karta."
"Sekarang?!", orangtua itu kebingungan.
"Lakukanlah itu pagi-pagi. Bunyikan palumu keras - keras. Supaya mereka terbangun dan segera siap mengikuti upacara pemakaman!"
"Dan kau"," Inka menyela sembari menoleh ke arah Nagara.
Nagara memaksakan senyum di bibir.
" Aku akan bicara dulu dengan Jaka. Kau jangan khawatir tidak akan lebih dari setengah jam “
Inka mau protes tetapi tidak jadi ia lakukan dan kemudian bergerak mengikuti Karta naik ke lantai atas, sementara di belakangnya ia dengar ajakan Jaka: "Ayo, Mas Gara. Kita ngobrol di perpustakaan saja!"
Sementara ke dua kakak beradik itu memutari bawah tangga menuju perpustakaan.
Quote:
Inka tiba di lantai atas di mana Karta berdiri menunggu. Di hadapan Inka terpampang sebuah lorong berlampu temaram, yang di kiri kanannya tampak jejeran pintu seperti di sebuah lorong kamar kamar hotel.
"Pilih yang kiri atau yang kanan, Mbak?"
Inka memandangi pintu-pintu itu. Bingung. "Apa perbedaannya, Pak?"
"Yang sebelah kiri, jendelanya menghadap ke lereng gunung Merapi. Kamar - kamar sebelah kanan, menghadap ke lembah...."
"Oh. Bagaimana dengan yang itu"," Inka menunjuk ke pintu tertutup yang terletak di ujung lorong, menghadap langsung ke arah mereka.
"Balkon," Karta memberitahu.
"Tempat dimana Mbak Inka dapat berjemur menikmati matahari pagi, sambil menikmati pemandangan di dua tempat sekaligus. Ke gunung Merapi, juga ke lembah ...."
" Bagaimana dengan kamar yang ini?", Inka menunjuk pintu pertama di sebelah kanan.
"Silahkan saja, penghuni tetapnya tidak membutuhkannya lagi ...," jawab Karta, seraya melirik ke lantai bawah, lurus ke peti mati yang diam membisu.
Inka bergidik sendiri
"Lebih baik kau yang memilihkan, Pak Karta "
"Kalau begitu, ayolah," si tua tersenyum arif, namun tetap dengan sikapnya yang kaku.
Dengan kepala setengah dirundukkan, seperti tidak punya keberanian menatap langsung ke mata Inka. Ia membiarkan Inka berjalan di depan. Akhirnya mereka berhenti di depan pintu sebuah kamar. Saat masuk bisa terlihat jelas kamar besar dan luas dengan perabotan lengkap, berbau kuno. Dilengkapi dengan kamar mandi tersendiri. Setelah meletakkan koper di depan sebuah lemari berukir, Karta lalu mohon diri.
"Selamat malam, Gusti Ayu!"
Inka membelalak. "Nah. Apa pula itu. Tadi, sudah aku katakan Pak Karta jangan sungkan..," Inka tersenyum lebar.
Inka sekilas melihat perubahan di wajah Karta. Wajah keriput tua itu tampak berubah tegang dan pucat. Orangtua itu memberanikan diri melihat langsung ke wajah Inka. Sesaat ia gemetar, menelan ludah dengan susah payah, kemudian cepat cepat berlalu tanpa lupa menutupkan pintu. Dengan tangan-tangan kurusnya, yang bergemetar hebat.
Inka ternganga. Heran bercampur bingung. Ada apa dengan orangtua itu" Apa pula yang salah dalam diri atau ucapan - ucapan ku?"
Tiba –tiba Inka ingat peti mati yang terbujur kaku di lantai dasar. Kuduk Inka merinding. Lantas terdorong naluri, ia berjingkat ke pintu. Menguncinya dari dalam. Ia merasa sedikit lebih aman, sekarang.
Karta turun dari lantai atas dengan langkah tersuruk-suruk. Sekujur tubuhnya terasa lunglai. Detak jantungnya pun semakin keras saja. Menyentak nyentak. Di anak tangga terbawah, ia berdiri sejenak. Memandang lurus ke arah peti mati. Dari celah penutup peti yang sedikit terbuka, jenasah Ario Keling seakan mengintip. Lalu menjeritkan sebuah tuduhan: "Kau bertanggungjawab atas kematianku Karta!"
Karta merintih. Sakit. Ia padamkan lampu ruangan sehingga gambaran peti mati lenyap ditelan kegelapan. Ia kemudian masuk ke kamar pribadinya. Ia duduk di tepi ranjang. Satu pertanyaan terbersit dari bibirnya yang bergetar perlahan: "Apakah saat untukku sudah tiba. Gusti Tumenggung?"
"Pilih yang kiri atau yang kanan, Mbak?"
Inka memandangi pintu-pintu itu. Bingung. "Apa perbedaannya, Pak?"
"Yang sebelah kiri, jendelanya menghadap ke lereng gunung Merapi. Kamar - kamar sebelah kanan, menghadap ke lembah...."
"Oh. Bagaimana dengan yang itu"," Inka menunjuk ke pintu tertutup yang terletak di ujung lorong, menghadap langsung ke arah mereka.
"Balkon," Karta memberitahu.
"Tempat dimana Mbak Inka dapat berjemur menikmati matahari pagi, sambil menikmati pemandangan di dua tempat sekaligus. Ke gunung Merapi, juga ke lembah ...."
" Bagaimana dengan kamar yang ini?", Inka menunjuk pintu pertama di sebelah kanan.
"Silahkan saja, penghuni tetapnya tidak membutuhkannya lagi ...," jawab Karta, seraya melirik ke lantai bawah, lurus ke peti mati yang diam membisu.
Inka bergidik sendiri
"Lebih baik kau yang memilihkan, Pak Karta "
"Kalau begitu, ayolah," si tua tersenyum arif, namun tetap dengan sikapnya yang kaku.
Dengan kepala setengah dirundukkan, seperti tidak punya keberanian menatap langsung ke mata Inka. Ia membiarkan Inka berjalan di depan. Akhirnya mereka berhenti di depan pintu sebuah kamar. Saat masuk bisa terlihat jelas kamar besar dan luas dengan perabotan lengkap, berbau kuno. Dilengkapi dengan kamar mandi tersendiri. Setelah meletakkan koper di depan sebuah lemari berukir, Karta lalu mohon diri.
"Selamat malam, Gusti Ayu!"
Inka membelalak. "Nah. Apa pula itu. Tadi, sudah aku katakan Pak Karta jangan sungkan..," Inka tersenyum lebar.
Inka sekilas melihat perubahan di wajah Karta. Wajah keriput tua itu tampak berubah tegang dan pucat. Orangtua itu memberanikan diri melihat langsung ke wajah Inka. Sesaat ia gemetar, menelan ludah dengan susah payah, kemudian cepat cepat berlalu tanpa lupa menutupkan pintu. Dengan tangan-tangan kurusnya, yang bergemetar hebat.
Inka ternganga. Heran bercampur bingung. Ada apa dengan orangtua itu" Apa pula yang salah dalam diri atau ucapan - ucapan ku?"
Tiba –tiba Inka ingat peti mati yang terbujur kaku di lantai dasar. Kuduk Inka merinding. Lantas terdorong naluri, ia berjingkat ke pintu. Menguncinya dari dalam. Ia merasa sedikit lebih aman, sekarang.
Karta turun dari lantai atas dengan langkah tersuruk-suruk. Sekujur tubuhnya terasa lunglai. Detak jantungnya pun semakin keras saja. Menyentak nyentak. Di anak tangga terbawah, ia berdiri sejenak. Memandang lurus ke arah peti mati. Dari celah penutup peti yang sedikit terbuka, jenasah Ario Keling seakan mengintip. Lalu menjeritkan sebuah tuduhan: "Kau bertanggungjawab atas kematianku Karta!"
Karta merintih. Sakit. Ia padamkan lampu ruangan sehingga gambaran peti mati lenyap ditelan kegelapan. Ia kemudian masuk ke kamar pribadinya. Ia duduk di tepi ranjang. Satu pertanyaan terbersit dari bibirnya yang bergetar perlahan: "Apakah saat untukku sudah tiba. Gusti Tumenggung?"
Diubah oleh breaking182 17-01-2019 22:33
itkgid dan pintokowindardi memberi reputasi
3
Kutip
Balas