- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#4
PART 4
Quote:
Kilatan aneh mengejutkan Inka. la mengurangi kecepatan laju mobil, dan menyimak dengan seksama benda apa yang tadi menimbulkan kilatan di antara bayang-bayang pepohonan tadi. Ia lantas terkejut dan mencela diri sendiri, setelah dihadapan mobil terlihat sebuah pintu gerbang besi yang berat, tinggi, dan kokoh dengan pilar-pilar beton yang angkuh di kiri kanannya.
“ Kita sudah sampai, Mas," desahnya lirih.
Tak ada sahutan. Inka tak perlu menoleh. Cukup mendengar saja. Dengkuran suaminya seolah akan memecahkan kegelapan dan kesunyian di sekitar mereka. Haruskah Inka membunyikan klakson?
Hatinya melarang, jangan dulu. Siapa tahu ada bel. Menunggu sejenak namun tak juga ada orang yang datang untuk membukakan pintu gerbang, Inka lantas memutuskan untuk membangunkan sang suami. Lalu ia mendengarnya! Mendengar suara-suara ganjil. Berdetak-detak. Samar samar.
Inka mengawasi kegelapan malam di luar jendela mobil. Yang tampak hanya bayang - bayang pepohonan yang tegak menghitam, dan semak belukar yang bergoyang kian kemari mengikuti arah angin. Tak ada orang atau makhluk hidup.
Dan sekejap suasana yang gelap gulita itu berubah terang benderang seperti hari sudah siang. Lewat celah celah besi pintu gerbang, di sebelah dalam sana tampaklah sesosok mahluk besar berwarna putih atau kelabu, mendekat ke pintu gerbang. Seekor kuda yang gagah, dengan penunggangnya yang duduk tegak dan gagah pula di atas pelana. Penunggangnya seorang laki –laki paruh baya. Badannya terlihat tegap dan kukuh dibalut dengan busana Jawa khas bangsawan pada era kerajaan Mataram. Sementara di kepalanya bertengger ikat kepala berwarna coklat selaras dengan pakaian yang dikenakannya.
Di kiri kanan penunggang kuda itu, dua orang gadis berparas cantik berkulit putih, satu memakai baju panjang warna hijau, satunya warna merah. Kedua dara ini memegang masing –masing sebuah payung tinggi dan besar serta berjumbai-jumbai benang emas. Sudah barang tentu memayungi lelaki gagah yang berada di atas punggung kuda itu. Mata Inka menyipit manakala seperti pernah melihat salah satu dara yang bertugas memayungi sang bangsawan itu. Tapi dimana? Ia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Inka akan tersenyum, ketika kuda gagah itu mendadak berhenti hanya beberapa langkah dari mobil yang dikendarainya. Dua orang gadis pengiringnya juga berhenti.
Si penunggang, meluruskan duduknya. Lalu memandang lurus-lurus ke arah mobil. Langsung ke wajah Inka. Di balik kemudi Inka melihat jelas sorot mata itu bersinar tajam. Samar samar mulutnya membentuk garis, menyerupai senyuman. Inka tak dapat menduga, apakah tarikan bibir tipis itu senyuman ramah atau senyuman tak senang. Senyuman orang itu sangat misterius.
Tangan Inka baru saja hendak menyentuh hendel pintu mobil, manakala dari arah belakang si penunggang kuda, tampak sesosok tubuh datang berlari-lari mendekat. Langsung menuju pintu gerbang. Pendatang kedua itu seorang lelaki lanjut usia. Tampak renta karena tubuhnya yang sudah kurus dan jangkung. Pakaiannya sangat sederhana dengan seutas sarung melilit erat pinggangnya yang kerempeng. Dan detik itu juga suasana yang tadinya terang benderang kembali menjadi temaram karena sorot lampu mobil yang menerangi tempat itu. Sekejap Inka kaget tapi akhirnya dapat menguasai diri dengan cepat.
Rupanya tanpa sadar tangan Inka telah mendorong terbuka pintu mobil, dan angin malam yang dingin menggigit segera menerpa masuk ke dalam mobil. Inka berpaling sewaktu terdengar suara gerutuan kasar di sebelahnya. Nagara telah bangun. Mengucek - ucek mata. Mulanya akan bertanya pada Inka. Tetapi begitu mendengar gemeretak besi beradu besi, Nagara menoleh ke depan. Terlihat pintu gerbang telah dibuka lebar- lebar oleh si lelaki tua renta tadi.
"Ah. Itu dia. Pak Karta!", rungut Nagara, setengah mengantuk.
Inka lalu kembali menutupkan pintu mobil. Terpaan angin malam yang dingin menusuk itu segera digantikan kehangatan udara di dalam mobil. Inka memasukkan versnelling ke gigi satu untuk memacu mobil lewat pintu gerbang. Di dalam hatinya masih bertanya –tanya mengapa tadi sekejap suasana malam berganti menjadi terang benderang. Mungkin aku tadi hanya bermimpi. Tapi tidak Inka membantah asumsinya sendiri. Satu pertanyaan kembali berkecamuk siapa penunggang tadi dengan iringan dua perempuan muda di kanan kirinya? Jin kah atau hantu? Inka bergidik ngeri.
Inka melirik ke arah lain. Tetapi selain barisan pepohonan pinus di kiri kanan jalan menuju puri, ia tidak melihat apa apa lagi. Laki laki misterius itu sudah lenyap. Begitu pula mahluk perkasa berwarna putih kelabu yang ditungganginya. Benar benar lenyap. Tanpa meninggalkan bekas.
Sementara laki-laki tua yang tadi membukakan pintu gerbang kini berlari - lari kecil mengikuti mobil yang dijalankan Inka perlahan-lahan, penasaran Inka mengawasi tempat sekitarnya dari balik jendela mobil. Selintas ia lihat suaminya membukakan jendela mobil di sampingnya. Ia juga mendengar suaminya bertegur sapa dengan si lelaki tua, yang menyahuti dengan suara keras untuk mengatasi bunyi deru angin. Tetapi ke manapun mata Inka menjelajah, tetap saja ia tidak melihat orang atau kuda yang ia cari beserta dua gadis pengiringnya. Meski hanya bayang-bayangnya. Sekujur tubuh Inka terasa dingin lagi. Bukan karena terpaan angin. Melainkan, oleh darahnya yang menyirap dan menyirap, ketika ia tiba-tiba teringat cerita suaminya di perjalanan tadi tentang misteri Desa Kemulan.
"Omong kosong. Tak ada hantu di dunia ini. Kecuali dalam jiwa manusia-manusia penakut!" jeritnya di dalam hati. Sepasang mata Inka mengawasi bangunan yang memberi gambaran sebuah garasi luas dengan pintu gesernya yang kuat terbuat dari pasak - pasak besi. Kemudian puri yang mulai tampak di depan berdiri tegak menjulang dengan sosoknya yang menyeramkan di bawah siraman sinar rembulan yang pucat. Perasaan takut itu tiba –tiba kembali menyergap merayap lambat tetapi pasti.
“ Kita sudah sampai, Mas," desahnya lirih.
Tak ada sahutan. Inka tak perlu menoleh. Cukup mendengar saja. Dengkuran suaminya seolah akan memecahkan kegelapan dan kesunyian di sekitar mereka. Haruskah Inka membunyikan klakson?
Hatinya melarang, jangan dulu. Siapa tahu ada bel. Menunggu sejenak namun tak juga ada orang yang datang untuk membukakan pintu gerbang, Inka lantas memutuskan untuk membangunkan sang suami. Lalu ia mendengarnya! Mendengar suara-suara ganjil. Berdetak-detak. Samar samar.
Inka mengawasi kegelapan malam di luar jendela mobil. Yang tampak hanya bayang - bayang pepohonan yang tegak menghitam, dan semak belukar yang bergoyang kian kemari mengikuti arah angin. Tak ada orang atau makhluk hidup.
Dan sekejap suasana yang gelap gulita itu berubah terang benderang seperti hari sudah siang. Lewat celah celah besi pintu gerbang, di sebelah dalam sana tampaklah sesosok mahluk besar berwarna putih atau kelabu, mendekat ke pintu gerbang. Seekor kuda yang gagah, dengan penunggangnya yang duduk tegak dan gagah pula di atas pelana. Penunggangnya seorang laki –laki paruh baya. Badannya terlihat tegap dan kukuh dibalut dengan busana Jawa khas bangsawan pada era kerajaan Mataram. Sementara di kepalanya bertengger ikat kepala berwarna coklat selaras dengan pakaian yang dikenakannya.
Di kiri kanan penunggang kuda itu, dua orang gadis berparas cantik berkulit putih, satu memakai baju panjang warna hijau, satunya warna merah. Kedua dara ini memegang masing –masing sebuah payung tinggi dan besar serta berjumbai-jumbai benang emas. Sudah barang tentu memayungi lelaki gagah yang berada di atas punggung kuda itu. Mata Inka menyipit manakala seperti pernah melihat salah satu dara yang bertugas memayungi sang bangsawan itu. Tapi dimana? Ia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Inka akan tersenyum, ketika kuda gagah itu mendadak berhenti hanya beberapa langkah dari mobil yang dikendarainya. Dua orang gadis pengiringnya juga berhenti.
Si penunggang, meluruskan duduknya. Lalu memandang lurus-lurus ke arah mobil. Langsung ke wajah Inka. Di balik kemudi Inka melihat jelas sorot mata itu bersinar tajam. Samar samar mulutnya membentuk garis, menyerupai senyuman. Inka tak dapat menduga, apakah tarikan bibir tipis itu senyuman ramah atau senyuman tak senang. Senyuman orang itu sangat misterius.
Tangan Inka baru saja hendak menyentuh hendel pintu mobil, manakala dari arah belakang si penunggang kuda, tampak sesosok tubuh datang berlari-lari mendekat. Langsung menuju pintu gerbang. Pendatang kedua itu seorang lelaki lanjut usia. Tampak renta karena tubuhnya yang sudah kurus dan jangkung. Pakaiannya sangat sederhana dengan seutas sarung melilit erat pinggangnya yang kerempeng. Dan detik itu juga suasana yang tadinya terang benderang kembali menjadi temaram karena sorot lampu mobil yang menerangi tempat itu. Sekejap Inka kaget tapi akhirnya dapat menguasai diri dengan cepat.
Rupanya tanpa sadar tangan Inka telah mendorong terbuka pintu mobil, dan angin malam yang dingin menggigit segera menerpa masuk ke dalam mobil. Inka berpaling sewaktu terdengar suara gerutuan kasar di sebelahnya. Nagara telah bangun. Mengucek - ucek mata. Mulanya akan bertanya pada Inka. Tetapi begitu mendengar gemeretak besi beradu besi, Nagara menoleh ke depan. Terlihat pintu gerbang telah dibuka lebar- lebar oleh si lelaki tua renta tadi.
"Ah. Itu dia. Pak Karta!", rungut Nagara, setengah mengantuk.
Inka lalu kembali menutupkan pintu mobil. Terpaan angin malam yang dingin menusuk itu segera digantikan kehangatan udara di dalam mobil. Inka memasukkan versnelling ke gigi satu untuk memacu mobil lewat pintu gerbang. Di dalam hatinya masih bertanya –tanya mengapa tadi sekejap suasana malam berganti menjadi terang benderang. Mungkin aku tadi hanya bermimpi. Tapi tidak Inka membantah asumsinya sendiri. Satu pertanyaan kembali berkecamuk siapa penunggang tadi dengan iringan dua perempuan muda di kanan kirinya? Jin kah atau hantu? Inka bergidik ngeri.
Inka melirik ke arah lain. Tetapi selain barisan pepohonan pinus di kiri kanan jalan menuju puri, ia tidak melihat apa apa lagi. Laki laki misterius itu sudah lenyap. Begitu pula mahluk perkasa berwarna putih kelabu yang ditungganginya. Benar benar lenyap. Tanpa meninggalkan bekas.
Sementara laki-laki tua yang tadi membukakan pintu gerbang kini berlari - lari kecil mengikuti mobil yang dijalankan Inka perlahan-lahan, penasaran Inka mengawasi tempat sekitarnya dari balik jendela mobil. Selintas ia lihat suaminya membukakan jendela mobil di sampingnya. Ia juga mendengar suaminya bertegur sapa dengan si lelaki tua, yang menyahuti dengan suara keras untuk mengatasi bunyi deru angin. Tetapi ke manapun mata Inka menjelajah, tetap saja ia tidak melihat orang atau kuda yang ia cari beserta dua gadis pengiringnya. Meski hanya bayang-bayangnya. Sekujur tubuh Inka terasa dingin lagi. Bukan karena terpaan angin. Melainkan, oleh darahnya yang menyirap dan menyirap, ketika ia tiba-tiba teringat cerita suaminya di perjalanan tadi tentang misteri Desa Kemulan.
"Omong kosong. Tak ada hantu di dunia ini. Kecuali dalam jiwa manusia-manusia penakut!" jeritnya di dalam hati. Sepasang mata Inka mengawasi bangunan yang memberi gambaran sebuah garasi luas dengan pintu gesernya yang kuat terbuat dari pasak - pasak besi. Kemudian puri yang mulai tampak di depan berdiri tegak menjulang dengan sosoknya yang menyeramkan di bawah siraman sinar rembulan yang pucat. Perasaan takut itu tiba –tiba kembali menyergap merayap lambat tetapi pasti.
Quote:
SETURUN dari mobil, Inka memandangsetengah takjub apa yang sebelum ini hanya ia dengar dari penuturan suami atau saudara-saudara iparnya. Meski tetap beranggapan mereka agak Melebih - lebihkan, namun Inka selalu mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian.
Inka mengamati sekilas bangunan besar dan megah, yang tegak kokoh bahkan tampak angkuh di depan matanya. Tiang - tiangnya tampak angker, dengan atap tinggi menjulang ke arah langit yang temaram. Sebuah bangunan antik bergaya Eropa lama, dan jelas sudah ini adalah salah satu bangunan bersejarah peninggalan jaman kolonial. Inka merasakan adanya perubahan dalam dirinya.
Perasaan takut tadi pelan pelan sirna. Diganti oleh sentuhan nyaman. Lamunannya mendadak buyar ketika dari pintu depan yang setengah terbuka, muncul seorang pemuda kurus tinggi dengan rambut ikal setengah acak -acakan yang bergegas mendatangi dengan kata sambutan yang menunjukkan kegembiraan:
"Ah. Kalian datang juga akhirnya!"
Inka segera mengenali Jaka, adik iparnya yang paling bungsu.
"Apa kabar, Kak Inka?", ia mengulurkan tangan. Dan disambut dengan hangat oleh Inka.
Jaka lalu memeluk saudara lelakinya yang tertua, Nagara.
Ia mengangguk ke arah Inka.
"Ayolah, kita ke dalam."
“ Kalian masuklah dulu, aku akan mengambil koper di bagasi bersama Pak Karta”
Tanpa menunggu persetujuan istrinya Nagara bergegas ke arah mobil diikuti oleh lelaki tua yang bernama Karta. Inka tersenyum lalu mengikuti Jaka naik ke beranda. Nagara yang tadi membuka bagasi mobil dengan segera sudah berada di samping mereka. Diiringi oleh si lelaki kurus yang sudah tua dan tampak renta itu.
Semua rambutnya sudah memutih. Kulit wajahnya pun sudah pada mengerut di sana -sini dimakan usia. Jalannya
sedikit bungkuk. Sesekali terdengar tarikan nafasnya yang tersengal –sengal seperti menderita sakit pernafasan yang sangat akut. Ia terus saja lewat untuk mengikuti Nagara masuk ke ruangan dalam, yang segera disusul oleh Jaka.
Inka mengamati sekilas bangunan besar dan megah, yang tegak kokoh bahkan tampak angkuh di depan matanya. Tiang - tiangnya tampak angker, dengan atap tinggi menjulang ke arah langit yang temaram. Sebuah bangunan antik bergaya Eropa lama, dan jelas sudah ini adalah salah satu bangunan bersejarah peninggalan jaman kolonial. Inka merasakan adanya perubahan dalam dirinya.
Perasaan takut tadi pelan pelan sirna. Diganti oleh sentuhan nyaman. Lamunannya mendadak buyar ketika dari pintu depan yang setengah terbuka, muncul seorang pemuda kurus tinggi dengan rambut ikal setengah acak -acakan yang bergegas mendatangi dengan kata sambutan yang menunjukkan kegembiraan:
"Ah. Kalian datang juga akhirnya!"
Inka segera mengenali Jaka, adik iparnya yang paling bungsu.
"Apa kabar, Kak Inka?", ia mengulurkan tangan. Dan disambut dengan hangat oleh Inka.
Jaka lalu memeluk saudara lelakinya yang tertua, Nagara.
Ia mengangguk ke arah Inka.
"Ayolah, kita ke dalam."
“ Kalian masuklah dulu, aku akan mengambil koper di bagasi bersama Pak Karta”
Tanpa menunggu persetujuan istrinya Nagara bergegas ke arah mobil diikuti oleh lelaki tua yang bernama Karta. Inka tersenyum lalu mengikuti Jaka naik ke beranda. Nagara yang tadi membuka bagasi mobil dengan segera sudah berada di samping mereka. Diiringi oleh si lelaki kurus yang sudah tua dan tampak renta itu.
Semua rambutnya sudah memutih. Kulit wajahnya pun sudah pada mengerut di sana -sini dimakan usia. Jalannya
sedikit bungkuk. Sesekali terdengar tarikan nafasnya yang tersengal –sengal seperti menderita sakit pernafasan yang sangat akut. Ia terus saja lewat untuk mengikuti Nagara masuk ke ruangan dalam, yang segera disusul oleh Jaka.
Diubah oleh breaking182 09-01-2019 08:22
itkgid dan pintokowindardi memberi reputasi
3
Kutip
Balas