- Beranda
- Stories from the Heart
PURI KERAMAT
...
TS
breaking182
PURI KERAMAT
PURI KERAMAT
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Berawal dari kematian Ario Keling seorang keturunan bangsawan di masa kerajaan Mataram. Ke empat anaknya beserta dua menantunya datang ke desa Kemulan untuk menghadiri prosesi pemakaman. Suatu desa terpencil yang terletak di lereng Gunung Merapi dan selalu berselimutan kabut. Inka salah satu menantu Ario Keling merasakan ada keganjilan pada saat akan memasuki pintu gerbang puri. Ia melihat sesosok bangsawan di atas punggung kuda besar dengan dua dayang pengiring. Tidak sampai disitu saja, satu hari sebelum pemakaman Ario Keling. Suaminya yang bernama Nagara atau anak sulung Ario Keling tiba –tiba lenyap tidak berbekas secara misterius. Dari situlah rentetan peristiwa berdarah di mulai. Apakah pelakunya Nagara karena ingin menguasai harta warisan yang tersimpan di dalam puri itu? Dan siapakah yang akan keluar dari puri itu hidup – hidup?
Quote:
INDEKS
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
TAMAT
Diubah oleh breaking182 27-02-2019 10:49
mincli69 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
14.6K
Kutip
71
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#3
PART 3
Quote:
MENGANTUK tetapi tidak dapat tidur selama tiga jam lebih di perjalanan, berakibat belakang kepala Nagara berdenyut - denyut menyakitkan. Ia duduk di belakang kemudi sudah setengah rebah bersandar di jok kursi. Wajahnya bersemu pucat. Sebaliknya, dua biji matanya memerah. Lalu ketik ia berpaling, tiba tiba.....
"AWAS!", suara wanita di samping kemudi setengah berteriak memperingatkan, ketika terlihat tumpukan besi dengan ujung – ujung yang runcing dan berkarat tahu-tahu menumpuk di tikungan yang membelok tajam ke kanan. Nagara yang memang dalam keadaan setengah mengantuk, terperanjat seketika. Ia injak rem sekaligus sehingga mobil terbanting keras sembari mengeluarkan suara berdecit tajam. Ban beradu dengan aspal jalan lalu berhenti melintang persis di mulut jembatan berpilar beton itu.
Setelah sama berdiam diri saking terkejut, Inka nama perempuan yang duduk di samping kemudi itu melontarkan kecaman lunak pada suaminya.
“ Hati –hati Mas, aku masih ingin hidup dan melihat anak dalam perut ini tumbuh dewasa”
Nagara tidak menanggapi kecaman dari istrinya itu, pandangan matanya tiba –tiba seperti tidak mau dialihkan dari sebatang besi yang terlihat lebih menjorok keluar dibandingkan dengan besi lain. Jika saja saat itu siang hari mungkin Nagara akan melihat besi berkarat bersemu merah menghitam dengan ribuan semut berkumpul disitu seolah –olah sedang berpesta pora menggerogoti serpihan –serpihan benda berbau anyir darah yang masih menempel di sana.
“ Mas...”
Kembali Inka memanggil suaminya disertai dengan tepukan halus di pundak. Nagara menyeringai malu, lantas mengeluh: "Aku tak tahu mengapa. Mendadak saja aku terserang kantuk yang hebat ---"
"Mas letih. Mari kugantikan!"
Mereka berdua bertukar tempat setelah lebih dulu Nagara menepikan posisi mobil dan menghentikan kendaraan itu pinggir jembatan. Tidak berapa lama kemudian mobil itu kembali berjalan dengan kecepatan sedang. Pengemudinya telah berganti. Inka memperhatikan jalan di depannya yang temaram hanya mengandalkan nyala lampu dari mobil. Sesekali perhatiannya tercurah ke rumah-rumah di kiri kanan jalan.
Di sana sini ada lampu temaram, tetapi semua pintu dan jendela tertutup rapat. Seperti tidak ada tanda –tanda kehidupan. Rumah-rumah itu tampak kusam, dan rata –rata berdinding papan – papan kayu dengan pekarangan luas. Dan satu yang sangat ia herankan kabut bergulung –gulung keluar dari dalam tanah. Jalanan seperti berselimutkan kabut.
"Inikah desa Kemulan?", Inka bertanya ingin tahu.
Nagara membuka kelopak matanya lebar-lebar. Terasa berat. Mengawasi sekilas kiri kanan jalan yang mereka lalui, ia menyahut lemah:
"He-eh."
“ Tempatnya sepi. Menyeramkan seperti desa mati dan kabut ini sangat aneh, seperti keluar dari dalam tanah “
Nagara mengerdip-ngerdipkan mata, mengusir kantuk.
"Dari dulu juga sudah begini ....."
"Kenapa?"
"Mau ramai bagaimana? Kau lihat susunan rumah-rumah itu. Penghuninya. Terbanyak bekerja di perkebunan. Selebihnya, petani. Mereka memang memiliki sawah berhektar hektar. Namun para petani itu tak akan pernah cukup kaya untuk membuat desa ini berkembang "'
"Mengapa bisa begitu?"
Inka kembali bertanya tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari jalan di depannya.
"Desa ini seperti terisolasi dari dunia luar sehingga jalur distribusi dan segala tetek bengeknya naik pesat. Tentu para produsen makanan juga enggan datang ke tempat ini. Laba tidak di dapat, merugi sudah barang tentu. Kau tentu masih ingat jalan masuk ke sini sungguh berat. Terus terang saja, aku pun sebenarnya sangat malas dan enggan untuk kembali ke tempat ini “
Nagara menguap lagi.
Jawabnya lagi: "Sesuai dengan nama. Kemulan. Artinya berselimut, kau bisa lihat desa ini setiap hari berselimutkan kabut. Oleh orang –orang jaman dahulu diberi nama Kemulan, desa Kemulan!"
"AWAS!", suara wanita di samping kemudi setengah berteriak memperingatkan, ketika terlihat tumpukan besi dengan ujung – ujung yang runcing dan berkarat tahu-tahu menumpuk di tikungan yang membelok tajam ke kanan. Nagara yang memang dalam keadaan setengah mengantuk, terperanjat seketika. Ia injak rem sekaligus sehingga mobil terbanting keras sembari mengeluarkan suara berdecit tajam. Ban beradu dengan aspal jalan lalu berhenti melintang persis di mulut jembatan berpilar beton itu.
Setelah sama berdiam diri saking terkejut, Inka nama perempuan yang duduk di samping kemudi itu melontarkan kecaman lunak pada suaminya.
“ Hati –hati Mas, aku masih ingin hidup dan melihat anak dalam perut ini tumbuh dewasa”
Nagara tidak menanggapi kecaman dari istrinya itu, pandangan matanya tiba –tiba seperti tidak mau dialihkan dari sebatang besi yang terlihat lebih menjorok keluar dibandingkan dengan besi lain. Jika saja saat itu siang hari mungkin Nagara akan melihat besi berkarat bersemu merah menghitam dengan ribuan semut berkumpul disitu seolah –olah sedang berpesta pora menggerogoti serpihan –serpihan benda berbau anyir darah yang masih menempel di sana.
“ Mas...”
Kembali Inka memanggil suaminya disertai dengan tepukan halus di pundak. Nagara menyeringai malu, lantas mengeluh: "Aku tak tahu mengapa. Mendadak saja aku terserang kantuk yang hebat ---"
"Mas letih. Mari kugantikan!"
Mereka berdua bertukar tempat setelah lebih dulu Nagara menepikan posisi mobil dan menghentikan kendaraan itu pinggir jembatan. Tidak berapa lama kemudian mobil itu kembali berjalan dengan kecepatan sedang. Pengemudinya telah berganti. Inka memperhatikan jalan di depannya yang temaram hanya mengandalkan nyala lampu dari mobil. Sesekali perhatiannya tercurah ke rumah-rumah di kiri kanan jalan.
Di sana sini ada lampu temaram, tetapi semua pintu dan jendela tertutup rapat. Seperti tidak ada tanda –tanda kehidupan. Rumah-rumah itu tampak kusam, dan rata –rata berdinding papan – papan kayu dengan pekarangan luas. Dan satu yang sangat ia herankan kabut bergulung –gulung keluar dari dalam tanah. Jalanan seperti berselimutkan kabut.
"Inikah desa Kemulan?", Inka bertanya ingin tahu.
Nagara membuka kelopak matanya lebar-lebar. Terasa berat. Mengawasi sekilas kiri kanan jalan yang mereka lalui, ia menyahut lemah:
"He-eh."
“ Tempatnya sepi. Menyeramkan seperti desa mati dan kabut ini sangat aneh, seperti keluar dari dalam tanah “
Nagara mengerdip-ngerdipkan mata, mengusir kantuk.
"Dari dulu juga sudah begini ....."
"Kenapa?"
"Mau ramai bagaimana? Kau lihat susunan rumah-rumah itu. Penghuninya. Terbanyak bekerja di perkebunan. Selebihnya, petani. Mereka memang memiliki sawah berhektar hektar. Namun para petani itu tak akan pernah cukup kaya untuk membuat desa ini berkembang "'
"Mengapa bisa begitu?"
Inka kembali bertanya tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari jalan di depannya.
"Desa ini seperti terisolasi dari dunia luar sehingga jalur distribusi dan segala tetek bengeknya naik pesat. Tentu para produsen makanan juga enggan datang ke tempat ini. Laba tidak di dapat, merugi sudah barang tentu. Kau tentu masih ingat jalan masuk ke sini sungguh berat. Terus terang saja, aku pun sebenarnya sangat malas dan enggan untuk kembali ke tempat ini “
Nagara menguap lagi.
Jawabnya lagi: "Sesuai dengan nama. Kemulan. Artinya berselimut, kau bisa lihat desa ini setiap hari berselimutkan kabut. Oleh orang –orang jaman dahulu diberi nama Kemulan, desa Kemulan!"
Quote:
Inka mulai dihinggapi ketakutan, tiba –tiba perasaannya tidak enak seperti ada ratusan pasang mata yang mengawasinya dari balik kegelapan dan kabut yang makin bergumpal –gumpal. Ujung desa Kemulan sudah terlampaui dan jalanan kembali sepi, lengang. Dan tak sekalipun mereka berpapasan dengan mahluk hidup. Inka melirik arloji berwarna perak yang melilit pergelangan tangan kanannya. Baru pukul 08.00 dan itu masih terlalu sore untuk mengunci pintu rumah rapat –rapat dan kemudian menarik selimut lalu tidur.
Tahu suaminya mengantuk lagi, ia terus bertanya, ia tidak sudi menyetir sendirian di jalan yang menyeramkan itu.
“ Mengapa desa ini sangat ganjil Mas, aku pernah ikut almarhum paman ku di pedalaman hutan Borneo akan tetapi suasananya tidak semencekam ini?“
Nagara mati matian mengusir kantuk yang terus menyerang sebelum menjawab, ia sempat menguap panjang.
"Persisnya aku tak tahu mengapa desa ini menurutmu sangat menakutkan. Tetapi menurut dongeng Pak Karta orang yang sudah mengabdi lama di keluargaku bahwa leluhurku keturunan salah satu senopati atau panglima perang kerajaan Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung”
Nagara menghentikan perkataannya, mengucek –ucek mata sebentar menggunakan punggung tangan kanan.
“ Kau tahu Sultan Agung? “
“ Tahu, beliau raja Mataram yang menyerbu VOC di Batavia”
Nagara tertawa tertahan dalam kantuknya.
“ Istriku memang cerdas dan punya pengetahuan yang luas “
Inka tidak menyahuti gurauan suaminya itu, hanya seulas senyum terlihat di atas bibirnya yang tipis menggoda.
“ Konon katanya dahulu desa ini hanya berupa lembah yang kosong tanpa penghuni, meski tanah disini sangat subur. Alasannya, tanah disini dikuasai oleh tentara gaib penghuni Gunung Merapi. Pada saat itu Sultan Agung sudah meminta ijin kepada Ratu Jin di Pantai Selatan akan tetapi sang ratu tidak bisa membantu karena bukan wewenang kekuasaannya “
“ Maksud Mas Nagara Nyi Roro Kidul?”
Nagara hanya mengangguk. Lalu lelaki ini meneruskan perkataannya.
“ Lalu Sultan Agung memerintahkan beberapa panglima kepercayaannya untuk melihat situasi dan kondisi di sini. Tapi apa yang terjadi.....?”
“ Ketiga senopati itu mati dan jasadnya tidak pernah diketemukan “
Inka mengusap dengan sebelah tangan kuduknya yang mulai meremang.
“ Sultan Agung murka, lalu ia memerintahkan sepasukan prajurit pilihan beserta salah seorang panglima perang yang sangat sakti untuk menggempur pasukan jin yang menguasai tempat ini. Tentu saja pasukan itu telah dibekali senjata khusus yang telah dirajah tulisan tertentu oleh raja Mataram itu. Dan hasilnya.....pasukan jin yang mendiami tempat ini tahkluk kalah. Bahkan, raja diraja Jin yang menguasai tempat ini menyerah dan bersedia menjaga sekaligus membantu menjadikan tempat ini menjadi salah satu desa yang layak huni “
“ Dengan syarat tentunya....”
Inka tiba –tiba nyeletuk, entah darimana ia dapatkan pemikiran itu. Ya mungkin dari film –film horor yang kadang –kadang ia tonton untuk sekedar membunuh waktu jenuh. Meski setelah itu ia tidak berani untuk pergi ke kamar mandi sendirian. Konyol memang.
“ Tepat...”
“ Raja jin itu diperbolehkan untuk tetap tinggal disini “
“ Apa?” inka terpekik hampir saja ia menginjak rem mendadak.
“ Kau lihat kabut yang keluar dari dalam tanah itu? “
“ Sudah Mas, jangan teruskan....”
Nagara hanya menyeringai. Menang. Lalu matanya perlahan akan tertutup lagi. Sinar lampu mobil menangkap gerakan pucuk semak belukar terayun ayun teratur kian kemari. Dan gerungan monoton yang sangat tidak mengenakkan telinga itu, tak lebih dari bunyi mesin mobil yang ia pacu dengan mempergunakan gigi rendah, karena jalanan terus saja menanjak, banyak belokan dengan tanjakan terjal.
Sekali ia melirik ke samping. Suaminya rebah dengan kepala mengulai ke sandaran tempat duduk. Tetapi kelopak mata suaminya belum mengatup seluruhnya.
Inka menegur: "Jangan tidur. Tunjukan aku jalan ....!"
Berat sekali jawaban yang keluar dari mulut Nagara: "Kau sudah menemukannya ....."
"Apa"!"
"Akan ada satu dua simpangan kecil. Tetapi kau tinggal mengikuti jalanan aspal ini Saja. Tak sampai lima menit lagi kalau tak salah, ujung jalan ini akan berakhir di pintu gerbang puri ...."
"Dan ....", Inka menelan ludah.
Tidak ada jawaban lagi dari mulut suaminya. Kedua kelopak matanya dipejamkan, tak acuh. lnka pun tak berhasrat untuk memperhatikan apakah suaminya masih terjaga, atau sudah terbang ke alam mimpi.
Tahu suaminya mengantuk lagi, ia terus bertanya, ia tidak sudi menyetir sendirian di jalan yang menyeramkan itu.
“ Mengapa desa ini sangat ganjil Mas, aku pernah ikut almarhum paman ku di pedalaman hutan Borneo akan tetapi suasananya tidak semencekam ini?“
Nagara mati matian mengusir kantuk yang terus menyerang sebelum menjawab, ia sempat menguap panjang.
"Persisnya aku tak tahu mengapa desa ini menurutmu sangat menakutkan. Tetapi menurut dongeng Pak Karta orang yang sudah mengabdi lama di keluargaku bahwa leluhurku keturunan salah satu senopati atau panglima perang kerajaan Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung”
Nagara menghentikan perkataannya, mengucek –ucek mata sebentar menggunakan punggung tangan kanan.
“ Kau tahu Sultan Agung? “
“ Tahu, beliau raja Mataram yang menyerbu VOC di Batavia”
Nagara tertawa tertahan dalam kantuknya.
“ Istriku memang cerdas dan punya pengetahuan yang luas “
Inka tidak menyahuti gurauan suaminya itu, hanya seulas senyum terlihat di atas bibirnya yang tipis menggoda.
“ Konon katanya dahulu desa ini hanya berupa lembah yang kosong tanpa penghuni, meski tanah disini sangat subur. Alasannya, tanah disini dikuasai oleh tentara gaib penghuni Gunung Merapi. Pada saat itu Sultan Agung sudah meminta ijin kepada Ratu Jin di Pantai Selatan akan tetapi sang ratu tidak bisa membantu karena bukan wewenang kekuasaannya “
“ Maksud Mas Nagara Nyi Roro Kidul?”
Nagara hanya mengangguk. Lalu lelaki ini meneruskan perkataannya.
“ Lalu Sultan Agung memerintahkan beberapa panglima kepercayaannya untuk melihat situasi dan kondisi di sini. Tapi apa yang terjadi.....?”
“ Ketiga senopati itu mati dan jasadnya tidak pernah diketemukan “
Inka mengusap dengan sebelah tangan kuduknya yang mulai meremang.
“ Sultan Agung murka, lalu ia memerintahkan sepasukan prajurit pilihan beserta salah seorang panglima perang yang sangat sakti untuk menggempur pasukan jin yang menguasai tempat ini. Tentu saja pasukan itu telah dibekali senjata khusus yang telah dirajah tulisan tertentu oleh raja Mataram itu. Dan hasilnya.....pasukan jin yang mendiami tempat ini tahkluk kalah. Bahkan, raja diraja Jin yang menguasai tempat ini menyerah dan bersedia menjaga sekaligus membantu menjadikan tempat ini menjadi salah satu desa yang layak huni “
“ Dengan syarat tentunya....”
Inka tiba –tiba nyeletuk, entah darimana ia dapatkan pemikiran itu. Ya mungkin dari film –film horor yang kadang –kadang ia tonton untuk sekedar membunuh waktu jenuh. Meski setelah itu ia tidak berani untuk pergi ke kamar mandi sendirian. Konyol memang.
“ Tepat...”
“ Raja jin itu diperbolehkan untuk tetap tinggal disini “
“ Apa?” inka terpekik hampir saja ia menginjak rem mendadak.
“ Kau lihat kabut yang keluar dari dalam tanah itu? “
“ Sudah Mas, jangan teruskan....”
Nagara hanya menyeringai. Menang. Lalu matanya perlahan akan tertutup lagi. Sinar lampu mobil menangkap gerakan pucuk semak belukar terayun ayun teratur kian kemari. Dan gerungan monoton yang sangat tidak mengenakkan telinga itu, tak lebih dari bunyi mesin mobil yang ia pacu dengan mempergunakan gigi rendah, karena jalanan terus saja menanjak, banyak belokan dengan tanjakan terjal.
Sekali ia melirik ke samping. Suaminya rebah dengan kepala mengulai ke sandaran tempat duduk. Tetapi kelopak mata suaminya belum mengatup seluruhnya.
Inka menegur: "Jangan tidur. Tunjukan aku jalan ....!"
Berat sekali jawaban yang keluar dari mulut Nagara: "Kau sudah menemukannya ....."
"Apa"!"
"Akan ada satu dua simpangan kecil. Tetapi kau tinggal mengikuti jalanan aspal ini Saja. Tak sampai lima menit lagi kalau tak salah, ujung jalan ini akan berakhir di pintu gerbang puri ...."
"Dan ....", Inka menelan ludah.
Tidak ada jawaban lagi dari mulut suaminya. Kedua kelopak matanya dipejamkan, tak acuh. lnka pun tak berhasrat untuk memperhatikan apakah suaminya masih terjaga, atau sudah terbang ke alam mimpi.
Diubah oleh breaking182 08-01-2019 08:44
itkgid dan pintokowindardi memberi reputasi
3
Kutip
Balas