"Plak," gw refleks nggeplak punggung Didit nyebelin ini.
"Awww..sakit,La," katanya.
"Lu sengaja kan tadi? Ga suka gw becanda lu," kata gw marah.
"Apaan sih? Polisi tidur,La," jawabnya.
"Awas aja lu sengaja lagi, gw beneran lompat. Ga pakai acara pegang-pegangan lu lagi," kata gw.
"Iih buat safety aja loh, lu kira gw tukang ojek," katanya.
"Bodo amat," jawab gw.
"Eh ,La...tempo hari Adam nanyain lu," katanya setelah kami sunyi beberapa saat. Pengalihan topik yang tiba-tiba ini bikin gw hanya diam, karena bingung juga mau respon apa.
"Dia warning gw untuk ga macam-macam ke lu, ga nyakitin lu. Peduli banget dia sama lu, yakin lu cuma teman?," katanya panjang lebar.
"Lah udah jelas ada Widi Vierra,kan?" kata gw.
"Lu masih diam-diaman sama dia? Ga niat perbaiki hubungan?," katanya. Gw hanya diam.
"Ga banyak teman sejati di dunia ini,La. Cinta bisa datang dan pergi, tapi sahabat tu selalu ada walau kadang ga terlihat," iih tumben bawel banget. Keracunan kepiting mungkin ya...
"Dia yang ngejauh kok. Gw sudah coba hubungi berulang kali, ga direspon. Berarti dia ga mau dihubungi,kan?" kata gw membela diri. Didit hanya diam. Sisa perjalanan kami lanjutkan dalam hening.

Sampai di rumah, setelah pamit dengan Tante gw, Didit pamit. Gw segera bersih-bersih sambil menjawab wawancara Tante gw soal Didit.

Semester ini, gw mulai ajukan judul. Sempat dipanggil dosen untuk ikut mengerjakan proyek dosen, tapi gw tolak. Ah rempong, cukuplah gw kepenjara di bidang yang ga bikin gw cinta, ga perlu pula harus meneliti sesuatu sesuai permintaan orang lain. Pagi ini, pengumuman judul yang di ACC keluar. Alhamdulillah, judul gw disetujui, lengkap dengan pembimbing yang gw mau. Masuk semester tujuh, jadwal kuliah gw ga sepadat dulu. New Gank masih eksis di kampus karena jatah SKSnya masih lebih banyak dari gw. Target gw tahun depan harus bisa wisuda.

Gw langsung cari bahan ke perpus yang letaknya paling belakang, dekat dengan kampusnya Adam dan Didit. Entah deh pertimbangannya apa, fasilitas sepenting ini justru ada di lokasi yang ga semua fakultas dekat menjangkaunya. Sedang asik baca-baca skripsi yang mungkin sealiran, ada SMS masuk. Urghhhh...Didit.

From: Didit
Dimana?

Gw hanya balas Perpus. Pasti kedamaian gw sebentar lagi musnah.

Feeling gw ga menipu, sekitar sepuluh menit kemudian, kursi samping gw ada yang menggeser.

"La..," itu suara yang lama gw ga dengar. Adam.
"Eh lu," kata gw singkat.
"Ganggu ya? Gw mau ngomong bisa?," katanya.
"Bukannya dari tadi sudah ngomong?," kata gw judes.
"La, gw tau lu marah, kecewa sama gw. Memang gw yang salah. Mohon maafin gw,La. Tapi semua ada alasannya," katanya. Melihat gw ga merespon dan masih asik dengan bacaan gw, dia menarik nafas panjang.
"Gw takut yang gw alami dulu keulang. Dulu jaman SMA, gw punya sahabat cewek. Anissa namanya. Kami akrab dari jaman SMA, jauh lebih dekat daripada gw ke lu kemarin. Dimana ada Nissa disitu ada gw. Tapi benar kata orang,La...cewek ga ditakdirkan untuk sahabatan dengan cowok. Lama-lama gw jatuh cinta sama Nissa. Karena gw ga tahan lagi, gw tembak lah dia. Responnya diluar dugaan, dia menjauh. Hubungan gw ga pernah baik lagi sama dia. Even, dia jadi orang yang paling nyakitin gw pada akhirnya. Dia bagian Mading sekolah. Setelah gw nembak dia, dia nulis artikel yang nyudutin gw. Buat gw cukuplah kalau dia ga bisa balas perasaan gw, ga perlu dilebih-lebihkan, at least bisa balik temenan. Tapi boro-boro temenan, saling sapa aja engga. Nah, waktu gw dekat sama lu...gw mulai ngerasa nyaman yang sama, gw takut kejadian sama Nissa berulang," jelasnya panjang kali lebar.

Gw menghentikan aktivitas membaca gw, mencerna kalimat demi kalimatnya.

"Tapi gw bukan Nissa,Dam," kata gw pada akhirnya.
"Iya, makanya gw salah. Gw minta maaf sama lu,La," katanya..tulus.
"Kenapa butuh waktu lama?," tanya gw.
"Karena gw mau netralin semua perasaan ke lu. Itu juga sebabnya gw nerima Gendis, berharap bisa ngalihin rasa aja," katanya lagi.
"Dengan begitu lu nyakitin dua perempuan sekaligus," kata gw. Adam hanya menunduk.
"Gendis tau soal ini?," tanya gw.
"Awalnya gw ga mau dia tau. Tapi dia baik banget dan ga layak disakiti. Gw jujur ke dia. Dia yang ngedorong untuk bilang ke lu. Bahkan dia bilang, andaikan gw masih punya rasa sama lu begitupun lu ke gw, dia rela mundur," katanya. Wow..mbak Widi ini lumayan juga.

"Dam...kalau dulu lu bilang, mungkin sekarang ga ada Gendis yang kudu lu korbanin. Tapi bygone is bygone lah ya. Let's start over again...as what we used to...",kata gw. Adam tersenyum, gw pun sama.

"Let's be friend again," katanya. Aah, gw kangen banget sama dia. Tapi segala pengandaian conditional tipe tiga yang mulai muncul di otak gw, gw hapus segera. Wajah Gendis dan kebaikannya sesuai cerita Adam, ga layak dikorbankan.

"Dam...kenalin ke Gendis,donk," kata gw. Adam mengangguk.
"Pasti. Biar lu stop keluyuran sama gank ga mutu lu itu," kata Adam. Gw hanya mendengus dan tertawa.

"Betewe...lu balikan sama Didit?," tanyanya.
"Belum kok," jawab gw sambil kembali menekuri halaman skripsi yang tadi gw tingglkan.
"Dia banyak berubah, lebih peduli sama studinya. Pasti itu syndrome Qylla," katanya.
"Ada-ada aja lu, tapi kata nyokapnya juga dia banyak berubah,sih," jawab gw.
"What??sudah kenalan sama nyokapnya? Buset deh," kata Adam kaget. Gw segera jelaskan perkenalan gw dan nyokap Didit di RS.
"Bisa aja lu bela diri. La...ngubah sikap seseroang itu beda dengan ngubah sifat. Nature nya Didit tu bad boy, yang entah kenapa menarik buat cewek-cewek, termasuk lu," kata Adam. Hmmm, masuk akal sih.
"Yah...gw juga belum tau mau dibawa kemana semuanya," kata gw.
"Tapi lu ga bisa bohong kan kalau lu bahagia waktu sama dia?," kata Adam, sedikit menyipitkan matanya.
"Well...yah kaya blast to the past aja,Dam. Perasaan meledak-ledaknya memang ga kaya dulu, karena masih ada rasa waspada di situ. Makanya gw bilang, gw belum yakin," kata gw.

"Pesan gw,La...lu kudu siap dengan semua konsekwensi. Harapan gw Didit benar berubah total. Tapi kalaupun engga..lu kudu ingat...ada kata jatuh dalam rangkaian jatuh cinta. Dan jatuh itu pasti sakitnya," pungkas Adam.