- Beranda
- Sejarah & Xenology
All About Xinjiang and Uyghurs
...
TS
f4u.corsair
All About Xinjiang and Uyghurs
Quote:

SEDIKIT SOAL UIGHUR
1. Ribut2 soal Uighur, mmg bikin senyum2.. semua pada termakan propaganda terkait perang dagang Amrik China.. Mmg encampment untuk pelatihan itu sdh ada sejak lama, kenapa skr baru muncul?
2. Pada dasarnya, wilayah barat dan utara China itu adalah tempat kaum nomad bolak balik. Dulu2 mrk mmg ga jelas tinggalnya, ya namanya nomad. Moyang2 org yg skr dinamakan Uighur itu sendiri ga disebut Uighur. Uighur itu diberikan thn 1920an oleh pemerintah Soviet.
3. Wilayah itu dari dulu menjadi frontier dinasti2 di China. Sejak jaman dinasti Han hampir 2000 thn silam sdh menjadikan wilayah itu untuk operasi2 militer. Krn China Proper selalu diserang dari wilayah tsb, makanya menjinakkan wilayah itu merupakan masalah survival bg dinasti.
4. Kita flash forward ke abad 18, krn wkt itulah secara resmi wilayah Xinjiang dimasukkan sbg wilayah resmi China oleh Kaisar Qianlong. Sebelumnya wilayah itu dinamakan DZHUGARIA, sehrsnya tunduk pada Manchu Qing, tetapi suka bandel.
5. Dzhugaria itu didiami bangsa Dzhugar, penduduk eras mongol beragama Buddha. Tapi walau agama Buddha, kelompok masyarakat ini garang bukan main. Mrk sering menyerang wilayah2 sekitar. Kalo nonton film2 dari republik2 Soviet Asia Tengah, sering ada film ttg perang lawan Dzhugar.
6. Ceritanya panjang, tetapi gitu deh, Qianlong sangat marah pada bangsa Dzhugar yg membangkang terhadapnya. Lalu kemudian dia melancarkan program serangan yg dimaksudkan untuk membereskan kaum Dzhugar now and forever.
7. Sebelumnya mari kita lihat posisi Manchu dan tetangga2nya dulu. Manchu ini juga etnis semi nomaden di Utara Timur China. Mrk selalu ikut masuk dlm urusan China spt nomad2 lainnya, dan antar nomad itu sering musuhan sampai ke moyang..
8. Sebelum menamakan diri sbg Manchu, moyang Manchu disebut suku Jurchen yg juga penuh pendekar2 penakluk. Suku inilah yg menaklukkan China Utara dari Dinasti Song, dan membentuk Dinasti Jin di sekitar Beijing. Kalo yg tonton serial Pendekar Burung Rajawali tahu deh...
9. Kerajaan Jin kemudian ditaklukkan oleh gabungan kerjasama Song dgn pasukan Mongol dibawah Djengis Khan. Org2 Jurchen lari kembali ke Manchuria, ujung sebelah timur utara China sekarang. Jadi ada bibit musuh bebuyutan antara Jurchen & Mongol.
10. Mongol kemudian membentuk Dinasti Yuan dibawah Kubilai Khan. Dan sesudah itu dgn cepat melemah dan ditaklukkan oleh orang2 Han dan membentuk Dinasti Ming. Dinasti Ming inilah yg kemudian mengirim Zheng ho muslim ke Jawa.
11. Hubungan Dinasti Ming dgn org2 Han muslim (kemudian disebut org Hui) bagus dan banyak panglima2nya berasal dari muslim. Zhengho salah satu panglimanya. Dan keturunan2 Hui panglima muslim akan muncul lagi di twit2 selanjutnya.
12. Sesudah berkuasa cukup lama bbrp ratus tahun, keturunan suku Jurchen, sekarang menyebut dirinya Manchu, menguat lagi, dan menyerang Ming. Ming jatuh dan Manchu berkuasa, sebagai dinasti Qing (berkuasa sampai abad 20, sampai China jadi Republik).
13. Nah, Manchu selalu curiga dgn niat ga baik org2 Mongol, krn pengalamannya dulu. Etnis muslim Hui yg setia pada Ming memberontak dan berhasil dipadamkan. Krn itulah ada aura ga baik antara suku2 mongol dgn manchu, Qianlong mau spt kakeknya Kangxi yg menghabiskan Mongol.
14. Untuk melawan Dzhugaria yg memberontak, Qianlong membuat aliansi dgn suku2 semi-nomad sekitar Dzhugaria, terutama suku2 semi-nomad yg menganut agama baru, yaitu Islam. Suku2 ini membantu Qing menghabisi rakyat Dzhugaria. Gila2an, terjadi GENOCIDE thd etnis Dzhugar..
15. Sesudah pemimpin perang Dzungar terakhir Amursana dikalahkan, bisa dibilang hampir ga ada etnis Dzungar di Dzungaria. Amursana lari ke Asia Tengah, dan mati disana. Badannya diambil oleh Russia. Qianlong minta Russia balikin badannya, Russia ga mau.

16. Jadi disinilah kita lihat politik Russia di frontier China, mmg terjadi friksi Qing dan Russia. Akhirnya Amursana tidak dibalikkan ke Qianlong. Bagi Qing, Amursana adalah serorg bajingan, tapi bagi org Mongol Amursana adalah seorang pahlawan.
17. Oh ya, sekarang di ibukota Mongolia, Ulaanbaatar, ada jalan namanya Amursanaa Street. Itu untuk menghormati Amursana yg dianggap pahlawan di Mongol. Kalo ntar pergi jalan2 kesono, ingat tuh, itu panglima dari Dzungaria.
18. Sesudah digenocide, Dzungaria kosong melompong! Lha, orgnya sdh habis digenocide, atau lari. Sampai saat ini, etnis Dzungar cuma tinggal secuil, tinggal di republik2 ex Soviet sono. Qianlong kemudian melakukan re-populasi wilayah Dzungaria...
19. Suku2 semi-nomad yg berjasa membantu genocide etnis Dzungar diberikan tanah. Org2 Han dan Manchu dari China proper juga masuk tinggal disana, ttapi sebagian besar dimukimi oleh suku2 semi-nomad itu, yg kini umumnya kita namakan org Uighur itulah.
20. Wilayah ex Dzungaria dan tarim basin di selatan kemudian dinamakan Qianlong sebagai Xinjiang (New Frontier), dan menjadi wilayah Qing. Para mandarin di Beijing umumnya ga setuju dgn memasukkan Xinjiang ke wilayah langsung dibawah Qing. Katanya itu tempat jin buang anak.
21. Qianlong bersikeras, dgn alasan, biaya yg akan dikeluarkan untuk mengelola Xinjiang, akan lebih kurang dari biaya peperangan thd kaum nomad yg menggunakan Xinjiang sebagai basis. Memang, sejak itu situasi Qing aman dari ancaman lewat darat di wilayah barat.
22. Ok, sdh tahu kira2 asal usul Xinjiang itu, kita flash forward.. Qing runtuh, dan China dalam situasi kalut. Terjadi perang saudara, kaum Nasionalis vs kaum Komunis dsb.. Wilayah Xinjiangpun ga terurus. yg berkuasa disana para panglima2 perang.
23. Umumnya yg berkuasa di belahan Barat China adalah panglima2 perang muslim Hui yg melanjutkan tradisi moyangnya dulu setia pada Dinasti Ming, mrk saat itu setia pada pemerintahan Nasionalis Kuomintang dibawah Chiang Kaishek.
24. Nah, wkt situasi kacau, kaum Uighur mmg berusaha menggunakan kesempatan memberontak dan membentuk negara baru berbasis Shariah, dgn nama Turkestan Timur (Nama itu sebenarnya diberikan oleh org Barat). Misalnya pd akhir 1933, diproklamasikan berdiri negara itu.
25. Tapi ga sampai 3 bulan diproklamasikan, langsung dibasmi oleh panglima Ma Zhongyin, panglima muslim Hui. Ma berasal dari keluarga besar Ma (Ma itu singkatan dr Muhammad, banyak digunakan sbg nama keluarga Hui) yg setia pada Chiang Kaishek.
26. Kita fast forward lagi, Komunis menang atas Nasionalist. Chiang Kaishek dkk lari ke Taiwan. Xinjiang dgn demikian dikuasai komunis. Pd wkt itu, komunis mah sedang idealis2nya. Rekan komunis utara itu Uni Soviet, bertentuk gabungan dari republik2 kecil. Apakah China mau gitu?
27. China memutuskan untuk mempertahankan bentuk negara kesatuan yg diwarisi dari ROC. Sekarang, China itu terdiri dari banyak benar suku2. Ingat, etnis Han itu sebenarnya terjadi dari banyak benar suku2 yg bahasanya saling ga sama... Lalu gimana cara mengatasi hal itu?
28. Diambil sebuah keputusan, bahwa bahasa hrs satu, yaitu Putonghua (Mandarin). Setiap etnis yg wkt Qing dikategorikan sbg org Han hrs belajar bahasa tsb, dan itulah yg digunakan disekolah2.... Lalu gimana dgn suku2 yg wkt Qing ga dikategorikan sbg Han?
29. Idealisme komunis, membuat mrk membuat keputusan MELINDUNGI BAHASA2 DAN BUDAYA2 SUKU MINORITAS. Ini akan membuat masalah besar di kemudian hari. Di sekolah2 suku2 minoritas, digunakan bahasa mereka sendiri, dan di Xinjiang, tulisan yg dipromosikan untuk digunakan adalah Arab.
30. Suku2 minoritas mendapat jatah affirmative action. Artinya peraturan2 yg diterapkan untuk etnis Han tidak berlaku untuk mrk. Misalnya, peraturan satu keluarga satu anak, itu hanya diterapkan untuk Han, tidak untuk suku2 minoritas. Itulah cara pikir komunis yg idealis.
31. Kalo China tetap terbelakang dan miskin sih ga masalah. Tetapi kemudian China berkembang pesat, negara tambah kaya.. Dan penduduk Xinjiang tidak bisa banyak ikutan krn ga ngerti bahasa Chinese. Mrk hanya bisa bahasa lokal/daerah. Krn itulah mrk semakin tertinggal.
32. Lalu kemudian di tetangga sebelah, Pakistan, Afghan terjadi hal yg memusingkan. Datangnya ideologi radikalisme Islam. Masuk juga ke Xinjiang.. Lalu mrk minta merdeka.. minta didirikan negara shariah spt yg pernah terjadi dulu. Mrk melakukan pemboman, aksi tusuk2 pisau dsb..
33. Tapi pemerintah Xi Jinping ga kalah gila. Menurut mereka, masalah Xinjiang disebabkan kesalahan kebijakan dulu, ga mengajar mrk berbahasa Mandarin, sehingga mrk tidak terintegrasi kedalam bangsa Zhongguo (itu istilah sono, bangsa mereka yg meliputi semua suku).
34. Tapi gimana bisa mengajar ke seluruh populasi? Nah, China punya duit, dibangun deh prasarana2 dimana semua org2 Xinjiang yg dianggap bermasalah, punya pikiran radikal, semua disuruh belajar bahasa Mandarin dan kebangsaan China.
35. Selain itu, pemerintah melihat, warga2 ga maju2 krn ga trampil. Kawula China di propinsi lain banyak pabrik2 yg membuat mrk trampil kerja. Tapi di Xinjiang ga ada. Nah, mrk disuruh belajar ketrampilan, montir, permesinan, menjahit dsb.
36. Dan mrk melakukannya persis spt yg dilakukan ala China wkt dulu (dan sekarang). Kalo anak kamu dianggap terlalu mabok internet, dia bisa dikirim ke kamp untuk membereskan masalah addiksinya.. Itu mirip kamp militer lho...
37. Nah, kebetulan ada urusan perang dagang, semua itu diungkit deh... Tapi hehehe.. namanya China, dia peduli juga kagak. Menurut mrk itu adalah urusan dalam negeri mrk sendiri. Mmg untuk ukuran Barat, yg mendidik paksa spt itu tidak baik..
38. Skr ada masalah lain lagi. Untuk supaya trampil dan siap kerja, maka dilakukan kerja sama dgn industri, spt industri garment dsb... Nah, teriak deh, ini adalah gulag, tempat kerja paksa...
39. Cuma kalo lihat dari segi bagusnya, kelihatannya dalam wkt tidak lama lagi, industri2 akan mulai muncul di Xinjiang. Lapangan kerja akan muncul, dan tenaga trampil mulai terdidik (dididik negara secara paksa


).40. Kita hnya bisa menilai apakah strategi China ini bagus atau tidak itu kira2 bbrp thn lagi. Gimana perkembangan ekonomi disana setelah warga dididik bisa mandarin secara paksa, dididik ketrampilan secara paksa?
41. Tapi terus terang aja, melihat cara China yg efisien itu, sy malah ngiri,sempat mikir, kalo gerombolan2 FPI yg terlihat ga punya kerjaan sampai bikin keributan melulu, kalo bisa dipaksa sekolah dan dipaksa punya ketrampilan, lalu disuruh kerja... Betapa enaknya Indonesia.


42. Cuma hal ini tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Selain Indonesia ga punya duit sehebat China (itu biayanya gila2an banyak), juga pasti muncul perlawanan besar2an dari para radikalis hehehe... Sorry ya yg radikal, kalian ga ada kesempatan untuk dididik paksa spt di China..
43. Sy teruskan sedikit, masalah opini aja... Saat ini dibilang China melakukan genocide budaya Uighur krn dipaksa belajar bahasa Mandarin. Apakah di Amrik org Indian belajar Inggris juga genocide dong? Dan di Indonesia kita semua berbahasa Indonesia?
44. Maksud sy, kalo menilai hrsnya kan fair2 aja. Di seluruh dunia, sekolah2 dimana2 dilakukan setidaknya ada komponen bahasa Nasional kan? Di Aussie, aborigin juga diberi sekolah dlm bahasa Inggris. Kalo org Papua ga diajar Bahasa Indonesia, jadi apa ntar?
45. Kemudian pendidikan paksa. Di banyak negara ada pendidikan paksa. Anak2 usia sekolah hrs belajar, kalo kagak ortu diperkarakan. Itu pemaksaan juga. Di Singapore, Korea, dsb. Lulus SMA hrs masuk wajib militer, pendidikan militer. Bukankah itu paksaan? Ngelihat hal2 hrs fair.
46. Sy bisa mengerti org yg bilang, ga boleh memaksa org belajar sesuatu. Well, ini tidak berlaku di China, sistemnya beda. Pemerintah merasa bahwa ini cara untuk mengatasi masalah sosial, masalah ancaman kaum radikal... Eh, daripada muslim radikal di bomb kek di Suriah..
47. Lebih bagus mana. Mendidik supaya warga ga jadi radikal.. Atau dibiarkan radikal lalu, dan melawan, lalu terpaksa dihabisi pake senapan. Cara penanganan radikalisme di Timteng oleh Amrik pake senjata emang hasilnya seberapa besar sih? Kalo bisa disekolahkan, why not?
artikel asli di https://twitter.com/Mentimoen/status...59579962458113
sumber lain: http://oxfordre.com/asianhistory/vie...90277727-e-160

Diubah oleh f4u.corsair 24-12-2018 12:44
sposolo dan User telah dihapus memberi reputasi
6
14K
96
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
mamorukun
#77
https://tirto.id/muslim-hui-dan-uighur-mengapa-diperlakukan-berbeda-di-cina-dcFR?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Popular
Muslim Hui dan Uighur: Mengapa Diperlakukan Berbeda di Cina?
Penulis: Faisal Irfani
29 Desember 2018
Muslim Hui dan Uighur: Mengapa Diperlakukan Berbeda di Cina?
Kebijakan Perang Melawan Terorisme membuat keduanya diperlakukan secara berbeda.
tirto.id - Seorang perempuan Muslim Uighur mengungkapkan penyiksaan dan pelecehan yang ia alami di salah satu kamp tahanan milik pemerintah Cina di Xinjiang, Cina Barat. Kamp tahanan itu berisi ratusan ribu orang dari kelompok Islam minoritas Cina yang ditahan oleh pemerintah.
Mihrigul Tursun (29), identitas perempuan itu, dicukur rambutnya dan diinterogasi selama empat hari berturut-turut tanpa tidur. Pengalaman pahit tersebut terjadi kala ia ditangkap di Cina pada 2017 lalu.
“Aku lebih baik mati daripada menjalani penyiksaan ini dan memohon-mohon kepada mereka untuk membunuh saya,” kata Tursun, dikutip dari Associated Press, awal November silam.
Baca juga: Siasat Xi Jinping untuk Berkuasa Lebih Lama
Tursun lahir dan besar di Cina sebelum pindah ke Mesir untuk kuliah Sastra Inggris. Pada 2015, Tursun berlibur ke Cina bersama keluarganya. Namun, liburan itu berakhir tak menyenangkan: ia ditahan dan dipisahkan dari anak-anaknya yang masih bayi. Ia dibebaskan tiga bulan kemudian.
Dua tahun berselang, Tursun lagi-lagi ditangkap untuk kali kedua dan ketiga. Tursun bahkan harus menghabiskan tiga bulan dengan 60 perempuan lainnya di penjara yang sesak.
Dimulai dari Pembangunan
Di Xinjiang, Cina, ada beberapa ungkapan khusus yang dipakai untuk menggambarkan situasi minoritas Muslim Uighur. Kata yoq, misalnya, digunakan untuk menyebut “hilang”. Lalu, adem yoq diartikan dengan “semua orang menghilang”. Sementara weziyet yaxshi emes merujuk pada “kondisi sedang tidak baik”.
Ungkapan-ungkapan tersebut merangkum penindasan pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur.
Agustus silam, sebagaimana diwartakan BBC, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial melaporkan pemerintah Cina telah menahan sekitar satu juta orang dari komunitas Uighur dalam tempat “serupa kamp interniran berukuran besar”. Laporan komite ini didukung oleh hasil investigasi LSM HAM Amnesty International dan Human Rights Watch.
Muslim Uighur, catat Amnesty International dan Human Rights Watch, dipaksa bersumpah setia kepada Presiden Xi Jinping, ditahan tanpa batas waktu yang jelas, diperlakukan layaknya sumber penyakit, serta dipaksa menyerukan slogan-slogan Partai Komunis. Selain itu, pemerintah Cina juga mengawasi gerak-gerik masyarakat Uighur secara ketat lewat pemantauan kartu identitas, pos pemeriksaan, identifikasi wajah, serta pengumpulan DNA.
Pemenjaraan tak jarang berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian.
Laporan-laporan pelanggaran HAM ini segera disangkal oleh Beijing. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cin, Hua Chunying mengatakan penduduk etnis di Xinjiang hidup dan bekerja dalam “kedamaian, kepuasan, serta menikmati kehidupan yang maju”.
Provinsi Xinjiang—atau akrab disebut Turkestan Timur—terletak di barat laut Cina. Ia berbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Pakistan, dan Afghanistan. Budaya, agama, maupun bahasa masyarakat Xinjiang sangat berbeda dari kebanyakan provinsi di Cina. Ada lebih dari 50 etnis minoritas di Xinjiang, baik yang berasal dari Cina maupun Asia Tengah. Salah satunya yakni Uighur yang berasal dari keturunan bangsa Turk.
Isabella Steinhauer dalam “International Social Support and Intervention: The Uyghur Movement -Xinjiang Province, China” (2017, PDF) mengatakan bahwa selama berabad-abad, relasi Xinjiang dan Beijing mengalami pasang surut. Pada 1949, setelah Partai Komunis Cina memenangkan perang sipil, Beijing secara resmi mengklaim Xinjiang sebagai wilayahnya. Pemerintah memberikannya status wilayah otonom bernama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).
Baca juga: Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II
Pemberian otonomi didasari faktor ekonomi, mengingat Xinjiang menyimpan cadangan minyak dan mineral yang cukup besar. Tak hanya itu, Xinjiang jadi pintu masuk Cina ke Asia Tengah dan Timur Tengah; dua wilayah yang kini jadi salah dua lumbung investasi Cina.
Catatan Council on Foreign Relations menyatakan bahwa tak lama usai pemberian status otonom, Cina meluncurkan berbagai macam proyek pembangunan. Pada 1954, Cina mendirikan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) untuk menggarap pemukiman dan pertanian. Proyek ini berlangsung selama kurang lebih setengah abad.
Memasuki awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. Masih dalam periode yang sama, pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur. Salah satunya dengan membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat.
Masifnya program pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang, khususnya etnis Han, yang tak lain adalah suku terbesar di Cina. Populasi Han di Xinjiang meningkat secara dramatis; dari yang semula hanya 6,7% (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40% (8,4 juta) pada 2008.
Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial. Akses masyarakat Uighur ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han makin kaya, sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri.
Digasak karena Cap “Teroris”
Gesekan di Xinjiang diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun belakangan. Masih menurut Council on Foreign Relations, Beijing melarang masyarakat Uighur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan cadar. Lalu, atas nama pembangunan infrastruktur, pemerintah Cina juga tak ragu meruntuhkan bangunan kuno di kota tua Kashgar.
Pada 2009, etnis Uighur dan Han terlibat bentrokan besar setelah tewasnya dua pekerja Uighur di Guangdong. Akibat bentrokan ini, sekitar 200 orang tewas, lebih dari 1.600 orang terluka, dan 718 orang ditahan.
Situasi bertambah buruk dengan kemunculan gerakan separatis seperti East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak 1990-an. Beijing mengategorikan ETIM sebagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda sehingga layak diperangi.
Baca juga: Terbunuhnya Benazir Bhutto dan Betapa Ganjilnya Politik Pakistan
Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan kewaspadaan di Xinjiang. Mereka menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan ilegal”, membungkam para ulama di Kashgar yang dianggap menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm dalam "China 's Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence" (2009, PDF) yang terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law.
Masalahnya, tangan besi Beijing seringkali menyasar warga sipil yang sama sekali tak bersalah.
Beda Nasib dengan Hui?
Selain Uighur, komunitas Muslim di Cina juga direpresentasikan oleh kelompok Hui. Bedanya, apabila Uighur jadi target persekusi, Hui cenderung adem ayem. Mereka bisa menjalankan ritual keagamaan tanpa harus takut ditangkap aparat dan dituduh teroris. Kontras perlakuan terhadap Muslim Hui dan Uighur menunjukkan bagaimana Beijing membedakan Muslim ke dalam dua wujud: Muslim yang baik dan yang buruk.
Indikator keramahan pemerintah Cina terhadap Hui, mengutip artikel The Economist berjudul “The Hui: China’s other Muslims” (2016), bisa dilihat sebagai berikut. Jumlah masjid di Ningxia—tempat asal Hui—telah meningkat dua kali lipat sejak 1958, dari 1.900 menjadi 4.000.
Orang-orang Hui juga memiliki akses untuk ibadah haji hingga produksi terhadap bisnis makanan halal. Di saat bersamaan, pemerintah Cina tak keberatan komunitas Hui menerapkan hukum syariah.
Keterbukaan pemerintah Cina kepada Muslim Hui tak bisa dilepaskan dari faktor asimilasi. Hui bisa eksis di Cina karena keberadaan nenek moyang mereka yang berasal dari Persia. Mereka, yang mayoritas pedagang, masuk ke Cina lewat Jalur Sutra. Selain datang dengan tujuan jual-beli, para pedagang Persia ini juga membawa misi menyebarkan Islam.
Seiring waktu, mereka melebur dalam lapis sosial masyarakat Cina. Mereka menetap, berkeluarga, dan akhirnya beranak-pinak. Termasuk dengan etnis Han. Keadaan ini membikin orang-orang Hui punya kedekatan istimewa dengan Cina. Mereka bisa berbahasa Cina dan tersebar di seluruh penjuru negeri—hanya seperlima yang tinggal di Ningxia.
Hasil asimilasi itu bisa dilihat kala mereka menyesuaikan praktik-praktik Islam dengan Konfusianisme. Contohnya: membangun masjid dengan perpaduan gaya tradisional Cina dan Islam.
Baca juga: Betapa Sulitnya Jadi Minoritas Kristen dan Hindu di Pakistan
“Selama kurang lebih 1.300 tahun, Hui tak hanya mampu bertahan, tapi juga berkembang,” ujar Dru Gladney, profesor antropologi di Pomona College, California, sekaligus penulis Muslim Chinese (1991).
Kendati menyatu dengan masyarakat lokal, ada masanya relasi Hui dan Han berada di titik nadir. Ini terjadi pada dekade 1860-an dan 1870-an ketika Hui melancarkan pemberontakan—disebut “Pemberontakan Dungan”—yang menewaskan banyak orang. Akan tetapi, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai tak lama usai Mao Zedong meninggal pada 1976.
Infografik UIGHUR Dan HUI
Dalam tulisannya yang terbit di The Diplomat berjudul “A Tale of Two Chinese Muslim Minorities” (2014), Brent Crane mengungkapkan faktor lain yang membuat Hui lebih diterima oleh pemerintah adalah soal teritori. Tak seperti Uighur yang getol ingin memerdekakan Xinjiang, Hui hampir tak pernah menantang otoritas Cina terkait teritori. Sikap Hui bisa dibaca sebagai tanda kepatuhan kepada pemerintah. Sebagai kompensasinya, mereka tak dirisak.
Faktor-faktor di atas membikin Uighur merasa muak dengan Hui maupun Han. Uighur ditekan pemerintah karena mereka berasal dari ras yang berbeda, tak menyatu dalam lapisan masyarakat Cina, dan ingin memisahkan diri dari Cina. Maka, tak heran apabila dalam kerusuhan 2009 kemarin beberapa orang dari kelompok Uighur meneriakkan, “Bunuh Han!” dan “Bunuh Hui!” sebagai ekspresi kekecewaan atas nasib yang menimpa mereka selama ini.
Namun, bulan madu Hui dan pemerintah Cina agaknya memperlihatkan tanda-tanda bakal berakhir. Pasalnya, dalam rangka melawan terorisme dan ekstremisme, pemerintah Cina mulai mengawasi kelompok Hui.
Implikasi kebijakan tersebut, seperti dilaporkan Nectar Gan lewat artikel berjudul “How China Is Trying to Impose Islam with Chinese Characteristics in the Hui Muslim Heartland” yang dimuat di South China Morning Post, antara lain panggilan untuk ibadah umat Islam (adzan) di Yinchuan dilarang dengan alasan “polusi udara”.
Buku-buku tentang Islam dan Alquran, tulis Gan, juga ditarik dari rak-rak di toko buku dan suvenir. Beberapa masjid juga diperintahkan untuk membatalkan kelas umum bahasa Arab dan sejumlah sekolah swasta Arab diminta untuk tutup. Di Tongxin, daerah miskin Hui di Ningxia, masyarakat Hui yang terdaftar sebagai anggota partai tidak diperbolehkan pergi ke masjid, melakukan ziarah ke Makkah, hingga mengenakan peci untuk bekerja.
Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani
(tirto.id - fri/win)
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf
Subscribe for updates
Muslim Hui dan Uighur: Mengapa Diperlakukan Berbeda di Cina?
Penulis: Faisal Irfani
29 Desember 2018
Muslim Hui dan Uighur: Mengapa Diperlakukan Berbeda di Cina?
Kebijakan Perang Melawan Terorisme membuat keduanya diperlakukan secara berbeda.
tirto.id - Seorang perempuan Muslim Uighur mengungkapkan penyiksaan dan pelecehan yang ia alami di salah satu kamp tahanan milik pemerintah Cina di Xinjiang, Cina Barat. Kamp tahanan itu berisi ratusan ribu orang dari kelompok Islam minoritas Cina yang ditahan oleh pemerintah.
Mihrigul Tursun (29), identitas perempuan itu, dicukur rambutnya dan diinterogasi selama empat hari berturut-turut tanpa tidur. Pengalaman pahit tersebut terjadi kala ia ditangkap di Cina pada 2017 lalu.
“Aku lebih baik mati daripada menjalani penyiksaan ini dan memohon-mohon kepada mereka untuk membunuh saya,” kata Tursun, dikutip dari Associated Press, awal November silam.
Baca juga: Siasat Xi Jinping untuk Berkuasa Lebih Lama
Tursun lahir dan besar di Cina sebelum pindah ke Mesir untuk kuliah Sastra Inggris. Pada 2015, Tursun berlibur ke Cina bersama keluarganya. Namun, liburan itu berakhir tak menyenangkan: ia ditahan dan dipisahkan dari anak-anaknya yang masih bayi. Ia dibebaskan tiga bulan kemudian.
Dua tahun berselang, Tursun lagi-lagi ditangkap untuk kali kedua dan ketiga. Tursun bahkan harus menghabiskan tiga bulan dengan 60 perempuan lainnya di penjara yang sesak.
Dimulai dari Pembangunan
Di Xinjiang, Cina, ada beberapa ungkapan khusus yang dipakai untuk menggambarkan situasi minoritas Muslim Uighur. Kata yoq, misalnya, digunakan untuk menyebut “hilang”. Lalu, adem yoq diartikan dengan “semua orang menghilang”. Sementara weziyet yaxshi emes merujuk pada “kondisi sedang tidak baik”.
Ungkapan-ungkapan tersebut merangkum penindasan pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur.
Agustus silam, sebagaimana diwartakan BBC, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial melaporkan pemerintah Cina telah menahan sekitar satu juta orang dari komunitas Uighur dalam tempat “serupa kamp interniran berukuran besar”. Laporan komite ini didukung oleh hasil investigasi LSM HAM Amnesty International dan Human Rights Watch.
Muslim Uighur, catat Amnesty International dan Human Rights Watch, dipaksa bersumpah setia kepada Presiden Xi Jinping, ditahan tanpa batas waktu yang jelas, diperlakukan layaknya sumber penyakit, serta dipaksa menyerukan slogan-slogan Partai Komunis. Selain itu, pemerintah Cina juga mengawasi gerak-gerik masyarakat Uighur secara ketat lewat pemantauan kartu identitas, pos pemeriksaan, identifikasi wajah, serta pengumpulan DNA.
Pemenjaraan tak jarang berujung pada penyiksaan, kelaparan, dan kematian.
Laporan-laporan pelanggaran HAM ini segera disangkal oleh Beijing. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cin, Hua Chunying mengatakan penduduk etnis di Xinjiang hidup dan bekerja dalam “kedamaian, kepuasan, serta menikmati kehidupan yang maju”.
Provinsi Xinjiang—atau akrab disebut Turkestan Timur—terletak di barat laut Cina. Ia berbatasan dengan Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Pakistan, dan Afghanistan. Budaya, agama, maupun bahasa masyarakat Xinjiang sangat berbeda dari kebanyakan provinsi di Cina. Ada lebih dari 50 etnis minoritas di Xinjiang, baik yang berasal dari Cina maupun Asia Tengah. Salah satunya yakni Uighur yang berasal dari keturunan bangsa Turk.
Isabella Steinhauer dalam “International Social Support and Intervention: The Uyghur Movement -Xinjiang Province, China” (2017, PDF) mengatakan bahwa selama berabad-abad, relasi Xinjiang dan Beijing mengalami pasang surut. Pada 1949, setelah Partai Komunis Cina memenangkan perang sipil, Beijing secara resmi mengklaim Xinjiang sebagai wilayahnya. Pemerintah memberikannya status wilayah otonom bernama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR).
Baca juga: Bagaimana Xi Jinping Menjelma Jadi Mao Zedong KW II
Pemberian otonomi didasari faktor ekonomi, mengingat Xinjiang menyimpan cadangan minyak dan mineral yang cukup besar. Tak hanya itu, Xinjiang jadi pintu masuk Cina ke Asia Tengah dan Timur Tengah; dua wilayah yang kini jadi salah dua lumbung investasi Cina.
Catatan Council on Foreign Relations menyatakan bahwa tak lama usai pemberian status otonom, Cina meluncurkan berbagai macam proyek pembangunan. Pada 1954, Cina mendirikan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) untuk menggarap pemukiman dan pertanian. Proyek ini berlangsung selama kurang lebih setengah abad.
Memasuki awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. Masih dalam periode yang sama, pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur. Salah satunya dengan membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat.
Masifnya program pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang, khususnya etnis Han, yang tak lain adalah suku terbesar di Cina. Populasi Han di Xinjiang meningkat secara dramatis; dari yang semula hanya 6,7% (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40% (8,4 juta) pada 2008.
Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial. Akses masyarakat Uighur ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han makin kaya, sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri.
Digasak karena Cap “Teroris”
Gesekan di Xinjiang diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun belakangan. Masih menurut Council on Foreign Relations, Beijing melarang masyarakat Uighur menjalankan puasa Ramadan atau mengenakan cadar. Lalu, atas nama pembangunan infrastruktur, pemerintah Cina juga tak ragu meruntuhkan bangunan kuno di kota tua Kashgar.
Pada 2009, etnis Uighur dan Han terlibat bentrokan besar setelah tewasnya dua pekerja Uighur di Guangdong. Akibat bentrokan ini, sekitar 200 orang tewas, lebih dari 1.600 orang terluka, dan 718 orang ditahan.
Situasi bertambah buruk dengan kemunculan gerakan separatis seperti East Turkestan Islamic Movement (ETIM) yang sudah eksis sejak 1990-an. Beijing mengategorikan ETIM sebagai kelompok teroris yang berafiliasi dengan Al-Qaeda sehingga layak diperangi.
Baca juga: Terbunuhnya Benazir Bhutto dan Betapa Ganjilnya Politik Pakistan
Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan kewaspadaan di Xinjiang. Mereka menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan ilegal”, membungkam para ulama di Kashgar yang dianggap menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm dalam "China 's Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence" (2009, PDF) yang terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law.
Masalahnya, tangan besi Beijing seringkali menyasar warga sipil yang sama sekali tak bersalah.
Beda Nasib dengan Hui?
Selain Uighur, komunitas Muslim di Cina juga direpresentasikan oleh kelompok Hui. Bedanya, apabila Uighur jadi target persekusi, Hui cenderung adem ayem. Mereka bisa menjalankan ritual keagamaan tanpa harus takut ditangkap aparat dan dituduh teroris. Kontras perlakuan terhadap Muslim Hui dan Uighur menunjukkan bagaimana Beijing membedakan Muslim ke dalam dua wujud: Muslim yang baik dan yang buruk.
Indikator keramahan pemerintah Cina terhadap Hui, mengutip artikel The Economist berjudul “The Hui: China’s other Muslims” (2016), bisa dilihat sebagai berikut. Jumlah masjid di Ningxia—tempat asal Hui—telah meningkat dua kali lipat sejak 1958, dari 1.900 menjadi 4.000.
Orang-orang Hui juga memiliki akses untuk ibadah haji hingga produksi terhadap bisnis makanan halal. Di saat bersamaan, pemerintah Cina tak keberatan komunitas Hui menerapkan hukum syariah.
Keterbukaan pemerintah Cina kepada Muslim Hui tak bisa dilepaskan dari faktor asimilasi. Hui bisa eksis di Cina karena keberadaan nenek moyang mereka yang berasal dari Persia. Mereka, yang mayoritas pedagang, masuk ke Cina lewat Jalur Sutra. Selain datang dengan tujuan jual-beli, para pedagang Persia ini juga membawa misi menyebarkan Islam.
Seiring waktu, mereka melebur dalam lapis sosial masyarakat Cina. Mereka menetap, berkeluarga, dan akhirnya beranak-pinak. Termasuk dengan etnis Han. Keadaan ini membikin orang-orang Hui punya kedekatan istimewa dengan Cina. Mereka bisa berbahasa Cina dan tersebar di seluruh penjuru negeri—hanya seperlima yang tinggal di Ningxia.
Hasil asimilasi itu bisa dilihat kala mereka menyesuaikan praktik-praktik Islam dengan Konfusianisme. Contohnya: membangun masjid dengan perpaduan gaya tradisional Cina dan Islam.
Baca juga: Betapa Sulitnya Jadi Minoritas Kristen dan Hindu di Pakistan
“Selama kurang lebih 1.300 tahun, Hui tak hanya mampu bertahan, tapi juga berkembang,” ujar Dru Gladney, profesor antropologi di Pomona College, California, sekaligus penulis Muslim Chinese (1991).
Kendati menyatu dengan masyarakat lokal, ada masanya relasi Hui dan Han berada di titik nadir. Ini terjadi pada dekade 1860-an dan 1870-an ketika Hui melancarkan pemberontakan—disebut “Pemberontakan Dungan”—yang menewaskan banyak orang. Akan tetapi, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai tak lama usai Mao Zedong meninggal pada 1976.
Infografik UIGHUR Dan HUI
Dalam tulisannya yang terbit di The Diplomat berjudul “A Tale of Two Chinese Muslim Minorities” (2014), Brent Crane mengungkapkan faktor lain yang membuat Hui lebih diterima oleh pemerintah adalah soal teritori. Tak seperti Uighur yang getol ingin memerdekakan Xinjiang, Hui hampir tak pernah menantang otoritas Cina terkait teritori. Sikap Hui bisa dibaca sebagai tanda kepatuhan kepada pemerintah. Sebagai kompensasinya, mereka tak dirisak.
Faktor-faktor di atas membikin Uighur merasa muak dengan Hui maupun Han. Uighur ditekan pemerintah karena mereka berasal dari ras yang berbeda, tak menyatu dalam lapisan masyarakat Cina, dan ingin memisahkan diri dari Cina. Maka, tak heran apabila dalam kerusuhan 2009 kemarin beberapa orang dari kelompok Uighur meneriakkan, “Bunuh Han!” dan “Bunuh Hui!” sebagai ekspresi kekecewaan atas nasib yang menimpa mereka selama ini.
Namun, bulan madu Hui dan pemerintah Cina agaknya memperlihatkan tanda-tanda bakal berakhir. Pasalnya, dalam rangka melawan terorisme dan ekstremisme, pemerintah Cina mulai mengawasi kelompok Hui.
Implikasi kebijakan tersebut, seperti dilaporkan Nectar Gan lewat artikel berjudul “How China Is Trying to Impose Islam with Chinese Characteristics in the Hui Muslim Heartland” yang dimuat di South China Morning Post, antara lain panggilan untuk ibadah umat Islam (adzan) di Yinchuan dilarang dengan alasan “polusi udara”.
Buku-buku tentang Islam dan Alquran, tulis Gan, juga ditarik dari rak-rak di toko buku dan suvenir. Beberapa masjid juga diperintahkan untuk membatalkan kelas umum bahasa Arab dan sejumlah sekolah swasta Arab diminta untuk tutup. Di Tongxin, daerah miskin Hui di Ningxia, masyarakat Hui yang terdaftar sebagai anggota partai tidak diperbolehkan pergi ke masjid, melakukan ziarah ke Makkah, hingga mengenakan peci untuk bekerja.
Baca juga artikel terkait CINA atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani
(tirto.id - fri/win)
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf
Subscribe for updates
0
Tutup
