Kaskus

Story

Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
storyharibawaAvatar border
TS
storyharibawa
#242
Deck 24 - Di Rumah Sakit
Pagi-pagi sekali sekali dokter Nichole dan seorang suster menemuiku. Ia menggantikan Patrick dan dokter William. Ah, suster itulah yang memberiku antibiotik tempo hari.

“Selamat pagi, Yudis. Bagaimana kabarmu pagi ini?”

“Tidak membaik, dok.”

Dokter Nichole menghela napas. Ia memandang ke arah asistennya lalu berkata, “Maafkan saya, saya sangat menyesali keadaanmu. Tapi kau tidak perlu khawatir. Kau akan ke rumah sakit hari ini. Barang-barangmu di kabin, kami telah menyuruh steward merapikannya. Apa kau tidak keberatan?”

“Tidak apa-apa. Saya tidak sanggup berjalan sampai kabin. Saya sangat pusing dan tidak bertenaga.”

“Asisten saya suster Jemima akan membawakanmu air hangat untuk membasuh muka dan steward sebentar lagi akan datang membawakan sarapan.”

“Terima kasih, kalian begitu perhatian.”

“Itu sudah menjadi tanggung jawab kami, jangan khawatir. Sekarang saya akan memeriksamu lagi.”

Dokter Nichole menyumpalkan stetoskop di kedua telinganya dan menempelkan ujungnya ke dadaku. Setelah itu, ia menyelipkan termometer di ketiakku. Beberapa menit kemudian mencabutnya. Ia menggeleng seolah tidak percaya apa yang dibacanya pada termometer itu.

“Demamu masih tinggi,” beritahunya.

“Iya, dok, saya sangat kedingingan.”

“Baiklah, saya akan meninggalkanu sebentar.” Lalu ia meminta suster Jemima segera membawakan air hangat dan kain.


***


Setelah aku membersihkan diri dan mengisi perut dengan sepotong roti tawar dan telur, suster Jemima bersama seorang steward siap mengantarku ke gangway. Aku duduk di kursi roda di dorong oleh suster Jemima. Sementara steward itu membawakan koper.

Di sepanjang crew way, aku menjadi pusat perhatian orang-orang yang melintas. Aku juga tidak sengaja berpapasan dengan Noel. Ia hendak berangkat kerja. Noel menyapaku dengan ekpresi terkejut.

“Yudis, what’s happened to you?”

Aku tidak sanggup berbicara lagi suster Jemima yang memberitahu Noel.

“He is sick. He will go to the hospital today.”

“Oh, my god. Get well soon, Yudis. Aku akan memberitahu Orlando soal ini.”

Aku tersenyum kemudian suster Jemima kembali mendorong kursi roda. Di luar gangway seorang pria setengah baya dari port agent sudah menunggu. Dilihat dari fisiknya, sepertinya pria itu dari India. Dia sempat berbicara pada suster Jemima mengenai kondisiku. Kemudian menggantikan posisi Jemima dan meminta steward membawa koper itu ke parkiran mobil.

“Saya akan dibawa ke mana, Tuan?” tanyaku ketika berada di dalam mobil.

“Pertama kita akan pergi ke kantor imigrasi, lalu ke Virginia Mason Hospital.”

“Bagaimana dengan passport dan dokumen lain saya?”

“Saya yang memegangnya.”

Kemudian aku lebih memilih diam dan memejamkan mata sepanjang perjalanan. Aku ingin muntah. Oh, tidak. Aku benar-benar ingin muntah sekarang dan tidak bisa ditahan lagi.

Laki-laki dari port agent bernama Ram Kumar itu menjulurkan kantong kertas sambil mengemudi. “Gunakan ini kalau kau ingin muntah.”

Hueeek! Aku muntah. Hueeek! Muntah lagi. Beberapa kali aku muntah sampai tenggorokan terasa pahit dan perutku kram. Setelah isi perut keluar semua, aku menggulung bibir kantong kertas itu dan meletakannya di bawah pintu. Kepalaku tepar di sandaran jok. Puh. Aku seperti nenek-nenek yang sekarat.

Setelah beberapa lama perjalanan, sampailah kami di imigrasi. Mau tidak mau aku harus berjalan mengikuti Ram Kumar masuk ke kantor imigrasi. Entah apa urusanya, aku tidak tahu pasti. Yang jelas aku hanya diminta tanda tangan di lembar buku passport dan seaman book setelah petugas menyematkan stempel di salah satu lembarannya. Aku tidak begitu memedulikan apa pun saat ini.

Setelah dari imigrasi aku dibawa ke Virginia Mason Hospital di Spring Street. Perjalanan menempuh sekitar 45 menit. Setibanya di sana aku tidak tahan berdiri dan meminta pria dari port agent itu agar dokter atau pun perawat segera menangani.

Hampir satu jam aku menunggu dengan rasa tidak keruan duduk di bangku panjang dengan menyandarkan kepala ke dinding. God. Mungkin mereka kira aku hanya masuk angin sehingga tidak perlu diutamakan.

“Apa kau masih bisa bertahan sebentar? Saya sedang memproses pendaftaran dan menunggu giliran.”

“Ya,” balasku singkat, berpura-pura baik-baik saja.

Untunglah, beberapa lama kemudian seorang perawat wanita datang menemui kami. Ia berbicara pada Ram Kumar dan aku mendengarkan pembicaraan itu. Katanya, aku akan dirawat inap selama beberapa hari. Dan perawat itu menanyaiku apakah aku punya sanak saudara di Seattle. Jangankan sanak saudara, teman di luar sana pun tidak punya.

Kemudian suster itu membawaku ke ruangan pasien. Di sana ada beberpa pasien sedang menjalani perawatan. Ranjang-ranjang pasien dibatasi dengan korden putih. Ketika suster mengatakan aku akan tidur di salah satu ranjang itu, aku langsung berontak.

“Maafkan saya, saya tidak ingin tinggal di sini. Bisakah pihak rumah sakit ini menyiapkan kamar VIP dengan balkoni? Saya akan stress jika tinggal di sini. Anda tahu saya jauh dari keluarga, keluarga saya di Indonesia. Untuk itu, saya juga membutuhkan kamar dengan layanan wifi atau pun telepon. Dan saya ingin kamar yang ada televisinya agar saya tetap mendapatkan hiburan.”

Banyak maunya, tapi siapa peduli. Lagipula aku tahu perusahan menggunakan uang asuransi kesehatan yang kutanda tangani sewaktu kontrak. Kini aku ingin memanfaatkanya secara maksimal.

Tanpa kusangka suster itu berkata, “Anda benar sekali, Anda tidak akan dirawat di ruang ini. Sebentar saya akan konfirmasikan terlebih dahlu pada perusahaan Anda. Untuk sementara waktu Anda berisirahat di sini, saya akan segera kembali.”

Di sisi lain, aku tidak sengaja beradu pandang dengan salah seorang pasien yang tengah duduk di ranjangnya. Orang itu melirik ke arahku. Sepertinya orang itu tersinggung atau mungkin heran ada pasien seperti diriku.

“Baiklah, Anda akan pindah dari sini,” kata suster tadi ketika ia kembali. “Sebelumnya Saya harus memberitahu Anda sesuatu.”

“Apa itu, sus?”

“Begini, pertama Anda akan diinvestigasi oleh dokter ahli kulit, dan ahli obat-obatan. Mereka curiga kau menggunakan drugs. Apa Anda menggunakannya?”

Aku bagai disambar petir. Apa-apan ini? Aku sedang sekarat malah dicurigai yang tidak-tidak. “Tentu saja tidak,” jawabku dengan nada penuh penekanan.

“Okay, ahli obat-obatan akan membuktikannya. Jika Anda kedapatan menggunakan drugs, dan Anda berbohong, sorry, perusahaan akan mengirim Anda pulang ke Indonesia dan Anda hanya berhak menjalani perawatan biasa.”

Ludahku tercekat. Namun karena yakin tidak pernah menggukannya, aku menantang mereka. “Okay, saya siap diinvestigasi.”

“Dan, kalau memang hasilnya nanti negatif yang mana itu menunjukkan bahwa Anda tidak menggunakan drugs, perusahaan akan menanggung semua biaya rumah sakit dan kau akan dirawat di ruangan seperti yang Anda minta. Maafkan kami, kami percaya Anda tidak menggunakannya, ini hanya prosedur yang dimintai perusahaan Anda.”

“Baiklah, kalau begitu cepat lakukan saja, suster, saya sudah tidak tahan lagi.”

Suster itu merapatkan bibir dan mengangguk.

“Jadi bagaimana suster, apakah saya sudah bisa pergi?” tanya Ram Kumar tiba-tiba.

“Anda bisa meninggalkannya. Dia kan menjalani perawatan selama beberapa hari bersama kami.”

Cepatlah, kalian terlalu banyak bicara. Aku seperti akan mati saja rasanya.

***


Akhirnya aku dipindahkan di kamar VIP di lantai 5. Tepat seperti yang kuminta. Kamar itu terdapat balkoni, televisi dan wifi gratis. Aku ingin segera memberitahu ibu dan keluarga di rumah, tapi suster melarangku memegang apa pun saat ini.

“Lepaskan seluruh pakaian Anda,” perintahnya.

Gila apa? Badanku mengigil begini malah disuruh melucuti pakaian. Aku menuruti perkatannya, dan melepaskan jaket musim dingin beserta celana panjangku. Kini aku hanya dibalut celana pendek. Aku mengigil hebat.

“Celananya juga!”

“NO!” spontan aku setengah berteriak dan suster itu tampak terkejut. “Maaf, saya malu tanpa sehelai benang pun di tubuh saya. Please, jangan ambil juga celana saya.”

Suster itu menggeleng. “Baiklah, Anda bisa tetap mengenakannya. Sekarang Anda boleh berbaring di ranjang sambil menunggu para ahli datang ke mari.”

“Dengan keadaan telanjang seperti ini?” Aku menegaskan.

“Oh tentu, saya akan membiarkanmu seperti itu sementara waktu. Itu akan membantu menurunkan suhu tubuhmu yang tinggi.”

Suster yang belum kuketahui namanya itu pergi meninggalkan ruangan. Ia membiarkanku begitu saja. Aku mencoba mencari-cari selimut, tidak ada apa pun yang bisa digunakan menutupi tubuh. Bahkan ranjang ini belum diberi sprei.

Aku menunggu sampai beberapa orang datang sambil meringkuk di ranjang. Bebrama lama kemudian, dua pria berkacamata dengan balutan seragam dokter, dan suster tadi masuk ruagan. Mereka mengucapkan salam dan aku membalasnya lirih disertai suara gigi-gigi gemetaran. Kemudian suster itu menata meja dengan mendorongnya agar mendekat ke ranjang.

“Saya Joseph, ahli obat-obatan, ini Mr. Robert dia adalah ahli dermatologi. Sesuai dengan prosedur yang diminta perusahaan Anda, kami akan melakuan sedikit investigasi. Apa Anda tidak keberatan?”

“Ya, cepatlah lakukan, dok, apa pun yang ingin Anda tanyakan yang penting saya segera mendaptakan penanganan.”

Kemudian dokter Joseph mengeluarkan sejumlah obat-obatan dari kantong kresek hitam.

“Kami menemukan ini di koper Anda. Bisa Anda jelaskan pada kami obat-obatan apa ini?”

Aku mengubah posisi tidur menjadi setegah bersandar agar bisa melihat obat-obatan yang dimaksud dokter itu. Ya, Tuhan. Itu kan obat-obatan yang kubawa dari Indonesia. Apa masalahnya? Pikirku geram.

“Itu Bodrex, dok, obat sakit kepala.”

“Lalu apa ini?”

“Itu panadol, obat sakit gigi.”

“Dan ini?”

“Itu Antangin, obat masuk … maaf, saya tidak bisa menerjemahkannya dalam bahasa Inggris.” Masuk angin bahasa Inggrisnya apa, ya?

“Bisa Anda jelaskan Anda menggunakannya dalam keadaan apa?”

“Oh, saya menggunakannya misalkan kena flu, tidak enak badan, ya semacam itu.”

“Apa Anda selalu menggunakan ini semua?”

“Tentu saja tidak. Itu hanya untuk berjaga-jaga sebab obat-obatan di kapal belum tentu cocok untuk saya.”

“Kalian berbeda iklim, terkadang obat-obatan di sini memang belum tentu cocok dan dosisnya pun berbeda.”

Lalu dokter ahli dermatologi itu mengalihkan pertanyaan.

“Apa Anda pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya?”

“Tidak, dok.”

“Pernah bintik-bitik di sekujur tubuh seperti itu?”

“Tidak pernah. Ini pertama kalinya, dok.”

Mereka saling pandang. Entah apa yang mereka pikirkan.

“Baiklah, kita akan mengetahui hasil akuratnya setelah Anda manjalani serangkaian medical check-up. Kami akan membuat laporan pada perusahaan Anda bahwa Anda harus tetap dirawat di ruangan ini dan mereka wajib menanggung semua biaya perawatan Anda. Anda tidak perlu khawatir.”

“Terima kasih banyak, dokter. Bisakah saya mengenakan pakaian dan meminta selimut sekarang? Saya tidak tahan lagi.”

“Oh, tentu. Suster Angela, tolong siapkan baju pasien dan segala keperluannya.”

“Baik, dokter,” jawab Suster Angela.

Huh, akhirnya. Aku tidak menyangka perushaan sampai sebegitunya mencurigaiku. Apa tampangku masih kurang polos sehingga mereka mengira aku pengguna barang terlarang? Lagipula, kalau pengguna mana mungkin bisa lolos medical dengan mudah sewaktu di Indonsesia.

Aku kembali mengenakan pakaian sementara Suster Angela memasang sprei ke ranjang dan kedua dokter itu pergi meninggalkan ruangan. Aku kembali merebahkan badan lalu membungkus tubuh dengan selimut. Kulihat suster Angela memasukan koper dan meletakannya di dekat sofa.

“Ini barang-barangmu. Di kamar mandi ada handuk dan tisu jika Anda ingin buang air besar.”

Lalu suster itu mengatur peralatan infus dan selang oksigen. Ia memasang slang infus itu di tangan bekas infus sebelumnya. Kemudian kedua lubang hidungku disumpalnya dengan slang oksigen. Huaah. Sesaat aku lebih bisa menghirup udara segar lebih banyak dan terasa sejuk di lubang hidung.

“Kalau Anda ingin mengatur posisi sandaran, tinggal pencet yang ini. Kalau Anda ingin menyalakan televisi, pencet yang ini, dan kalau butuh bantuan perawat, pencet yang ini. Baiklah, saya akan memeriksa Anda secara intensif. Tekan tombol itu kalau Anda butuh bantuan.”

“Bagaimana dengan password wifinya?”

“Oh no, Anda belum boleh banyak beraktivitas. Besok saja saya beritahu.”

Seperti yang dikatakan suster itu, sepanjang malam ia memeriksaku dan mengganti kantong infus. Entah sudah berapa kantong infus yang kuhabiskan.



















5
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.