Kaskus

Story

Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
storyharibawaAvatar border
TS
storyharibawa
#241
Deck 23 - Di Ruang Isolasi
“Code alpha, code alpha, code alpha, deck 3 mid ship kabin 3350. Once again, Code alpha, code alpha, code alpha, deck 3 mid ship kabin 3350.”

Tanda medical asistant itu berkumandang dari sistem pengeras suara. Itu pasti karena tadi aku menelepon emergency call dan membutuhkan tenaga bantu medis.

Tidak lama kemudian, si penjemput itu datang. Ia bernama Patrick, seorang perawat. Pria berpawakan jangkung itu datang membawa kursi roda dan dibawanya aku pergi bersamanya.

“Saya harus memberitahu supervisor kalau tidak masuk malam ini. Saya night worker di La Piazza. Kalau tidak melapor, La Piazza tidak ada yang mengurus malam ini,” tuturku ketika kami berada di dalam lift khusus dari dek tiga menuju ke klinik di dek 4.

“Kau tidak perlu memikirkannya, rekan saya akan membuat laporannya.”

“Terima kasih banyak.”

Setibanya di klinik, perawat Patrick membawaku ke sebuah ruang isolasi. Ia memintaku berbaring di ranjang besi berbusa, kemudian memanggil dokter.

Aku mengigil hebat mununggu Patrick kembali. Ah, itu dia.

“Ini dokter Williams, beliau dan saya yang bertugas malam hari. Beliau yang akan memeriksamu.”

“Tolong saya, dok,” ujarku, tubuhku tersus gemetaran.

“Oh my God, apa yang terjadi denganmu?” dokter William bicara sendiri, “biar saya periksa.”

Dokter itu menatapku seperti melihat pasien dalam kondisi mengenaskan. Ia menempelkan stetoskop di dada, lalu menyelipkan termometer ke ketiakku.

“Tadi pagi saya sudah ke sini, dok.”

“Oh,” kata dokter itu lalu memandang ke arah Paatrick. “Patrick bisa tolong kau ambilkan rekapan pasien?”

“Baik, saya akan mengambilnya.”

Patrick mengambil berkas itu dan menunjukkan pada William ketika kembali. “Ini, laporan kesehatan atas nama Yudistira.”

Dokter William membaca sejenak berkas laporan itu, kemudian berkomentar, “Kau sensitif pada makanan tertentu.”

“Ya, tempo hari saya makan kepiting di Ketchikan.”

“Apa sebelumnya kau tahu sensitif pada makanan tertentu seperti kepiting?”

“Ya, saya tahu itu.”

Dokter Patrick mengangkat kedua alisnya. “Kau sudah tahu sensitif pada makanan itu, kenapa kau memakannya?”

“Sesekali saya ingin. Biasanya rekasinya juga tidak separah ini. Tolong, dok, saya sangat kedingingan.”

Dokter William lalu mencabut termometer dari ketiak dan membacanya. “Oh, my God. Kau demam tinggi.”

“Tolong, dok, saya sangat kedinginan. Saya butuh selimut lagi.” Alaska memang dingin, tapi dingin yang kuraskan saat ini betul-betul dingin dan membuatku sekarat.

Dengan cekatan Patrick pergi mengambil selimut.

“Patrick sekalian kau ambil peralatan infus,” perintah dokter William. Kemudian ia berbicara padaku, “Kami akan menginfusmu. Kami menduga kau terkena reaksi alergi,” tuturnya.

“Sebelumnya saya tidak pernah mengalami ini, dok.”

“Tenanglah, kau akan sembuh. Untuk saat ini, saya akan memberimu obat deman untuk menurunkan panas dan obat asam lambung. Asam lambungmu juga tinggi.”

Tidak lama kemudian, Patrik kembali dengan membawa selimut tebal dan kantong infus. Dia membunggkus tubuhku dengan selimut itu, lalu memasangkan selang ke salah satu tanganku dan membalutnya dengan perban.

“Baiklah,” kata dokter William, “saya juga masih ada beberapa pasien passenger yang menginap di ruangan lain, jadi Patrick yang akan mengontrolmu sepanjang malam, dan room steward akan mengantar makanan sebelum kau minum obat.”

“Terima kasih banyak, dok.”

“Sudah menjadi tugas kami.” Kemudian dokter William dan Patrick meninggalkanku seorang diri.


***

Malam ini kulalui dengan penuh perjuangan. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu Patrick datang memeriksa. Berdoa agar sakit ini lekas diberi kesembuan dan bisa kembali bekerja.

Setiap satu jam sekali Patrick datang memeriksa. Ia mengganti kantong infus sampai tiga kali. Bahkan setelah kantong infus ketiga habis, Patrick menggantinya dengan kantong infus yang lebih besar sekuran bantal. Oh, aku tidak percaya telah menyedot air oksigen itu seperti vampir menghisap darah dari kantong darah.

“Apa yang terjadi pada saya?” ucapku lirih. Tubuhku masih menggigil hebat.

“Kau demam tinggi.”

“Lihatlah sekujur tubuh penuh bintik, bibir saya kering sekali.”

“Bibirmu tampak menghitam seperti terbakar.”

Aku menelan ludah. “Apa saya akan segera sembuh?”

“Kami bersama tim medis lain besok pagi akan membicarakan soal ini. Kemungkinan besar kau akan dikirim ke rumah sakit di Seattle untuk pemeriksaan lebih lanjut. Peralatan serta obat-obatan di sini sangat terbatas.”

































4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.