Kaskus

Story

kulon.kaliAvatar border
TS
kulon.kali
YANG HIDUP BERCERITA (Dwilogi 100 Tahun Setelah Aku Mati)
YANG HIDUP BERCERITA


(DWILOGI 100 TAHUN SETELAH AKU MATI)


 
YANG HIDUP BERCERITA (Dwilogi 100 Tahun Setelah Aku Mati)

Jika cerita lalu tentang kematian, maka ini cerita tentang hidup


 
MUKADIMAH



Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh



Sudah cukup lama sejak pertama kali akun kulon.kali memposting 100 Tahun Setelah Aku Mati pada 2016 yang lalu. Tidak terasa dua tahun sudah terlewati, dan ternyata benar bahwa perpisahan itu menyisakan rindu.


Kali ini perkenankanlah saya (WN) mewakili Mas Rizal untuk berterimakasih sebesar-besarnya kepada Mimin, Momod, dan semua agan dan agan wati jagad KASKUS yang sudah membaca 100 Tahun Setelah Aku Mati. Berkat dukungan dan doa dari semua agan dan aganwati di sini, 100TSAM sudah menjelma menjadi sebuah Novel yang bisa di terima dengan baik oleh pembaca tanah air, pernah juga di pentaskan dalam sebuah pertunjukan teater di Jogja, dan tak lama lagi akan di angkat sebagai film layar lebar.

Spoiler for Novel:


Spoiler for Teater:


Semoga cerita tersebut dapat menginspirasi dan di ambil hikmahnya oleh seluruh mata dan hati agan serta aganwati.


Dalam cerita ini saya berusaha memperbaiki cara penulisan yang begitu acakadutdi 100TSAM, semoga lebih nyaman untuk di baca.

Saya juga menulis cerita dengan judul CERMIN di SFTH , namun mohon maaf belum mampu saya lanjutkan karena beberapa sebab. Doakan nanti bisa kembali saya lanjutkan.

Oke, kembali ke topik.


Kali ini sesuai permintaan si empu cerita, saya akan kembali membahasakan kisah mereka yang sudah kalian kenal pada cerita lalu. Kisah ini merupakan jawaban atas pertanyaan kalian yang mungkin sudah ada sejak setahun lalu.

untukmu yang belum membaca kisah sebelum ini, silahkan klik


100 Tahun Setelah Aku Mati
untuk informasi Novel dan Film via ig @wn_naufal

 
“Cerita kemarin mengenai romantika maut, tapi sungguh jangan kalian sesali. Karena sejatinya perpisahan dan kematian merupakan akibat dari pertemuan dan kelahiran. Akan kuajak kalian bertualang, ke kehidupan mereka, dan kisahnya di mulai!”
--------------------




SEBUAH PROLOG
 
 Aku akan menceritakan padamu sebuah cerita, kugunakan bahasa dan tutur kata yang tertulis dalam aksara. Aku adalah orang baru yang tidak tercantum dalam cerita sebelum  ini. Namun demikian, namaku tersirat oleh suamiku yang menyebut nama lainku beberapa kali.



Seperti yang kalian duga aku adalah istri dari orang yang kalian kenal bernama Rizal, nama tengahnya adalah Markus, MUNGKIN namanya adalah Markus Horizon, atau Markus Fadillah, bisa juga dengan nama Markus Notonegoro, atau juga Markus-Markus lain, pokoknya banyak. Emmm tapi aku membayangkan sebuah nama “Rizal Markus Hartono”Terdengar keren kan? Nama belakanya seperti nama Almarhum Bapaknya.


Tapi sebenarnya Hartono bukanlah nama belakangnya, ataupun nama Bapaknya. Aku juga tidak menjamin nama Markus adalah nama tengahnya yang asli, dan nama Rizal tentunya hanya bisa kamu gunakan di dalam tulisan ini, tapi sebaiknya kita pakai nama terakhir tadi. Yaa walaupun nama itu hanya berlaku sampai lembar terakhir cerita.


Oke oke, aku minta maaf karena aku benar-benar tidak bisa memberitahumu, karena sssstttt ini adalah cerita rahasia, dan kalian sudah diperbolehkan menyimak sebuah rahasia. Makanya jangan tanyakan lagi, setuju?
Ahhh Great... Kalian memang sahabatku, baiklah kita lanjutkan perkenalan kita.
 Aku adalah istri keduanya, kalian tau? Aku adalah bunga kertas miliknya, milik mas Rizal dan juga milik Abima. Dalam cerita ini akan kuceritakan padamu mengenai sebuah mimpi miliku yang kebanyakan dari kalian sudah raih begitu mata kalian terbuka.


Akan kuceritakan lagi sebuah kisah bagaimana aku menemukan dan ditemukan olehnya, atau bisa juga ini kisah tentang bagaimana kami saling dipertemukan. Kepada dua orang itu, Risa dan Rizal, orang yang bahkan tidak kuduga akan mengukir sebuah takdir yang tidak bisa kutolak.


Satu hal yang kudapati dari kisah yang kulakukan sendiri ini adalah betapa aku dan mungkin kita semua, hidup dalam sebuah garis yang dibuat sang pencipta, kadang garis itu lurus, namun juga kadang berkelok, beberapa kali kualami garis yang kulalui harus saling bersimpang siur seperti benang kusut yang harus kuurai sendiri, jangan sombong dan mengatakan bahwa “aku menggambar sendiri garisku” karena kalian sebenarnya tidak menggambar garis, kalian hanya mewarnainya. Membuat semburat berona agar garis yang kalian lalui itu bercorak, kadang gelap seperti hitam, kadang terang seperti putih dan kuning, kadang dalam seperti biru, kadang juga sejuk seperti hijau, kadang berkobar seperti merah, atau bahkan sendu seperti abu-abu. Seperti hidup ini, kita hanya bisa merubah nasib, namun tidak bisa kita melawan Takdir.


Satu saranku kepadamu sebelum melanjutkan lembar demi lembar tulisan ini adalah, jangan menebak endingnya. Karena sama seperti cerita 100 Tahun Setelah Aku Mati, cerita ini adalah tentang proses, dari peristiwa satu ke peristiwa lain yang berkaitan, endingnya ada di kepala dan hati kalian. Tentang bagaimana cara kalian menerjemahkan isi tulisan ini...
 
Cerita ini kami persembahkan untuk semua tokoh dalam cerita, dan semua mata hati para pembaca...
Teramat khusus untuk Risa..
 
-Asterina Afet Nebia


-----------------------------------





SEBUAH PROLOG LAGI

 

Sebenarnya kalian sudah tidak asing denganku….. bukan, aku bukan Sari. Saat cerita ini ditulis Sari sudah tidak disini lagi, maksudku tidak berada di dunia dimana aku dan kalian hidup.Lalu siapa aku?  tentunya aku adalah Rizal, teman dari Sari, suami dari Risa dan Asterina, dan juga Ayah dari Abima. Yaa memang benar sih, hampir dari kesemua nama itu telah kurubah susunan huruf baik vokal dan konsonannya serta bunyi pelafalnya tapi setidaknya kalian jadi mengenal kami dari nama-nama itu.

Nama Istri keduaku adalah Asterina Afet Nebia, hhmmm, nama yang unik, nama itu memang bukan berasal dari kosakata endemik daerah sini.  Itu aku sadur dari bahasa tanah leluhurnya, dan lagi nama itu hanya nama yang kusematkan padanya dalam cerita ini, nama aslinya sungguh tak bisa kusebutkan.Yaa karena seperti kata dia tadi, ini adalah cerita rahasiaaa.

Sssstttt... sebaiknya kupelankan suaraku. Dan kita harus kongkalikong  untuk menjaga rahasia  ini tetap terjaga. Kalian setuju? Naahhh kalian memang benar temanku, sekarang aku tidak akan ragu membagi kisah dwilogi ini.

Dalam cerita kali ini kalian akan bertemu denganku lagi, mengenal lebih dalam tentang kami, bahkan jauh lebih dalam dari pada cerita sebelumnya. Kali ini akan dibagikan sebuah judul tentang perpisahan, dan sebuah pertemuan. Kisah mengenai derita dan bahagia yang saling bersanding berbatas sekat setipis lidi. Kisah mengenai janji tak tertagih, kepada hati yang tak terganti.

 Tak akan aku bersapa lama dengan kalian di halaman awal ini, tentunya kalian sudah mengenalku sangat baik lewat 740 halaman cerita sebelumnya, kali ini kugunakan nama yang lebih lengkap.. sesuai yang sudah diberikan istriku pada prolog pertama.

 

Cerita ini kami persembahkan untuk semua tokoh dalam cerita, dan semua mata hati para pembaca...

Jika cerita pertama untuk Sari, maka cerita ini untukmu Nduk.


-Rizal Markus Hartono


INDEKS:
1. PART 1 RINDU!
2. PART 2 PENUNGGU MAKAM
3. PART 3 AWAL MULA
4. PART 4 GADIS BIJAK
5. PART 5 BERTEMU BAPAK
6. PART 6 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 1 )
7. PART 7 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 2 )
8. PART 8 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 3 )
9. PART 9 APAKAH AKU MEMBUNUHNYA?
ATTENTION PLEASE !
Diubah oleh kulon.kali 16-05-2022 15:20
namakuveAvatar border
bebyzhaAvatar border
indrag057Avatar border
indrag057 dan 193 lainnya memberi reputasi
178
208.7K
782
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
kulon.kaliAvatar border
TS
kulon.kali
#356
WANITA SELAIN RISA? (Bagian 2)
“Kamu bisa tidur di kamarku” kata Rachel sambil menepuk pundakku.
Dia tampak mengencangkan mantel dengan tangan yang gemetar, aku menggeleng pelan dan mengajaknya untuk masuk.

“Aku akan memesan kamar sendiri”
***
Hari itu memang bukan hari beruntungku. Tugas sendiri tanpa teman kelompok, di daerah yang masih asing buatku, terjebak salju, tidak bisa pulang dan yang paling menyebalkan besok adalah Idul Fitri tapi aku tidak bisa merakyakannya tepat waktu dengan teman-temanku di Monash. Oke its fine tapi hal selanjutnya yang benar-benar membuatku ingin mengumpat adalah ketika resepsionis hotel itu mengatakan bahwa kamarnya sudah full.
Shit man
“Apa kamu terburu waktu?”
“Yaa... dan aku tidak akan bisa pulang tepat waktu” kataku sambil mendengus.
“Sebaiknya kita masuk dulu. Aku sangat lemas” kata Rachel dengan lemah. Aku mengangguk. Memang keadaanya kurang baik setelah mengalami hipotermia ringan tadi. Sekujur tubuhnya bergetar.

“Kamu baik saja?” aku memastikan keadaannya
“Sudah lebih baik dari pada tadi, tapi badanku terasa lemas” jawab dia lagi, kali ini suaranya terdengar lebih kecil.

“Kamu akan baik saja” kataku sambil memegang pundaknya. Aku berjalan persis dibelakang Rachel, sekedar berjaga-jaga jika dia hilang keseimbangan. Ya, hal wajar ketika kamu mengalami hipotermia.

“Ini kamarku” kata Rachel setelah kami berhenti disebuah pintu dengan nomor 340

“Oh ya, biar kubuka” jawabku yang memang mengantongi kunci kamarnya.
---
Perabotan dari kayu, beberapa lukisan kontemporer dan lampu tidur yang berwarna kuning adalah pemandangan pertama yang kulihat. sedetik kemudian terlihat sebuah kasur yang besar, Tv, sofa yang tidak terlalu besar dan kulkas kecil. Tapi mataku secara otomatis mencari remote penghangat ruangan.

“Ahh ini akan lebih baik” gumamku lirih.

Rachel duduk di pinggi ranjang, dia masih kedinginan dan belum mau melepas mantelnya.

“Kamu akan segera pulih. Segelas tequilla akan bagus buatmu” kataku dengan melirik sebotol minuman alkohol diatas meja.

Dia mengangguk, dan menenggak beberapa sloki dengan sangat cepat lalu tanganya menimang gelas kecil itu kearahku.

“Ahh, tidak.. aku tidak minum alkohol” jawabku kalem

“Kenapa? Bukankah itu saranmu?” tanya dia

“Ya, itu saranku untukmu. im moslem”

“Ohhh.. aku mengerti. Maafkan aku”

Aku menjawab dengan satu angguka, Malam kian larut, dan diluar salju turun lagi. Ahh, Ied kali ini harus kurayakan jauh dari teman-teman senegaraku.
**
“Kamu nampak gelisah?” tanya Rachel sambil mengeringkan rambutnya yang basah sehabis mandi.

“well, besok adalah hari raya untuk agamaku. Semacam natal yang mungkin kamu rayakan. Aku sudah berjanji untuk merayakannya bersama teman-temanku di kota Monash. Dan disinilah aku sekarang” kataku sambil menyalakan HP yang masih tertancap kabel charger.

“Ah, aku sangat menyesal..”

“Nope, jangan dipikirkan. Sudah terjadi, dan kita tidak menduganya bukan. Aku akan menyusul pagi-pagi buta” jawabku lagi, kali ini sambil membaca pesan singkat dari teman-temanku yang menenyakan keberadaanku.

“Jam berapa kamu mau pergi?” tanya dia

“Mungkin pukul tiga atau empat”

“Mark, disini tidak ada tram, dan taxi paling cepat beroprasi jam 6 pagi. Apalagi untuk menuju Monash butuh waktu lama” Rachel menjelaskan.

Aku sampai mengurut dahi mendengarnya, ditambah Dewi mengomel via pesan singkat menuntut untuk aku segera pulang.

“Kamu ngapain disana? Jangan aneh-aneh zal. Emang beneran uda ga ada taxi lagi?” begitu katanya. Hadehhh, cewek kalau udah punya kepinginan suka maksa ya.

“Aku baru ingat Mark. Hotel ini punya fasilitas rental mobil. Mungkin kamu bisa menyewanya?” kata rachel

“Benarkah? Ahh bagus sekali.aku akan menyewanya” kataku sambil menuju telepon yang ada di kamar itu.

“Baik tuan, mobil anda akan kami siapkan. 15 menit lagi kuncinya akan dikirim ke kamar anda. Selamat malam, semoga harimu menyenangkan” begitu kata petugas lobi

“Fiuuhh akhirnya, selamet deh” gumamku pelan.

“Beruntung masih ada mobil tersisa di hotel kecil ini. Tapi Mark, itu artinya kamu harus kembali lagi kesini untuk mengembalikan mobil itu, mengingat batas waktu peminjamannya yang hanya dua belas jam” kata Rachel

“Ah iya, kamu benar. Ya mau bagaimana lagi, besok aku akan kembalikan” jawabku

Rachel mengerutkan keningnya, lalu seperti dia hendak menjawab pertanyaan. Telunjuknya mengacung.

“Atau aku punya ide yang lebih baik, bagaimana kalau aku ikut denganmu. Lalu akan kubawa kembali mobil itu. Bukankah itu lebih baik? Kamu tidak perlu repot-repot kembali kesini. Lagi pula jarak Monash ke sini sangat jauh kan”

“Benarkah? Jika kamu mau maka aku akan berterimakasih.” Balasku dengan girang, Rachel mengangguk.

Sudah hampir lewat malam, selepas makan malam Rachel pergi tidur. Sedangkan aku masih berbaring di sofa yang ada di pojokan ruangan itu, sambil sesekali membalas pesan singkat dari Dewi dan Risa.



“Selamat Hari Raya Idul Fitri mas, bla bla bla bla” itu adalah pesan singkat yang dikirimkan Risa padaku dan jujur aku lupa apa saja isinya karena saking panjangnya. Tapi yang jelas adalah ucapan ucapan mainstream khas idul fitri dan juga doa doa agar kami bisa segera bertemu. Kubalas dengan segera dengan kata-kata amin dan doa doa baik.

“lagi ngapain mas disana?” tanya Risa..

“Nunggu pagi Nduk, ya semoga aja waktunya nyampe lah buat ke Monash” balasku

“loh, emang mas lagi dimana?” tanya Risa.

Nah, inilah yang kadang jadi dilemaku teman, akan sulit diterima Risa jika aku mengatakan hal yang sebenarnya, jika aku sedang berada di sebuah hotel bersama seorang gadis. Tentunya itu akan membuat Risa berburuk sangka, dan beujung pada urusan yang panjang. Tapi apa musti aku berbohong? Untuk sejenak aku terdiam, mencoba membuat alasan masuk akal tanpa harus berbohong.

Lalu kuceritakan saja apa adanya, tapi tentunya bagian bertemu dan tidur sekamar dengan Rachel tidak kuberitahukan. Cuma bagian aku terjebak badai dan terpaksa menginap.

“Kalau kamu Nduk? Lagi ngapain” tanyaku mengganti topik

“Lagi nunggu Mas pulang, biar kita bisa ngerayain lebaran bareng”

Teman, kamu tau? Begitu aku membaca pesan singkat itu. Langsung saja kesepian menghujamku dari segala penjuru, perasaanku seperti disesaki oleh sesuatu yang tidak aku mengerti apa itu. Tapi belakangan kutahu bahwa itu adalah yang biasa kalian sebut Rindu..
Yaaa, aku benar-benar merindukan Risa.
Malam itu kugunakan waktu yang tersisa untuk menelfon dia, sudah tidak kupedulikan berapa pulsa yang mungkin kuhabiskan. Biasanya aku bukan pendengar yang baik, terutama dengan hal-hal ngaco nan tidak penting yang sering di celotehkan Risa, tapi malam itu lain.
Silahkan nduk, silahkan ngoceh sepuasmu, cerewet dan bawellah seperti biasa. Kupasang telingaku untukmu, karena aku sedang merindu.
**
Pukul 04.00 pagi tepat, aku dan Rachel sudh berada di dalam mobil, perlu lebih dari setengah jam untuk membuat dia bangun, dan butuh kira-kira sejam untuk menunggu dia berdanan didepan meja rias, dan jika kamu yang sedang membaca ini adalah laki-laki tentunya kita bisa sepaham tentang bagaimana tabiat perempuan jika beraada didepan meja rias.

Oke, 7 derajat celcius. Dingin bukan kepalang.. aku tidak berhenti bersin bersin di belakang kemudi, kutoleh sedikit Rachel tampak tak kuasa menahan kantuk. Ya wajar, memang bukan kebiasaaan orang Ausie untuk beraktifitas sepagi ini.

“Kenapa kamu tampak begitu segar? Padahal ini masih sangat pagi” kata dia sambil menyenderkan kepalanya di kaca.

“Di negaraku ini sudah jadi kebiasaan, terlebih bulan-bulan Ramadhan” jawabku sambil berbelok di sebuah persimpangan.

“Ramadhan?”

“Semacam bulan suci dimana kami harus berpuasa selama 30 hari..” balasku lagi

“Oh, iya aku pernah membaca tentang ini” jawab Rachel sambil mengangguk

Kami bercerita sepanjang perjalanan, dia adalah gadis manis yang open minded, dan juga ramah. Harus kutarik pikiran buruku tentangnya waktu kali pertama melihatnya. Ya every body has problem harusnya aku maklum. Pikiran tidak baiku mungkin karena melihat dia bertengkar di bar itu. Kami meneruskan obrolan, dia bertanya beberapa hal mengenai tempat asalku dan kenapa aku bisa tinggal disini, aku biasanya berbalik pertayaan serupa. Dan dari obrolan kami dapat kuketahui bahwa dia berasal dari Sydney dan sedang mengambil liburan untuk bermain ski bersama kekasihnya. Maksudku mantan kekasihnya, entahlah dia tadi berkata seperti itu dan aku tidak bertanya tentang apa masalahnya.
Jarak yang kutempuh cukup jauh, tapi untungnya di sini lalu lintasnya tidak se kacau kota-kota di tanah air. Selain karena masih pagi, masyarakat di sini lebih memilih transportasi umum atau berjalan kaki jika tidak jauh. Aku sering heran, di Negara semaju ini orang-orangnya lebih memilih tranportasi yang paling tradisional. Kukira itu perlu di contoh oleh Indonesia.

“Katakan padaku Mark, apakah di Negaramu juga banyan orang brengsek seperti Jimmy?” tanya Rachel tiba-tiba.

“Jimmy?” aku mengerut dahi

“Orang yang kamu lihat waktu itu” jawabnya melempar pandangan.

“Tentunya di semua tempat selalu ada orang brengsek walaupun aku tidak tahu yang kamu maksud sebagai brengsek seperti apa.”

“Mungkin Tuhan menyukai orang brengsek” ia berkata pelan.

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanyaku

“ Buktinya dia banyak membuat orang brengsek” balasnya lagi.
Aku tersenyum, lalu kami saling hening. Aku memang tidak pandai berbincang, dan rasanya sudah habis kalimatku.

“Apakah di sini kamu sudah memiliki pacar?” Tanya dia

“Tidak, jika kamu mengatakan di sini. Tapi di Indonesia, aku memilikinya”

“Kalian menjalin hubungan jarak jauh?” Tanya dia

“Ya, sejak aku pertama mendarat di sini” lebih dari setahun ini.

“Dan apa itu berhasil?”

“Kurasa hubungan kami baik-baik saja” kataku sambil melirik kearahnya yang nampak antusias.

“Wow” hanya kata itu yang dia ucapkan

“Apakah ada yang salah?” tanyaku

“Tidak, aku hanya merasa aneh. Aku yang menjalin hubungan jarak dekat saja sering kali menghadapi banyak masalah, drama, pengkhianatan dan lain-lain. Bagaimana denganmu yang menjalin hubungan jarak jauh? Tentunya dia ataupun kamu sendiri akan dengan sangat mudah untuk berbohong, betul kan?”

“Tidak juga, kami berusaha untuk saling terbuka” jawabku cepat.

“Benarkah? Apakah kamu cukup terbuka untuk mengatakan kepada pacarmu, bahwa semalam kamu menginap satu kamar bersama gadis yang baru saja kamu kenal di sebuah hotel dengan cuaca dingin di luar sana?” dia mengatakan itu dengan setengah berbisik di dekat telingaku, seolah ia sengaja ‘memancingku’.

“Tidak …. Aku tidak mengatakan itu padanya” jawabku datar. Rachel tersenyum, seolah ia obrolan ini adalah sebuah debat dan ia memenangkannya.

“Kemungkinan ia akan marah, tapi aku yakin dia tidak akan menuduhku berbuat macam-macam dengamu”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena kami saling percaya” Aku menjawab pelan, pertanyaan gadis ini benar-benar mengganggu psikisku. Dan ia membalas dengan tertawa, seperti mengejek.

“Ada yang lucu?” aku bertanya balik, dan sedetik kemudian kusadari bertanya balik dengan gadis ini adalah ide buruk. Karena ia sudah menguasai jalannya obrolan ini.

“Ya, pertama tadi kamu mengatakan kalian saling terbuka. Tapi kamu tidak cukup terbuka untuk mengatakn bahwa semalam kamu tidur sekamar denganku, terlepas memang kita tidak melakukan apapun di sana, tapi yang jelas itu sudah mengingkari azas ketebukaanmu. Yang kedua kamu berkata kalian saling percaya? Hahahaha” ia tidak melanjutkan jawabannya.

“Lalu?” kebodohanku berlanjut saat aku meminta lanjutan pendapatnya. Jelas aku akan kalah telak dalam konteks ini.

“Aku cuma membayangkan, kalau keadaanya di balik. Kira-kira apa reaksimu ketika pacarmu melakukan hal yang sama? Ia bertemu pria asing, lalu tidur sekamar dengannya dan ia tidak menceritakannya padamu. Tapi pada akhirnya rahasia itu bocor, dan kamu mengetahuinya. Masihkah kamu memakluminya? Aku rasa tidak. Benar begitu, tuan? Apakah kalian masih akan saling percaya?” ia menolehkan wajah ke depan, dengan tersenyum tipis. Seolah membuat perayaan kecil di pikirannya, karena telah memenangnkan adu logika ini, dan aku hanya bisa diam sambil terpejam 2 detik untuk mengatakan dalam hati. “Risa, Maafkan aku Nduk”
***
Setelah beberapa jam berkendara, akhirnya kami sampai di sebuah kompleks di Monash, di sana terdapat sebuah masjid yang cukup besar untuk menampung jemaat yang hendak melaksanakan Shalat Ied, dengan setengah berlari aku menuju tempat wudhu karena melihat tak lama lagi khotbah akan di akhiri.

“Tunggulah di sini, aku tidak lama” kataku kepada Rachel.
Hanya butuh kira-kira 15 menit untukku menyelesaikan shalat, dan kultur di sini sengaja di buat semirip mungkin dengan kampung halaman oleh komunitas Indonesia, jadi kami akan melaksanakan tradisi halal bi halal. Dengan saling bersalaman dan bertukar permohonan maaf. Aku sudah menemukan Dewi, Wardhana dan lainnya. Mereka langsung membrondongku dengan macam-macam pertanyaan.

“Dari mana aja?”

“Semalam ngapain aja?”

“Mulai nakal ya sekarang”


“Sama siapa kesini?”

Dan di situ aku langsung teringat kalau aku meninggalkan Rachel di parkiran

“Sebentar, aku panggil temanku dulu.” Kataku seraya berjalan menuju parkiran.

“Maaf membuatmu menunggu lama, ayo ikut aku. Kita bergabung dengan teman-temanku” kataku seraya menggandeng tangannya untuk memperkenalkan Rachel kepada yang lain.

“Yakin kamu tidak berbuat sesuatu dengan gadis ini?” Dewi menghardikku dengan tatapan penuh ancaman.

“Tentu saja tidak, aku masih punya ccukup akal sehat Wi” kilahku

“Yang bener”

“Sumpah demi apapun” balasku lagi, Dewi hanya menatapku dengan tatapan yang sangat menyelidik, lalu sejurus kemudian ia mengangguk dengan helaan nafas panjang.

“Kapan-kapan kita harus ngobrol, aku mulai menyangsikan kenormalanmu sebagai laki-laki” kata Dewi dengan manyun. Lalu mengajak Rachel untuk berkeliling dan mengicipi hidangan yang sudah di tata selayaknya pesta kebun.
--
Kira-kira pukul 11.00 Rachel mohon undur diri untuk kembali, aku mengantarnya sampai ke tempat parkir, dan sebelum ia pergi kami bertukar nomor telepon. Dan mungkin di situlah awal kesalahanku …..
jenggalasunyi
itkgid
alcipea
alcipea dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.