Kaskus

Story

Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
storyharibawaAvatar border
TS
storyharibawa
#213
Deck 22 - Gara-gara King Crab
Sejak malam itu aku tidak pernah lagi bertemu Cici. Aku mulai bekerja shift malam di Piazza. Check in pukul empat sore, break beberapa jam dari pukul sepuluh hingga pukul duabelas, kemudian dilanjutkan bekerja hingga pukul enam pagi. Siang menjadi malam, malam menjadi siang.

Sesekali aku mendengar telepon berdering saat tidur siang, tapi tidak pernah kuangkat karena saking mengantuknya. Mungkin itu dari Cici. Persetan ! Dia belum sempat kuberitahu mengenai jadwal kerja baruku di La Piazza.

Sementara Davor, si Serbia itu sudah angkat kaki dari kapal kemarin pagi. Ranjangnya kini kosong karena belum ada kru lain yang mengisi. Aku merapikan ranjang bekas Davor setelah selesai bekerja. Kusemprotkan wewangian dan kupoles dengan air alkohol ke seluruh sudut dan sisi ranjang. Err, bukan tidak mungkin ada sisa lendir yang mengering menempel di ranjang.

Bagimana pun aku bersyukur bisa mengenal Davor dan belajar sesuatu darinya soal perasaan: tidak perlu serius menjalin hubungan di kapal pesiar. Davor juga sempat mengucapkan sesuatu sebelum kepergiannya. “Kau harus segera mendapatkan seorang gadis supaya kau tidak cepat bosan di kapal ini.”

Nasihat terbrengsek yang pernah kudengar dari seseorang seperti Davor. Namun terkadang kata-kata Davor ada benarnya juga. Sudahlah, aku harus cari cara lain supaya betah 9 bulan bekerja di kapal tanpa bermain-main dengan anak gadis orang.

Oleh sebab itu, aku tidak terlalu memikirkan lagi kejadian malam itu dan berusaha menyingkirkan Cici dari kepala. Aku ingin lebih fokus lagi pada pekerjaan. Dan, ada beberapa hal yang sangat menyenangkan dari seorang night worker. Aku lebih punya banyak waktu berkunjung ke kota saat kapal bersandar.

Akan tetapi, di sisi lain ada sesuatu yang dikorbankan; jam tidurku. Karena tidak ingin mengantuk, biasanya aku pergi ke kota sekadar jalan-jalan di sekitar port, menikmati kuliner di restauran setempat dan membeli cindera mata.

Seperti pagi ini, aku sedang duduk di salah satu restauran seorang diri di kota Ketchikan menikmati sajian king crab beserta sup krim kentang. Sesekali aku mengangkat ponsel dan mengarahkan kamera untuk mengabadikan suasana pelabuhan dari balik jendela.

Restauran yang kusinggahi ini sangat asyik karena menghadap ke laut. Dari balik jendela aku bisa memandang dua kapal besar berhadapan beradu moncong. Tidak seperti di Indonesia, kapal-kapal pesiar raksasa itu bisa merapat ke pelabuhan sehingga orang-orang tidak perlu naik kapal tender agar bisa pergi ke darat. Ah, harusnya Indonesia bisa lebih maju pelabuhannya. Kota kecil terpencil seperti Ketchikan saja punya pelabuhan sekeren ini. Apalagi Indonesia negara kepulauan, sangat berpotensi mengembangkan sektor wisata berpesiar.

Teringat Indonesia aku jadi ingin mengobrol dengan ibu, Wati, Toni dan bapak. Kuperiksa jam di layar ponsel. Waktu menujukkan pukul delapan, itu artinya di Indonesia pukul sepuluh malam. Mungkin Wati belum tidur dan bisa menjawab video call dariku. Utung saja di restauran ini menyediakan wifi gratis.

Tut. Kutekan tombol video call. Beberapa saat menunggu hingga akhirnya wajah Wati terpampang di layar ponsel meskipun kurang jelas terlihat.

“Halo, Wati lagi ngapain?”

“Kak, Yudis!” Wati terlihat girang kemudian berteriak memangil ibu dan bapak. “Bu, Pak, ini Kak Yudis lagi on!”

“Toni ke mana?”

“Toni sudah tidur dari tadi, Kak.”

“Oh, ya sudah biarkan dia tidur. Kakak ingin ngomong sama ibu.”

“Iya, sebentar Kak.” Lalu wati kembali memanggil ibu.

Tidak lama kemudian ibu dan bapak tampak di layar. Mereka tersenyum lebar duduk di samping Wati. Aku rindu sekali akan kebersaam kami.

“Halo, Yudis, lagi di mana kamu, Nak?” tanya ibu.

“Yudis lagi di Ketchikan, Bu, ini lagi makan kepiting raksasa.” Kuntunjukkan kepting sebesar ukuran dua telapak tangan itu ke kamera.

“Lha, kok kamu makan kepiting, nanti gatal.”

“Ndak apa-apa, Bu, sesekali kan ndak masalah. Oh iya, Kiriman dari Yudis sudah diterima?” Aku mengalihkan perhatian ibu. Jika tidak, ibu pasti terus mengoceh soal kepiting.

Bapak menimpali, “Iya, terima kasih ya, Yud. Bapak sangat terbantu. Pokoknya kamu di situ yang tenang, ndak usah terlalu memikirkan kami di rumah.”

“Iya, Pak. Kalau uang Yudis sudah terkumpul, Yudis ingin sekali memperbaiki rumah kita.”

“Kamu ndak usah terlalu memikirkan itu. Kamu tabung saja untuk masa depan kamu sendiri.”

“Ndak, Pak. Yudis tetap ingin bangun rumah dulu. Bapak dan Ibu doakan saja supaya Yudis tetap sehat.”

“Pasti, Nak, bapak dan ibu selalu mendoakanmu.”

“Kak Yudis mau dong kepitingnya.” Wati memotong pembicaraan.

“Mau? Nih ambil saja sendiri!” Aku mengiming-imingi Wati dengan capit kepiting.

“Ugh. Kakak pelit. Awas loh, nanti gatal-gatal baru syukurin!” ujar wati ngambek.

“Hush, jangan begitu sama kakakmu,” kata ibu.

Aku tahu anak itu sedang meledek, jadi aku malah menanggapinya dengan tawa.

“Ya sudah Pak, Bu, Yudis pamit dulu mau kembali ke kapal. Maaf, cuma bisa mengobrol sebentar.”

“Iya, ndak apa-apa, Le. Tahu kabar Yudis saja kami sangat senang,” seringai ibu.

Kami mengakhiri pembicaraan. Ah, setiap menelepon mereka aku semakin rindu saja dengan kampung halaman.


***


Aku kembali ke kapal sekitar pukul sepuluh. Sisa waktu lima jam kugunakan untuk beristirahat. Pada saat itulah, sekujur tubuh tiba-tiba terasa tidak nyaman, badan memanas dan gatal. Ini pasti akibat king crab yang kusantap pagi tadi, nanti juga sembuh sendiri. Biasanya kan setiap makan seafood memang begini.

Aku mencoba mengangapnya hal biasa. Namun setiap kali aku berusaha memejamkan mata, gatal-gatal di sekujur tubuh makin terasa. Aku seperti tidur di sarang nyamuk. Akhirnya hari itu terlewati tanpa tidur siang. Alhasil pada saat masuk kerja aku kurang bersemangat.

“Why, kaput? To much chicky-chicky, huh?” John berseloroh. Aku tidak tahu apa maksudnya.

“What’s chicky-chiky?”

John lantas memperagakan tangannya sedang onani. Sial. Ternyata banyak kosa kata yang baru kuketahui.

“Entahlah, saya tidak bisa tidur. Siang tadi badan gatal-gatal, dan sekarang saya sangat tidak enak badan.”

“Go to doctor, my friend,” sarannya sambil mengoperasikan mesin kopi.

“Ya, saya akan minta izin ke Christina setelah menghantarkan pesanan. Bisa tolong kau buatkan 2 latte?”

Sementara John membuat pesanan, aku meninggalkan konter dan kembali membereskan meja. Di sisi lain, Maura sedang mengobrol dengan tamu, begitu juga dengan Christina.

Tenggorakanku terasa kering dan badan lemas. Mungkin efek kurang tidur, pikirku. Kulanjutkan saja pekerjaan memungut cangkir-cangkir kotor itu dari meja.

Prang!

Tanpa sengaja aku menjatuhkan cangkir. Cangkir itu kini berserakan dengan tumpahan sisa kopi. Sontak semua orang mengalihkan perhatiannya. Terkecuali para musician yang fokus dengan alat musiknya.

Christina berjalan cepat ke arahku.

“Kau tidak apa-apa, honey?”

“Entahlah, badan saya terasa lemas, panas dan mual.”

“Mungkin kau hanya masih dalam tahap penyesuaian karena bekerja night shift.”

“Ya, saya rasa.”

Aku bermaksud memungut pecahan cangkir itu, Christina mencegahnya.

“Kau tidak perlu melakukannya. Biarkan Maura yang membereskan. Kau lanjutkan saja pekerjaanmu.

Maura datang dengan membawa sapu. Gadis itu dengan suka rela membersihkan lantai dari pecahan beling dan tumpahan sisa kopi.

“Ng, Christina, bolehkah saya izin ke dokter?”

“Ya, sepertinya kau sakit, tapi Café kita sedang ramai. Apa kau bisa bertahan? Kau bisa periksa ke dokter besok pagi.”

Sebenarnya tidak tahan lagi, tapi, “Baiklah.”

Aku mengulum bibir yang mengering. Hari ini aku sangat tidak enak badan. Bibirku sampai kering seperti kerak nasi.


***

Malam itu pun aku lalui dengan sangat berat. Aku nyaris muntah ketika membantu dua pekerja di Horizon Court, di deck 15. Kami menata ratusan meja dengan silverware untuk breakfast. Untunglah, Jomar salah satu kru Filipina yang bekerja di sana mengizinkanku agar turun lebih awal.

Karena pekerjaan bersih-bersih di La Pizza juga sudah kelar, aku mencuri waktu beristirahat di kabin atas izin John. Berteman dengan pria biseks itu ada baiknya juga. Dia teramat perhatian padaku. Dia berjanji tidak akan memberitahu Christina.

Hingga tepat pukul enam pagi, Maura datang dan aku segera pergi ke crew mess mengambil jatah sarapan. Sebelum pergi aku menujukkan pada Maura bahwa semua peralatan operasional sudah kulengkapi.

Di Crew mess aku tidak pernah lagi berjumpa dengan Cici karena dia selalu sarapan sekitar pukul delapan dan aku sudah berada di kabin. Di sisi lain aku enggan menghubunginya lebih dulu.

Setelah dari crew mess aku pergi ke klinik. Setibanya di sana aku disambut oleh suster wanita dari Polandia yang ramah.

“Apa kau pernah datang ke sini sebelumnya?” tanya suster itu.

“Baru pertama kali ini, sus, saya kru baru.”

“Oh, tunggu sebentar saya ambilkan formulir dulu.”

Suster itu masuk ke ruangan lain dan kembali setelah beberapa saat kemudian. Ia menyodorkan map beirisi formulir yang harus kulengkapi. Ya, ampun! Orang sakit masih disuruh mengisi pertanyaan sebegini banyaknya. Dari pada aku protes dan memakan waktu lebih lama, lebih baik segera kuisi formulir tersebut.

“Ini, suster.” Kusodorkan kembali map itu setelah kulengkapi semua pertanyaan.

Diajaknya aku masuk ke sebuah ruangan. Suster itu memeriksa kondisi fisik secara umum mulai dari detak jantung dan suhu badan.

“Kau sedikit demam,” jelasnya, “bisa kau beritahu saya apa yang kau rasakan?”

“Kemarin saya makan kepiting, badan saya gatal-gatal. Lalu, sore harinya saya tidak enak badan, perut mual, bibir dan tenggorokan saya sangat kering. Saya alergi seafood.”

“Oh, itu bukan alergi, melainkan sensitif terhadap makanan tertentu.”

“Apa sajalah suster, yang penting saya ingin sembuh secepatnya.”

“Sebentar, saya akan membuatkan resep obat dan apoteker kami akan menyiapkan obat untukmu.”

“Maaf, suster, apa aku tidak perlu bertemu dengan dokter?”

“Kau demam biasa, biar saya yang menangani.”

Kemudian aku disuruh menunggu di luar. Aku duduk di sofa panjang sambil menggerak-gerakan kaki dan rasanya seperti akan mati. Kukira suster itu akan memberiku libur selama beberapa hari, teryata tidak. Aku harus kembali bekerja malam ini.

“Ini obat demam, minum sehari 3 kali sesudah makan, dan yang ini satu paket antibiotik. Kau wajib mengkonsumsinya sehari 8 kapsul, 2 pagi, 2 siang, 2 sore, dan 2 sebelum tidur, mengerti?”

“Mengerti, sus.”

Suster itu menyerahkan semua obat di tangannya. Alhasil, seharian di kabin aku ngemil obat seperti ngemil kacang goreng.


***

Malam hari ketika aku break pukul sepuluh, sakitku bukannya membaik malah bertambah parah. Tubuhku menggigil hebat, sekujur tubuh dipenuhi bintik merah, dan bibir menghitam. Aku tidak sanggup lagi berdiri. Meraih gagang telepon saja harus menggapai-gapai dari ranjang atas. Napasku terasa sesak.

Gedebug!

Tubuhku terjatuh dari ranjang. Ah, seandainya Davor masih di sini dia bisa menolongku.

Setelah kepayahan berdiri, akhirnya aku berhasil menekan emergency call ke klinik. “Halo, selamat malam, dok, ini saya Yudistira kru dari departemen restauran.”

“Slamat malam, Anda menekan emergency call, apa yang terjadi?” tanya dokter bersuara pria itu.

“Saya sakit, dok. Bisakah Anda mengirim seseorang menjemputku ke klinik?”

“Apa Anda masih bisa berjalan?”

“Ya, tapi tubuh saya terasa lemas.”

“Sebentar. Bisa kau jelaskan apa yang Anda rasakan saat ini?”

Grrr!

“Rasanya seperti ingin mati, dok.”

Kudengar suara tawa tertahan dokter itu. Sial. Kenapa malah tertawa?

“Bisa Anda beritahu saya lebih jelas lagi?”

“Tadi pagi saya mengeluh gatal-gatal dan badan saya demam, saya juga sudah pergi ke klinik dan bertemu suster, beliau memberi saya obat dan antibiotik. Sekarang saya malah menggigil, sekujur tubuh dipenuhi bintik-bintik merah.”

“Oh, kau kena cacar air?”

“Entahlah, saya butuh bantuan sekarang.”

“Kau bisa ke klinik besok pagi.”

Karena kesal, nada bicaraku meninggi. “Saya butuh sekarang, dok, saya sudah tidak tahan!” Gigi-gigiku kini gemetaran.

“Baiklah, mohon tunggu sebentar. Saya akan mengirimkan seseorang ke sana. Berapa nomor kabin Anda?”

“3350.”

“Baiklah, lima menit lagi seseorang akan menjemput. Kau masih bisa bertahan?”

“Iya, dok, terima kasih banyak.”


























Diubah oleh storyharibawa 27-12-2018 10:18
8
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.