- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#134
Chapter 25
Spoiler for Subhi:
Malam kian temaram sang bulan sudah tak enggan lagi memperlihatkan cahayanya yang menenangkan, dua sejoli yang berada ditaman tengah duduk di atas ayunan saling bercerita tentang masa lalu penuh kenangan.
"Malaikat? Maksud kamu malaikat beneran? seperti jibril gitu?" tanya Senja semangat.
"Ya bukanlah, memang kamu kira aku nabi bisa melihat malaikat, malaikat ini bentuknya manusia namanya nenek Ijah manusia yang memiliki sifat seorang malaikat," seru Naura menjelaskan maksudnya kepada Senja dengan senyum di bibirnya.
"Oh…" pungkasnya lemas, Senja kembali berayun diikuti Naura disebelahnya, "sejak dari kecil bunda mengajarkan aku tentang perbedaan agama terutama tentang agama-agama di negeri ini, secara gamblangnya bunda membebaskan aku mencari keberadaan tuhan karena bagi beliau tuhan itu satu namun kita sebagai manusia yang berbeda-beda."
"Pemikiran bunda kamu unik sekali," seru Senja.
"Iya … mungkin jika semua orang berfikiran yang sama dengan bunda enggak bakal ada perpecahan antar agama seperti sekarang ini," jawab Naura sembari membenarkan letak duduknya di atas ayunan.
"Lalu mengapa kamu memilih islam? Padahal kamu berasal dari keluarga seorang pendeta."
"Senja … aku tidak pernah memilih islam akan tetapi islam yang telah memilih aku … Tujuh tahun yang lalu ada kejadian yang membuat aku percaya tuhan itu ada dan nyata."
"Kejadian apa?"
"Seperti yang kamu tahu aku menghabiskan masa kecilku di Bandung dan masa kecilku tidak seindah anak-anak kebanyakan, waktu kecil aku dijauhi teman-teman sebayaku karena perbedaan yang aku miliki, mereka melabelkanku sebagai gadis aneh yang suka bicara sendiri, bicara dengan pohon, bicara dengan patung dan lain sebagainya, karena dikucilkan aku lebih memilih berteman dan bermain dengan para mahluk gaib hingga suatu saat ketika aku bermain pohon keramat di daerah tempatku tinggal di tumbangkan karena ulahku."
"Pohon keramat?"
"Iya … engh semacam tempat untuk pesugihan namun disaat aku kecil aku masih belum mengerti tentang hal-hal yang seperti itu yang aku tahu pohon itu adalah pohon yang aku gunakan untuk bermain bersama teman-teman mahluk gaib, suatu ketika disaat aku sedang memanjat pohon tersebut mengejar salah satu temanku aku terjatuh hingga tak sadarkan diri dan harus dijahit di bagian kepala, kakek kala itu marah besar dan menyalahkan pohon tersebut sebagai penyebab aku celaka, ia mengambil sebuah kapak dan bersama para warga dan pemuka agama lainnya menebang pohon tersebut untuk menghentikan jatuhnya korban lain dan menghentikan praktek pesugihan disana."
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Senja.
"Selanjutnya menjadi hari-hari penuh teror bagiku, penunggu pohon tersebut merupakan sesosok kuntilanak yang teramat marah karena rumahnya telah dirusak dan ia melampiaskannya kepadaku, sejak pulang dari rumah sakit hampir setiap malam aku tidak bisa tidur karena selalu di teror penunggu pohon tersebut."
Senja terdiam, matanya menatap ke sekeliling taman.
"Ada apa Senja?" tanya Naura.
"Tidak … tidak apa-apa, lanjutkan ceritamu," seru Senja mendengarkan cerita Naura kembali.
"Ia selalu menampakkan wajah hancurnya di depanku dengan rambut panjangnya yang berantakan dan setiap malam ia menatapku dengan tatapan merah darah yang nanar dan senyum yang menyeringai dengan deretan gigi tajam sambil berdiri di pojok kamar, kadang kala ia mendekatiku dan tidur disebelahku sambil tetap menatapku nanar dengan seringainya yang menakutkan," seru Naura sambil bergidik.
"Pantas Surya bilang saat pertama kali dia melihatmu kamu sempat ketakutan dengan kuntilanak depan sekolah," seru Senja yang di balas dengan anggukan Naura.
"Selanjutnya apa yang terjadi?" tanya Senja penasaran.
"Malam demi malam teror dari kuntilanak penunggu pohon itu semakin mengerikan, menarik kakiku hingga aku terjatuh, menampakkan dirinya secara tiba-tiba hingga aku berteriak ketakutan, apapun akan mahluk itu lakukan asal hidupku tidak tenang hingga pada suatu malam aku merasa sesak dan disaat aku bangun kuntilanak tersebut tengah berada diatasku sambil berbisik "mati … mati … mati kamu …" dimalam itu aku meronta dan berlari meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan bunda, aku berlari dan terus berlari namun seberapa cepat aku berlari kuntilanak itu selalu dapat mengejar dengan melayang-layang di belakangku dengan masih menatap nanar hingga …" seru Naura terhenti.
"Hingga apa?"
"Sebuah cahaya dari sebuah surau menyilaukan pandangan, aku berlari menuju cahaya tersebut hingga sampai kedalam sebuah rumah dan didalamnya sedang bersujud seorang wanita paruh baya sedang melakukan salat malam dengan khusyu," seru Naura menunduk.
"Cahaya apa yang kamu maksud Ra? Apa cahaya itu keluar dari tubuh nenek tersebut? Seperti … seperti energi sukma Surya." tanya Senja.
"Iya … sama persis seperti energi sukma milik Surya, kenapa kamu semangat sekali dengan cahaya putih tersebut?" tanya Naura penasaran.
"Hmm … bukan apa-apa," seru Senja kala itu, "lalu apa yang terjadi di rumah nenek itu?" lanjut Senja bertanya.
"Nama nenek itu Ijah, selesai salat malam nenek Ijah menatapku teduh dan ia tersenyum kepadaku, ia berdiri dan mulai berjalan ke arah dapur untuk mengambilkan untukku segelas air," seru Naura dengan nada sedikit terisak.
"Kamu enggak kenapa-napa Ra?" tanya Senja khawatir.
"Iya enggak kenapa-napa kok, aku cuma jadi ingat kebaikan nenek Ijah, waktu itu setelah aku meminum air pemberiannya ia menenangkan aku dan bertanya kenapa seorang gadis kecil seperti aku bisa berlari-lari di tengah malam hingga sampai kerumahnya karena waktu itu aku masih sangat polos aku menceritakan semuanya sambil menangis tersedu-sedu, selesai bercerita nenek Ijah segera ke dapur dan menenteng sebuah sapu ijuk kemudian ia keluar ke halaman dan mulai mengayun-ayunkan sapu tersebut kesembarang arah sambil melafaskan ayat kursi mengusir kuntilanak yang mengejar aku, sang kuntilanak lari terbirit-birit terkena sabetan sapu milik nenek Ijah, aku yang tadinya ketakutan jadi tersenyum melihat tingkah nenek Ijah waktu itu," seru Naura sambil tertawa mempraktekan gaya jenaka nenek Ijah, Senja tersenyum melihat Naura tersenyum dan tertawa lepas karena baru kali ini ia melihat tawa Naura.
"Mulai dari hari itu nenek Ijah menjadi guru mengaji dan mengajari aku berbagai hal tentang Islam walaupun hari itu aku masih masih seorang nasrani, hampir setiap hari ketika tengah malam aku mengendap keluar dari rumah menuju rumah nenek Ijah meminta perlindungannya dan disaat subuh menjelang nenek Ijah mengantarkanku kembali pulang begitu terus hingga … hingga yang maha kuasa menjemputnya," seru Naura menundukkan kepalanya, rona bahagia Naura seketika menghilang dari wajah manisnya, "dan kuntilanak penunggu pohon keramat itu mulai menggangguku kembali kali ini ia datang beserta para mahluk gaib lainnya untuk menggangguku namun disaat para mahluk gaib itu mendekati rumah sebuah cahaya menyilaukan jatuh dari langit dan membakar habis semua mahluk gaib yang berusaha mendekatiku," seru Naura menghapus bulir air mata di pipinya, "nenek Ijah datang dari cahaya tersebut, wajahnya cantik bersinar dengan balutan kain serba putih menutupi seluruh auratnya dan dengan lembut ia mengelus pipiku pelan dan tersenyum sembari menatapku teduh tanpa mengucap sepatah katapun dari bibirnya, ia seperti mengisyaratkan perpisahan, aku hanya bisa menatap balik wajah nenek Ijah sambil tersenyum dan dengan kesadaran penuh aku mengucap dua kalimat syahadat di depannya dan ia berbisik kepadaku pelan lalu perlahan menghilang," pungkas Naura berdiri dari ayunan.
"Berbisik apa?"
"Ia membisikkan namaku, nama yang ia sematkan untukku selama aku menjadi murid mengajinya yaitu Naura kelana subhi yang berarti cahaya yang berkelana disaat subuh menjelang."
Naura menatap Senja seraya berkata "Senja ayo antar aku pulang."
Senja tersenyum dan mengangguk mengiyakan permintaan Naura.
"Sehabis dari sini kamu mau kemana lagi?" tanya Naura selidik.
"Mungkin aku akan pulang, malam ini tidak ada pekerjaan dari kakekmu," seru Senja.
"Apa kamu hanya menerima pekerjaan dari kakek saja?" tanyanya kembali.
"Tidak, ada beberapa orang lain yang tahu pekerjaanku, kakekmu hanya salah satunya, kenapa tiba-tiba kamu bertanya?"
"Aku penasaran, itu saja," seru Naura menghentikan langkahnya di depan pintu rumahnya.
Naura terdiam didepan pintu merasa gelisah takut sang bunda dan kakeknya memarahinya karena pulang telat.
"Masuklah, aku sudah bicara dengan kakekmu tentang kejadian hari ini, beliau pasti mengerti," seru Senja menenangkan Naura.
"Hmm iya, baru kali ini loh aku pulang selarut ini, aku jadi was-was" jelas Naura.
Naura membuka pintu rumahnya dan menatap pemuda di depan rumahnya lekat-lekat, "hati-hati di jalan, kalau sudah sampai rumah kasih kabar ke aku ya Senja," seru Naura dengan rona merah menhiasi pipinya.
"Iya Naura manis," seru Senja masih berdiri di depan rumah Naura.
"Aku masuk dulu, assalamualaikum," seru Naura dengan wajah merah padam.
"Waalaikumsalam."
Naura menutup pintu meninggalkan Senja di depan rumah, perlahan Senja berjalan menyusuri jalan komplek perumahan yang lengang, langkahnya terhenti kembali ke taman perumahan tersebut.
Senja membuka jaket hitam miliknya dan menaruh tas selempangnya di atas tanah "Kalian keluarlah, aku sudah siap," seru Senja dengan rona serius.
-Sreek-
-Sreek-
-Sreek-
Sesosok pocong hitam bermata merah menggenggam celurit muncul dari balik semak-semak diikuti puluhan pocong-pocong berkain kafan lusuh dibelakangnya.
Bersambung..
simounlebon dan 17 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas