- Beranda
- Stories from the Heart
Cruise to Alaska
...
TS
storyharibawa
Cruise to Alaska

Aku hanyalah seekor ubur-ubur di tengah lautan
DAFTAR ISI
Welcome on Board!
Bisul Pecah
Deck 1 - Kabar Mengejutkan
Deck 2 - Fly to The Sky
Deck 3 - San Francisco
Deck 4 - Sign On
Deck 5 - Perang Hari Pertama
Deck 6 - Paisano
Deck 7 - Insiden
Deck 8 - Rencana Yang Gagal
[URL="https://www.kaskus.co.id/show_post/5bfb6bafd675d4410f8b4567/49/deck-9---ikan-dendeng-tanpa busana-dan-cinta-satu-kontrak"][size="6"][color=blue]Deck 9 - Ikan Dendeng tanpa busana dan Cinta Satu Kontrak[/color][/size][/URL]
Deck 10 - Beer Bad
Deck 11 - Sepiring Cheechako di Robert Peaks
Deck 12 - USPH (United States Public Health)
Deck 13 - Gaji Pertama
Deck 14 - Tengsin
Deck 15 - Romantisme Skagway
Deck 16 - Grrr!
Deck 17 - La Piazza
Deck 18 - Masalah Davor dan Pacarnya
Deck 19 - Sikap Aneh Alfredo
Deck 20 - Kabar Menggembirakan
Deck 21 - Kecewa
Deck 22 - Gara-gara King Crab
Deck 23 - Di Ruang Isolasi
Deck 24 - Di Rumah Sakit
Intermezo Penulis: Mengapa saya menulis?
Deck 25 - Kedatangan Veronica
Deck 26 - Kebersamaan Dengan Veronica
Deck 27 - Sepiring Nasi Goreng Bersama Veronica
Deck 28 - Ternyata Gara-Gara Antibiotik
Deck 29 - Air Mata Veronica UPDATE!
Deck 30 - Kabar Dari Office UPDATE
Deck 31 - Kabar Dari Office (Bagian 2) UPDATE
Deck 32 - Wellcome Back TAMAT
Diubah oleh storyharibawa 27-01-2019 06:16
adhemy dan 29 lainnya memberi reputasi
30
47.3K
461
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
storyharibawa
#194
Deck 19 - Sikap Aneh Alfredo
“Dor!”
Aku berjengit, menoleh ke samping dan menemukan Cici menyeringai sambil meletakan baki makanannya. Seperti biasa, pagi ini aku baru sarapan ketika jam makan para kru mulai sepi.
“Kaget, yaaa?”
“Bukan kaget lagi, jantungku nyaris copot.”
Cici menyeringai lagi. “Sori. Habisnya kau makan sambil ngelamun. Pasti ngelamunin saya.”
“Dih ge-er. Siapa juga ngelamuni kamu, saya kan lagi lihatin es batu.” Padahal sih, memang lagi ngelamun.
“Es batu?” Cici mengerutkan kening lalu memasukan potongan croissant-nya ke dalam mulut.
“Iya tuh, di luar jendela banyak banget es batu yang mengapung.”
Cici menoleh ke arah jendela lalu berkomentar, “Astaga Yudis, itu namanya glacier, dan yang mengapung itu bongkahan es. Es batu, emangnya cendol pakai es batu.”
“Ah, sama saja. Es batu sama bongkahan es apa bedanya? By the way, ini glacier bay yang sama kita lewati cruise minggu lalu, kan?”
“Iya, sama.”
“Banyak banget esnya.”
“Namanya juga glacier bay ya banyak esnya, kalau banyak ikan duyungnya ya duyung bay.” Cici terkikik.
“Iiih, lucu banget kamu.” Cici lantas memukul pundakku. “Aw, sakit tahu!”
“Emang minggu lalu kau belum lihat?”
“Lihat sih, kali aja ini tempat lain.”
“Sama. Ini Glacier Bay yang kemarin. Kalau yang satunya itu Tracy Arm.”
“Nah, kirain yang itu.” Aku menuding.
“Bukan, kita ke Tracy Arm cruise depan.”
“Oooh!”
Glacier Bay dan Tracy Arm memang sama-sama dipenuhi bongkahan es. Bedanya, kalau Glacier Bay terletak di sebelah barat kota Juneau, sedangankan Tracy Arm di sebelah selatan Juneau. Kapal pesiar kami mengunjungi taman nasional Alaska ini secara bergilir. Jika rute minggu ini berkunjung ke Glacier Bay, maka cruise depan rutenya ke Tracy Arm. Sisi lain menarik dari Glacier Bay dan Tracy Arm selain melihat bongkahan es dan aliran sungai yang membeku, adalah ketika perjalanan pulang bisa menikmati pemandangan ikan paus, itu kata Cici.
“Eh, omong-omong kata Christina kau jadi tenaga bantu di Piazza?” Cici mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya, baru saya mau cerita. Semalam saya memang kerja di sana. Kata Antonio, mulai sekarang dan tiap malam saya harus membantu di Piaza.”
“Bagus kalau begitu. Itu artinya kau akan cepat pindah area kerja. Bisa jadi jabatanmu juga cepat naik.”
“Semoga saja. Saya ingin cepat-cepat pindah dari sini.”
“Woy!”
Cici dan aku tersentak mendengar teriakan keras Alfredo. Orang itu berdiri di sisi troli, layaknya emak-emak menemukan anaknya main saja sedari tadi.
“Sudah berapa lama kau beristirahat? Lihat, pukul berapa sekarang?”
Demi Neptunus, bisa tidak sih, orang itu tidak teriak-teriak kalau ngomong.
Aku berkata lirih pada Cici, “Sori, Ci, saya tinggal dulu. Si Pinoy itu sudah ngomel-ngomel.”
“Memang kau istirahat berapa lama?”
“Setengah jam yang lalu, dan sudah kelebihan lima menit.”
“Ya sudah cepat sana!” kata Cici memberi isyarat.
Meski berat hati meninggalkan obrolan bersama Cici, aku bangkit dan tergopoh-gopoh meletakan baki kotor ke rak. Sementara Alfredo masih mengawasi dengan tatapan mata serigalanya.
“Hari ini general cleaning, kau tahu apa yang harus dilakukan?”
“Seperti biasa kan, menyapu, mengepel …”
“Dan memoles semua area crew mess yang dilapisi kuningan dengan brazo. Kita tidak akan turun ke kabin. Begitu general cleaning selesai, kita langsung buka untuk jam makan siang.”
Ludahku tertelan dan itu rasanya seperti bongkahan biji salak yang tidak sengaja masuk ke tenggorokan.
“Beb-brazonya sekarang?”
“Besok. Ya sekarang-lah!” seru Alfredo sambil berlalu, kemudian dia membalikkan badannya lagi. “Jangan lupa buang sampah, sudah menggunung tuh di troli belakang.”
“Bukannya itu giliran kau buang sampah?” protesku.
“Sekarang saya serahkan padamu. Lagipula, malam hari kau kan hanya kerja sebentar di sini.”
“Tapi, saya juga belum merefil jus konter dan coffee mechine.”
“Makanya cepat kerjakan, jangan banyak bicara!”
Cegluk. Kali ini Aku menelan ludah yang rasanya seperti biji kendondong.
Sejak Alfredo tahu aku menjadi tenaga bantu di La Piazza, sikapnya semakin menjadi. Sepertinya dia makin tidak menyukaiku. Ada saja yang diperintahnya. Brengsek! Si Pinoy itu sukses membuatku seperti anak tiri yang teraniaya.
***
“Orlando, kau pergi makan bersamaku. Biarkan Yudis yang menangani troli, jus konter dan buffet utama,” kata Alfredo ketika malam itu aku baru kembali dari La Piazza.
“Mana mungkin dia bisa bekerja sendirian,” balas Orlando.
“Biarkan saja. Memang kau tidak lapar?”
Orlando memandang ke arahku penuh penyesalan, lalu dia berkata lirih, “Maafkan saya teman, dari tadi perutku keroncongan. Kalau kau tidak sanggup meng-handle semuanya, utamakan saja mengontrol jus konter dan buffet utama. Saya akan makan dengan cepat.”
“Memangnya Noel ke mana?”
“Noel membantu Bojan di officer mess, hari ini salah satu rekannya tidak masuk karena sakit.”
“Kalau begitu tidak apa-apa, saya bisa mengatur semuanya. Kau makan saja dengan santai dan tidak usah terburu-buru.
Orlando menarik sudut bibirnya, sambil menepuk pundakku. “Thanks, my friend!”
“No problem.”
Puh. Sejujurnya aku juga sudah lapar, tapi apa boleh buat. Aku harus berjaga.
***
Hari berikutnya, sikap Alfredo juga makin bertambah menyebalkan. Ada saja yang diperintahnya. Dan, di matanya aku selalu serba salah.
Yudis, firox-nya sudah kotor kau harus menggantinya!
Yudis, bantu saya ambilkan piring, saya sibuk mengatur kotak sereal!
Yudis, letakaan torli itu di sana!
Yudis, kalau stok jus tinggal sedikit, harusnya kau bilang agar saya bisa mengambilnya di cambusa, kau kan tahu store keeper tidak selalu ada di sana?
Woy, giliranmu makan cepat sana gantian!
Yudis …
Yudis!
Grrr! Ingin sekali melawan, untunglah aku masih bisa berpikir jernih dan tidak mengajak Alfredo berduel di sun deck. Biarlah rasa ini aku pendam dan menjadi bisul sebesar gunung. Jangan salahkan bila saatnya nanti meledak, ledakan itu jauh lebih besar dari letupan gunung berapi. Sejak saat itulah aku punya cita-cita lain dalam hidupku, menendang bokong Alfredo dan melemparnya ke laut biar digerogoti ubur-ubur.
Aku berjengit, menoleh ke samping dan menemukan Cici menyeringai sambil meletakan baki makanannya. Seperti biasa, pagi ini aku baru sarapan ketika jam makan para kru mulai sepi.
“Kaget, yaaa?”
“Bukan kaget lagi, jantungku nyaris copot.”
Cici menyeringai lagi. “Sori. Habisnya kau makan sambil ngelamun. Pasti ngelamunin saya.”
“Dih ge-er. Siapa juga ngelamuni kamu, saya kan lagi lihatin es batu.” Padahal sih, memang lagi ngelamun.
“Es batu?” Cici mengerutkan kening lalu memasukan potongan croissant-nya ke dalam mulut.
“Iya tuh, di luar jendela banyak banget es batu yang mengapung.”
Cici menoleh ke arah jendela lalu berkomentar, “Astaga Yudis, itu namanya glacier, dan yang mengapung itu bongkahan es. Es batu, emangnya cendol pakai es batu.”
“Ah, sama saja. Es batu sama bongkahan es apa bedanya? By the way, ini glacier bay yang sama kita lewati cruise minggu lalu, kan?”
“Iya, sama.”
“Banyak banget esnya.”
“Namanya juga glacier bay ya banyak esnya, kalau banyak ikan duyungnya ya duyung bay.” Cici terkikik.
“Iiih, lucu banget kamu.” Cici lantas memukul pundakku. “Aw, sakit tahu!”
“Emang minggu lalu kau belum lihat?”
“Lihat sih, kali aja ini tempat lain.”
“Sama. Ini Glacier Bay yang kemarin. Kalau yang satunya itu Tracy Arm.”
“Nah, kirain yang itu.” Aku menuding.
“Bukan, kita ke Tracy Arm cruise depan.”
“Oooh!”
Glacier Bay dan Tracy Arm memang sama-sama dipenuhi bongkahan es. Bedanya, kalau Glacier Bay terletak di sebelah barat kota Juneau, sedangankan Tracy Arm di sebelah selatan Juneau. Kapal pesiar kami mengunjungi taman nasional Alaska ini secara bergilir. Jika rute minggu ini berkunjung ke Glacier Bay, maka cruise depan rutenya ke Tracy Arm. Sisi lain menarik dari Glacier Bay dan Tracy Arm selain melihat bongkahan es dan aliran sungai yang membeku, adalah ketika perjalanan pulang bisa menikmati pemandangan ikan paus, itu kata Cici.
“Eh, omong-omong kata Christina kau jadi tenaga bantu di Piazza?” Cici mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya, baru saya mau cerita. Semalam saya memang kerja di sana. Kata Antonio, mulai sekarang dan tiap malam saya harus membantu di Piaza.”
“Bagus kalau begitu. Itu artinya kau akan cepat pindah area kerja. Bisa jadi jabatanmu juga cepat naik.”
“Semoga saja. Saya ingin cepat-cepat pindah dari sini.”
“Woy!”
Cici dan aku tersentak mendengar teriakan keras Alfredo. Orang itu berdiri di sisi troli, layaknya emak-emak menemukan anaknya main saja sedari tadi.
“Sudah berapa lama kau beristirahat? Lihat, pukul berapa sekarang?”
Demi Neptunus, bisa tidak sih, orang itu tidak teriak-teriak kalau ngomong.
Aku berkata lirih pada Cici, “Sori, Ci, saya tinggal dulu. Si Pinoy itu sudah ngomel-ngomel.”
“Memang kau istirahat berapa lama?”
“Setengah jam yang lalu, dan sudah kelebihan lima menit.”
“Ya sudah cepat sana!” kata Cici memberi isyarat.
Meski berat hati meninggalkan obrolan bersama Cici, aku bangkit dan tergopoh-gopoh meletakan baki kotor ke rak. Sementara Alfredo masih mengawasi dengan tatapan mata serigalanya.
“Hari ini general cleaning, kau tahu apa yang harus dilakukan?”
“Seperti biasa kan, menyapu, mengepel …”
“Dan memoles semua area crew mess yang dilapisi kuningan dengan brazo. Kita tidak akan turun ke kabin. Begitu general cleaning selesai, kita langsung buka untuk jam makan siang.”
Ludahku tertelan dan itu rasanya seperti bongkahan biji salak yang tidak sengaja masuk ke tenggorokan.
“Beb-brazonya sekarang?”
“Besok. Ya sekarang-lah!” seru Alfredo sambil berlalu, kemudian dia membalikkan badannya lagi. “Jangan lupa buang sampah, sudah menggunung tuh di troli belakang.”
“Bukannya itu giliran kau buang sampah?” protesku.
“Sekarang saya serahkan padamu. Lagipula, malam hari kau kan hanya kerja sebentar di sini.”
“Tapi, saya juga belum merefil jus konter dan coffee mechine.”
“Makanya cepat kerjakan, jangan banyak bicara!”
Cegluk. Kali ini Aku menelan ludah yang rasanya seperti biji kendondong.
Sejak Alfredo tahu aku menjadi tenaga bantu di La Piazza, sikapnya semakin menjadi. Sepertinya dia makin tidak menyukaiku. Ada saja yang diperintahnya. Brengsek! Si Pinoy itu sukses membuatku seperti anak tiri yang teraniaya.
***
“Orlando, kau pergi makan bersamaku. Biarkan Yudis yang menangani troli, jus konter dan buffet utama,” kata Alfredo ketika malam itu aku baru kembali dari La Piazza.
“Mana mungkin dia bisa bekerja sendirian,” balas Orlando.
“Biarkan saja. Memang kau tidak lapar?”
Orlando memandang ke arahku penuh penyesalan, lalu dia berkata lirih, “Maafkan saya teman, dari tadi perutku keroncongan. Kalau kau tidak sanggup meng-handle semuanya, utamakan saja mengontrol jus konter dan buffet utama. Saya akan makan dengan cepat.”
“Memangnya Noel ke mana?”
“Noel membantu Bojan di officer mess, hari ini salah satu rekannya tidak masuk karena sakit.”
“Kalau begitu tidak apa-apa, saya bisa mengatur semuanya. Kau makan saja dengan santai dan tidak usah terburu-buru.
Orlando menarik sudut bibirnya, sambil menepuk pundakku. “Thanks, my friend!”
“No problem.”
Puh. Sejujurnya aku juga sudah lapar, tapi apa boleh buat. Aku harus berjaga.
***
Hari berikutnya, sikap Alfredo juga makin bertambah menyebalkan. Ada saja yang diperintahnya. Dan, di matanya aku selalu serba salah.
Yudis, firox-nya sudah kotor kau harus menggantinya!
Yudis, bantu saya ambilkan piring, saya sibuk mengatur kotak sereal!
Yudis, letakaan torli itu di sana!
Yudis, kalau stok jus tinggal sedikit, harusnya kau bilang agar saya bisa mengambilnya di cambusa, kau kan tahu store keeper tidak selalu ada di sana?
Woy, giliranmu makan cepat sana gantian!
Yudis …
Yudis!
Grrr! Ingin sekali melawan, untunglah aku masih bisa berpikir jernih dan tidak mengajak Alfredo berduel di sun deck. Biarlah rasa ini aku pendam dan menjadi bisul sebesar gunung. Jangan salahkan bila saatnya nanti meledak, ledakan itu jauh lebih besar dari letupan gunung berapi. Sejak saat itulah aku punya cita-cita lain dalam hidupku, menendang bokong Alfredo dan melemparnya ke laut biar digerogoti ubur-ubur.
Diubah oleh storyharibawa 25-12-2018 08:32
7