- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#131
Chapter 24
Spoiler for kelana:
Malam dingin dengan langit gelap yang masih ditemani sedikit cahaya bulan, Naura dan Senja tengah berdiri di pinggir jalan menunggu kendaraan sambil menatap jalan raya yang terlihat lengang.
"Senja … engh sudah jam 10 malam lebih, kayaknya enggak ada kendaraan yang lewat sini deh," tukas Naura khawatir.
"Yaudah kita jalan kejalanan utama, siapa tau ada taksi," seru Senja sembari berjalan diatas trotoar yang diikuti Naura dibelakangnya.
Sepanjang jalan Naura terlihat gelisah ia memikirkan keluarganya dirumah yang pasti sekarang sedang khawatir anak gadis perawan mereka masih jalan-jalan diluar hampir jam sebelas malam.
"Kamu kenapa?" tanya Senja selidik.
"Engh … enggak kenapa-napa kok," jawab Naura lemah.
Senja memelankan langkahnya hingga ia berjalan sejajar disebelah Naura, "Kamu khawatir bakal dimarahin romo?" tanya Senja yang dibalas anggukan lemas dari Naura.
"Sebelum ajak kamu jalan aku sudah telepon dan ijin sama kakek kamu kok Ra, jadi enggak usah khawatir," seru Senja yang sedikit menenangkan Naura.
"Oh sudah toh, fiuh … syukur deh," seru Naura lega.
"Mau makan dulu enggak Ra?" tanya Senja mengalihkan pembicaraan.
"Makan apa? Sudah malam enggak usah deh mas, lagian tadi di rumah pak Kusni Naura sudah makan kue yang disajikan bu Juleha jadi enggak terlalu lapar," terang Naura.
"Enggak boleh nolak lagian inikan kencan masa enggak makan, eh itu ada kebab aku beliin dulu ya," seru Senja yang setengah berlari menuju ke sebuah gerobak kebab di depan minimarket, tanpa bisa menolak Naura mengikuti langkah Senja yang semakin cepat.
"Bang kebabnya dua yang satu enggak pakai sambel," pinta Senja sopan.
Sambil menunggu pesanan mereka Senja dan Naura duduk di bangku yang sudah disiapkan dipinggir gerobak.
"Tadi kamu ngapain sama Luna?" tanya Naura perihal urusan Other.
"Enggak ngapa-ngapain kok, kamu cemburu?" goda Senja.
Wajah Naura memerah mendengar kata-kata Senja kala itu, "ih apaan sih, aku nanya beneran tau! Aku khawatir!"
"Iya-iya maaf, tadi aku ketemu sama ketua mereka dan mereka sepertinya berminat buat ngerekrut aku," seru Senja.
"Dan jawaban kamu?" tanya Naura selidik.
"Aku enggak tau Ra, aku masih bimbang, aku harus bicarakan sesuatu dulu sama ayah," seru Senja sembari menundukkan kepala.
"Oh … engh … sebenarnya tadi Devi juga nawarin aku ikut Other," seru Naura.
Senja melirik tajam kearah Naura, "lalu kamu bilang apa?" tanyanya langsung.
"Aku tanya kamu dulu … gitu aku bilangnya," seru Naura.
Senja terdiam kemudian menatap langit malam kala itu, "Ra lihat langit deh," seru Senja pelan.
Naura menengadahkan kepalanya sembari melihat keatas langit, "ada apa?" tanyanya.
"Langitnya kosong enggak ada bintang," seru Senja.
"Iya."
"Mereka pasti lagi malu sama kamu," seru Senja kembali.
"Malu kenapa?"
"Soalnya kamu lagi cantik-cantiknya malam ini."
Lidah Naura terceklat dan terdiam, wajahnya memanas semburat merah menghiasi pipinya mendengar gombalan stadium dua milik Senja.
"Mas … ini kebabnya sudah jadi," seru abang penjual kebab membawa sebuah kantung berisi kebab pesanan Senja.
Tanpa banyak berbicara Naura langsung mengambil kantung tersebut dari tangan sang penjual dan berjalan menahan wajahnya yang memerah meninggalkan Senja menuju trotoar depan.
"Berapa mas?" tanya Senja.
"30 ribu mas."
Senja mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan memberikannya kepada abang penjual kebab.
"Waduh mas gede banget uangnya, enggak ada uang pas?" tanya sang penjual.
"Kembaliannya ambil aja bang," seru Senja sembari menepuk pundak abang kebab.
"Beneran ini mas?"
"Iya kembaliannya buat abang aja, saya kejar teman saya dulu ya bang."
"Waah makasih banyak mas, saya doakan langgeng sama pacarnya," seru sang abang penjual kebab.
Senja hanya tersenyum kemudian berlari pelan menuju Naura yang kala itu menunggunya di pinggir trotoar.
"TAKSI!!!" teriak Senja sambil melambaikan tangannya kearah taksi yang lewat.
Tak lama taksi berhenti di depan mereka, "kamu masuk duluan," perintah Senja.
Tanpa banyak bicara Naura masuk kedalam disusul Senja yang duduk disampingnya.
"Perumahan Arlita pak," seru Senja ke supir taksi.
"Baik mas," balas sang supir.
Sepanjang jalan Naura terdiam sambil menatap kaca jendela melihat aktifitas malam kota jakarta.
"Ra …" panggil Senja.
"Apa?!" tanya Naura dengan nada sedikit kesal.
"Kebabnya enggak dimakan?" tanya Senja.
Naura mengambil satu dan memberikan kebab satu lagi kepada Senja tanpa bertatap muka.
"Nih," serunya singkat masih tidak mau menatap wajah Senja.
"Makasih," balas Senja singkat.
"Pak maaf saya makan di sini ya pak," seru Senja pada supir taksi.
"Oh iya silakan mas," jawab sang supir sopan, "habis jalan-jalan dari kota tua ya mas?" tanya sang supir.
"Iya pak, habis pulang kencan," jawab Senja tanpa beban.
"Waah enak ya masa muda bisa kencan," seru pak supir.
Naura menoleh kearah Senja, menatapnya dengan tatapan tajam sambil mengerutkan dahinya, "makan enggak boleh ngomong," celoteh Naura dengan nada memerintah.
"Iya-iya."
Tak memakan waktu lama taksi yang ditumpangi Senja dan Naura sampai diperumahan tempat Naura tinggal.
"Ini pak uangnya," seru Senja dari kursi penumpang.
Sang supir mengambil uang tersebut dan menghitungnya, "mas maaf ini kelebihan," seru sang supir.
"Kembaliannya buat bapak, terima kasih ya pak," seru Senja yang dibalas ucapan terimakasih banyak oleh sang supir.
Naura yang sudah menunggu di pinggir jalan menatap Senja yang hendak keluar taksi.
"Ada apa? Ada yang ketinggalan didalam?" tanya Senja.
"Enggak," jawab Naura singkat yang kemudian berjalan meninggalkan Senja, Senja tersenyum melihat tingkah Naura dan berjalan dibelakangnya.
Sepanjang jalan hanya ada keheningan diantara dua pasang manusia tersebut, "Maaf ya harus jalan lagi, aku enggak tahu kalau jalan ke komplek rumah kamu diportal kalau malam," seru Senja memecah keheningan.
"Iya enggak kenapa-napa, aku juga enggak tau kalau sudah diportal," seru Naura.
Senja mempercepat langkahnya hingga berjalan sejajar dengan Naura, "engh Ra … makasih ya buat malam ini," seru Senja.
"Makasih buat apa?" tanya Naura bingung
"Buat mau aku ajak jalan-jalan ketemu para jin binaan aku, ya walaupun tadi kita diculik dulu sama orang-orang Other," terang Senja.
Naura mengangguk sembari tersenyum simpul menatap Senja, "aku juga mau terima kasih buat malam ini," seru Naura.
"Buat apa?"
"Ya buat semuanya, terutama buat sudah mau jadi teman aku selama ini," seru Naura.
"Iya sama-sama, engh … aku boleh nanya sesuatu enggak sama kamu? Aku penasaran sejak pertama kali kenal romo sama bunda di rumah kamu," tanya Senja.
"Nanya apa?"
"Apa bunda orang tua kandung kamu?"
Naura terdiam mendengar pertanyaan Senja.
"Maaf kalau pertanyaan aku salah, kamu enggak perlu jawab kok," seru Senja salah tingkah.
Naura tersenyum tipis sambil menatap wajah pemuda disebelahnya tersebut, "bukan, bunda bukan orang tua kandung aku akan tetapi cintanya lebih dari orang tua kandung aku sendiri," jelas Naura kala itu.
Langkah Naura terhenti menatap ke sebuah taman di dalam komplek, "Senja kita duduk dulu disana yuk? Aku mau cerita sesuatu ke kamu," seru Naura sambil menarik ujung jaket milik Senja.
Sesampai di taman Naura dan Senja duduk di ayunan dan mulai berayun secara bergantian.
"Kamu mau cerita apa?" tanya Senja.
"Bunda dan kakek adalah orang timur, mereka pindah ke Bandung dua puluh tahun yang lalu, kakek seorang pendeta dan bunda mengikuti jejaknya mengabdikan diri di jalan tuhan untuk menjadi seorang suster disebuah gereja di Bandung," jelas Naura.
Tak lama ayunan Naura terhenti, "sampai suatu malam saat ia hendak pulang ia menemukan seorang bayi didepan pintu rumahnya tengah menangis dimalam natal yang dingin," seru Naura.
Ayunan Senja terhenti juga kala itu, ia menatap Naura lekat-lekat.
"Bayi itu adalah aku," seru Naura pelan.
"Jadi setelah itu kamu diangkat anak oleh bunda?"
"Iya … bunda selalu bilang aku adalah hadiah paling indah dari tuhan untuk dia dan namaku dulu adalah Maria bukan Naura," seru Naura menatap Senja.
"Lalu sejak kapan nama kamu Naura?"
"Sejak … aku melihat malaikat," seru Naura.
Bersambung.
"Senja … engh sudah jam 10 malam lebih, kayaknya enggak ada kendaraan yang lewat sini deh," tukas Naura khawatir.
"Yaudah kita jalan kejalanan utama, siapa tau ada taksi," seru Senja sembari berjalan diatas trotoar yang diikuti Naura dibelakangnya.
Sepanjang jalan Naura terlihat gelisah ia memikirkan keluarganya dirumah yang pasti sekarang sedang khawatir anak gadis perawan mereka masih jalan-jalan diluar hampir jam sebelas malam.
"Kamu kenapa?" tanya Senja selidik.
"Engh … enggak kenapa-napa kok," jawab Naura lemah.
Senja memelankan langkahnya hingga ia berjalan sejajar disebelah Naura, "Kamu khawatir bakal dimarahin romo?" tanya Senja yang dibalas anggukan lemas dari Naura.
"Sebelum ajak kamu jalan aku sudah telepon dan ijin sama kakek kamu kok Ra, jadi enggak usah khawatir," seru Senja yang sedikit menenangkan Naura.
"Oh sudah toh, fiuh … syukur deh," seru Naura lega.
"Mau makan dulu enggak Ra?" tanya Senja mengalihkan pembicaraan.
"Makan apa? Sudah malam enggak usah deh mas, lagian tadi di rumah pak Kusni Naura sudah makan kue yang disajikan bu Juleha jadi enggak terlalu lapar," terang Naura.
"Enggak boleh nolak lagian inikan kencan masa enggak makan, eh itu ada kebab aku beliin dulu ya," seru Senja yang setengah berlari menuju ke sebuah gerobak kebab di depan minimarket, tanpa bisa menolak Naura mengikuti langkah Senja yang semakin cepat.
"Bang kebabnya dua yang satu enggak pakai sambel," pinta Senja sopan.
Sambil menunggu pesanan mereka Senja dan Naura duduk di bangku yang sudah disiapkan dipinggir gerobak.
"Tadi kamu ngapain sama Luna?" tanya Naura perihal urusan Other.
"Enggak ngapa-ngapain kok, kamu cemburu?" goda Senja.
Wajah Naura memerah mendengar kata-kata Senja kala itu, "ih apaan sih, aku nanya beneran tau! Aku khawatir!"
"Iya-iya maaf, tadi aku ketemu sama ketua mereka dan mereka sepertinya berminat buat ngerekrut aku," seru Senja.
"Dan jawaban kamu?" tanya Naura selidik.
"Aku enggak tau Ra, aku masih bimbang, aku harus bicarakan sesuatu dulu sama ayah," seru Senja sembari menundukkan kepala.
"Oh … engh … sebenarnya tadi Devi juga nawarin aku ikut Other," seru Naura.
Senja melirik tajam kearah Naura, "lalu kamu bilang apa?" tanyanya langsung.
"Aku tanya kamu dulu … gitu aku bilangnya," seru Naura.
Senja terdiam kemudian menatap langit malam kala itu, "Ra lihat langit deh," seru Senja pelan.
Naura menengadahkan kepalanya sembari melihat keatas langit, "ada apa?" tanyanya.
"Langitnya kosong enggak ada bintang," seru Senja.
"Iya."
"Mereka pasti lagi malu sama kamu," seru Senja kembali.
"Malu kenapa?"
"Soalnya kamu lagi cantik-cantiknya malam ini."
Lidah Naura terceklat dan terdiam, wajahnya memanas semburat merah menghiasi pipinya mendengar gombalan stadium dua milik Senja.
"Mas … ini kebabnya sudah jadi," seru abang penjual kebab membawa sebuah kantung berisi kebab pesanan Senja.
Tanpa banyak berbicara Naura langsung mengambil kantung tersebut dari tangan sang penjual dan berjalan menahan wajahnya yang memerah meninggalkan Senja menuju trotoar depan.
"Berapa mas?" tanya Senja.
"30 ribu mas."
Senja mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan memberikannya kepada abang penjual kebab.
"Waduh mas gede banget uangnya, enggak ada uang pas?" tanya sang penjual.
"Kembaliannya ambil aja bang," seru Senja sembari menepuk pundak abang kebab.
"Beneran ini mas?"
"Iya kembaliannya buat abang aja, saya kejar teman saya dulu ya bang."
"Waah makasih banyak mas, saya doakan langgeng sama pacarnya," seru sang abang penjual kebab.
Senja hanya tersenyum kemudian berlari pelan menuju Naura yang kala itu menunggunya di pinggir trotoar.
"TAKSI!!!" teriak Senja sambil melambaikan tangannya kearah taksi yang lewat.
Tak lama taksi berhenti di depan mereka, "kamu masuk duluan," perintah Senja.
Tanpa banyak bicara Naura masuk kedalam disusul Senja yang duduk disampingnya.
"Perumahan Arlita pak," seru Senja ke supir taksi.
"Baik mas," balas sang supir.
Sepanjang jalan Naura terdiam sambil menatap kaca jendela melihat aktifitas malam kota jakarta.
"Ra …" panggil Senja.
"Apa?!" tanya Naura dengan nada sedikit kesal.
"Kebabnya enggak dimakan?" tanya Senja.
Naura mengambil satu dan memberikan kebab satu lagi kepada Senja tanpa bertatap muka.
"Nih," serunya singkat masih tidak mau menatap wajah Senja.
"Makasih," balas Senja singkat.
"Pak maaf saya makan di sini ya pak," seru Senja pada supir taksi.
"Oh iya silakan mas," jawab sang supir sopan, "habis jalan-jalan dari kota tua ya mas?" tanya sang supir.
"Iya pak, habis pulang kencan," jawab Senja tanpa beban.
"Waah enak ya masa muda bisa kencan," seru pak supir.
Naura menoleh kearah Senja, menatapnya dengan tatapan tajam sambil mengerutkan dahinya, "makan enggak boleh ngomong," celoteh Naura dengan nada memerintah.
"Iya-iya."
Tak memakan waktu lama taksi yang ditumpangi Senja dan Naura sampai diperumahan tempat Naura tinggal.
"Ini pak uangnya," seru Senja dari kursi penumpang.
Sang supir mengambil uang tersebut dan menghitungnya, "mas maaf ini kelebihan," seru sang supir.
"Kembaliannya buat bapak, terima kasih ya pak," seru Senja yang dibalas ucapan terimakasih banyak oleh sang supir.
Naura yang sudah menunggu di pinggir jalan menatap Senja yang hendak keluar taksi.
"Ada apa? Ada yang ketinggalan didalam?" tanya Senja.
"Enggak," jawab Naura singkat yang kemudian berjalan meninggalkan Senja, Senja tersenyum melihat tingkah Naura dan berjalan dibelakangnya.
Sepanjang jalan hanya ada keheningan diantara dua pasang manusia tersebut, "Maaf ya harus jalan lagi, aku enggak tahu kalau jalan ke komplek rumah kamu diportal kalau malam," seru Senja memecah keheningan.
"Iya enggak kenapa-napa, aku juga enggak tau kalau sudah diportal," seru Naura.
Senja mempercepat langkahnya hingga berjalan sejajar dengan Naura, "engh Ra … makasih ya buat malam ini," seru Senja.
"Makasih buat apa?" tanya Naura bingung
"Buat mau aku ajak jalan-jalan ketemu para jin binaan aku, ya walaupun tadi kita diculik dulu sama orang-orang Other," terang Senja.
Naura mengangguk sembari tersenyum simpul menatap Senja, "aku juga mau terima kasih buat malam ini," seru Naura.
"Buat apa?"
"Ya buat semuanya, terutama buat sudah mau jadi teman aku selama ini," seru Naura.
"Iya sama-sama, engh … aku boleh nanya sesuatu enggak sama kamu? Aku penasaran sejak pertama kali kenal romo sama bunda di rumah kamu," tanya Senja.
"Nanya apa?"
"Apa bunda orang tua kandung kamu?"
Naura terdiam mendengar pertanyaan Senja.
"Maaf kalau pertanyaan aku salah, kamu enggak perlu jawab kok," seru Senja salah tingkah.
Naura tersenyum tipis sambil menatap wajah pemuda disebelahnya tersebut, "bukan, bunda bukan orang tua kandung aku akan tetapi cintanya lebih dari orang tua kandung aku sendiri," jelas Naura kala itu.
Langkah Naura terhenti menatap ke sebuah taman di dalam komplek, "Senja kita duduk dulu disana yuk? Aku mau cerita sesuatu ke kamu," seru Naura sambil menarik ujung jaket milik Senja.
Sesampai di taman Naura dan Senja duduk di ayunan dan mulai berayun secara bergantian.
"Kamu mau cerita apa?" tanya Senja.
"Bunda dan kakek adalah orang timur, mereka pindah ke Bandung dua puluh tahun yang lalu, kakek seorang pendeta dan bunda mengikuti jejaknya mengabdikan diri di jalan tuhan untuk menjadi seorang suster disebuah gereja di Bandung," jelas Naura.
Tak lama ayunan Naura terhenti, "sampai suatu malam saat ia hendak pulang ia menemukan seorang bayi didepan pintu rumahnya tengah menangis dimalam natal yang dingin," seru Naura.
Ayunan Senja terhenti juga kala itu, ia menatap Naura lekat-lekat.
"Bayi itu adalah aku," seru Naura pelan.
"Jadi setelah itu kamu diangkat anak oleh bunda?"
"Iya … bunda selalu bilang aku adalah hadiah paling indah dari tuhan untuk dia dan namaku dulu adalah Maria bukan Naura," seru Naura menatap Senja.
"Lalu sejak kapan nama kamu Naura?"
"Sejak … aku melihat malaikat," seru Naura.
Bersambung.
simounlebon dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas