- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#303
AKHIR KISAH
Quote:
MAKAN malam saat itu berlangsung diam-diam. Tak seorang pun menghabiskan apa yang terhidang di piring masing masing. Jerih payah Gina memasak hidangan itu menjadi sia - sia. Tetapi si perempuan tua pembantu setia keluarga Dargo itu dapat memahaminya, dan tanpa berkata apa apa ia kemudian membereskan meja makan. Tuan Dargo segera bergabung lagi dengan yang lain, yang masih tetap di tempat duduk masing-masing dengan wajah sama sama tegang. Danny yang biasanya banyak bicara kini hanya diam sambil sesekali memainkan gelas kosong yang ada di hadapannya. Lengan kanannya masih terlihat dibalut dengan perban.
Dargo memecahkan ketegangan itu dengan bisikan kaku:
"Aku telah membawa keperluanku Jam," katanya diarahkan pada Jampadi, seraya mengerling ke bungkusan di atas lemari panjang.
Tuan Dargo menarik nafas berat dan panjang. Ia bangkit dari kursinya, menyelinap masuk ke sebuah kamar. Tak lama kemudian ia telah meletakkan sebuah bungkusan kecil memanjang sekitar lima jengkal orang dewasa di atas meja makan. Semua yang hadir mengawasi tanpa berkedip selagi Tuan Dargo membuka simpul bungkusan dengan susah payah. Tampaknya, bungkusan itu seperti jarang dibuka. Kain pembungkusnya pun sudah lusuh saking tuanya. Detik-detik berikutnya, bahkan bernafas pun tidak ada yang berani. Semua mata memandang tajam dan ingin tahu pada sebuah benda berbentuk panjang pada bagian gagang dan salah satu ujungnya runcing.
"Batang tombak ini sudah berumur ratusan tahun, benda ini lah yang merenggut nyawa siluman ajag jejadian penghuni pantai Karang Bolong....," Tuan Dargo berkata tanpa menoleh dari benda di meja makan itu.
Tuan Dargo kemudian berpaling pada ku. Ia bertanya dengan suara lunak :
"Apakah Danny sudah menceritakan tentang benda ini padamu, Nak Zulham?"
Aku mengangguk. Sesaat lidah terasa kelu.
“ Lebih dari itu Tuan, bahkan saya sudah menyaksikan kehebatan tombak pendek itu malam tadi. Tapi..... “
Sesaat aku lirik Danny yang duduk di deretan paling ujung. Lalu aku bergumam tanpa menyembunyikan rasa penasaran di wajahku:
"Apakah mata tombak ini tidak perlu diasah lebih dulu? Tampaknya sudah sangat berkarat...."
"Yang kau lihat itu bukan karat Nak," jawab Tuan Dargo tenang sembari membetulkan letak duduknya.
"Itu adalah warna bekas darah!" ia pura pura tidak menangkap rona terkejut di wajah ku, lalu menerangkan apa yang ia maksud.
"Setiap kali mata tombak ini memakan korban. Darah yang melekat tak semuanya dapat hilang. Mata tombak ini entah mengapa, akan menyerap darah lalu menyatu dengan mata tombak ini. Leluhur kami menyebut benda ini dengan sebutan 'Tombak Sangga Langit'.
"Oh ya?" aku menyeringai. Nama yang cukup menggetarkan jagad, batinku dalam hati.
" Tombak ini juga mampu mengenyahkan kutukan yang menimpa kekasihmu itu “
Tuan Dargo melirik ke arah Ida yang nampaknya sudah mulai canggung. Gadis itu berkali –kali membetulkan letak duduknya dan menarik nafas panjang.
“ Maaf Tuan Dargo, mengapa tombak itu tidak dipergunakan untuk melepaskan kutukan pada keluarga ini?"
" Kalau bisa Nak," cetus Dargo lirih.
“ Dan sialnya tidak bisa, darah kutukan yang mengalir di tubuh kami tidak akan bisa diputus oleh tombak itu. Akan tetapi, jika ada kutukan diluar keturunan kami kutukan itu mampu untuk dienyahkan “
“ Meskipun harus melalui perjuangan yang berat. Dan mungkin nyawa taruhannya “
Aku hanya mengangguk perlahan, begitu pula Ida. Sekilas aku lirik ada sedikit senyum yang tersungging di sudut bibir tipisnya. Aku masih teringat dengan perkataan kakek tua tadi malam bahwa, kutukan itu hanya mampu dimusnahkan oleh si penerima dan tentu saja dukungan dari ku.
Aku lihat Tuan Dargo mengawasi reaksi yang timbul di wajahku dan Ida, lelaki tua itu menarik nafas sebentar lalu berujar tegas:
"Perlu kami ingatkan, Nak Zul, seandainya kau terpaksa mempergunakan benda ini terhadap Ida, kau tetap bebas menentukan pilihan. Dan terus terang, aku lebih suka apabila kau memilih untuk tetap hidup...."
"Aku setuju" Ida menyela dengan suara mantap, sembari menatap lurus ke mata ku.
"Aku akan kecewa sekali, apabila Zulham berbuat konyol membunuh dirinya sendiri!"
Aku memandangi mereka semua satu persatu. Ku paksakan senyum di bibir.
"Siapa mengatakan aku akan mati?" kata ku seraya tertawa gugup.
Lalu menambahkan dengan senda gurau:
"Kalau aku mati, itu namanya aku tega membiarkan Ida hidup sendirian selama hidupnya, perlu diketahui gadis ini tidak bisa jauh dari ku!"
Ia terpaksa harus tertawa sendirian oleh gurauan itu. Yang lain tetap diam. Siapa pula yang ingin tertawa dalam situasi seperti sekarang ini?
Pak Jampadi kemudian memecahkan kesunyian yang berlangsung beberapa saat.
"Bunyi syarat ritualnya adalah: orang yang dicintai atau mencintainya sebagai teman hidupnya yang akan mampu mematahkan kutukan itu. Dan kalau tak salah ingat, hal ini belum pernah dicoba. Belum pernah ada orang yang melakukannya. Kau orang pertama yang melakukannya Zul. Dan, berhasil atau tidaknya kita lihat nanti....Kau siap berjudi untuk hal ini?"
Lidahku kembali kelu. Tetapi aku tidak ada pilihan lain. Demi Ida, demi orang yang sangat aku cintai. Ini seperti berjudi dengan maut. Dan matipun aku rela!
Aku kembali menyimak kalimat per kalimat yang keluar dari mulut Tuan Dargo dan Pak Jampadi. Ada beberapa pertanyaan serta memberikan beberapa petunjuk lagi pada ku dan Ida. Dan untuk ke sekian kalinya, Tuan Dargo itu kembali diberi saran bahwa kita berdua masih dapat mengundurkan diri sebelum terlambat.
Ida menjawab:
" Tekad ku sudah bulat, Tuan."
Aku lebih dulu menggenggam tangan kekasih ku itu, sebelum ia menjawab pula:
"Aku bersedia menempuh segala resiko itu."
Aku kemudian menatap penuh kasih sayang ke mata Ida, lantas bergumam lembut:
"Semuanya tergantung di tanganmu, Ida. Kau harus kuat dan tabah. Kita berhadapan dengan sebuah kekuatan setan, kekuatan iblis yang sangat kuat. Dan ingat, setelah semua ini berlalu kau akan bebas. Hidup sebagai perempuan normal dan kita akan menikah dan hidup berbahagia....!"
Ida balas menatap. Ia membuka mulut untuk mengutarakan sesuatu, tetapi terganggu oleh ucapan
Tuan Dargo yang mengatakan bahwa mereka masih harus mengerjakan sesuatu dan kemudian kedua orang dari desa Telaga Muncar itu berlalu meninggalkan rumah. Sambil bangkit, tak lupa Tuan Dargo membawa serta tombak pendek tadi yang sengaja ditinggalkan oleh Randu Alas sebelum lelaki tua itu pergi meninggalkan desa Telaga Muncar. Entah kemana. Aku hanya bisa mengingat kalimat terakhirnya sebelum pergi.
“ Aku akan mengembara, mlihat dunia luar yang teramat luas. Aku yakin golongan penyembah siluman ajag itu masih banyak berkeliaran di pelosok jagad raya “
Sementara itu Jampadi sibuk mencari seutas tali lawe berwarna merah sebagai piranti untuk memulai ritual.
Dargo memecahkan ketegangan itu dengan bisikan kaku:
"Aku telah membawa keperluanku Jam," katanya diarahkan pada Jampadi, seraya mengerling ke bungkusan di atas lemari panjang.
Tuan Dargo menarik nafas berat dan panjang. Ia bangkit dari kursinya, menyelinap masuk ke sebuah kamar. Tak lama kemudian ia telah meletakkan sebuah bungkusan kecil memanjang sekitar lima jengkal orang dewasa di atas meja makan. Semua yang hadir mengawasi tanpa berkedip selagi Tuan Dargo membuka simpul bungkusan dengan susah payah. Tampaknya, bungkusan itu seperti jarang dibuka. Kain pembungkusnya pun sudah lusuh saking tuanya. Detik-detik berikutnya, bahkan bernafas pun tidak ada yang berani. Semua mata memandang tajam dan ingin tahu pada sebuah benda berbentuk panjang pada bagian gagang dan salah satu ujungnya runcing.
"Batang tombak ini sudah berumur ratusan tahun, benda ini lah yang merenggut nyawa siluman ajag jejadian penghuni pantai Karang Bolong....," Tuan Dargo berkata tanpa menoleh dari benda di meja makan itu.
Tuan Dargo kemudian berpaling pada ku. Ia bertanya dengan suara lunak :
"Apakah Danny sudah menceritakan tentang benda ini padamu, Nak Zulham?"
Aku mengangguk. Sesaat lidah terasa kelu.
“ Lebih dari itu Tuan, bahkan saya sudah menyaksikan kehebatan tombak pendek itu malam tadi. Tapi..... “
Sesaat aku lirik Danny yang duduk di deretan paling ujung. Lalu aku bergumam tanpa menyembunyikan rasa penasaran di wajahku:
"Apakah mata tombak ini tidak perlu diasah lebih dulu? Tampaknya sudah sangat berkarat...."
"Yang kau lihat itu bukan karat Nak," jawab Tuan Dargo tenang sembari membetulkan letak duduknya.
"Itu adalah warna bekas darah!" ia pura pura tidak menangkap rona terkejut di wajah ku, lalu menerangkan apa yang ia maksud.
"Setiap kali mata tombak ini memakan korban. Darah yang melekat tak semuanya dapat hilang. Mata tombak ini entah mengapa, akan menyerap darah lalu menyatu dengan mata tombak ini. Leluhur kami menyebut benda ini dengan sebutan 'Tombak Sangga Langit'.
"Oh ya?" aku menyeringai. Nama yang cukup menggetarkan jagad, batinku dalam hati.
" Tombak ini juga mampu mengenyahkan kutukan yang menimpa kekasihmu itu “
Tuan Dargo melirik ke arah Ida yang nampaknya sudah mulai canggung. Gadis itu berkali –kali membetulkan letak duduknya dan menarik nafas panjang.
“ Maaf Tuan Dargo, mengapa tombak itu tidak dipergunakan untuk melepaskan kutukan pada keluarga ini?"
" Kalau bisa Nak," cetus Dargo lirih.
“ Dan sialnya tidak bisa, darah kutukan yang mengalir di tubuh kami tidak akan bisa diputus oleh tombak itu. Akan tetapi, jika ada kutukan diluar keturunan kami kutukan itu mampu untuk dienyahkan “
“ Meskipun harus melalui perjuangan yang berat. Dan mungkin nyawa taruhannya “
Aku hanya mengangguk perlahan, begitu pula Ida. Sekilas aku lirik ada sedikit senyum yang tersungging di sudut bibir tipisnya. Aku masih teringat dengan perkataan kakek tua tadi malam bahwa, kutukan itu hanya mampu dimusnahkan oleh si penerima dan tentu saja dukungan dari ku.
Aku lihat Tuan Dargo mengawasi reaksi yang timbul di wajahku dan Ida, lelaki tua itu menarik nafas sebentar lalu berujar tegas:
"Perlu kami ingatkan, Nak Zul, seandainya kau terpaksa mempergunakan benda ini terhadap Ida, kau tetap bebas menentukan pilihan. Dan terus terang, aku lebih suka apabila kau memilih untuk tetap hidup...."
"Aku setuju" Ida menyela dengan suara mantap, sembari menatap lurus ke mata ku.
"Aku akan kecewa sekali, apabila Zulham berbuat konyol membunuh dirinya sendiri!"
Aku memandangi mereka semua satu persatu. Ku paksakan senyum di bibir.
"Siapa mengatakan aku akan mati?" kata ku seraya tertawa gugup.
Lalu menambahkan dengan senda gurau:
"Kalau aku mati, itu namanya aku tega membiarkan Ida hidup sendirian selama hidupnya, perlu diketahui gadis ini tidak bisa jauh dari ku!"
Ia terpaksa harus tertawa sendirian oleh gurauan itu. Yang lain tetap diam. Siapa pula yang ingin tertawa dalam situasi seperti sekarang ini?
Pak Jampadi kemudian memecahkan kesunyian yang berlangsung beberapa saat.
"Bunyi syarat ritualnya adalah: orang yang dicintai atau mencintainya sebagai teman hidupnya yang akan mampu mematahkan kutukan itu. Dan kalau tak salah ingat, hal ini belum pernah dicoba. Belum pernah ada orang yang melakukannya. Kau orang pertama yang melakukannya Zul. Dan, berhasil atau tidaknya kita lihat nanti....Kau siap berjudi untuk hal ini?"
Lidahku kembali kelu. Tetapi aku tidak ada pilihan lain. Demi Ida, demi orang yang sangat aku cintai. Ini seperti berjudi dengan maut. Dan matipun aku rela!
Aku kembali menyimak kalimat per kalimat yang keluar dari mulut Tuan Dargo dan Pak Jampadi. Ada beberapa pertanyaan serta memberikan beberapa petunjuk lagi pada ku dan Ida. Dan untuk ke sekian kalinya, Tuan Dargo itu kembali diberi saran bahwa kita berdua masih dapat mengundurkan diri sebelum terlambat.
Ida menjawab:
" Tekad ku sudah bulat, Tuan."
Aku lebih dulu menggenggam tangan kekasih ku itu, sebelum ia menjawab pula:
"Aku bersedia menempuh segala resiko itu."
Aku kemudian menatap penuh kasih sayang ke mata Ida, lantas bergumam lembut:
"Semuanya tergantung di tanganmu, Ida. Kau harus kuat dan tabah. Kita berhadapan dengan sebuah kekuatan setan, kekuatan iblis yang sangat kuat. Dan ingat, setelah semua ini berlalu kau akan bebas. Hidup sebagai perempuan normal dan kita akan menikah dan hidup berbahagia....!"
Ida balas menatap. Ia membuka mulut untuk mengutarakan sesuatu, tetapi terganggu oleh ucapan
Tuan Dargo yang mengatakan bahwa mereka masih harus mengerjakan sesuatu dan kemudian kedua orang dari desa Telaga Muncar itu berlalu meninggalkan rumah. Sambil bangkit, tak lupa Tuan Dargo membawa serta tombak pendek tadi yang sengaja ditinggalkan oleh Randu Alas sebelum lelaki tua itu pergi meninggalkan desa Telaga Muncar. Entah kemana. Aku hanya bisa mengingat kalimat terakhirnya sebelum pergi.
“ Aku akan mengembara, mlihat dunia luar yang teramat luas. Aku yakin golongan penyembah siluman ajag itu masih banyak berkeliaran di pelosok jagad raya “
Sementara itu Jampadi sibuk mencari seutas tali lawe berwarna merah sebagai piranti untuk memulai ritual.
Quote:
Gelegar guntur mengejutkan para penghuni alam semesta. Malam begitu gelap gulita. Walaupun ada kilat menyambar, sinar kilat itu seakan menjauhi wajah Ida dengan perasaan segan. Tidak ada hujan turun. Dan rembulan bersembunyi pula entah di mana. Bintang-bintang sibuk mencari. Dari tempat gelap yang satu ke tempat gelap lainnya.
Tanpa menyadari bahwa bintang bintang ini sendiri ikut tertelan dalam kegelapan. Kemudian tampak setitik cahaya kecil dan lemah. Semakin mereka mendekat, cahaya itu semakin kuat. Berasal dari sebuah lampu petromak yang diletakkan di antara bebatuan yang menonjol di puncak bukit. Sebuah tali mengelilingi sebuah pedataran kecil membentuk lingkaran yang tidak begitu besar.
Tuan Dargo serta Jampadi menyisi diam diam. Memberi tempat pada Ida untuk masuk ke dalam lingkaran yang dibatasi oleh seutas tali lawe berwarna merah. Diterangi samar - samar oleh lidah - lidah cahaya lampu petromak. Gadis itu berdiri tertegun, kaku tak bergerak, dengan mata memandang nanar, tak berkedip.
"Marilah kita memulainya." Tuan Dargo berbisik gemetar.
Tiba –tiba hatinya diliputi ketakutan. Dan ketakutan itu samakin bertambah tambah setelah ia menangkap pandangan tersembunyi di balik sinar mata gadis di dalam lingkaran merah itu. Ia dapat menyelami, di balik mata si gadis tersembunyi suatu keinginan yang kuat. Teramat kuat malah. Apa yang dilihatnya, membuat Dargo merasa cemas.
DARGO membuka bungkusan yang dibawanya dan mengeluarkan tujuh buah bumbung bambu. Lelaki tua itu memberikan isyarat kepada Danny manakala pemuda itu hendak membantunya. Satu demi satu tabung bambu itu ditancapkannya di atas tanah di dalam lingkaran. Hingga berdiri mengelilingi tali lawe berwarna merah itu. Setelah itu dia menyiapkan sebuah pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap dan tebaran bau kemenyan
yang harum tapi terasa mencekam.
Dengan kedua tangannya Dargo memegangi ujung tabung bambu sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang yang tak jelas terdengar oleh ku. Selesai memegangi tabung bambu yang ke tujuh, Dargo kembali ke tabung bambu yang pertama. Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air. Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas sekujur badan Ida. Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya dimasukkan ke dalam tabung bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
"Ida..." Dargo melangkah mendekati gadis itu.
"Dengar baik-baik... Apapun yang terjadi, apapun yang kelak kau saksikan jangan sekali-kali mundur sedikit-pun! Hunjamkan tombak yang kau pegang itu tepat di jantungnya! Jika itu sampai dilanggar, usahaku untuk mematahkan kutukan itu akan sia-sia belaka. Kau dengar itu Ida...?"
Ida menjawab dengan anggukan kepala. Lidahnya terasa terlalu tercekat untuk bisa menjawab. Dargo memutar tubuhnya, kembali melangkah ke luar lingkaran. Disini dia tegak dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan dikembangkan. Dari mulutnya terdengar rapalan mantra yang sama sekali tidak ku mengerti artinya.
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat aneh itu dengan suara keras, lalu Dargo meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti bergumam. Kembali aku ataupun beberapa orang yang hadir disitu tidak dapat mendengar apa sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu.
Namun sesaat kemudian telingaku mendengar suara aneh dari dalam tanah. Bulu kuduk ku berdiri. Mata ku tak berkedip memandang ke dalam lingkaran merah dengan Ida di tengah-tengahnya. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya sesekali muncrat keluar!
Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya berhenti, dari tujuh mulut bambu kini keluar masing-masing segulung asap tipis berwarna kelabu. Tujuh gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika aku memperhatikan lebih lanjut mataku menangkap jelas Ida tampak sangat terkejut melihat pemandangan sesosok tubuh di hadapannya.
Tubuhnya gemetar, tombak pendek yang berada di genggaman tangannya nyaris terjatuh ke tanah. Gulungan asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok tubuh manusia. Mula- mula samar-samar seperti sosok di balik kabut. Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok itu benar-benar tubuh manusia! Dan manusia yang muncul dari asap ini bukan lain adalah sesosok Ibunya yang telah meninggal!
"Sabar, Anakku. Sabar, kuatkan diri mu. Itu hanya bayangan semu " desah Dargo sambil mengawasi gerak gerik Ida yang berada di dalam lingkaran dengan perasaan khawatir.
Sementara aku dan Pak Jampadi memperhatikan dari luar lingkaran setiap gerakan yang dibuat oleh Ida. Di bawah empat pasang mata yang terus mengawasinya dengan waspada, Ida menggumamkan sesuatu lalu tombak Sangga Langit terjatuh berderai di tanah.
Gerakannya tertegun ketika mata gadis itu menangkap rambut rambut tebal hitam, kemudian dahi yang mulus putih kemerahan, alis, kelopak mata yang terbuka memandangnya penuh kasih sayang. Wajah ibu yang ia kasihi dan puja pula, tampak di depan biji mata Ida, dalam keadaan sempurna sebagaimana ketika ibunya masih hidup, dan seakan sangat merindukan anak perempuan kesayangannya yang kini berdiri tegak hanya berjarak dua langkah dengannya. Setelah tertegun sejenak dalam gejolak perasaan yang hingar-bingar galau tak menentu, Ida dengan perasaan tak sabar kemudian berjalan mendekat ke arah sesosok tubuh yang menyerupai ibunya.
Telinganya tidak menangkap suara pelan Dargo:
"Ambil tombak itu! Hunjamkan tepat ke jantungnya Ida! “
Ida memang tidak mendengar semua itu. Lain halnya Pak Jampadi, Danny dan aku. Kami bertiga tersentak oleh suara Dargo yang seolah dentuman meriam dalam kesunyian yang mencekam di kegelapan malam yang sudah menjelang dini hari itu. Keringat mengucur deras sekujur tubuhku. Kaki ku bergetar dengan hebat!
"Aku membaui udara dinihari, Ida!" suara Dargo lebih keras sekarang.
"Cepatlah lakukan sebelum terlambat. Ingat, kekasihmu menunggu dan ia akan membawamu pulang. Ida! Ayo, Nak...."
Seruan-seruan tertahan dan bernada khawatir dari Dargo dihentikan oleh suara gumaman lembut dan lirih dari mulut Ida:
"Ibu..., aku sangat merindukan mu Ibu. Ibu..., peluklah anak yang mencintaimu ini... Ibu, peluk aku ibuuuuu....!"
Dan Ida bukannya melakukan perintah Dargo yang akan menyelamatkan dirinya. Tiba - tiba memeluk sesosok tubuh di depannya itu dengat erat. Memanggilnya dengan penuh kasih sayang, ia terus mengguncang-guncang tubuh ibunya. Terus memanggil-manggil.
Sementara di luar lingkaran, wajah-wajah yang menyaksikan tampak ketakutan, ngeri. Karena yang aku lihat adalah berkebalikan dari yang dilihat Ida. Sesosok mahkluk berkepala anjing, bertelinga runcing ke atas, bermulut panjang yang selalu menganga memperlihatkan taring-taring runcing dan lidah yang basah. Sepasang mata merah laksana menyala. Anehnya mahluk yang berkepala srigala hitam ini memiliki tubuh sebatas leher kebawah sama dengan tubuh manusia, kecuali sepasang tangan yang memiliki jari-jari berkuku runcing mengerikan!
"Ada yang salah," Dargo mengerang.
Mendengar itu aku tiba-tiba kalap.
"Ida!" aku menjerit memanggil namanya.
"Lakukanlah sekarang juga, Ida!"
Dengan kemarahan membabi buta, aku terjun masuk ke dalam lingkaran lalu serta merta aku pungut tombak yang tercampak di atas tanah. Aku betot pelukan Ida dari ibunya. Tubuh gadis itu aku tarik. Pelukan terlepas lalu ia jatuh terhempas ke tanah. Lalu tanpa membuang waktu lagi aku mengunjamkan mata tombak sampai tenggelam di jantung sesosok tubuh mengerikan itu yang di mata Ida sesosok itu adalah sosok Ibunya. Ida menjerit. Di luar lingkaran tiga orang lelaki ikut menjerit.
"Tidak. Bukan tanganmu yang melakukannya!" jeritan Dargo mengandung kemurkaan.
"Harus tangan Ida. Kau dengar? Tangan Ida!"
Namun aku sudah gelap mata. Aku cabut tombak dari dada mahkluk berkepala anjing itu. Dan darah pun menyembur-nyembur. Darah berwarna hitam pekat, bukan merah!
Ida pelan-pelan bangkit dari rebahnya. Ia mengawasi ku dengan sepasang mata terbuka lebar, berputarputar liar.
Pelan - pelan pula ia menggeram:
"Kau membunuh ibuku!" dan sinar matanya berubah hijau kemerah-merahan.
"Celaka!" Jampadi Cumiik.
"Akhirnya, kematian juga yang harus terjadi!"
"Zulham!" Tuan Dargo berteriak.
"Lakukan sekarang!"
"Cepat, Zul Jangan sampai terlambat!" Jampadi dan Danny ikut - ikutan berteriak, sehingga suasana yang semula hening lengang di atas bukit terpencil di atas itu, seketika berubah hiruk pikuk dan mengerikan. Mendung di langit kelam sampai terkejut. Buyar berantakan. Dan pelan tetapi pasti, mata rembulan membelalak lebar - lebar. Seakan tak percaya dengan apa yang ia saksikan terjadi di hadapannya.
Tuan Dargo menghambur berusaha masuk ke dalam lingkaran. Sesaat tubuhnya akan masuk tiba –tiba tubuh orang tua itu terlempar ke belakang. Seperti ada dinding tebal yang menghalangi untuk ia masuk ke dalam lingkaran. Tubuhnya terhempas ke tanah. Dadanya sesak. Terlihat cairan merah meleleh dari sudut bibir keriputnya. Danny dan Jampadi langsung menghampiri berusaha untuk membawanya agak menjauh dari lingkaran.
Dan mataku lebih terbelalak lagi. Mulutku terbuka tanpa suara menyaksikan bagaimana wajah cantik gadis di depannya meliuk-liuk aneh kemudian berubah lonjong, kemudian lancip. Bulu - bulu tebal panjang berwarna pirang kecoklatan bermunculan di kulit kulit tubuh Ida yang tidak tertutup. Kemudian, pakaian yang dikenakannya pelan-pelan mulai robek di sana-sini, retas makin lebar oleh dorongan tenaga yang luar biasa kuat, memaksa lepas dari sebelah dalam tubuh yang wujudnya sudah berubah penuh bulu dengan otot - otot ikut membesar itu.
Puncak dari perubahan wujud makhluk pembawa kutuk itu adalah sebuah lolongan lirih dan lengking yang ditujukan pada rembulan. Ketika lolongan itu berakhir, kuku - kuku serta taring-taring runcing tajam telah mencabik-cabik leher dan bagian tubuh ku yang hanya terpana diam tak bergerak. Dalam keadaan sadar dan tidak, aku masih mendengar teriakan-teriakan kacau di luar lingkaran, yang ia tidak tahu apa. Namun secara naluriah, tangan kanan ku yang masih menggenggam batang tombak Sangga Langit mundur dengan pelan ke belakang dan kemudian menerjang tiba-tiba ke depan.
Memang, justru itulah yang semestinya ia lakukan. Sayang ia terlambat. Bila itu ia lakukan sebelum Ida berubah menjadi liar, maka kekasihnya akan mati dalam bentuk yang utuh dan normal sebagai manusia. Selain itu, ia sendiri akan selamat, tetap hidup sebagaimana diharapkan gadis itu. Sayang, sayang sekali!
Tanpa menyadari bahwa bintang bintang ini sendiri ikut tertelan dalam kegelapan. Kemudian tampak setitik cahaya kecil dan lemah. Semakin mereka mendekat, cahaya itu semakin kuat. Berasal dari sebuah lampu petromak yang diletakkan di antara bebatuan yang menonjol di puncak bukit. Sebuah tali mengelilingi sebuah pedataran kecil membentuk lingkaran yang tidak begitu besar.
Tuan Dargo serta Jampadi menyisi diam diam. Memberi tempat pada Ida untuk masuk ke dalam lingkaran yang dibatasi oleh seutas tali lawe berwarna merah. Diterangi samar - samar oleh lidah - lidah cahaya lampu petromak. Gadis itu berdiri tertegun, kaku tak bergerak, dengan mata memandang nanar, tak berkedip.
"Marilah kita memulainya." Tuan Dargo berbisik gemetar.
Tiba –tiba hatinya diliputi ketakutan. Dan ketakutan itu samakin bertambah tambah setelah ia menangkap pandangan tersembunyi di balik sinar mata gadis di dalam lingkaran merah itu. Ia dapat menyelami, di balik mata si gadis tersembunyi suatu keinginan yang kuat. Teramat kuat malah. Apa yang dilihatnya, membuat Dargo merasa cemas.
DARGO membuka bungkusan yang dibawanya dan mengeluarkan tujuh buah bumbung bambu. Lelaki tua itu memberikan isyarat kepada Danny manakala pemuda itu hendak membantunya. Satu demi satu tabung bambu itu ditancapkannya di atas tanah di dalam lingkaran. Hingga berdiri mengelilingi tali lawe berwarna merah itu. Setelah itu dia menyiapkan sebuah pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap dan tebaran bau kemenyan
yang harum tapi terasa mencekam.
Dengan kedua tangannya Dargo memegangi ujung tabung bambu sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang yang tak jelas terdengar oleh ku. Selesai memegangi tabung bambu yang ke tujuh, Dargo kembali ke tabung bambu yang pertama. Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air. Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas sekujur badan Ida. Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya dimasukkan ke dalam tabung bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
"Ida..." Dargo melangkah mendekati gadis itu.
"Dengar baik-baik... Apapun yang terjadi, apapun yang kelak kau saksikan jangan sekali-kali mundur sedikit-pun! Hunjamkan tombak yang kau pegang itu tepat di jantungnya! Jika itu sampai dilanggar, usahaku untuk mematahkan kutukan itu akan sia-sia belaka. Kau dengar itu Ida...?"
Ida menjawab dengan anggukan kepala. Lidahnya terasa terlalu tercekat untuk bisa menjawab. Dargo memutar tubuhnya, kembali melangkah ke luar lingkaran. Disini dia tegak dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan dikembangkan. Dari mulutnya terdengar rapalan mantra yang sama sekali tidak ku mengerti artinya.
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat aneh itu dengan suara keras, lalu Dargo meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti bergumam. Kembali aku ataupun beberapa orang yang hadir disitu tidak dapat mendengar apa sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu.
Namun sesaat kemudian telingaku mendengar suara aneh dari dalam tanah. Bulu kuduk ku berdiri. Mata ku tak berkedip memandang ke dalam lingkaran merah dengan Ida di tengah-tengahnya. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya sesekali muncrat keluar!
Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya berhenti, dari tujuh mulut bambu kini keluar masing-masing segulung asap tipis berwarna kelabu. Tujuh gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika aku memperhatikan lebih lanjut mataku menangkap jelas Ida tampak sangat terkejut melihat pemandangan sesosok tubuh di hadapannya.
Tubuhnya gemetar, tombak pendek yang berada di genggaman tangannya nyaris terjatuh ke tanah. Gulungan asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok tubuh manusia. Mula- mula samar-samar seperti sosok di balik kabut. Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok itu benar-benar tubuh manusia! Dan manusia yang muncul dari asap ini bukan lain adalah sesosok Ibunya yang telah meninggal!
"Sabar, Anakku. Sabar, kuatkan diri mu. Itu hanya bayangan semu " desah Dargo sambil mengawasi gerak gerik Ida yang berada di dalam lingkaran dengan perasaan khawatir.
Sementara aku dan Pak Jampadi memperhatikan dari luar lingkaran setiap gerakan yang dibuat oleh Ida. Di bawah empat pasang mata yang terus mengawasinya dengan waspada, Ida menggumamkan sesuatu lalu tombak Sangga Langit terjatuh berderai di tanah.
Gerakannya tertegun ketika mata gadis itu menangkap rambut rambut tebal hitam, kemudian dahi yang mulus putih kemerahan, alis, kelopak mata yang terbuka memandangnya penuh kasih sayang. Wajah ibu yang ia kasihi dan puja pula, tampak di depan biji mata Ida, dalam keadaan sempurna sebagaimana ketika ibunya masih hidup, dan seakan sangat merindukan anak perempuan kesayangannya yang kini berdiri tegak hanya berjarak dua langkah dengannya. Setelah tertegun sejenak dalam gejolak perasaan yang hingar-bingar galau tak menentu, Ida dengan perasaan tak sabar kemudian berjalan mendekat ke arah sesosok tubuh yang menyerupai ibunya.
Telinganya tidak menangkap suara pelan Dargo:
"Ambil tombak itu! Hunjamkan tepat ke jantungnya Ida! “
Ida memang tidak mendengar semua itu. Lain halnya Pak Jampadi, Danny dan aku. Kami bertiga tersentak oleh suara Dargo yang seolah dentuman meriam dalam kesunyian yang mencekam di kegelapan malam yang sudah menjelang dini hari itu. Keringat mengucur deras sekujur tubuhku. Kaki ku bergetar dengan hebat!
"Aku membaui udara dinihari, Ida!" suara Dargo lebih keras sekarang.
"Cepatlah lakukan sebelum terlambat. Ingat, kekasihmu menunggu dan ia akan membawamu pulang. Ida! Ayo, Nak...."
Seruan-seruan tertahan dan bernada khawatir dari Dargo dihentikan oleh suara gumaman lembut dan lirih dari mulut Ida:
"Ibu..., aku sangat merindukan mu Ibu. Ibu..., peluklah anak yang mencintaimu ini... Ibu, peluk aku ibuuuuu....!"
Dan Ida bukannya melakukan perintah Dargo yang akan menyelamatkan dirinya. Tiba - tiba memeluk sesosok tubuh di depannya itu dengat erat. Memanggilnya dengan penuh kasih sayang, ia terus mengguncang-guncang tubuh ibunya. Terus memanggil-manggil.
Sementara di luar lingkaran, wajah-wajah yang menyaksikan tampak ketakutan, ngeri. Karena yang aku lihat adalah berkebalikan dari yang dilihat Ida. Sesosok mahkluk berkepala anjing, bertelinga runcing ke atas, bermulut panjang yang selalu menganga memperlihatkan taring-taring runcing dan lidah yang basah. Sepasang mata merah laksana menyala. Anehnya mahluk yang berkepala srigala hitam ini memiliki tubuh sebatas leher kebawah sama dengan tubuh manusia, kecuali sepasang tangan yang memiliki jari-jari berkuku runcing mengerikan!
"Ada yang salah," Dargo mengerang.
Mendengar itu aku tiba-tiba kalap.
"Ida!" aku menjerit memanggil namanya.
"Lakukanlah sekarang juga, Ida!"
Dengan kemarahan membabi buta, aku terjun masuk ke dalam lingkaran lalu serta merta aku pungut tombak yang tercampak di atas tanah. Aku betot pelukan Ida dari ibunya. Tubuh gadis itu aku tarik. Pelukan terlepas lalu ia jatuh terhempas ke tanah. Lalu tanpa membuang waktu lagi aku mengunjamkan mata tombak sampai tenggelam di jantung sesosok tubuh mengerikan itu yang di mata Ida sesosok itu adalah sosok Ibunya. Ida menjerit. Di luar lingkaran tiga orang lelaki ikut menjerit.
"Tidak. Bukan tanganmu yang melakukannya!" jeritan Dargo mengandung kemurkaan.
"Harus tangan Ida. Kau dengar? Tangan Ida!"
Namun aku sudah gelap mata. Aku cabut tombak dari dada mahkluk berkepala anjing itu. Dan darah pun menyembur-nyembur. Darah berwarna hitam pekat, bukan merah!
Ida pelan-pelan bangkit dari rebahnya. Ia mengawasi ku dengan sepasang mata terbuka lebar, berputarputar liar.
Pelan - pelan pula ia menggeram:
"Kau membunuh ibuku!" dan sinar matanya berubah hijau kemerah-merahan.
"Celaka!" Jampadi Cumiik.
"Akhirnya, kematian juga yang harus terjadi!"
"Zulham!" Tuan Dargo berteriak.
"Lakukan sekarang!"
"Cepat, Zul Jangan sampai terlambat!" Jampadi dan Danny ikut - ikutan berteriak, sehingga suasana yang semula hening lengang di atas bukit terpencil di atas itu, seketika berubah hiruk pikuk dan mengerikan. Mendung di langit kelam sampai terkejut. Buyar berantakan. Dan pelan tetapi pasti, mata rembulan membelalak lebar - lebar. Seakan tak percaya dengan apa yang ia saksikan terjadi di hadapannya.
Tuan Dargo menghambur berusaha masuk ke dalam lingkaran. Sesaat tubuhnya akan masuk tiba –tiba tubuh orang tua itu terlempar ke belakang. Seperti ada dinding tebal yang menghalangi untuk ia masuk ke dalam lingkaran. Tubuhnya terhempas ke tanah. Dadanya sesak. Terlihat cairan merah meleleh dari sudut bibir keriputnya. Danny dan Jampadi langsung menghampiri berusaha untuk membawanya agak menjauh dari lingkaran.
Dan mataku lebih terbelalak lagi. Mulutku terbuka tanpa suara menyaksikan bagaimana wajah cantik gadis di depannya meliuk-liuk aneh kemudian berubah lonjong, kemudian lancip. Bulu - bulu tebal panjang berwarna pirang kecoklatan bermunculan di kulit kulit tubuh Ida yang tidak tertutup. Kemudian, pakaian yang dikenakannya pelan-pelan mulai robek di sana-sini, retas makin lebar oleh dorongan tenaga yang luar biasa kuat, memaksa lepas dari sebelah dalam tubuh yang wujudnya sudah berubah penuh bulu dengan otot - otot ikut membesar itu.
Puncak dari perubahan wujud makhluk pembawa kutuk itu adalah sebuah lolongan lirih dan lengking yang ditujukan pada rembulan. Ketika lolongan itu berakhir, kuku - kuku serta taring-taring runcing tajam telah mencabik-cabik leher dan bagian tubuh ku yang hanya terpana diam tak bergerak. Dalam keadaan sadar dan tidak, aku masih mendengar teriakan-teriakan kacau di luar lingkaran, yang ia tidak tahu apa. Namun secara naluriah, tangan kanan ku yang masih menggenggam batang tombak Sangga Langit mundur dengan pelan ke belakang dan kemudian menerjang tiba-tiba ke depan.
Memang, justru itulah yang semestinya ia lakukan. Sayang ia terlambat. Bila itu ia lakukan sebelum Ida berubah menjadi liar, maka kekasihnya akan mati dalam bentuk yang utuh dan normal sebagai manusia. Selain itu, ia sendiri akan selamat, tetap hidup sebagaimana diharapkan gadis itu. Sayang, sayang sekali!
Quote:
Surya perlahan –lahan muncul dari ufuk timur. Tiga orang lelaki tampak duduk dengan kuyu, duduk bersimpuh di luar lingkaran merah yang terbuat dari benang lawe. Tak seorang pun dari mereka berbicara. Kecuali hanya menatap ke dalam lingkaran yang perlahan-lahan mulai disinari matahari. Di liang lahat itu tertumpuk sesosok mayat lelaki yang keadaannya mengerikan. Kepalanya hampir tanggal dari badan, dada dan perutnya tercabik – cabik. Usus terburai keluar. Tangan kanannya masih menggenggam sebatang tombak pendek. Mata tombak itu menembus lambung sosok tubuh lainnya. Tubuh berbulu tebal panjang, dengan wajah seekor anjing yang membayangkan sengsara di saat kematian datang merenggut. Dan di antara kedua sosok tubuh yang berlainan rupa maupun wujud itu, tampak berserakan tulang belulang yang menghitam. Hangus.
SELESAI
axxis2sixx dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas