- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#123
Chapter 23
Spoiler for Other:
Gelapnya malam menyelimuti langit pusat kota Jakarta, temaram lampu jalan menemani sedan hitam yang sedang berjalan perlahan di keramaian jalanan, Senja yang tengah duduk di kursi penumpang menatap lurus kedepan memperhatikan setiap gedung perkotaan yang dilaluinya.
"Ehem … maaf tapi kita mau kemana ya sebenarnya?" tanya Naura memecah keheningan.
"Kantor pusat Other di Indonesia yang berada di pusat kota," jawab Devi yang duduk di sebelah Naura.
"Engh, kalian bisa jelaskan tentang Other aku masih bingung dengan organisasi ini."
"Lebih sedikit yang elu tau lebih baik," potong Luna dari kursi kemudi.
"Naura hanya ingin tahu apakah orang-orang yang sekarang sedang membawanya adalah orang baik atau tidak, tidak salahkah ia bertanya demikian?" seru Senja dingin.
"Bagi gua baik dan buruk adalah sebuah persepsi jika itu yang ingin kalian ketahui jawabannya ada setelah kalian sampai di markas kami," jelas Luna konsentrasi menatap jalan di depannya.
"Lalu bagaimana kalian tahu tentang keberadaan Senja?" tanya Naura kembali.
"Kami mendapatkan informasi tentang dia dari masyarakat, akhir-akhir ini muncul desas desus tentang seorang yang bekerja sendirian dalam menyelamatkan orang-orang yang kerasukan dan yang mengejutkannya adalah setiap kami sampai tempat kejadian semua kekacauan telah usai."
"Hmm … Itu artinya aku bekerja lebih cepat," celoteh Senja dengan nada mengejek.
"Cih … iya memang benar lebih cepat akan tetapi bekerja sendirian adalah sebuah tindakan bodoh," decih Luna kala itu.
"Maksudnya?" tanya Naura.
"Beberapa hari yang lalu lelaki bodoh ini terluka bukan?"
Senja terdiam mendengarkan pertanyaan Luna yang tepat sasaran.
"Dalam penanganan kasus kerasukan biasanya kami para Other bekerja berkelompok, seperti sekarang ini gua dan Luna di tugaskan berdua untuk menjemput kalian," terang Devi menjelaskan.
"Lalu ada urusan apa Other dengan Senja?" tanya Naura selidik.
"Beberapa bulan terakhir sebuah sekte sesat telah muncul ke permukaan, mereka mengatas namakan sekte mereka sekte kebangkitan ratu iblis, pergerakan mereka mulai terdeteksi para anggota Other," pungkas Luna.
"Mereka merekrut orang-orang kedalam jalan kesesatan dengan iming-iming harta dan tahta secara instan, akan tetapi mereka harus memberikan sebuah tumbal," tambah Devi.
"Tumbal?" tanya Naura kembali.
"Tumbal seorang gadis perawan suci untuk ditukar dengan segala materi di dunia ini," seru Senja menjawab pertanyaan Naura.
Luna dan Devi langsung menatap Senja dengan tatapan kaget.
"Kenapa? Kalian kira hanya kalian yang memiliki informasi tentang sekte sesat itu? Informan ku lebih terpercaya dibandingkan dengan kalian," seru Senja masih menatap jalanan di depannya.
Luna kembali menoleh kearah depan fokus ke jalan di depannya, "Akhir-akhir ini juga marak penculikan anak dibawah umur namun pihak berwajib seperti lepas tangan dari kenyataan di jalanan, ini semua dikarenakan para korban merupakan gadis-gadis remaja yang kesehariannya merupakan anak jalanan yang tidak jelas asal usulnya," jelas Luna.
"Biadab!!" seru Naura geram.
Mobil sedan tersebut akhirnya berhenti di depan sebuah gedung tua berarsitektur khas jaman belanda, Senja dan Naura mulai keluar dari dalam mobil disusul Luna dan Devi yang mengikuti mereka.
"Mari ikuti saya," seru Devi mulai memasuki gedung tersebut.
Gedung tua ini terlihat kosong mungkin karena terhitung sudah malam jadi tidak ada aktifitas pegawai kantor di dalamnya.
Luna dan Devi berdiri di ambang pintu lift dan mulai memencet tombol lift tersebut, tak lama berselang pintu terbuka dan mereka memasuki ruang lift tersebut bersamaan.
"Hei..! Apa kalian hanya akan menunggu disana? Ayo masuk," seru Luna pada Senja dan Naura di bibir pintu lift.
Senja mulai memasuki lift tanpa ragu disusul Naura di belakangnya, tak lama pintu lift tertutup dan mulai berjalan kearah bawah membawa rombongan tersebut kedalam tanah.
"Markas kalian di bawah tanah?" tanya Senja selidik.
"Iya, agar meminimalisir serangan dari musuh dan lagi Other merupakan divisi rahasia yang keberadaannya tidak boleh diketahui khalayak ramai," terang Luna.
-ting-
Pintu lift terbuka, sebuah ruangan megah layaknya lobby kantor menjadi pemandangan pertama setelah pintu lift terbuka, di depan mereka sedang duduk seorang wanita dengan blous warna merah yang sedang terlihat sibuk dengan tugas di meja kerjanya.
"Malam kak, kami datang bersama Senja dan temannya, apa bapa Albert ada di ruangannya?" tanya Luna sopan kepada wanita di lobby tersebut.
"Oh ternyata kamu Luna, bapa Albert masih ada kok di ruangannya," terang sang wanita masih berkutat dengan komputer di atas meja.
"Baik, terima kasih kak," seru Luna yang kemudian berlalu menuju sebuah pintu otomatis di sebelah kanannya, "Senja ikuti aku, Devi kamu disini menemani Naura," perintah Luna.
"Siap kak!" seru Devi sigap.
"Naura," panggil Senja.
"Iya mas?"
"Ini tidak akan lama," jelas Senja sembari menatap Naura.
Naura mengangguk mengiyakan permintaan Senja dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. Luna segera memasuki pintu disusul Senja yang mengekor di belakangnya.
Lorong putih berhiaskan lukisan-lukisan kuno dan tulisan sansekerta di dinding menemani tiap langkah Luna dan Senja, Senja merasakan sesuatu yang aneh ketika sampai di lorong itu, walaupun ia berada di bawah tanah ia tidak merasakan pengap sedikit pun yang ada adalah aura hangat yang menjalar sampai ke relung hatinya, langkah Senja terhenti tatkala menemukan sebuah pintu kayu di ujung lorong tersebut, aura energi yang besar sangat terasa di balik pintu tersebut.
"Kita sudah sampai, silakan masuk Senja," seru Luna sambil membuka pintu kayu tersebut.
"Assalamualaikum," salam Senja kepada sesosok lelaki paruh baya yang sedang membelakanginya, lelaki tersebut memakai kemeja hitam dengan topi kupluk hitam menutup rambut putih dikepalanya.
"Waalaikumsalam, akhirnya kamu datang juga Senja," seru sang lelaki yang segera membalikkan badannya dan menatap Senja dalam-dalam, "Luna, terima kasih sudah mengantarkan tuan Senja kesini," seru sang lelaki kepada Luna.
"Siap bapa, saya permisi dulu," pamit Luna yang kemudian mengundurkan diri keluar dari ruangan tersebut.
"Silakan duduk Senja, mau minum sesuatu?" tanya lelaki yang biasa di panggil bapa Albert tersebut dengan ramah.
"Tidak perlu repot-repot toh saya juga tidak bisa lama-lama disini," seru Senja enggan untuk berlama-lama.
"Apa karena temanmu yang bernama Naura yang sekarang berada di lobi? " tanya bapa Albert.
"Bagaimana anda …"
"Aku tahu semua Senja, tapi kamu tidak perlu takut karena saya juga sama seperti kamu … spesial, bahkan faktanya semua orang yang mendiami gedung ini adalah orang-orang yang memiliki kelebihan khusus."
"Maksud anda?"
"Orang awam melabelkan kita dengan sebutan indigo, paranormal, anak-anak aneh yang bisa melihat hantu dan sebagainya, namun disini didalam Other kita semua adalah keluarga, keluarga yang saling membantu terlepas dari segala perbedaan kita," seru bapa Albert sembari duduk di kursi kayu miliknya.
"Maaf saya tidak suka basa basi, bisakah kita langsung ke intinya, ada perlu apa anda dengan saya?" tanya Senja menatap bapa Albert serius.
Pak Albert tersenyum seraya berkata, "langsung ke inti masalahnya, baiklah … Senja maukah kamu bergabung dengan kami para Other?"
Senja terdiam tengah menelaah permintaan dari bapa Albert di depannya.
"Tidak perlu terburu-buru menjawabnya toh masih banyak waktu sebelum kesepakatan dengan ayahmu berakhir," terang bapa Albert sambil menyisip teh hangat di meja kerjanya.
"Kesepakatan? Kesepakatan apa? Tolong jelaskan maksud anda!" tanya Senja.
Bapa Albert mengambil kacamata miliknya dan mulai membersihkan kacanya dengan sehelai tisu sambil mulai berbicara, "tujuh belas tahun yang lalu ayahmu datang kepada kami dan meminta perlindungan dari Other, itu semua ia lakukan agar Evelin nenekmu tidak dapat menemukan keberadaan ayahmu dan dirimu yang kala itu masih bayi, apa ayahmu tidak memberitahukanmu tentang kami?" tanya bapa Albert memastikan.
"Tidak … tidak sama sekali," jawab Senja.
"Hhhmfh … saya memaklumi tindakan ayah kamu, dari pandangan saya sebagai seorang ayah saya juga tidak ingin anak saya terjerumus kedalam dunia batas ini," seru pak Albert memakai kacamatanya kembali.
"Dunia batas?"
"Iya, dunia batas dimana dimensi manusia dan dimensi mahkluk tak kasat mata saling bersinggungan dan kita berdiri disini sebagai pelindung dan penjaga diantara dua dunia tersebut."
Senja terdiam sembari menatap bapa Albert lekat-lekat, "saya akan memikirkan permintaan anda kembali, saya butuh waktu untuk bicara empat mata dengan ayah saya."
Pak Albert berdiri seraya menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Senja, Senja menyambut tangan pak Albert, "baiklah terimakasih Senja atas waktunya, saya harap kamu bisa disini bersama kami."
Senja menganggukkan kepalanya dan kemudian berbalik arah dan berjalan perlahan menuju pintu kayu yang tadi ia lalui, sedangkan pak Albert masih berdiri menatap punggung Senja yang berlalu meninggalkan ruang kerja miliknya.
"Hmmm … seorang anak lelaki dengan dua jiwa yang ada di dalam satu tubuh, terlebih lagi energi iblis yang terkurung didalam dirinya sangatlah besar … andai ia tahu kebenaran tentang iblis tersebut ia pasti akan sangat hancur," gumam bapa Albert dalam hati.
Senja berjalan menyusuri lorong yang tadi ia lalui ditengah jalan lorong tersebut ia bertemu dengan Luna yang menunggunya sedari tadi.
"Apa yang bapa Albert katakan?" tanya Luna.
Senja menatap dingin Luna seraya berkata, "maaf … tapi apa yang pak Albert tanyakan padaku bukan urusanmu," kemudian Senja berlalu meninggalkan Luna di lorong tersebut.
Tak memakan waktu lama Senja sampai ke lobi ruang bawah tanah tersebut, disana sedang duduk Naura yang tengah berbincang-bincang dengan Devi.
"Naura ayo kita pulang, sudah larut," perintah Senja pada Naura.
"Oh iya, Devi terima kasih ya," seru Naura kepada Devi yang kala itu sedang duduk di sofa.
"Iya mbok Naura sama-sama, lain kali main lagi ya kesini," pinta Devi.
"Iya Insyallah kalau ada waktu aku pasti main-main lagi kesini."
"Mbok?" tanya Senja heran.
"Itu logat bali buat kakak perempuan tau, yuk pulang yuk," seru Naura kepada Senja.
"Devi aku pamit dulu ya," seru Senja.
"Iya bli, hati-hati di jalan."
Senja dan Naura memasuki pintu lift dan berlalu meninggalkan gedung tersebut.
Sedangkan di lobi Luna berjalan perlahan kearah Devi yang masih duduk di sofa.
"Bagaimana menurut kamu Dev?"
Devi terdiam mendengar pertanyaan Luna.
"Kenapa diam aja?" tanya Luna selidik.
"Devi takut Lun," terang Devi langsung.
"Apa yang elu takutin?"
"Setiap mencoba menerawang bli Senja agar bisa mendapatkan informasi Devi berasa ditatap balik sama seseorang," terang Devi menunduk menahan takut.
"Ditatap siapa?"
"Seseorang … seseorang yang lebih menakutkan dibanding iblis yang ada di dalam tubuhnya."
Bersambung..
"Ehem … maaf tapi kita mau kemana ya sebenarnya?" tanya Naura memecah keheningan.
"Kantor pusat Other di Indonesia yang berada di pusat kota," jawab Devi yang duduk di sebelah Naura.
"Engh, kalian bisa jelaskan tentang Other aku masih bingung dengan organisasi ini."
"Lebih sedikit yang elu tau lebih baik," potong Luna dari kursi kemudi.
"Naura hanya ingin tahu apakah orang-orang yang sekarang sedang membawanya adalah orang baik atau tidak, tidak salahkah ia bertanya demikian?" seru Senja dingin.
"Bagi gua baik dan buruk adalah sebuah persepsi jika itu yang ingin kalian ketahui jawabannya ada setelah kalian sampai di markas kami," jelas Luna konsentrasi menatap jalan di depannya.
"Lalu bagaimana kalian tahu tentang keberadaan Senja?" tanya Naura kembali.
"Kami mendapatkan informasi tentang dia dari masyarakat, akhir-akhir ini muncul desas desus tentang seorang yang bekerja sendirian dalam menyelamatkan orang-orang yang kerasukan dan yang mengejutkannya adalah setiap kami sampai tempat kejadian semua kekacauan telah usai."
"Hmm … Itu artinya aku bekerja lebih cepat," celoteh Senja dengan nada mengejek.
"Cih … iya memang benar lebih cepat akan tetapi bekerja sendirian adalah sebuah tindakan bodoh," decih Luna kala itu.
"Maksudnya?" tanya Naura.
"Beberapa hari yang lalu lelaki bodoh ini terluka bukan?"
Senja terdiam mendengarkan pertanyaan Luna yang tepat sasaran.
"Dalam penanganan kasus kerasukan biasanya kami para Other bekerja berkelompok, seperti sekarang ini gua dan Luna di tugaskan berdua untuk menjemput kalian," terang Devi menjelaskan.
"Lalu ada urusan apa Other dengan Senja?" tanya Naura selidik.
"Beberapa bulan terakhir sebuah sekte sesat telah muncul ke permukaan, mereka mengatas namakan sekte mereka sekte kebangkitan ratu iblis, pergerakan mereka mulai terdeteksi para anggota Other," pungkas Luna.
"Mereka merekrut orang-orang kedalam jalan kesesatan dengan iming-iming harta dan tahta secara instan, akan tetapi mereka harus memberikan sebuah tumbal," tambah Devi.
"Tumbal?" tanya Naura kembali.
"Tumbal seorang gadis perawan suci untuk ditukar dengan segala materi di dunia ini," seru Senja menjawab pertanyaan Naura.
Luna dan Devi langsung menatap Senja dengan tatapan kaget.
"Kenapa? Kalian kira hanya kalian yang memiliki informasi tentang sekte sesat itu? Informan ku lebih terpercaya dibandingkan dengan kalian," seru Senja masih menatap jalanan di depannya.
Luna kembali menoleh kearah depan fokus ke jalan di depannya, "Akhir-akhir ini juga marak penculikan anak dibawah umur namun pihak berwajib seperti lepas tangan dari kenyataan di jalanan, ini semua dikarenakan para korban merupakan gadis-gadis remaja yang kesehariannya merupakan anak jalanan yang tidak jelas asal usulnya," jelas Luna.
"Biadab!!" seru Naura geram.
Mobil sedan tersebut akhirnya berhenti di depan sebuah gedung tua berarsitektur khas jaman belanda, Senja dan Naura mulai keluar dari dalam mobil disusul Luna dan Devi yang mengikuti mereka.
"Mari ikuti saya," seru Devi mulai memasuki gedung tersebut.
Gedung tua ini terlihat kosong mungkin karena terhitung sudah malam jadi tidak ada aktifitas pegawai kantor di dalamnya.
Luna dan Devi berdiri di ambang pintu lift dan mulai memencet tombol lift tersebut, tak lama berselang pintu terbuka dan mereka memasuki ruang lift tersebut bersamaan.
"Hei..! Apa kalian hanya akan menunggu disana? Ayo masuk," seru Luna pada Senja dan Naura di bibir pintu lift.
Senja mulai memasuki lift tanpa ragu disusul Naura di belakangnya, tak lama pintu lift tertutup dan mulai berjalan kearah bawah membawa rombongan tersebut kedalam tanah.
"Markas kalian di bawah tanah?" tanya Senja selidik.
"Iya, agar meminimalisir serangan dari musuh dan lagi Other merupakan divisi rahasia yang keberadaannya tidak boleh diketahui khalayak ramai," terang Luna.
-ting-
Pintu lift terbuka, sebuah ruangan megah layaknya lobby kantor menjadi pemandangan pertama setelah pintu lift terbuka, di depan mereka sedang duduk seorang wanita dengan blous warna merah yang sedang terlihat sibuk dengan tugas di meja kerjanya.
"Malam kak, kami datang bersama Senja dan temannya, apa bapa Albert ada di ruangannya?" tanya Luna sopan kepada wanita di lobby tersebut.
"Oh ternyata kamu Luna, bapa Albert masih ada kok di ruangannya," terang sang wanita masih berkutat dengan komputer di atas meja.
"Baik, terima kasih kak," seru Luna yang kemudian berlalu menuju sebuah pintu otomatis di sebelah kanannya, "Senja ikuti aku, Devi kamu disini menemani Naura," perintah Luna.
"Siap kak!" seru Devi sigap.
"Naura," panggil Senja.
"Iya mas?"
"Ini tidak akan lama," jelas Senja sembari menatap Naura.
Naura mengangguk mengiyakan permintaan Senja dengan senyum tipis menghiasi bibirnya. Luna segera memasuki pintu disusul Senja yang mengekor di belakangnya.
Lorong putih berhiaskan lukisan-lukisan kuno dan tulisan sansekerta di dinding menemani tiap langkah Luna dan Senja, Senja merasakan sesuatu yang aneh ketika sampai di lorong itu, walaupun ia berada di bawah tanah ia tidak merasakan pengap sedikit pun yang ada adalah aura hangat yang menjalar sampai ke relung hatinya, langkah Senja terhenti tatkala menemukan sebuah pintu kayu di ujung lorong tersebut, aura energi yang besar sangat terasa di balik pintu tersebut.
"Kita sudah sampai, silakan masuk Senja," seru Luna sambil membuka pintu kayu tersebut.
"Assalamualaikum," salam Senja kepada sesosok lelaki paruh baya yang sedang membelakanginya, lelaki tersebut memakai kemeja hitam dengan topi kupluk hitam menutup rambut putih dikepalanya.
"Waalaikumsalam, akhirnya kamu datang juga Senja," seru sang lelaki yang segera membalikkan badannya dan menatap Senja dalam-dalam, "Luna, terima kasih sudah mengantarkan tuan Senja kesini," seru sang lelaki kepada Luna.
"Siap bapa, saya permisi dulu," pamit Luna yang kemudian mengundurkan diri keluar dari ruangan tersebut.
"Silakan duduk Senja, mau minum sesuatu?" tanya lelaki yang biasa di panggil bapa Albert tersebut dengan ramah.
"Tidak perlu repot-repot toh saya juga tidak bisa lama-lama disini," seru Senja enggan untuk berlama-lama.
"Apa karena temanmu yang bernama Naura yang sekarang berada di lobi? " tanya bapa Albert.
"Bagaimana anda …"
"Aku tahu semua Senja, tapi kamu tidak perlu takut karena saya juga sama seperti kamu … spesial, bahkan faktanya semua orang yang mendiami gedung ini adalah orang-orang yang memiliki kelebihan khusus."
"Maksud anda?"
"Orang awam melabelkan kita dengan sebutan indigo, paranormal, anak-anak aneh yang bisa melihat hantu dan sebagainya, namun disini didalam Other kita semua adalah keluarga, keluarga yang saling membantu terlepas dari segala perbedaan kita," seru bapa Albert sembari duduk di kursi kayu miliknya.
"Maaf saya tidak suka basa basi, bisakah kita langsung ke intinya, ada perlu apa anda dengan saya?" tanya Senja menatap bapa Albert serius.
Pak Albert tersenyum seraya berkata, "langsung ke inti masalahnya, baiklah … Senja maukah kamu bergabung dengan kami para Other?"
Senja terdiam tengah menelaah permintaan dari bapa Albert di depannya.
"Tidak perlu terburu-buru menjawabnya toh masih banyak waktu sebelum kesepakatan dengan ayahmu berakhir," terang bapa Albert sambil menyisip teh hangat di meja kerjanya.
"Kesepakatan? Kesepakatan apa? Tolong jelaskan maksud anda!" tanya Senja.
Bapa Albert mengambil kacamata miliknya dan mulai membersihkan kacanya dengan sehelai tisu sambil mulai berbicara, "tujuh belas tahun yang lalu ayahmu datang kepada kami dan meminta perlindungan dari Other, itu semua ia lakukan agar Evelin nenekmu tidak dapat menemukan keberadaan ayahmu dan dirimu yang kala itu masih bayi, apa ayahmu tidak memberitahukanmu tentang kami?" tanya bapa Albert memastikan.
"Tidak … tidak sama sekali," jawab Senja.
"Hhhmfh … saya memaklumi tindakan ayah kamu, dari pandangan saya sebagai seorang ayah saya juga tidak ingin anak saya terjerumus kedalam dunia batas ini," seru pak Albert memakai kacamatanya kembali.
"Dunia batas?"
"Iya, dunia batas dimana dimensi manusia dan dimensi mahkluk tak kasat mata saling bersinggungan dan kita berdiri disini sebagai pelindung dan penjaga diantara dua dunia tersebut."
Senja terdiam sembari menatap bapa Albert lekat-lekat, "saya akan memikirkan permintaan anda kembali, saya butuh waktu untuk bicara empat mata dengan ayah saya."
Pak Albert berdiri seraya menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Senja, Senja menyambut tangan pak Albert, "baiklah terimakasih Senja atas waktunya, saya harap kamu bisa disini bersama kami."
Senja menganggukkan kepalanya dan kemudian berbalik arah dan berjalan perlahan menuju pintu kayu yang tadi ia lalui, sedangkan pak Albert masih berdiri menatap punggung Senja yang berlalu meninggalkan ruang kerja miliknya.
"Hmmm … seorang anak lelaki dengan dua jiwa yang ada di dalam satu tubuh, terlebih lagi energi iblis yang terkurung didalam dirinya sangatlah besar … andai ia tahu kebenaran tentang iblis tersebut ia pasti akan sangat hancur," gumam bapa Albert dalam hati.
Senja berjalan menyusuri lorong yang tadi ia lalui ditengah jalan lorong tersebut ia bertemu dengan Luna yang menunggunya sedari tadi.
"Apa yang bapa Albert katakan?" tanya Luna.
Senja menatap dingin Luna seraya berkata, "maaf … tapi apa yang pak Albert tanyakan padaku bukan urusanmu," kemudian Senja berlalu meninggalkan Luna di lorong tersebut.
Tak memakan waktu lama Senja sampai ke lobi ruang bawah tanah tersebut, disana sedang duduk Naura yang tengah berbincang-bincang dengan Devi.
"Naura ayo kita pulang, sudah larut," perintah Senja pada Naura.
"Oh iya, Devi terima kasih ya," seru Naura kepada Devi yang kala itu sedang duduk di sofa.
"Iya mbok Naura sama-sama, lain kali main lagi ya kesini," pinta Devi.
"Iya Insyallah kalau ada waktu aku pasti main-main lagi kesini."
"Mbok?" tanya Senja heran.
"Itu logat bali buat kakak perempuan tau, yuk pulang yuk," seru Naura kepada Senja.
"Devi aku pamit dulu ya," seru Senja.
"Iya bli, hati-hati di jalan."
Senja dan Naura memasuki pintu lift dan berlalu meninggalkan gedung tersebut.
Sedangkan di lobi Luna berjalan perlahan kearah Devi yang masih duduk di sofa.
"Bagaimana menurut kamu Dev?"
Devi terdiam mendengar pertanyaan Luna.
"Kenapa diam aja?" tanya Luna selidik.
"Devi takut Lun," terang Devi langsung.
"Apa yang elu takutin?"
"Setiap mencoba menerawang bli Senja agar bisa mendapatkan informasi Devi berasa ditatap balik sama seseorang," terang Devi menunduk menahan takut.
"Ditatap siapa?"
"Seseorang … seseorang yang lebih menakutkan dibanding iblis yang ada di dalam tubuhnya."
Bersambung..
simounlebon dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas