- Beranda
- Stories from the Heart
Masa Silam & Indera Keenam
...
TS
djendradjenar
Masa Silam & Indera Keenam
Bagian 1
Sebuah cermin kuno, bentuknya lonjong seperti telur, pinggirannya dilapisi besi bercat hitam, tepat di sisi bagian tengahnya ada engsel yang tersambung pada dua tiang sejajar dan mengapit cermin kuno itu, yang entah dari mana asalnya. Cermin yang hidup. Cermin yang dihuni oleh senyawa tak kasat mata. Menurut Parit, penghuninya adalah Serupa Perempuan Tanpa Pakaian, ia menyebutnya begitu. Tak ada penjelasan lebih selain hal itu. Si penghuni cermin kuno tak suka interogasi. Hanya kembang kamboja yang sangat ia sukai. Kembang yang kebanyakan tumbuh subur di area pemakaman, tempat yang dihuni manusia-manusia yang jiwanya telah mati.
Sebelumnya, disalah satu kamar yang selalu nampak terlihat pucat meski bercat putih dalam apartemen itu, di mana cermin kuno itu diletakan beralas sehelai kain putih berbahan sutera, kain itu menutupi keseluruhan meja bundar. Dan ada sepasang lilin dalam dua wadah kuno bergambar seorang Dewi yang kepalanya dihiasi rangkaian kembang. Parit meyakini, rangkaian kembang bak mahkota itu adalah juga kamboja. Semalam, beberapa jam sebelum tepat tengah malam, Parit terlebih dahulu memanjakan si penghuni dengan puluhan kembang kamboja yang ditaruhnya mengelilingi cermin kuno. Hanya itu sesajen yang dibutuhkan agar cermin kuno mampu bekerja dengan baik. Bekerja secara luar biasa dengan cara memperlihatkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia supranatural yang tak ternalar oleh akal.
Setelah semuanya selesai dilakukan, cermin kuno yang diletakan berdiri di antara dua tiang itu kembali terasa beraura suram dan menghitam. Si penghuni cermin kuno pun keluar. Seperti asap yang menggumpal secara perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu melesat menuju tempat lain yang juga berada di ruangan itu. Sebuah kursi goyang. Terbuat dari rotan. Mungkin umurnya sudah lebih dari seabad. Parit selalu bergetar manakala itu terjadi, ketika segumpal asap hitam itu mewujud menjadi kelebatan berupa helaian-helaian rambut yang panjang. Kira-kira tiga meter panjang rambut itu. Rambut yang kemudian menutupi bagian vital wujud serupa perempuan itu, yang memang tanpa pakaian.
Sebelum menghilang dari sepasang mata yang memandang, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu mencabut sisir dari atas kepalanya. Wajahnya tak pernah terlihat. Sepertinya itu adalah sesuatu yang terlarang. Dan sisir itu lebih menyerupai tulang belulang yang tipis, mungkin tulang ikan zaman purbakala, namun lebih berkesan seram. Parit kemudian berjalan mundur. Pelan. Perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu sesaat menyisir rambutnya, namun meski telah berjam-jam melakukannya, rambut sepanjang tiga meter itu tak pernah rapi.
Lalu, Parit keluar dari dalam kamar yang resmi ia keramatkan itu seminggu setelah ia memutuskan untuk membeli cermin kuno dan kursi goyang itu di sebuah toko antik yang di kelola orang keturunan Tionghoa di jalan Braga, Bandung. Awalnya ia mendapatkan tekanan berupa dorongan yang begitu kuat untuk memiliki cermin kuno dan kursi goyang itu karena kerap kali melewati toko yang menjual barang antik itu hampir setiap malam, dulu ketika ia masih menjadi berandalan malam. Setelah lewat beberapa tahun, Parit rela menguras tabungan karena kedua benda kuno itu dibandrol dengan harga tinggi, Parit justru mendapatkan ragam penglihatan bernuansa keganjilan yang mau tidak mau sangat menguras pikirannya untuk hanya memecahkan teka teki penglihatan itu.
Dulu, karena dihinggapi rasa penasaran, Parit pernah sengaja mengintip, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu dilihatnya sedang menari. Rambut panjangnya digunakan sebagai selempang dan dimainkannya dengan gerakan gemulai. Tarian itu seperti Ronggeng. Dan di lain hari, ia pun kembali pernah melakukan hal yang sama, ketika mengintip, yang dilihatnya sosok itu sedang menduduki kursi goyang sambil bersenandung. Tak ubahnya seperti Sinden.
Suatu hari, beberapa bulan setelah membeli cermin kuno dan kursi goyang itu, Parit merasakan empati yang mendalam terhadap Serupa Perempuan Tanpa Pakaian. Empati itu adalah selangkah wujud rasa simpati yang muncul dari dalam hati karena Parit merasa banyak mendapatkan penglihatan. Parit, karena perasaannya yang mendalam itu kemudian memberikan beragam sesajen yang dibelinya di pasar tradisional, di sebuah lapak tukang rampe, tentu saja selain kembang kamboja. Namun, si penghuni cermin kuno itu tidak menyukainya. Padahal dalam dunia gaib, hampir semua mahluk tak kasat mata selalu menyukai sesajen.
Menurut kepercayaan para orang tua zaman dulu, tentu saja dengan kegiatan serupa yang selalu diperlihatkan para dukun, cenayang dan ahli nujum, ada hari-hari tertentu untuk menyuguhkan sesajen, malam selasa dan malam jumat. Terlebih lagi menjelang malam kliwon di antara dua hari yang dikhususkan itu. Konon, orang yang memberikan sesajen harus bersih lahir batinnya, tidak boleh ada hubungan birahi sebelumnya, dan jika diperlukan, seharian itu tak boleh meninggalkan rumah, atau tempat di mana sesajen itu diletakan.
“Apa ini tidak musrik?” Kata sang kekasih pada suatu hari ketika mendapati Parit sibuk menyiapkan sesajen.
“Tentu saja tidak. Ini adalah bentuk ucapan terima kasih kepada si penghuni cermin kuno.” Kata Parit meyakinkan. “Di dunia ini tidak hanya ada kita, manusia.” Katanya lagi.
“Tapi hal semacam ini dilarang.” Ucap sang kekasih menegaskan.
“Siapa yang melarang? Agama? Agamamu tentunya. Aku ini tidak beragama. Aku tidak punya Tuhan.” Kata Parit dengan tenang.
“Jangan sembarangan!” Sang kekasih merasa jengah.
“Itu benar. Di mana Tuhan ketika hidupku menderita? Ketika aku terpaksa mencari sesuap nasi di jalanan yang
kehidupannya keparat itu. Lebih jauh lagi, di mana Tuhan ketika seorang ibu tega membuangku?” Jantung Parit berdebar.
“Parit, sudahlah. Jangan diteruskan.” Kata sang kekasih dengan suara lirih.
Perempuan yang menjadi kekasihnya itu selalu terganggu jika Parit mulai membicarakan masa lalu. Sebuah masa yang bagi Parit adalah semacam kutukan. Dan anehnya, Parit sama sekali tak memperbolehkan kekasihnya untuk sekedar melihat ritual yang dilakukannya di dalam kamar yang dikeramatkan. Kamar itu terkunci rapat dan terlarang bagi sang kekasih yang kerap dihinggapi rasa penasaran mendalam.
“Tidak, Tuhan tidak ada!” Nada suara Parit meninggi. Meski dalam hatinya ia meyakini sesuatu yang gaib, seperti halnya si penghuni cermin kuno. Tetapi untuk ukuran Tuhan, entahlah, Parit masih menyimpan dendam di masa lalu, sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa hidup itu tidak adil.
Sang kekasih diam. Situasi yang kerap terulang itu kembali memaksanya bungkam. Ia tahu harus segera mengakhiri percakapan dan membiarkan laki-laki di hadapannya melakukan apa yang diinginkannya. Memberikan sesajen. Hal itu kemudian dilakukan Parit seorang diri selepas pukul tujuh malam. Setelahnya, ia tidak meninggalkan apartemen. Ia tidak tidur. Juga tidak bercengkerama mesra karena kekasihnya bekerja giliran malam sebagai perawat di sebuah rumah sakit kenamaan di kota Bandung.
Hingga berjam-jam lamanya yang dilakukan Parit hanya merokok dan minum kopi hitam yang pemanisnya menggunakan gula merah. Ia duduk di ruang tengah dalam keadaan lampu temaram. Dan menahan kantuk. Tiba-tiba, dari balik kamar yang ia keramatkan terdengar kegaduhan. Parit pun terjaga. Rasa kantuk hilang entah ke mana. Ada yang lain yang dirasakannya. Ia merasa tidak enak hati, kegaduhan yang mengganggu pendengarannya lebih menyerupai aksi seseorang yang sedang mengamuk dan membanting barang-barang. Namun Parit hanya diam. Ia tak berani untuk sekedar membuka pintu kamar itu.
Menjelang subuh. Parit merasa itu adalah waktu yang tepat untuk membuka pintu, masuk ke dalam kamar yang dikeramatkan. Dengan perlahan pintu itu dibukanya. Jantung berdegup kencang. Keringat bercucuran. Dan, terbukalah pintu kamar itu. Parit kaget dan tersentak. Sejenak yang dilakukannya hanya berdiri mematung. Seluruh otot tubuhnya menjadi kaku. Sesajen yang disajikan Parit berantakan di atas lantai. Semuanya. Tak terkecuali.
Kemudian kursi goyang terlihat bergerak perlahan. Parit, yang kedalaman pandangan matanya mampu menembus alam tak kasat mata itu mendapati Serupa Perempuan Tanpa Pakaian duduk di kursi goyang dengan posisi membelakangi. Tiga meter panjang rambutnya terjuntai melalui leher kursi. Ujung-ujung rambut itu lebih menyerupai ijuk. Begitu tebal dan kasar. Sekian detik yang menegangkan itu perlahan dikuasai Parit. Ia memberanikan diri untuk bertanya, dengan napas terengah-engah.
“Maaf, apa Mbok tidak suka?” Tanya Parit. Suaranya datar. Namun bergetar.
Sebenarnya pertanyaan itu sudah terjawab dengan sesajen yang berantakan di atas lantai. Parit hanya penasaran, ia ingin mendengar suara Serupa Perempuan Tanpa Pakaian yang berkelebatan di hadapannya itu. Kemudian ujung-ujung rambut itu bergerak. Persis seperti ular. Dan gerakan bak tanaman liar merambat itu membentuk huruf-huruf. Lalu, Parit dengan jelas mengetahui bahwa sosok tak beraga itu tak menyukai sesajen.
“Iya. Saya minta maaf, Mbok.” Ucap Parit lalu menelan ludah. “Kalau boleh tahu, siapa nama Mbok?” Katanya lagi dengan perasaan berdebar-debar.
Untuk kedua kalinya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban mencengangkan.
“Ah, Nuningsih. Mbok Nuningsih.” Ucap Parit pelan. Kedengarannya seperti nama orang Jawa. Katanya dalam hati. Dan ia sangat yakin. “Berapa umur Mbok Nuningsih? Kalau saya boleh tahu.” Tanyanya lagi penasaran.
Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban yang diinginkan Parit. Delapan puluh dua tahun. Usia yang terbilang masih muda. Bahkan belum mencapai angka seratus tahun, karena ia berpikir sudah mencapai ratusan tahun. Lalu melintaslah sebuah pemikiran. Parit, entah kenapa merasa mendapatkan keyakinan, bahwa Mbok Nuningsih itu korban pembunuhan. Dan mengingat sosok perempuan itu tidak mengenakan pakaian, bisa jadi sebelumnya adalah korban pemerkosaan.
Hati Parit menyalak. “Ya, ia pasti dirudapaksa sebelum dibunuh. Dan ia perempuan Jawa.”
Naluri Parit kemudian menghubungkan dugaan-dugaan itu. Dan ia teringat pula penjelasan si pemilik toko barang antik itu, keturunan ras Tionghoa itu mengatakan bahwa cermin kuno dan kursi goyang itu didapatkan dari daerah perkampungan di Jawa, dekat sungai Brantas. Kemudian rasa penasaran memaksa Parit untuk mendapatkan kebenaran yang diyakininya itu.
“Apa, Mbok korban pembantaian massal?” Parit melontarkan pertanyaan. Dan nampaknya itu adalah hal yang menyakitkan karena membuka luka lama. Parit merobek luka itu dan membuatnya menganga.
Dalam hitungan detik, suasana berubah penuh ketegangan, ujung-ujung rambut itu menjelma bak kipas raksasa. Serupa Perempuan Tak Berpakaian itu marah. Ia mengibaskan kipas raksasa itu dengan sekali hentakan. Parit tersungkur keluar dari dalam kamar. Ia jatuh terjerembab di atas lantai. Dan pintu itu kemudian tertutup rapat. Parit kaget setengah mati, napasnya kembali terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang.
Dan, dalam kondisi yang luar biasa tak karuan itulah ia yakin telah mendapatkan jawabannya. Bahwa apa yang sejenak lalu dipikirkannya adalah sebuah kebenaran pahit yang menyakitkan. Kebenaran yang membuat arwah Mbok Nuningsih bergentayangan. Ada dendam yang belum terbalaskan. Dan sejak kejadian itu, Parit diam-diam tergerak untuk mencaritahu, apapun itu. Ia merasa sudah terikat dan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu. Ada beban berat yang kemudian terpikul dipundaknya, seolah Mbok Nuningsih selalu mengikuti ke manapun Parit pergi. Dan dalam waktu tertentu, sosok itu menjelma dalam wujud seorang sinden Jawa.
Adakah ia yang dipilih, untuk membalaskan dendam di masa silam? Parit diam. Namun hatinya geram. Sebuah ingatan kemudian datang menghantam, Parit diingatkan memori yang datang dari masa silam, ketika dirinya masih kecil dimana melukis adalah bakatnya yang terpendam. Parit pun tak kuasa mengingat gambaran masa lalu itu yang baginya adalah masa-masa yang begitu jahanam.

Sebuah cermin kuno, bentuknya lonjong seperti telur, pinggirannya dilapisi besi bercat hitam, tepat di sisi bagian tengahnya ada engsel yang tersambung pada dua tiang sejajar dan mengapit cermin kuno itu, yang entah dari mana asalnya. Cermin yang hidup. Cermin yang dihuni oleh senyawa tak kasat mata. Menurut Parit, penghuninya adalah Serupa Perempuan Tanpa Pakaian, ia menyebutnya begitu. Tak ada penjelasan lebih selain hal itu. Si penghuni cermin kuno tak suka interogasi. Hanya kembang kamboja yang sangat ia sukai. Kembang yang kebanyakan tumbuh subur di area pemakaman, tempat yang dihuni manusia-manusia yang jiwanya telah mati.
Sebelumnya, disalah satu kamar yang selalu nampak terlihat pucat meski bercat putih dalam apartemen itu, di mana cermin kuno itu diletakan beralas sehelai kain putih berbahan sutera, kain itu menutupi keseluruhan meja bundar. Dan ada sepasang lilin dalam dua wadah kuno bergambar seorang Dewi yang kepalanya dihiasi rangkaian kembang. Parit meyakini, rangkaian kembang bak mahkota itu adalah juga kamboja. Semalam, beberapa jam sebelum tepat tengah malam, Parit terlebih dahulu memanjakan si penghuni dengan puluhan kembang kamboja yang ditaruhnya mengelilingi cermin kuno. Hanya itu sesajen yang dibutuhkan agar cermin kuno mampu bekerja dengan baik. Bekerja secara luar biasa dengan cara memperlihatkan hal-hal yang berhubungan dengan dunia supranatural yang tak ternalar oleh akal.
Setelah semuanya selesai dilakukan, cermin kuno yang diletakan berdiri di antara dua tiang itu kembali terasa beraura suram dan menghitam. Si penghuni cermin kuno pun keluar. Seperti asap yang menggumpal secara perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu melesat menuju tempat lain yang juga berada di ruangan itu. Sebuah kursi goyang. Terbuat dari rotan. Mungkin umurnya sudah lebih dari seabad. Parit selalu bergetar manakala itu terjadi, ketika segumpal asap hitam itu mewujud menjadi kelebatan berupa helaian-helaian rambut yang panjang. Kira-kira tiga meter panjang rambut itu. Rambut yang kemudian menutupi bagian vital wujud serupa perempuan itu, yang memang tanpa pakaian.
Sebelum menghilang dari sepasang mata yang memandang, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu mencabut sisir dari atas kepalanya. Wajahnya tak pernah terlihat. Sepertinya itu adalah sesuatu yang terlarang. Dan sisir itu lebih menyerupai tulang belulang yang tipis, mungkin tulang ikan zaman purbakala, namun lebih berkesan seram. Parit kemudian berjalan mundur. Pelan. Perlahan. Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu sesaat menyisir rambutnya, namun meski telah berjam-jam melakukannya, rambut sepanjang tiga meter itu tak pernah rapi.
Lalu, Parit keluar dari dalam kamar yang resmi ia keramatkan itu seminggu setelah ia memutuskan untuk membeli cermin kuno dan kursi goyang itu di sebuah toko antik yang di kelola orang keturunan Tionghoa di jalan Braga, Bandung. Awalnya ia mendapatkan tekanan berupa dorongan yang begitu kuat untuk memiliki cermin kuno dan kursi goyang itu karena kerap kali melewati toko yang menjual barang antik itu hampir setiap malam, dulu ketika ia masih menjadi berandalan malam. Setelah lewat beberapa tahun, Parit rela menguras tabungan karena kedua benda kuno itu dibandrol dengan harga tinggi, Parit justru mendapatkan ragam penglihatan bernuansa keganjilan yang mau tidak mau sangat menguras pikirannya untuk hanya memecahkan teka teki penglihatan itu.
Dulu, karena dihinggapi rasa penasaran, Parit pernah sengaja mengintip, Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu dilihatnya sedang menari. Rambut panjangnya digunakan sebagai selempang dan dimainkannya dengan gerakan gemulai. Tarian itu seperti Ronggeng. Dan di lain hari, ia pun kembali pernah melakukan hal yang sama, ketika mengintip, yang dilihatnya sosok itu sedang menduduki kursi goyang sambil bersenandung. Tak ubahnya seperti Sinden.
Suatu hari, beberapa bulan setelah membeli cermin kuno dan kursi goyang itu, Parit merasakan empati yang mendalam terhadap Serupa Perempuan Tanpa Pakaian. Empati itu adalah selangkah wujud rasa simpati yang muncul dari dalam hati karena Parit merasa banyak mendapatkan penglihatan. Parit, karena perasaannya yang mendalam itu kemudian memberikan beragam sesajen yang dibelinya di pasar tradisional, di sebuah lapak tukang rampe, tentu saja selain kembang kamboja. Namun, si penghuni cermin kuno itu tidak menyukainya. Padahal dalam dunia gaib, hampir semua mahluk tak kasat mata selalu menyukai sesajen.
Menurut kepercayaan para orang tua zaman dulu, tentu saja dengan kegiatan serupa yang selalu diperlihatkan para dukun, cenayang dan ahli nujum, ada hari-hari tertentu untuk menyuguhkan sesajen, malam selasa dan malam jumat. Terlebih lagi menjelang malam kliwon di antara dua hari yang dikhususkan itu. Konon, orang yang memberikan sesajen harus bersih lahir batinnya, tidak boleh ada hubungan birahi sebelumnya, dan jika diperlukan, seharian itu tak boleh meninggalkan rumah, atau tempat di mana sesajen itu diletakan.
“Apa ini tidak musrik?” Kata sang kekasih pada suatu hari ketika mendapati Parit sibuk menyiapkan sesajen.
“Tentu saja tidak. Ini adalah bentuk ucapan terima kasih kepada si penghuni cermin kuno.” Kata Parit meyakinkan. “Di dunia ini tidak hanya ada kita, manusia.” Katanya lagi.
“Tapi hal semacam ini dilarang.” Ucap sang kekasih menegaskan.
“Siapa yang melarang? Agama? Agamamu tentunya. Aku ini tidak beragama. Aku tidak punya Tuhan.” Kata Parit dengan tenang.
“Jangan sembarangan!” Sang kekasih merasa jengah.
“Itu benar. Di mana Tuhan ketika hidupku menderita? Ketika aku terpaksa mencari sesuap nasi di jalanan yang
kehidupannya keparat itu. Lebih jauh lagi, di mana Tuhan ketika seorang ibu tega membuangku?” Jantung Parit berdebar.
“Parit, sudahlah. Jangan diteruskan.” Kata sang kekasih dengan suara lirih.
Perempuan yang menjadi kekasihnya itu selalu terganggu jika Parit mulai membicarakan masa lalu. Sebuah masa yang bagi Parit adalah semacam kutukan. Dan anehnya, Parit sama sekali tak memperbolehkan kekasihnya untuk sekedar melihat ritual yang dilakukannya di dalam kamar yang dikeramatkan. Kamar itu terkunci rapat dan terlarang bagi sang kekasih yang kerap dihinggapi rasa penasaran mendalam.
“Tidak, Tuhan tidak ada!” Nada suara Parit meninggi. Meski dalam hatinya ia meyakini sesuatu yang gaib, seperti halnya si penghuni cermin kuno. Tetapi untuk ukuran Tuhan, entahlah, Parit masih menyimpan dendam di masa lalu, sesuatu yang membuatnya berpikir bahwa hidup itu tidak adil.
Sang kekasih diam. Situasi yang kerap terulang itu kembali memaksanya bungkam. Ia tahu harus segera mengakhiri percakapan dan membiarkan laki-laki di hadapannya melakukan apa yang diinginkannya. Memberikan sesajen. Hal itu kemudian dilakukan Parit seorang diri selepas pukul tujuh malam. Setelahnya, ia tidak meninggalkan apartemen. Ia tidak tidur. Juga tidak bercengkerama mesra karena kekasihnya bekerja giliran malam sebagai perawat di sebuah rumah sakit kenamaan di kota Bandung.
Hingga berjam-jam lamanya yang dilakukan Parit hanya merokok dan minum kopi hitam yang pemanisnya menggunakan gula merah. Ia duduk di ruang tengah dalam keadaan lampu temaram. Dan menahan kantuk. Tiba-tiba, dari balik kamar yang ia keramatkan terdengar kegaduhan. Parit pun terjaga. Rasa kantuk hilang entah ke mana. Ada yang lain yang dirasakannya. Ia merasa tidak enak hati, kegaduhan yang mengganggu pendengarannya lebih menyerupai aksi seseorang yang sedang mengamuk dan membanting barang-barang. Namun Parit hanya diam. Ia tak berani untuk sekedar membuka pintu kamar itu.
Menjelang subuh. Parit merasa itu adalah waktu yang tepat untuk membuka pintu, masuk ke dalam kamar yang dikeramatkan. Dengan perlahan pintu itu dibukanya. Jantung berdegup kencang. Keringat bercucuran. Dan, terbukalah pintu kamar itu. Parit kaget dan tersentak. Sejenak yang dilakukannya hanya berdiri mematung. Seluruh otot tubuhnya menjadi kaku. Sesajen yang disajikan Parit berantakan di atas lantai. Semuanya. Tak terkecuali.
Kemudian kursi goyang terlihat bergerak perlahan. Parit, yang kedalaman pandangan matanya mampu menembus alam tak kasat mata itu mendapati Serupa Perempuan Tanpa Pakaian duduk di kursi goyang dengan posisi membelakangi. Tiga meter panjang rambutnya terjuntai melalui leher kursi. Ujung-ujung rambut itu lebih menyerupai ijuk. Begitu tebal dan kasar. Sekian detik yang menegangkan itu perlahan dikuasai Parit. Ia memberanikan diri untuk bertanya, dengan napas terengah-engah.
“Maaf, apa Mbok tidak suka?” Tanya Parit. Suaranya datar. Namun bergetar.
Sebenarnya pertanyaan itu sudah terjawab dengan sesajen yang berantakan di atas lantai. Parit hanya penasaran, ia ingin mendengar suara Serupa Perempuan Tanpa Pakaian yang berkelebatan di hadapannya itu. Kemudian ujung-ujung rambut itu bergerak. Persis seperti ular. Dan gerakan bak tanaman liar merambat itu membentuk huruf-huruf. Lalu, Parit dengan jelas mengetahui bahwa sosok tak beraga itu tak menyukai sesajen.
“Iya. Saya minta maaf, Mbok.” Ucap Parit lalu menelan ludah. “Kalau boleh tahu, siapa nama Mbok?” Katanya lagi dengan perasaan berdebar-debar.
Untuk kedua kalinya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban mencengangkan.
“Ah, Nuningsih. Mbok Nuningsih.” Ucap Parit pelan. Kedengarannya seperti nama orang Jawa. Katanya dalam hati. Dan ia sangat yakin. “Berapa umur Mbok Nuningsih? Kalau saya boleh tahu.” Tanyanya lagi penasaran.
Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya ujung-ujung rambut itu memberikan jawaban yang diinginkan Parit. Delapan puluh dua tahun. Usia yang terbilang masih muda. Bahkan belum mencapai angka seratus tahun, karena ia berpikir sudah mencapai ratusan tahun. Lalu melintaslah sebuah pemikiran. Parit, entah kenapa merasa mendapatkan keyakinan, bahwa Mbok Nuningsih itu korban pembunuhan. Dan mengingat sosok perempuan itu tidak mengenakan pakaian, bisa jadi sebelumnya adalah korban pemerkosaan.
Hati Parit menyalak. “Ya, ia pasti dirudapaksa sebelum dibunuh. Dan ia perempuan Jawa.”
Naluri Parit kemudian menghubungkan dugaan-dugaan itu. Dan ia teringat pula penjelasan si pemilik toko barang antik itu, keturunan ras Tionghoa itu mengatakan bahwa cermin kuno dan kursi goyang itu didapatkan dari daerah perkampungan di Jawa, dekat sungai Brantas. Kemudian rasa penasaran memaksa Parit untuk mendapatkan kebenaran yang diyakininya itu.
“Apa, Mbok korban pembantaian massal?” Parit melontarkan pertanyaan. Dan nampaknya itu adalah hal yang menyakitkan karena membuka luka lama. Parit merobek luka itu dan membuatnya menganga.
Dalam hitungan detik, suasana berubah penuh ketegangan, ujung-ujung rambut itu menjelma bak kipas raksasa. Serupa Perempuan Tak Berpakaian itu marah. Ia mengibaskan kipas raksasa itu dengan sekali hentakan. Parit tersungkur keluar dari dalam kamar. Ia jatuh terjerembab di atas lantai. Dan pintu itu kemudian tertutup rapat. Parit kaget setengah mati, napasnya kembali terengah-engah. Jantungnya berdebar kencang.
Dan, dalam kondisi yang luar biasa tak karuan itulah ia yakin telah mendapatkan jawabannya. Bahwa apa yang sejenak lalu dipikirkannya adalah sebuah kebenaran pahit yang menyakitkan. Kebenaran yang membuat arwah Mbok Nuningsih bergentayangan. Ada dendam yang belum terbalaskan. Dan sejak kejadian itu, Parit diam-diam tergerak untuk mencaritahu, apapun itu. Ia merasa sudah terikat dan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada Serupa Perempuan Tanpa Pakaian itu. Ada beban berat yang kemudian terpikul dipundaknya, seolah Mbok Nuningsih selalu mengikuti ke manapun Parit pergi. Dan dalam waktu tertentu, sosok itu menjelma dalam wujud seorang sinden Jawa.
Adakah ia yang dipilih, untuk membalaskan dendam di masa silam? Parit diam. Namun hatinya geram. Sebuah ingatan kemudian datang menghantam, Parit diingatkan memori yang datang dari masa silam, ketika dirinya masih kecil dimana melukis adalah bakatnya yang terpendam. Parit pun tak kuasa mengingat gambaran masa lalu itu yang baginya adalah masa-masa yang begitu jahanam.
***

anasabila memberi reputasi
1
6.1K
27
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
djendradjenar
#4
Masa Silam & Indera Keenam
BAGIAN 3
2012
Pagi yang berawan.
Di luar sana, Parit mulai gentayangan.
Parit mulai beraksi. Sosok pemuda yang terlahir indigo tipe artistik, Parit tidak terlalu peduli dengan standar kemampuan indigo yang mengatakan bahwa indigo itu harus punya kepekaan tinggi dengan hal hal bernuansa supranatural, ia juga tidak mendalami apapun yang sifatnya kebatinan, ia hanya menggunakan ketajaman intuisi untuk menyalurkan bakat seninya yang bernilai tinggi. Alhasil, sebuah pameran lukisan pernah diwujudkannya, ia pun kini mempunyai sebuah distro dari hasil penjualan lukisan lukisannya. Sementara keterikatannya pada hal hal bersifat astral, diyakininya karena itu pembawaan aura dasarnya, juga sisi lain dalam dirinya yang terkadang mendapatkan koneksi dari luar bumi, dan ya, terkadang Parit merasa bukan makhluk bumi. Ada sesuatu dalam dirinya yang menggerakkannya untuk melakukan tes golongan darah, hasilnya adalah jenis golongan darah tipe A, dengan rhesus negatif (-).
Berdasarkan penelitian, golongan darah A termasuk tipe yang langka di dunia, hanya ada sekitar 6% sampai 10% saja pemilik golongan darah ini, terlebih lagi dengan tambahan rhesus negatif. Parit pernah mencaritahu arti dari rhesus negatif itu sendiri, sesuatu yang mencengangkan kemudian hinggap dalam benaknya, sebagian besar pertanyaannya mulai terkuak, ia merasa perlahan-lahan mulai mendapatkan jawaban, bahwa ia mempunyai gen dari makhluk langit penghuni planet lainnya, mungkin semacam bangsa Alien, penghuni wilayah ekstrak terrestrial, atau ET.
Suatu hari Parit pernah meditasi dengan konsentrasi tinggi, hasilnya adalah sebuah simbol yang kemudian muncul secara gaib dalam keningnya, posisinya tumpah tindih dengan ajna, mata ketiganya. Saat itu Parit merasa terbang dan melayang hingga menembus dimensi lapisan ruang dan waktu, ada sesuatu yang saat itu tidak bisa dikenalinya namun Parit membiarkan sukmanya untuk terus diajak berkelana. Sebuah alam yang saat itu baru dikenalinya, dulu ia pikir itu adalam alam Shangrila yang ada di pegunungan Himalaya, ternyata bukan, karena itu adalah alam puluhan ribu tahun di masa lalu, sebuah peradaban yang awalnya juga dianggapnya ada di negeri asing, namun ternyata itu di negaranya sendiri, di Nusantara, hanya saja berbeda masa. Parit sangat takjub diperlihatkan sebuah masa peradaban yang tak pernah dikenalinya bahkan dalam literasi sejarah sekalipun, kemudian ia mendapatkan informasi dari kaum penduduknya, bahwa itu adalah juga leluhurnya, Bangsa Lemurian.
Alam theta kemudian membawa Parit lebih jauh ke perjalanan masa kecilnya, pada satu masa dimana ia pernah bermain dengan anak-anak bersayap, anak-anak dari bangsa planet lain, yang setelah dewasa ia ketahui itu adalah bangsa Elf, atau kaum peri. Parit juga ingat, ketika suatu hari ia merasa di bawa terbang jauh ke alam yang yang sebelumnya tidak pernah ia kunjungi oleh sosok entitas yang bersayap seperti visualisasi malaikat pada film atau lukisan, disana ia bertemu dengan banyak sosok bercahaya lainnya yang bersayap, lalu ada sekumpulan makhluk-makhluk berkepala besar, berkuping lancip dan bermata bulan sabit. Di alam itu juga Parit melihat pemandangan yang tak kalah asing, ia melihat ratusan seperti UFO, atau yang dikenal sebagai pesawat luar angkasa, namun ada juga yang bentuknya seperti piramid-pramid yang pernah dilihatnya di tv pada tayangan Discovery Channel yang membahas seputar peninggalan peradaban suku bangsa di Mesir. Lalu tak ingat lagi, Parit tak pernah ingat lagi pada apa yang pernah terjadi belasan tahun lalu, namun yang diyakininya, ada sesuatu yang lain dalam dirinya sekembali dari sana. Terkadang, Parit merasa dirinya bersayap, atau punya entitas yang bersayap sebagai pendampingnya, dan itu bukan semacam khodam yang berasal dari leluhur atas keilmuan, melainkan ada hubungannya dengan Bangsa Lemurian dan ras Elf, atau mungkin Archangel. Entahlah.
Pagi itu, sedikitpun tidak ada rasa khawatir dalam diri Parit. Yang ia khawatirkan justru adalah anak-anak jalanan berlabel street punk yang kian menghilang tak tentu rimbanya. Anak-anak jalanan yang biasanya berkumpul di setiap penjuru kota, di perempatan jalan-jalan tempat mereka mendulang kepingan uang logam. Mengamen. Untuk mencari makan. Meski sesekali bermabuk-mabukan, itu tak mengapa, bukankah mereka hanyalah kaum yang terpinggirkan? Tergerus arus kemajuan zaman yang tak mampu mereka jadikan sebagai standar hidup yang nyaman. Yang mereka dapatkan hanyalah ketimpangan, kesenjangan, serta lowongan pekerjaan yang tak terjangkau jenjang pendidikan.
Karena Parit sangat meyakini, kemiskinan adalah limbah produksi tidak maksimalnya kinerja pemerintahan.
Parit tercatat sebagai pendiri komunitas street punk yang gemar melahap buku yang banyak menuai kritikan dunia seperti Philosofi Of Punk, Hammer Of The Witches, The Satanic Bible, The Henokh, Illuminati, Da Vinci Code, dan banyak lagi yang rutin melakukan pertemuan di lapangan-lapangan terbuka. Kegiatan yang terjalin atas kesamaan identitas itu banyak membicarakan tentang kesenjangan dalam kehidupan. Betapa wadah untuk berekspresi bagi kaumnya sangatlah terbatas. Oleh karenanya Parit memanfaatkan kecerdasan intelektualitas serta kemurnian indigo yang menjadi keunggulannya untuk membangun jaringan. Parit terobsesi mempunyai jati diri yang berakar kuat itu kemudian membentuk semacam struktur organisasi untuk menciptakan banyak kreasi. Ia mulai mencium adanya bisnis yang dirasakan mampu menjadi penopang sekaligus sumber dana gerakan komunitas.
Sebagai seorang supranaturalis, Parit ingin menciptakan kreatifitas tanpa batas bagi anak-anak street punk karena secara jiwa, sejatinya mereka adalah kaum loyalis. Mereka adalah mahluk cahaya, sejatinya Ruh adalah keabadian, bukan raga yang bisa mengalami kematian, tetapi yang terjadi adalah bahwa manusia digiring untuk sibuk dengan aktivitas duniawi, dan meninggalkan aktivitas ruhani, itulah satu satu agenda New World Order, menjauhkan manusia dari spiritualitas, mengadu domba umat antar agama yang tujuannya untuk menciptakan peperangan, dan dibalik itu adalah depopulasi, atau pengurangan jumlah manusia bumi yang sudah mencapai angka enam miliar manusia.
Atas semua perjuangan itu dilakukan Parit semata-semata demi untuk menebus sebuah karma atas kehidupan masa lalunya. Ya, Parit sedang menjalankan sebuah misi yang berhubungan dengan masa lalunya, berusaha memenuhi panggilan jiwa tua dalam dirinya yang sudah berulang kali mengalami proses reinkarnasi. Parit memang sudah meyakini, dalam dirinya tidak hanya ada unsur keturunan Lemurian dan keturunan dari peranakan Adam, tapi juga ada unsur Dark dari hasil perkimpoian silang yang dilakukan The Fallen Angel dengan dua ras tadi yang dikisahkan dalam kitab Henokh, yang diyakini Parit bukan sekedar dongeng, dan parahnya Parit adalah korban, seorang korban yang terpaksa harus menebus kesalahan akibat persenggamaan campuran itu yang menjadi salah satu penyebab Tuhan mengirimkan bencana untuk memusnahkan mahluk hidup saat itu karena peperangan.
Ternyata sebuah embrio bernama DNA tidak ikut musnah, tetapi tetap dierami dalam darah dan mengalir hingga ribuan tahun kemudian dan menetas hanya karena alasan sederhana, karena Parit beraura dasar nila. Seorang indigo, dengan campuran Lemurian dan The Fallen Angel yang terlahir dari garis keturunan Adam jalur Nabi Syits, yang dikisahkan menikah dengan bangsa Bidadari. Karena itulah parit ingin memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dengan jalan ingin memanusiakan anak-anak street punk sesuai dengan karakter, dan dunia jiwa tuanya di masa yang sekarang. Dalam perjalanannya menuju Distronya, karena masih berada dalam kondisi frekuensi tetha, mendadak Parit terkoneksi dengan masa lalu yang menghadirkan sebuah kisah, dan itu sebuah kisah dimana gambarannya hanya bisa dijelaskan dalam alam pikiran.
Dan pada hari-hari itu Nuh melihat bahwa bumi bergeser menjadi miring, dan bahwa kehancuran umatnya sudah dekat. Dan dia segera angkat kaki dari sana, dan pergi ke ujung bumi, dan memanggil kakeknya Henokh, dan Nuh berseru dengan suara getir,
“Dengarkan aku! Dengarkan aku! Dengarkan aku!” Dan Nuh berkata kepada Henokh, “Katakan kepadaku apa yang terjadi pada bumi, mengapa bumi ini begitu menderita dan terguncang? Mungkin aku akan binasa bersamanya!” Dan setelah itu ada keguncangan besar di bumi, dan terdengar suara dari surga, dan Nuh jatuh tersungkur.
Dan Henokh, datang dan berdiri di depan Nuh dan berkata, “Mengapa engkau menangis kepadaku dengan begitu pahit dan meratap? Sebuah perintah telah keluar dari hadapan Tuhan atas semua orang yang diam di bumi, bahwa akhir mereka sudah tiba, karena mereka telah mempelajari semua rahasia para Roh kaum Malaikat, dan juga semua perbuatan jahat, dan semua kuasa yang rahasia, dan semua kekuasaan mereka yang mempraktekkan ilmu sihir dan kuasa pemikat, dan kekuasaan mereka yang membuat patung-patung serta logam di seluruh bumi."
Dan setelah itu Henokh memegang Nuh dengan tangannya, dan mengangkatnya, dan berkata kepadanya, “Pergilah, karena aku telah bertanya kepada-Nya yang meniupkan segala Roh mengenai guncangan di bumi ini. Dan Dia berkata kepadaku, “Oleh karena kejahatan (peperangan) mereka (manusia) maka penghakiman atas mereka telah genap dan mereka tidak akan diperhitungkan lagi di hadapan-Ku. Karena mereka telah menyelidiki dan mempelajari ilmu sihir, maka bumi akan dihancurkan bersama mereka yang hidup di atasnya. Dan bagi mereka tidak akan ada tempat pengungsian untuk selama-lamanya, karena mereka telah menunjukkan hal-hal yang rahasia, dan mereka akan dihakimi, tapi tidak bagi engkau, anakku. Pemilik segala Roh tahu bahwa engkau bersih dan bebas dari semua kesalahan yang menyangkut hal-hal yang rahasia (yang sebenarnya tak boleh diungkapkan).
"Tapi bukankah engkau mengisahkannya kepadaku?" Tanya Nuh kepada Henokh.
Sesaat keduanya diam saling menatap diselingi beberapa kali guncangan di bumi.
"Karena engkau terpilih untuk membenarkan yang salah, engkau tidak mengajarkan apa yang tidak diajarkan, meski pengetahuan itu ada, tetapi itulah rahasia. Maka serukanlah pada mereka yang percaya untuk selamat, karena dari merekalah kelak lahir keturunan yang tingkatannya (spiritual dan intelektual) lebih rendah dari umatmu, mereka tidak akan bisa menjelaskan menjulangnya bangunan-bangunan tinggi yang tersebar di berbagai belahan dunia, sementara pengetahuannya (ilmu sihir) akan disamarkan selama ribuan tahun ke depan. Kelak mereka hanya akan mampu melihat bukti, tapi tidak bisa meneliti. Kecuali bagi mereka yang terbuka hijab Rohaninya dan terpilih karena kuasa-Nya, namun itu bukan untuk menyombongkan kemampuannya, melainkan untuk mewartakan tentang keesaan-Nya."
Parit menghentikan langkahnya, tubuhnya bergidik, ia bertanya-tanya dalam hati, ingatan macam apa yang baru saja hadir dalam kepalanya? Apakah itu sebuah halusinasi? Tapi tidak mungkin karena energinya mengalir deras ke cakra ajna, dan itu adalah energi hasil olah napas yang bisa menghasilkan tenaga dalam yang rutin dilakukannya saat meditasi, dan karena aliran itu membuat kepalanya menjadi cukup berat, sesuatu semacam informasi dari masa lalu sedang hilir mudik melalui saluran pineal dan pituitary dalam otaknya.

2012
Pagi yang berawan.
Di luar sana, Parit mulai gentayangan.
Parit mulai beraksi. Sosok pemuda yang terlahir indigo tipe artistik, Parit tidak terlalu peduli dengan standar kemampuan indigo yang mengatakan bahwa indigo itu harus punya kepekaan tinggi dengan hal hal bernuansa supranatural, ia juga tidak mendalami apapun yang sifatnya kebatinan, ia hanya menggunakan ketajaman intuisi untuk menyalurkan bakat seninya yang bernilai tinggi. Alhasil, sebuah pameran lukisan pernah diwujudkannya, ia pun kini mempunyai sebuah distro dari hasil penjualan lukisan lukisannya. Sementara keterikatannya pada hal hal bersifat astral, diyakininya karena itu pembawaan aura dasarnya, juga sisi lain dalam dirinya yang terkadang mendapatkan koneksi dari luar bumi, dan ya, terkadang Parit merasa bukan makhluk bumi. Ada sesuatu dalam dirinya yang menggerakkannya untuk melakukan tes golongan darah, hasilnya adalah jenis golongan darah tipe A, dengan rhesus negatif (-).
Berdasarkan penelitian, golongan darah A termasuk tipe yang langka di dunia, hanya ada sekitar 6% sampai 10% saja pemilik golongan darah ini, terlebih lagi dengan tambahan rhesus negatif. Parit pernah mencaritahu arti dari rhesus negatif itu sendiri, sesuatu yang mencengangkan kemudian hinggap dalam benaknya, sebagian besar pertanyaannya mulai terkuak, ia merasa perlahan-lahan mulai mendapatkan jawaban, bahwa ia mempunyai gen dari makhluk langit penghuni planet lainnya, mungkin semacam bangsa Alien, penghuni wilayah ekstrak terrestrial, atau ET.
Suatu hari Parit pernah meditasi dengan konsentrasi tinggi, hasilnya adalah sebuah simbol yang kemudian muncul secara gaib dalam keningnya, posisinya tumpah tindih dengan ajna, mata ketiganya. Saat itu Parit merasa terbang dan melayang hingga menembus dimensi lapisan ruang dan waktu, ada sesuatu yang saat itu tidak bisa dikenalinya namun Parit membiarkan sukmanya untuk terus diajak berkelana. Sebuah alam yang saat itu baru dikenalinya, dulu ia pikir itu adalam alam Shangrila yang ada di pegunungan Himalaya, ternyata bukan, karena itu adalah alam puluhan ribu tahun di masa lalu, sebuah peradaban yang awalnya juga dianggapnya ada di negeri asing, namun ternyata itu di negaranya sendiri, di Nusantara, hanya saja berbeda masa. Parit sangat takjub diperlihatkan sebuah masa peradaban yang tak pernah dikenalinya bahkan dalam literasi sejarah sekalipun, kemudian ia mendapatkan informasi dari kaum penduduknya, bahwa itu adalah juga leluhurnya, Bangsa Lemurian.
Alam theta kemudian membawa Parit lebih jauh ke perjalanan masa kecilnya, pada satu masa dimana ia pernah bermain dengan anak-anak bersayap, anak-anak dari bangsa planet lain, yang setelah dewasa ia ketahui itu adalah bangsa Elf, atau kaum peri. Parit juga ingat, ketika suatu hari ia merasa di bawa terbang jauh ke alam yang yang sebelumnya tidak pernah ia kunjungi oleh sosok entitas yang bersayap seperti visualisasi malaikat pada film atau lukisan, disana ia bertemu dengan banyak sosok bercahaya lainnya yang bersayap, lalu ada sekumpulan makhluk-makhluk berkepala besar, berkuping lancip dan bermata bulan sabit. Di alam itu juga Parit melihat pemandangan yang tak kalah asing, ia melihat ratusan seperti UFO, atau yang dikenal sebagai pesawat luar angkasa, namun ada juga yang bentuknya seperti piramid-pramid yang pernah dilihatnya di tv pada tayangan Discovery Channel yang membahas seputar peninggalan peradaban suku bangsa di Mesir. Lalu tak ingat lagi, Parit tak pernah ingat lagi pada apa yang pernah terjadi belasan tahun lalu, namun yang diyakininya, ada sesuatu yang lain dalam dirinya sekembali dari sana. Terkadang, Parit merasa dirinya bersayap, atau punya entitas yang bersayap sebagai pendampingnya, dan itu bukan semacam khodam yang berasal dari leluhur atas keilmuan, melainkan ada hubungannya dengan Bangsa Lemurian dan ras Elf, atau mungkin Archangel. Entahlah.
Pagi itu, sedikitpun tidak ada rasa khawatir dalam diri Parit. Yang ia khawatirkan justru adalah anak-anak jalanan berlabel street punk yang kian menghilang tak tentu rimbanya. Anak-anak jalanan yang biasanya berkumpul di setiap penjuru kota, di perempatan jalan-jalan tempat mereka mendulang kepingan uang logam. Mengamen. Untuk mencari makan. Meski sesekali bermabuk-mabukan, itu tak mengapa, bukankah mereka hanyalah kaum yang terpinggirkan? Tergerus arus kemajuan zaman yang tak mampu mereka jadikan sebagai standar hidup yang nyaman. Yang mereka dapatkan hanyalah ketimpangan, kesenjangan, serta lowongan pekerjaan yang tak terjangkau jenjang pendidikan.
Karena Parit sangat meyakini, kemiskinan adalah limbah produksi tidak maksimalnya kinerja pemerintahan.
Parit tercatat sebagai pendiri komunitas street punk yang gemar melahap buku yang banyak menuai kritikan dunia seperti Philosofi Of Punk, Hammer Of The Witches, The Satanic Bible, The Henokh, Illuminati, Da Vinci Code, dan banyak lagi yang rutin melakukan pertemuan di lapangan-lapangan terbuka. Kegiatan yang terjalin atas kesamaan identitas itu banyak membicarakan tentang kesenjangan dalam kehidupan. Betapa wadah untuk berekspresi bagi kaumnya sangatlah terbatas. Oleh karenanya Parit memanfaatkan kecerdasan intelektualitas serta kemurnian indigo yang menjadi keunggulannya untuk membangun jaringan. Parit terobsesi mempunyai jati diri yang berakar kuat itu kemudian membentuk semacam struktur organisasi untuk menciptakan banyak kreasi. Ia mulai mencium adanya bisnis yang dirasakan mampu menjadi penopang sekaligus sumber dana gerakan komunitas.
Sebagai seorang supranaturalis, Parit ingin menciptakan kreatifitas tanpa batas bagi anak-anak street punk karena secara jiwa, sejatinya mereka adalah kaum loyalis. Mereka adalah mahluk cahaya, sejatinya Ruh adalah keabadian, bukan raga yang bisa mengalami kematian, tetapi yang terjadi adalah bahwa manusia digiring untuk sibuk dengan aktivitas duniawi, dan meninggalkan aktivitas ruhani, itulah satu satu agenda New World Order, menjauhkan manusia dari spiritualitas, mengadu domba umat antar agama yang tujuannya untuk menciptakan peperangan, dan dibalik itu adalah depopulasi, atau pengurangan jumlah manusia bumi yang sudah mencapai angka enam miliar manusia.
Atas semua perjuangan itu dilakukan Parit semata-semata demi untuk menebus sebuah karma atas kehidupan masa lalunya. Ya, Parit sedang menjalankan sebuah misi yang berhubungan dengan masa lalunya, berusaha memenuhi panggilan jiwa tua dalam dirinya yang sudah berulang kali mengalami proses reinkarnasi. Parit memang sudah meyakini, dalam dirinya tidak hanya ada unsur keturunan Lemurian dan keturunan dari peranakan Adam, tapi juga ada unsur Dark dari hasil perkimpoian silang yang dilakukan The Fallen Angel dengan dua ras tadi yang dikisahkan dalam kitab Henokh, yang diyakini Parit bukan sekedar dongeng, dan parahnya Parit adalah korban, seorang korban yang terpaksa harus menebus kesalahan akibat persenggamaan campuran itu yang menjadi salah satu penyebab Tuhan mengirimkan bencana untuk memusnahkan mahluk hidup saat itu karena peperangan.
Ternyata sebuah embrio bernama DNA tidak ikut musnah, tetapi tetap dierami dalam darah dan mengalir hingga ribuan tahun kemudian dan menetas hanya karena alasan sederhana, karena Parit beraura dasar nila. Seorang indigo, dengan campuran Lemurian dan The Fallen Angel yang terlahir dari garis keturunan Adam jalur Nabi Syits, yang dikisahkan menikah dengan bangsa Bidadari. Karena itulah parit ingin memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dengan jalan ingin memanusiakan anak-anak street punk sesuai dengan karakter, dan dunia jiwa tuanya di masa yang sekarang. Dalam perjalanannya menuju Distronya, karena masih berada dalam kondisi frekuensi tetha, mendadak Parit terkoneksi dengan masa lalu yang menghadirkan sebuah kisah, dan itu sebuah kisah dimana gambarannya hanya bisa dijelaskan dalam alam pikiran.
Dan pada hari-hari itu Nuh melihat bahwa bumi bergeser menjadi miring, dan bahwa kehancuran umatnya sudah dekat. Dan dia segera angkat kaki dari sana, dan pergi ke ujung bumi, dan memanggil kakeknya Henokh, dan Nuh berseru dengan suara getir,
“Dengarkan aku! Dengarkan aku! Dengarkan aku!” Dan Nuh berkata kepada Henokh, “Katakan kepadaku apa yang terjadi pada bumi, mengapa bumi ini begitu menderita dan terguncang? Mungkin aku akan binasa bersamanya!” Dan setelah itu ada keguncangan besar di bumi, dan terdengar suara dari surga, dan Nuh jatuh tersungkur.
Dan Henokh, datang dan berdiri di depan Nuh dan berkata, “Mengapa engkau menangis kepadaku dengan begitu pahit dan meratap? Sebuah perintah telah keluar dari hadapan Tuhan atas semua orang yang diam di bumi, bahwa akhir mereka sudah tiba, karena mereka telah mempelajari semua rahasia para Roh kaum Malaikat, dan juga semua perbuatan jahat, dan semua kuasa yang rahasia, dan semua kekuasaan mereka yang mempraktekkan ilmu sihir dan kuasa pemikat, dan kekuasaan mereka yang membuat patung-patung serta logam di seluruh bumi."
Dan setelah itu Henokh memegang Nuh dengan tangannya, dan mengangkatnya, dan berkata kepadanya, “Pergilah, karena aku telah bertanya kepada-Nya yang meniupkan segala Roh mengenai guncangan di bumi ini. Dan Dia berkata kepadaku, “Oleh karena kejahatan (peperangan) mereka (manusia) maka penghakiman atas mereka telah genap dan mereka tidak akan diperhitungkan lagi di hadapan-Ku. Karena mereka telah menyelidiki dan mempelajari ilmu sihir, maka bumi akan dihancurkan bersama mereka yang hidup di atasnya. Dan bagi mereka tidak akan ada tempat pengungsian untuk selama-lamanya, karena mereka telah menunjukkan hal-hal yang rahasia, dan mereka akan dihakimi, tapi tidak bagi engkau, anakku. Pemilik segala Roh tahu bahwa engkau bersih dan bebas dari semua kesalahan yang menyangkut hal-hal yang rahasia (yang sebenarnya tak boleh diungkapkan).
"Tapi bukankah engkau mengisahkannya kepadaku?" Tanya Nuh kepada Henokh.
Sesaat keduanya diam saling menatap diselingi beberapa kali guncangan di bumi.
"Karena engkau terpilih untuk membenarkan yang salah, engkau tidak mengajarkan apa yang tidak diajarkan, meski pengetahuan itu ada, tetapi itulah rahasia. Maka serukanlah pada mereka yang percaya untuk selamat, karena dari merekalah kelak lahir keturunan yang tingkatannya (spiritual dan intelektual) lebih rendah dari umatmu, mereka tidak akan bisa menjelaskan menjulangnya bangunan-bangunan tinggi yang tersebar di berbagai belahan dunia, sementara pengetahuannya (ilmu sihir) akan disamarkan selama ribuan tahun ke depan. Kelak mereka hanya akan mampu melihat bukti, tapi tidak bisa meneliti. Kecuali bagi mereka yang terbuka hijab Rohaninya dan terpilih karena kuasa-Nya, namun itu bukan untuk menyombongkan kemampuannya, melainkan untuk mewartakan tentang keesaan-Nya."
Parit menghentikan langkahnya, tubuhnya bergidik, ia bertanya-tanya dalam hati, ingatan macam apa yang baru saja hadir dalam kepalanya? Apakah itu sebuah halusinasi? Tapi tidak mungkin karena energinya mengalir deras ke cakra ajna, dan itu adalah energi hasil olah napas yang bisa menghasilkan tenaga dalam yang rutin dilakukannya saat meditasi, dan karena aliran itu membuat kepalanya menjadi cukup berat, sesuatu semacam informasi dari masa lalu sedang hilir mudik melalui saluran pineal dan pituitary dalam otaknya.

Diubah oleh djendradjenar 08-12-2018 11:07
iandeb memberi reputasi
2
Tutup