- Beranda
- Stories from the Heart
HER (Sahabat dan Kekasih Bayanganku)
...
TS
fachreal5
HER (Sahabat dan Kekasih Bayanganku)
Quote:
Halo agan agan & sista penghuni sfth. Sebelumnya semua yang ane ceritain disini pure kejadian yang ane alami sendiri. Sebenarnya dari dulu banyak teman ane yang nganjurin untuk dituangkan dalam bentuk tulisan karena menurut mereka kisah ane ini cukup unik dan absurd untuk dicerna orang-orang yang tentu blm pernah ngalamin. Partnya juga ga akan banyak karena ane cuma tulis intinya plus apa yang ane inget aja. Well, ane sangat terbuka untuk kritik juga saran agar skill nulis ane berkembang dan maaf kalo tritnya sedikit berantakan karena udh lama banget ga nulis trit. Terima kasih untuk yang sudah mampir dan selamat membaca.

Quote:
Sumber gambar : mymodernmet.com
Sebelum mulai silahkan dengerin ini dulu gan biar berasa feelnya

Quote:
“Falling in love is kind of like a form of socially acceptable insanity.”
― Spike Jonze, HER
― Spike Jonze, HER
Quote:
1. Sebuah Pesan Yang Terabaikan
Ia datang tanpa pernah kuduga, menaruh cinta pada hati tanpa perlu melihat rupa ataupun mencoba meraih telapak tanganku kemudian menggandengnya. Mungkin kesan tersebutlah yang dapat kurangkai apabila pikiranku mendesak untuk mendeskripsikan perempuan yang sempat membuatku jatuh hati walau dengan cara yang absurd. Cukup absurd apabila kisah ini dibaca secara keseluruhan.
Kali pertama ia datang ialah ketika aku terbangun dari tidur siang yang bahkan belum berlangsung selama 5 menit. Tidak ia tidak datang ke rumahku ataupun secara spontan berada di hadapanku ketika membuka mata, tidak. Kehadirannya justru datang melalui pesan yang aku abaikan, pesan yang tersembunyi dibalik puluhan pesan lainnya dari peringatan masa aktif kartu perdana dari operator telepon selular milikku satu-satunya.
Kata di atas adalah salam perkenalan yang tanpa sengaja ia katakan kepadaku. Tidak dikatakan secara langsung, melainkan melalui teks dan tentu tidak ada yang spesial dari tulisan singkat dan berasal dari nomor yang tidak kukenal, maka cukup masuk akal apabila aku abaikan terlebih waktu itu dalam sebulan aku sering mendapati pesan nyasar dari nomor yang tidak tercantum di dalam kontak. Dan kebanyakan adalah pesan penipuan atau “mama minta pulsa”.
Usai membaca kembali aku taruh ponsel murah meriahku di tempat yang asal lalu aku merebahkan badan sembari memijit-mijit kepala untuk meredam kepenatan hariku yang terlanjur terekam di otak. Aku separuh tertidur namun ponselku berdering keras, aku geram dan menyumpah orang yang menghubungi ponselku karena secara tidak langsung telah mengganggu istirahatku.
“Halo, ini siapa?” tanyaku kepada orang di balik saluran telepon dan tentunya tidak kukenal karena namanya memang tidak tercantum di kontak.
“Pake nanya lagi. Lu jadi ke rumah ga!” ucapnya dengan nada tinggi. Aku terdiam lalu mengeplak jidatku. Sudah ganggu jam istirahat, marah-marah pula lagi.
“Maaf salah sambung, mbak” kataku ramah.
“Oh emang ini siapa?” tanya ia kikuk.
“Ari” jawabku lalu tanpa ia balas sepatah kata langsung ia matikan saluran teleponnya.
Sudah salah sambung, ganggu jam istirahat, ngegertak, main tutup telpon aja, tidak minta maaf pula. Kurang lebih itulah ungkapan kekesalan yang aku ingat kala itu. Aku langsung mematikan ponsel dan beranjak tidur tanpa pernah terpikir bahwa orang sialan itu akan kembali meneleponku pada malam harinya.
Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMP, aku berkerja paruh waktu sebagai operator warnet. Ya pekerjaan yang memang dianggap sebelah mata memang, tak jarang pula teman-temanku melontarkan memanggilku dengan sebutan Anwar (as known as Anak Warnet). Walaupun terkadang pekerjaanku itu mendapati cibiran, nyatanya aku tetap menggeluti pekerjaan itu sampai duduk di bangku SMA. Jika berbicara gaji, memang pendapatannya tidak seberapa untuk sebulan dan dapat kukatakan tidak sesuai dengan tenaga dan waktu yang aku pertaruhkan. Akan tetapi, tidak sedikitpun aku menyesal karena merupakan suatu kebanggaan untukku apabila pada umur yang semuda itu aku bisa sedikit mandiri untuk keperluan jajan sehari-hari, terlebih karena bekerja di sana aku jadi mengenal teman-teman baru dari segala usia maupun profesi baik itu anak sekolahan (SD-SMA), anak kuliahan, guru karate, bahkan seorang wartawan dan tentunya beribu kenangan tentang kebersamaan yang aku dapatkan.
Untuk hari biasa aku bekerja dari jam 14.30 – 21.00 WIB sedangkan untuk hari libur aku bekerja mulai pukul 08.00 sampai 17.00 WIB. Aku lupa mengenai hari ketika perempuan itu menghubungiku untuk pertama kali, namun yang jelas ia kembali meneleponku usai aku pulang dari warnet sekitar jam sepuluh malam. Awalnya aku tidak ingin mengangkat telepon darinya, akan tetapi semakin aku diamkan nada dering keras bin norak ponselku semakin terngiang di telinga. Aku mulai menyesali perbuatanku yang menyetel musik ala ala metal sebagai nada dering.
“Ya halo, ini mbak yang tadi sore kan ya? Maaf mbak salah sambung lagi” kataku sebab aku menghafal tiga dingit angka nomor ponselnya yang mudah sekali untuk diingat.
“Engga, gue sengaja nelpon lo. Ngomong-ngomong boleh kenalan?” ucapnya, sedangkan aku hanya bergeming. Aku terdiam bukan karena ini adalah kali pertama aku mendapatkan seorang lawan bicara perempuan yang mengajak kenalan dengan frontal, akan tetapi ini adalah pengalaman pertama ada seorang perempuan yang entah darimana, mendapatkan nomorku dari siapa, dan pure salah sambung pula mengajakku kenalan. What the hell mate.
“Yah nama gua masih sama seperti tadi sore, ingat kan?” tanyaku.
“Iya ingat kok, btw nama gue Ara” ucapnya kemudian ia tertawa kecil untuk memecah keheningan diantara percakapan awkwardmalam itu.
“Ngomong-ngomong lu dapat nomor gua darimana?” tanyaku heran.
“Ga dapat darimana-mana, orang gue aja salah sambung. Tadi gue mau telfon teman gue tapi salah satu digit makanya jadi nyambungnya ke elo” jawabnya, namun aku tidak semudah itu percaya.
“Halah, lu jangan-jangan secret admirer gua yah. Ngaku aja udah” jawabku pede, aku bisa mengatakan seperti itu karena memang waktu itu sedang ada perempuan bahkan beberapa perempuan di sekolah yang mengejar-ngejarku secara bergerilya dan membuatku tidak nyaman, akan tetapi aku tidak merespon satupun dari mereka agar tidak merusak pertemanan. Dan kabar buruknya aku sempat diberi label sebagai laki-laki gay karena sampai detik itu aku tidak merespon satupun diantara mereka.
Kemudian percakapan dilanjutkan olehku untuk bertanya mengenai asal sekolah, tempat tinggal, ciri-ciri tubuhku dan yah ditengah percakapan itu aku mulai yakin bahwa kami tidak saling mengenal dan jarak kami berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Akan tetapi, percakapan pertama kami malam itu benar-benar seperti orang yang sudah mengenal sangat lama sebab seiring detik demi detik berjalan pudar rasa canggung yang ada pada diri kami.
“Telfonannya sampe sini dulu yah, gue udah dipanggil ke bawah sama nyokap” ujarnya.
“Oh oke, gua juga sempet denger kok tadi walaupun agak samar. Gua juga mau mandi dan istirahat” kataku.
“Yaudah besok lanjut ya, bye”
Ia menutup saluran teleponnya. Aku mengurungkan niat sejenak untuk mandi, lalu menguntal-nguntal handuk hingga menyerupai sebuah bantal lalu kurebahkan badanku kemudian melihat langit-langit kamar yang mulai berkabang. Pikiranku masih menyimpan banyak pertanyaan, aku mengusap muka dan memejamkan mata setelahnya. Ara? Siapa sih dia, datang tiba-tiba macam roh yang dipanggil boneka jelangkung aja.
Ia datang tanpa pernah kuduga, menaruh cinta pada hati tanpa perlu melihat rupa ataupun mencoba meraih telapak tanganku kemudian menggandengnya. Mungkin kesan tersebutlah yang dapat kurangkai apabila pikiranku mendesak untuk mendeskripsikan perempuan yang sempat membuatku jatuh hati walau dengan cara yang absurd. Cukup absurd apabila kisah ini dibaca secara keseluruhan.
Kali pertama ia datang ialah ketika aku terbangun dari tidur siang yang bahkan belum berlangsung selama 5 menit. Tidak ia tidak datang ke rumahku ataupun secara spontan berada di hadapanku ketika membuka mata, tidak. Kehadirannya justru datang melalui pesan yang aku abaikan, pesan yang tersembunyi dibalik puluhan pesan lainnya dari peringatan masa aktif kartu perdana dari operator telepon selular milikku satu-satunya.
Iya w di rumah nih
Kata di atas adalah salam perkenalan yang tanpa sengaja ia katakan kepadaku. Tidak dikatakan secara langsung, melainkan melalui teks dan tentu tidak ada yang spesial dari tulisan singkat dan berasal dari nomor yang tidak kukenal, maka cukup masuk akal apabila aku abaikan terlebih waktu itu dalam sebulan aku sering mendapati pesan nyasar dari nomor yang tidak tercantum di dalam kontak. Dan kebanyakan adalah pesan penipuan atau “mama minta pulsa”.
Usai membaca kembali aku taruh ponsel murah meriahku di tempat yang asal lalu aku merebahkan badan sembari memijit-mijit kepala untuk meredam kepenatan hariku yang terlanjur terekam di otak. Aku separuh tertidur namun ponselku berdering keras, aku geram dan menyumpah orang yang menghubungi ponselku karena secara tidak langsung telah mengganggu istirahatku.
“Halo, ini siapa?” tanyaku kepada orang di balik saluran telepon dan tentunya tidak kukenal karena namanya memang tidak tercantum di kontak.
“Pake nanya lagi. Lu jadi ke rumah ga!” ucapnya dengan nada tinggi. Aku terdiam lalu mengeplak jidatku. Sudah ganggu jam istirahat, marah-marah pula lagi.
“Maaf salah sambung, mbak” kataku ramah.
“Oh emang ini siapa?” tanya ia kikuk.
“Ari” jawabku lalu tanpa ia balas sepatah kata langsung ia matikan saluran teleponnya.
Sudah salah sambung, ganggu jam istirahat, ngegertak, main tutup telpon aja, tidak minta maaf pula. Kurang lebih itulah ungkapan kekesalan yang aku ingat kala itu. Aku langsung mematikan ponsel dan beranjak tidur tanpa pernah terpikir bahwa orang sialan itu akan kembali meneleponku pada malam harinya.
Dulu ketika aku masih duduk di bangku SMP, aku berkerja paruh waktu sebagai operator warnet. Ya pekerjaan yang memang dianggap sebelah mata memang, tak jarang pula teman-temanku melontarkan memanggilku dengan sebutan Anwar (as known as Anak Warnet). Walaupun terkadang pekerjaanku itu mendapati cibiran, nyatanya aku tetap menggeluti pekerjaan itu sampai duduk di bangku SMA. Jika berbicara gaji, memang pendapatannya tidak seberapa untuk sebulan dan dapat kukatakan tidak sesuai dengan tenaga dan waktu yang aku pertaruhkan. Akan tetapi, tidak sedikitpun aku menyesal karena merupakan suatu kebanggaan untukku apabila pada umur yang semuda itu aku bisa sedikit mandiri untuk keperluan jajan sehari-hari, terlebih karena bekerja di sana aku jadi mengenal teman-teman baru dari segala usia maupun profesi baik itu anak sekolahan (SD-SMA), anak kuliahan, guru karate, bahkan seorang wartawan dan tentunya beribu kenangan tentang kebersamaan yang aku dapatkan.
Untuk hari biasa aku bekerja dari jam 14.30 – 21.00 WIB sedangkan untuk hari libur aku bekerja mulai pukul 08.00 sampai 17.00 WIB. Aku lupa mengenai hari ketika perempuan itu menghubungiku untuk pertama kali, namun yang jelas ia kembali meneleponku usai aku pulang dari warnet sekitar jam sepuluh malam. Awalnya aku tidak ingin mengangkat telepon darinya, akan tetapi semakin aku diamkan nada dering keras bin norak ponselku semakin terngiang di telinga. Aku mulai menyesali perbuatanku yang menyetel musik ala ala metal sebagai nada dering.
“Ya halo, ini mbak yang tadi sore kan ya? Maaf mbak salah sambung lagi” kataku sebab aku menghafal tiga dingit angka nomor ponselnya yang mudah sekali untuk diingat.
“Engga, gue sengaja nelpon lo. Ngomong-ngomong boleh kenalan?” ucapnya, sedangkan aku hanya bergeming. Aku terdiam bukan karena ini adalah kali pertama aku mendapatkan seorang lawan bicara perempuan yang mengajak kenalan dengan frontal, akan tetapi ini adalah pengalaman pertama ada seorang perempuan yang entah darimana, mendapatkan nomorku dari siapa, dan pure salah sambung pula mengajakku kenalan. What the hell mate.
“Yah nama gua masih sama seperti tadi sore, ingat kan?” tanyaku.
“Iya ingat kok, btw nama gue Ara” ucapnya kemudian ia tertawa kecil untuk memecah keheningan diantara percakapan awkwardmalam itu.
“Ngomong-ngomong lu dapat nomor gua darimana?” tanyaku heran.
“Ga dapat darimana-mana, orang gue aja salah sambung. Tadi gue mau telfon teman gue tapi salah satu digit makanya jadi nyambungnya ke elo” jawabnya, namun aku tidak semudah itu percaya.
“Halah, lu jangan-jangan secret admirer gua yah. Ngaku aja udah” jawabku pede, aku bisa mengatakan seperti itu karena memang waktu itu sedang ada perempuan bahkan beberapa perempuan di sekolah yang mengejar-ngejarku secara bergerilya dan membuatku tidak nyaman, akan tetapi aku tidak merespon satupun dari mereka agar tidak merusak pertemanan. Dan kabar buruknya aku sempat diberi label sebagai laki-laki gay karena sampai detik itu aku tidak merespon satupun diantara mereka.
Kemudian percakapan dilanjutkan olehku untuk bertanya mengenai asal sekolah, tempat tinggal, ciri-ciri tubuhku dan yah ditengah percakapan itu aku mulai yakin bahwa kami tidak saling mengenal dan jarak kami berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Akan tetapi, percakapan pertama kami malam itu benar-benar seperti orang yang sudah mengenal sangat lama sebab seiring detik demi detik berjalan pudar rasa canggung yang ada pada diri kami.
“Telfonannya sampe sini dulu yah, gue udah dipanggil ke bawah sama nyokap” ujarnya.
“Oh oke, gua juga sempet denger kok tadi walaupun agak samar. Gua juga mau mandi dan istirahat” kataku.
“Yaudah besok lanjut ya, bye”
Ia menutup saluran teleponnya. Aku mengurungkan niat sejenak untuk mandi, lalu menguntal-nguntal handuk hingga menyerupai sebuah bantal lalu kurebahkan badanku kemudian melihat langit-langit kamar yang mulai berkabang. Pikiranku masih menyimpan banyak pertanyaan, aku mengusap muka dan memejamkan mata setelahnya. Ara? Siapa sih dia, datang tiba-tiba macam roh yang dipanggil boneka jelangkung aja.
Spoiler for INDEX:
PART 1. Sebuah Pesan Yang Terabaikan
PART 2. Sebuah Persamaan Nama
PART 3. Suara Yang Masih Terngiang
PART 4. Cinta Yang Lain
PART 5. Bulan, Dimana Kita Dipertemukan
PART 6. Then We Know Each Other
PART 7. HER
PART 8. Could You Be Mine ?
PART 9. Lover Over Phone
PART 10. Watch Over You
PART 11. Pesan Yang Tidak Pernah Terbalaskan
PART 2. Sebuah Persamaan Nama
PART 3. Suara Yang Masih Terngiang
PART 4. Cinta Yang Lain
PART 5. Bulan, Dimana Kita Dipertemukan
PART 6. Then We Know Each Other
PART 7. HER
PART 8. Could You Be Mine ?
PART 9. Lover Over Phone
PART 10. Watch Over You
PART 11. Pesan Yang Tidak Pernah Terbalaskan
Spoiler for Kunjungi juga thread ane yang lain:
Polling
0 suara
Apakah mereka akan bertemu ?
Diubah oleh fachreal5 11-09-2019 00:18
a.w.a.w.a.w dan 22 lainnya memberi reputasi
23
14.6K
Kutip
81
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
fachreal5
#2
3. Suara Lain Yang Masih Terngiang
Quote:
Dia adalah fans garis keras grup band Evanescence dan tergila-gila dengan sang vokalis, Amy Lee. Menurutnya olah vokal Amy Lee adalah yang terbaik untuk penyanyi wanita, maka dari itu apabila ada seseorang yang mencerca idolanya itu maka itu sama saja mencari perkara dengan ia. Selain karena beberapa persamaan yang kami temukan secara kebetulan, nyatanya kami turut didekatkan oleh musik.
Untuk seorang perempuan menurutku selera musiknya tergolong unik, ia menyukai lagu cadas dan menghentak macam lagu-lagu Evanescence tentunya, Bullet for My Valentine, Avenged Sevenfold, Alter Bridge dan lain-lain. Ia tidak terlalu suka lagu galau yang menye menye, toh sekalinya ia menyukai lagu galau pun yang kutahu ia mendengarkan First Love-nya Utada Hikaru atau First Love- nya Nikka Costa dan untuk musik dalam negeri ia menyukai band Vierra yang pada masa itu memang sedang booming terutama di kalangan remaja. Ia mudah jatuh hati pada lagu yang mengandung unsur cinta pertama.
Kurang lebih sudah setengah tahun kami mengenal dan di masa ini ia sudah berani mengemukakan pendapat atau memberikan kritikan kepadaku. Ia mulai risih dengan ucapanku yang menyebut kata gua ketika berbicara bukan gue, kemudian lu yang menurut dia seharusnya lo karena menurut dia cara penyebutanku kurang sedap di telinganya. Kami sempat memperdebatkan masalah itu sebab aku dan dia sama-sama mempunyai sifat yang keras kepala, namun pada akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauannya karena setiap aku mengatakan kata “gua” ataupun “lu” dia langsung menegur atau yang lebih parah enggan untuk melanjutkan pembicaraan.
Selain tawanya yang khas nyatanya ada hal lain yang sampai detik ini masih terngiang jernih di dalam ingatanku, yaitu suara ia saat bernyanyi. Ia memang tidak pernah bernyanyi di depanku secara langsung karena kami memang tidak pernah bertatap muka sekalipun sampai saat itu dan walau melalui speaker ponsel CDMA nyatanya suara kala ia bernyanyi sangat merdu di telingaku. Bahkan saking merdunya aku sempat sesekali ikut bernyanyi walau lagu yang ia bawakan tidak pernah terdengar sekalipun di telingaku.
Nyatanya tidak hanya aku, karena beberapa teman dekatku yang sudah mengetahui akan kisah absurdku dengan dia juga mengakui suara merdunya kala mereka mendengarkan suaranya yang tanpa ia ketahui aku rekam disebuah MP3 player yang aku dapatkan dari hadiah motor matik H*nda generasi pertama. Lagu pertama yang ia nyanyikan adalah My Immortal karya Evanescnece, aku lupa sebab kenapa ia bernyanyi kepadaku untuk pertama kali namun yang aku ingat nyanyian pertamanya yang membuat kami semakin dekat.
“Ayo, katanya mau nyanyi” katanya, ia terkekeh.
“Ih kok lu inget sih?”
“Elooooo bukan eluuuuu!!!!”
“Ya maap, gua kan ga biasa”
“Gueeee bukan guaaaaa!!! Apa susahnya sih ngomong begitu doang ish” gertaknya dan entah kenapa aku sangat suka apabila ia sedang seperti ini.
“Yaudah, ngomong-ngomong malam ini lo mau bawain lagu apa?” sambungnya.
“Larc~En~Ciel judulnya Link” kataku.
“Hah? Burung lu kecil? Itu nama band?” tanyanya polos, aku terkekeh.
“Larc....En....Cielllll budek, bukan burung lu kecil”
“Oh, HAHAHAHAHAHA ngomong kek”
“Ya itu juga barusan kan gue ngomong Ara, et dah tabokin juga nih” kataku dan membuat tawanya semakin pecah.
Aku keluarkan secarik kertas lecak yang di dalamnya telah kutulis lirik lagu Jepang yang akan kubawakan. Aku terdiam sejenak dan mencoba menghafal melodi lagunya yang seiring detik berjalan semakin buyar. Aku pernah beberapa kali bernyanyi di depan orang banyak karena memang tuntutan tugas sekolah, namun untuk bernyanyi kepada seorang perempuan secara personal ini adalah kali pertama dan tak pernah terbayangkan olehku.
“Eh kok diam aja? Ayo nyanyi” tukasnya.
“Bismillah...” ucapku dan di kejauhan aku tahu ia sedang menahan tawanya lagi.
Aku berhenti bernyanyi pada pertengahan lagu sebab selain pelafalan yang cukup rumit nyatanya aku ilfeel dengan suaraku sendiri ketika bernyanyi.
“Kok berhenti?” ayo terusin” serunya.
“Gak ah, suara gue ancur banget”
“Ih kata siapa jelek? Bagus kok” ucapnya mencoba menghibur.
“Gausah coba menghibur deh” kataku sinis, dia tertawa renyah.
“Itu lagu Jepang yah? Gue gak terlalu tahu sih lagu Jepang, tapi malam ini gue pengen bawain lagu dari negara itu buat lo”
“Apa judul lagunya?
“Utada Hikaru, First Love”
“Oh, itu spesial buat gue? Lo gak lagi jatuh cinta kan sama gue?” tanyaku menggoda.
“Yeeee gausah kepedean deh” tukasnya.
Suaranya tidak terlalu bagus apabila ia menyanyikan lagu Jepang atau sejenisnya, namun apabila dibandingkan dengan suaraku tentu dia menjadi juara. Sudah 9 tahun berlalu namun tak sedikitpun aku lupa dengan segala nyanyiannya.
Untuk seorang perempuan menurutku selera musiknya tergolong unik, ia menyukai lagu cadas dan menghentak macam lagu-lagu Evanescence tentunya, Bullet for My Valentine, Avenged Sevenfold, Alter Bridge dan lain-lain. Ia tidak terlalu suka lagu galau yang menye menye, toh sekalinya ia menyukai lagu galau pun yang kutahu ia mendengarkan First Love-nya Utada Hikaru atau First Love- nya Nikka Costa dan untuk musik dalam negeri ia menyukai band Vierra yang pada masa itu memang sedang booming terutama di kalangan remaja. Ia mudah jatuh hati pada lagu yang mengandung unsur cinta pertama.
Kurang lebih sudah setengah tahun kami mengenal dan di masa ini ia sudah berani mengemukakan pendapat atau memberikan kritikan kepadaku. Ia mulai risih dengan ucapanku yang menyebut kata gua ketika berbicara bukan gue, kemudian lu yang menurut dia seharusnya lo karena menurut dia cara penyebutanku kurang sedap di telinganya. Kami sempat memperdebatkan masalah itu sebab aku dan dia sama-sama mempunyai sifat yang keras kepala, namun pada akhirnya aku mengalah dan mengikuti kemauannya karena setiap aku mengatakan kata “gua” ataupun “lu” dia langsung menegur atau yang lebih parah enggan untuk melanjutkan pembicaraan.
Selain tawanya yang khas nyatanya ada hal lain yang sampai detik ini masih terngiang jernih di dalam ingatanku, yaitu suara ia saat bernyanyi. Ia memang tidak pernah bernyanyi di depanku secara langsung karena kami memang tidak pernah bertatap muka sekalipun sampai saat itu dan walau melalui speaker ponsel CDMA nyatanya suara kala ia bernyanyi sangat merdu di telingaku. Bahkan saking merdunya aku sempat sesekali ikut bernyanyi walau lagu yang ia bawakan tidak pernah terdengar sekalipun di telingaku.
Nyatanya tidak hanya aku, karena beberapa teman dekatku yang sudah mengetahui akan kisah absurdku dengan dia juga mengakui suara merdunya kala mereka mendengarkan suaranya yang tanpa ia ketahui aku rekam disebuah MP3 player yang aku dapatkan dari hadiah motor matik H*nda generasi pertama. Lagu pertama yang ia nyanyikan adalah My Immortal karya Evanescnece, aku lupa sebab kenapa ia bernyanyi kepadaku untuk pertama kali namun yang aku ingat nyanyian pertamanya yang membuat kami semakin dekat.
“Ayo, katanya mau nyanyi” katanya, ia terkekeh.
“Ih kok lu inget sih?”
“Elooooo bukan eluuuuu!!!!”
“Ya maap, gua kan ga biasa”
“Gueeee bukan guaaaaa!!! Apa susahnya sih ngomong begitu doang ish” gertaknya dan entah kenapa aku sangat suka apabila ia sedang seperti ini.
“Yaudah, ngomong-ngomong malam ini lo mau bawain lagu apa?” sambungnya.
“Larc~En~Ciel judulnya Link” kataku.
“Hah? Burung lu kecil? Itu nama band?” tanyanya polos, aku terkekeh.
“Larc....En....Cielllll budek, bukan burung lu kecil”
“Oh, HAHAHAHAHAHA ngomong kek”
“Ya itu juga barusan kan gue ngomong Ara, et dah tabokin juga nih” kataku dan membuat tawanya semakin pecah.
Aku keluarkan secarik kertas lecak yang di dalamnya telah kutulis lirik lagu Jepang yang akan kubawakan. Aku terdiam sejenak dan mencoba menghafal melodi lagunya yang seiring detik berjalan semakin buyar. Aku pernah beberapa kali bernyanyi di depan orang banyak karena memang tuntutan tugas sekolah, namun untuk bernyanyi kepada seorang perempuan secara personal ini adalah kali pertama dan tak pernah terbayangkan olehku.
“Eh kok diam aja? Ayo nyanyi” tukasnya.
“Bismillah...” ucapku dan di kejauhan aku tahu ia sedang menahan tawanya lagi.
Aku berhenti bernyanyi pada pertengahan lagu sebab selain pelafalan yang cukup rumit nyatanya aku ilfeel dengan suaraku sendiri ketika bernyanyi.
“Kok berhenti?” ayo terusin” serunya.
“Gak ah, suara gue ancur banget”
“Ih kata siapa jelek? Bagus kok” ucapnya mencoba menghibur.
“Gausah coba menghibur deh” kataku sinis, dia tertawa renyah.
“Itu lagu Jepang yah? Gue gak terlalu tahu sih lagu Jepang, tapi malam ini gue pengen bawain lagu dari negara itu buat lo”
“Apa judul lagunya?
“Utada Hikaru, First Love”
“Oh, itu spesial buat gue? Lo gak lagi jatuh cinta kan sama gue?” tanyaku menggoda.
“Yeeee gausah kepedean deh” tukasnya.
Suaranya tidak terlalu bagus apabila ia menyanyikan lagu Jepang atau sejenisnya, namun apabila dibandingkan dengan suaraku tentu dia menjadi juara. Sudah 9 tahun berlalu namun tak sedikitpun aku lupa dengan segala nyanyiannya.
Diubah oleh fachreal5 18-01-2019 21:49
axxis2sixx dan mmuji1575 memberi reputasi
4
Kutip
Balas