- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#91
Chapter 18
Spoiler for Kebenaran:
Surya termenung diatas kasur miliknya sembari masih mendengarkan cerita sang ayah sedangkan sang ayah hanya bisa terduduk lesu di depan dirinya, Bagas tengah memilah kata-kata selanjutnya yang tepat untuk dilontarkan keanak semata wayangnya tersebut.
"Ibumu tidak sadarkan diri disaat ayah dan pak Kusni sampai di rumah sakit, karena kondisi ibumu semakin lemah akhirnya dilakukanlah operasi saat sore harinya, hari itu engkau lahir akan tetapi ibumu..."
"Cukup ..." seru Surya dengan suara serak menahan isak tangis.
Tanpa mengindahkan kata-kata anaknya Bagas tetap melanjutkan kalimatnya, "dikarenakan kondisi ibumu yang kritis dokter berkata pada ayah bahwa ayah memiliki dua pilihan, ia memberikan pilihan yang paling sulit dalam hidup ayah, piliha antara ibumu atau dirimu Surya, ayah harap engkau mengerti mengapa ayah harus merelakan ibumu, ibumu …."
"CUKUP...!! HENTIKAN...!" teriak Surya tertuju ke ayahnya sembari menundukkan kepala ia terlihat meremas erat sprei kasur dan menahan isak tangis yang siap meledak kapanpun.
Ayah berdiri dan secara perlahan berjalan menuju sang anak yang tengah tertunduk sembari gemetar menahan amarah, Ayah memeluk Surya lembut sembari mengusap pucuk kepala anaknya.
Dikala itu Bagas sudah menceritakan kisah kelam tujuh belas tahun yang lalu sedetil mungkin kepada Surya, yang dia harapkan hanya pengertian sang anak terhadap pilihannya untuk menyelamatkan Surya.
"Menangislah, jangan engkau tahan Surya, sesekali lelaki juga manusia yang bisa menangis. "
Tangis tertahan Surya pecah di pelukan sang Ayah, derai air mata menetes membasahi kemeja sang ayah.
"Ibumu menyayangimu Surya, ia mengorbankan nyawanya untukmu, jadi hiduplah dengan penuh semangat," seru ayah tertahan pelukan Surya yang semakin erat.
Selang beberapa menit tangis Surya semakin memudar walau isaknya masih menemani suaranya yang parau, sang ayah menatap teduh wajah anaknya menatap langsung ke mata sang anak yang sembam karena tangis kemudian berkata.
"Selalu berikan senyum hangat selayaknya Matahari pagi seperti yang ibumu lakukan dulu pada ayah, karena kamu anaknya."
Surya memeluk erat sang ayah kembali kemudian berkata.
"Surya janji akan menjadi lebih kuat!"
Siang berganti sore, warna jingga di langit semakin memperlihatkan indahnya seakan sang senja bersolek menyambut sang malam, waktu memperlihatkan pukul lima sore, Surya tengah tertidur dengan pulasnya, setelah shalat ashar ia terlelap begitu saja, efek obat mempengaruhi metabolisme tubuhnya.
Di sebelah Surya duduk dengan manisnya seorang gadis berhijab putih, dengan masih memakai seragam sekolah ia tengah mengupas buah apel untuk sang lelaki di sampingnya yang sebentar lagi bangun bersamaan datangnya sang malam.
Kumandang adzan maghrib bersua di kolong langit ibukota, sang lelaki mulai membuka matanya perlahan, di depannya terlihat sang gadis tersenyum manis menatapnya.
"Kamu sudah bangun, mau makan apel atau shalat dulu?"
"Shalat dulu, Ra tolong bantu aku dong," pinta Senja pelan.
"Bantu apa?"
"Tuntun aku ke kamar mandi, aku mau wudhu," seru Senja.
"Tayamum aja sih, jangan di paksa gitu." ketus Naura.
"Lukanya sudah enggak begitu sakit kok, aku sanggup ke kamar mandi buat wudhu," terang Senja.
"Oh, enggak kenapa-napa nieh? Beneran?" tanya Naura khawatir.
Senja mengangguk sembari tersenyum ke arah Naura.
"Yaudah sini aku bantu."
Naura menggenggam erat tangan Senja, kemudian menuntunnya ke dalam kamar mandi, degup jantung saling memacu dikala dua sejoli tersebut berpegangan tangan, sesampainya di kamar mandi mereka terdiam.
"Kok diam," tanya Naura.
"Kamu masih disini Ra," sergah Senja.
"Aku jagain kamu biar enggak jatuh."
"Aku mau buang air kecil, masih kamu mau jagain?"
"Oh, engh maaf, bilang dong, yaudah aku keluar dulu," ketus Naura salah tingkah ditatap Senja.
Bunyi gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi, selang beberapa menit Senja keluar dari kamar mandi, dengan sigap Naura membantu Senja dengan menuntun tangan Senja.
"Ra!!"
"Engh, iya?!"
"Kamu kok tuntun aku lagi?" tanya Senja heran.
"Aku tuntun biar enggak jatuh," terang Naura.
"Aku abis wudhu Ra, ya batal lah kalo di pegang lagi."
"Oh iya, maaf-maaf, aku kan cuman khawatir, maaf ya," seru Naura salah tingkah lagi.
"Hehe, yaudah aku wudhu lagi ya," kata Senja sembari tersenyum manis ke arah Naura.
"Iisssh, ada apa sih sama gua, kok jadi oneng gini, mas Senja sih bikin deg-degan melulu tiap dekat dia," gumam Naura di dalam hati.
Selang beberapa menit lagi Senja keluar dari kamar mandi tanpa bantuan Naura.
"Kamu wudhu juga dih, kita jamaah, enggak lagi dapetkan kamu?" tanya Senja.
Naura hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum malu, ia menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Dengan posisi Senja duduk di kasur dan Naura di sebelah kanannya mereka melaksanakan shalat maghrib berjamaah tiga rakaat dengan khusyu.
Naura bangun dari sajadahnya kemudian duduk di sebelah Senja.
"Tangan," pinta Naura.
"Tangan? Maksudny..."
Tanpa permisi Naura mengambil kemudian menggenggam tangan kanan Senja lalu mencium punggung tangannya dengan keningnya.
Sekarang giliran Senja yang gugup karena baru kali ini ada seorang gadis yang mencium tangannya dengan penuh rasa hormat.
"Cantik banget Naura kalau di lihat sedekat ini, udah cantik soleha, baik, paket lengkap banget sih ini gadis," gumam Senja dalam hati.
"Kenapa? Kok senyum-senyum sendiri? Perasaan yang luka punggung kamu bukannya kepala."
"Engh Enggak, enggak kenapa-kenapa kok," jawab Senja sembari tersenyum kembali.
"Kenapa! Jawab!"
"Enggak ada apa-apa Naura sayang."
-Deg-
Jantung Naura berdetak lebih kencang setelah mendengar kata sayang dari Senja, pipinya mulai memanas, kontras dengan kulit putihnya.
"Apaan sih, sayang-sayang, bukan muhrim tau! Enggak boleh itu!" seru Naura kesal.
"Terus aku harus panggil kamu apa Ra?" tanya Senja.
"Naura, udah itu aja."
"Terlalu biasa, kalau Naura cantik?"
"Enggak boleh."
"Naura manis?"
"Iiissh Enggak boleh!" dengus Naura sedikit kesal.
"Hmm, iya-iya deh, eh katanya tadi ada apel, aku mau dong."
Naura mengambil piring berisikan apel yang siap makan di atasnya, dengan sebuah garpu ia menusuk salah satu apel kemudian memberikannya kepada Senja.
"Nieh ambil."
"Loh? Enggak disuapin?" tanya Senja heran.
"Iiissh udah gede jangan manja, lagian punggungnya yang cedera bukan tangannya."
"Enggak ah kalo gitu, aku enggak mau makan kalo enggak di suapin kamu Ra," runut Senja bergaya manja.
"Iiisssh, dasar bayi, nieh!" seru Naura sembari menyuapi sepotong apel ke mulut Senja.
"AAMmm, nyam nyam nyam, enak Ra, manis banget apelnya, apa gara-gara makannya sembari disuapin kamu ya jadi manis banget apelnya?" gombal Senja.
"Au ah, udah cepet kunyah, sebelum kakek dateng, aku malu kalo ketauan lagi nyuapin kamu," runut Naura.
"Kamu enggak suka ya nyuapin aku?" tanya Senja memasang wajah sedih layaknya anak kecil yang merajuk.
"Engh, bukan githu mas, aku cuman malu aja."
"Mas? Kita kan seumuran Naura sayang."
"Engh, soalnya, engh, kamu lebih tua kalau lagi sakit," jawab Naura sekenanya.
"enak juga kedengerannya kalo kamu panggil aku mas, yaudah, mulai sekarang panggil aku mas Senja ya Naura sayang."
"Iisssh...! Udah di bilang jangan sayang-sayang bukan muhrim tau mas!"
"Yaah mau gimana lagi ra.."
Sejenak Senja terdiam, ia menatap teduh manik mata Naura kemudian tersenyum manis ke arahnya.
"Aku udah terlanjur sayang sama kamu."
Naura hanya terdiam setelah mendengar kata-kata yang tiba-tiba terlontar dari mulut Senja, wajahnya memerah seperti tomat ceri.
Bersambung..
"Ibumu tidak sadarkan diri disaat ayah dan pak Kusni sampai di rumah sakit, karena kondisi ibumu semakin lemah akhirnya dilakukanlah operasi saat sore harinya, hari itu engkau lahir akan tetapi ibumu..."
"Cukup ..." seru Surya dengan suara serak menahan isak tangis.
Tanpa mengindahkan kata-kata anaknya Bagas tetap melanjutkan kalimatnya, "dikarenakan kondisi ibumu yang kritis dokter berkata pada ayah bahwa ayah memiliki dua pilihan, ia memberikan pilihan yang paling sulit dalam hidup ayah, piliha antara ibumu atau dirimu Surya, ayah harap engkau mengerti mengapa ayah harus merelakan ibumu, ibumu …."
"CUKUP...!! HENTIKAN...!" teriak Surya tertuju ke ayahnya sembari menundukkan kepala ia terlihat meremas erat sprei kasur dan menahan isak tangis yang siap meledak kapanpun.
Ayah berdiri dan secara perlahan berjalan menuju sang anak yang tengah tertunduk sembari gemetar menahan amarah, Ayah memeluk Surya lembut sembari mengusap pucuk kepala anaknya.
Dikala itu Bagas sudah menceritakan kisah kelam tujuh belas tahun yang lalu sedetil mungkin kepada Surya, yang dia harapkan hanya pengertian sang anak terhadap pilihannya untuk menyelamatkan Surya.
"Menangislah, jangan engkau tahan Surya, sesekali lelaki juga manusia yang bisa menangis. "
Tangis tertahan Surya pecah di pelukan sang Ayah, derai air mata menetes membasahi kemeja sang ayah.
"Ibumu menyayangimu Surya, ia mengorbankan nyawanya untukmu, jadi hiduplah dengan penuh semangat," seru ayah tertahan pelukan Surya yang semakin erat.
Selang beberapa menit tangis Surya semakin memudar walau isaknya masih menemani suaranya yang parau, sang ayah menatap teduh wajah anaknya menatap langsung ke mata sang anak yang sembam karena tangis kemudian berkata.
"Selalu berikan senyum hangat selayaknya Matahari pagi seperti yang ibumu lakukan dulu pada ayah, karena kamu anaknya."
Surya memeluk erat sang ayah kembali kemudian berkata.
"Surya janji akan menjadi lebih kuat!"
Siang berganti sore, warna jingga di langit semakin memperlihatkan indahnya seakan sang senja bersolek menyambut sang malam, waktu memperlihatkan pukul lima sore, Surya tengah tertidur dengan pulasnya, setelah shalat ashar ia terlelap begitu saja, efek obat mempengaruhi metabolisme tubuhnya.
Di sebelah Surya duduk dengan manisnya seorang gadis berhijab putih, dengan masih memakai seragam sekolah ia tengah mengupas buah apel untuk sang lelaki di sampingnya yang sebentar lagi bangun bersamaan datangnya sang malam.
Kumandang adzan maghrib bersua di kolong langit ibukota, sang lelaki mulai membuka matanya perlahan, di depannya terlihat sang gadis tersenyum manis menatapnya.
"Kamu sudah bangun, mau makan apel atau shalat dulu?"
"Shalat dulu, Ra tolong bantu aku dong," pinta Senja pelan.
"Bantu apa?"
"Tuntun aku ke kamar mandi, aku mau wudhu," seru Senja.
"Tayamum aja sih, jangan di paksa gitu." ketus Naura.
"Lukanya sudah enggak begitu sakit kok, aku sanggup ke kamar mandi buat wudhu," terang Senja.
"Oh, enggak kenapa-napa nieh? Beneran?" tanya Naura khawatir.
Senja mengangguk sembari tersenyum ke arah Naura.
"Yaudah sini aku bantu."
Naura menggenggam erat tangan Senja, kemudian menuntunnya ke dalam kamar mandi, degup jantung saling memacu dikala dua sejoli tersebut berpegangan tangan, sesampainya di kamar mandi mereka terdiam.
"Kok diam," tanya Naura.
"Kamu masih disini Ra," sergah Senja.
"Aku jagain kamu biar enggak jatuh."
"Aku mau buang air kecil, masih kamu mau jagain?"
"Oh, engh maaf, bilang dong, yaudah aku keluar dulu," ketus Naura salah tingkah ditatap Senja.
Bunyi gemericik air terdengar dari balik pintu kamar mandi, selang beberapa menit Senja keluar dari kamar mandi, dengan sigap Naura membantu Senja dengan menuntun tangan Senja.
"Ra!!"
"Engh, iya?!"
"Kamu kok tuntun aku lagi?" tanya Senja heran.
"Aku tuntun biar enggak jatuh," terang Naura.
"Aku abis wudhu Ra, ya batal lah kalo di pegang lagi."
"Oh iya, maaf-maaf, aku kan cuman khawatir, maaf ya," seru Naura salah tingkah lagi.
"Hehe, yaudah aku wudhu lagi ya," kata Senja sembari tersenyum manis ke arah Naura.
"Iisssh, ada apa sih sama gua, kok jadi oneng gini, mas Senja sih bikin deg-degan melulu tiap dekat dia," gumam Naura di dalam hati.
Selang beberapa menit lagi Senja keluar dari kamar mandi tanpa bantuan Naura.
"Kamu wudhu juga dih, kita jamaah, enggak lagi dapetkan kamu?" tanya Senja.
Naura hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum malu, ia menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Dengan posisi Senja duduk di kasur dan Naura di sebelah kanannya mereka melaksanakan shalat maghrib berjamaah tiga rakaat dengan khusyu.
Naura bangun dari sajadahnya kemudian duduk di sebelah Senja.
"Tangan," pinta Naura.
"Tangan? Maksudny..."
Tanpa permisi Naura mengambil kemudian menggenggam tangan kanan Senja lalu mencium punggung tangannya dengan keningnya.
Sekarang giliran Senja yang gugup karena baru kali ini ada seorang gadis yang mencium tangannya dengan penuh rasa hormat.
"Cantik banget Naura kalau di lihat sedekat ini, udah cantik soleha, baik, paket lengkap banget sih ini gadis," gumam Senja dalam hati.
"Kenapa? Kok senyum-senyum sendiri? Perasaan yang luka punggung kamu bukannya kepala."
"Engh Enggak, enggak kenapa-kenapa kok," jawab Senja sembari tersenyum kembali.
"Kenapa! Jawab!"
"Enggak ada apa-apa Naura sayang."
-Deg-
Jantung Naura berdetak lebih kencang setelah mendengar kata sayang dari Senja, pipinya mulai memanas, kontras dengan kulit putihnya.
"Apaan sih, sayang-sayang, bukan muhrim tau! Enggak boleh itu!" seru Naura kesal.
"Terus aku harus panggil kamu apa Ra?" tanya Senja.
"Naura, udah itu aja."
"Terlalu biasa, kalau Naura cantik?"
"Enggak boleh."
"Naura manis?"
"Iiissh Enggak boleh!" dengus Naura sedikit kesal.
"Hmm, iya-iya deh, eh katanya tadi ada apel, aku mau dong."
Naura mengambil piring berisikan apel yang siap makan di atasnya, dengan sebuah garpu ia menusuk salah satu apel kemudian memberikannya kepada Senja.
"Nieh ambil."
"Loh? Enggak disuapin?" tanya Senja heran.
"Iiissh udah gede jangan manja, lagian punggungnya yang cedera bukan tangannya."
"Enggak ah kalo gitu, aku enggak mau makan kalo enggak di suapin kamu Ra," runut Senja bergaya manja.
"Iiisssh, dasar bayi, nieh!" seru Naura sembari menyuapi sepotong apel ke mulut Senja.
"AAMmm, nyam nyam nyam, enak Ra, manis banget apelnya, apa gara-gara makannya sembari disuapin kamu ya jadi manis banget apelnya?" gombal Senja.
"Au ah, udah cepet kunyah, sebelum kakek dateng, aku malu kalo ketauan lagi nyuapin kamu," runut Naura.
"Kamu enggak suka ya nyuapin aku?" tanya Senja memasang wajah sedih layaknya anak kecil yang merajuk.
"Engh, bukan githu mas, aku cuman malu aja."
"Mas? Kita kan seumuran Naura sayang."
"Engh, soalnya, engh, kamu lebih tua kalau lagi sakit," jawab Naura sekenanya.
"enak juga kedengerannya kalo kamu panggil aku mas, yaudah, mulai sekarang panggil aku mas Senja ya Naura sayang."
"Iisssh...! Udah di bilang jangan sayang-sayang bukan muhrim tau mas!"
"Yaah mau gimana lagi ra.."
Sejenak Senja terdiam, ia menatap teduh manik mata Naura kemudian tersenyum manis ke arahnya.
"Aku udah terlanjur sayang sama kamu."
Naura hanya terdiam setelah mendengar kata-kata yang tiba-tiba terlontar dari mulut Senja, wajahnya memerah seperti tomat ceri.
Bersambung..
Set.. Sa ae kang cilok..
Happy reading ya guys..

twiratmoko dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Kutip
Balas