Kaskus

Story

Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
storyharibawaAvatar border
TS
storyharibawa
#34
Deck 7 - Insiden
Aku tidak ingat pukul berapa semalam tertidur. Rasanya baru beberapa menit lalu memejamkan mata, tahu-tahu alarm ponsel berbunyi. Entah untuk ke berapa kalinya. Padahal selama ini aku selalu terbangun begitu musik alarm melantunkan lagunya Asmin Cayder yang tidak kusukai itu.

Jam menunjukan pukul enam kurang sepuluh menit. Celaka dua belas! Aku terlambat! Bagaimana mungkin dalam waktu sepuluh menit bisa bersiap-siap pergi ke tempat kerja?

Sementara kulihat ranjang Davor telah kosong. Hanya jejak-jejak pertempuran semalam yang tertinggal. Seprai lecek dan bantal-bantal jumpalitan. Canggih juga dia, setelah bercinta hingga fajar menjelang, kini mereka ngacir ke tempat kerja. Aku kalah saing.

Kuputuskan membasuh muka, gosok gigi dan mengelap ketiak menggunakan handuk basah secepat yang kubisa. Kukenakan jaket katun putih serta celana panjang hitam─seragam hangat, cocok di pagi hari yang super dingin ini. Tidak banyak bercermin lagi, aku segera melesat ke crew mess, melewati lorong utama yang sepagi ini hiruk pikuk dengan orang berlalu lalang. Rupanya bukan hanya aku yang sedang mengejar waktu.

Setibanya di crew mess, Alfredo menyambutku dengan tatapan bengis. Sepertinya dia siap membunuhku. Dia menghadangku di depan pintu masuk.

“Heh! Pukul berapa ini?!” gertaknya.

Enam lewat lima. Aku cuma terlambat lima menit, kan? Matahari akan tetap bersinar dan kapal ini tidak akan tenggelam.

“Maafkan saya.” Hanya itu yang bisa kukatakan.

“Sorry without beer is nothing ... Antonio datang setengah tujuh, dia tidak akan tahu kau terlambat, tapi saya pasti akan memberitahunya. Hidupmu akan berakhir.”

Cegluk!

Alfredo benar. Minta maaf itu mudah, tapi tanpa perbuatan nyata tidak ada artinya. Jadi ...

“Jadi, kau ingin saya mentraktirmu minum bir supaya kau memaafkanku?”

“Bukan itu maksudnya, bodoh!”

“Lalu?”

“Ah, sudahlah! Cepat kau pergi ke jus konter. Noel dan Orlando menunggumu sejak tadi!”

Aku buru-buru enyah dari hadapan Alfredo sebelum dia benar-benar membunuhku.

Aku terkejut melihat suasana crew mess yang super sibuk. Noel tampak kepayahan meng-handle jus konter. Sementara Orlando tidak berdaya menangani troli-troli itu sendirian. Baki-baki piring kotor sampai membludak di atas rak troli.

“Eh, Yudis, kau sudah di sini,” ujar Noel. “Cepat ambillah kotak susu dan yogurt di lemari pendingin. Saya akan membantu Orlando mendorong troli-troli itu. Kau incharge di jus konter lagi seperti kemarin!”

“Baiklah, kalian tidak marah, nih?”

“Lupakan. Tidak perlu dibahas sekarang,” tukas Noel.

“Oke, oke. Saya segera mengerjakannya.”

Aku segera mengerjakan perintah Noel.

Pagi hari, benda-benda di jus konter lebih banyak. Sekarang tugasku bertambah mengontrol stok yogurt dan mengambilnya di lemari pendingin. Lalu mengontrol toaster dan roti tawar beserta beraneka macam selai. Jus konter pada saat pelayanan jam makan pagi lebih komplikasi ketimbang saat jam makan malam.



***


Jam makan pagi para crew tutup pukul sembilan. Sebelum hidangan di buffet diangkut kembali ke dalam galley oleh cook helper, secara bergiliran kami mengambil jatah sarapan. Aku menghabiskan dua sosis Jerman, dua telur mata sapi, semangkuk sereal dan satu gelas yogurt. Makan pagi yang luar biasa. Sejauh ini, nafsu makanku seperti orang kesetanan.

Selanjutnya, giliranku mengepel area yang ditutup lebih dini. Sementara itu, Noel pergi mengambil sarapannya, kemudian bergantian dengan Alfredo dan Orlando.

Di sudut lain, Antonio terlihat tengah duduk santai bersama makanan paginya. Tiba-tiba dia memanggilku. Pasti Alfredo sudah melapor dan sekarang aku akan menanggung hukuman karena terlambat.

Dag-dig-dug menyerang. Kegugupan melanda.

“Iya, Antonio,” kataku saat duduk di hadapannya.

Antonio menelan bubur oat meal-nya, lalu berbicara. “Apa yang kau pelajari hari ini?”

Belajar? Belajar apa ya?

“Eng ... mengisi ulang jus dispenser, mengambil tumbler ke tempat cuci, menyapu, mengepel, apa itu termasuk belajar?”

Aku tahu itu hanya bahasa pengantar Antonio sebelum ke inti pokok permasalahan.

“Kalau kau belum tahu cara mengerjakannya, tentu saja itu termasuk belajar. Apa kau lelah?”

“Eng ... bukankah tidak ada pekerjaan yang tidak melelahkan, kecuali makan dan tidur? Kalau saya bilang tidak lelah, saya pasti berbohong.”

Antonio manggut-manggut.

“Kau benar sekali. Oh ya, apa ini pengalaman pertamamu bekerja di crew mess?”

“Eng ... ya. Ini pengalaman pertama saya bekerja di crew mess. Sebelumnya saya bekerja di buffet restaurant dan ala carte selama empat tahun. Jadi, kurasa pengalaman saya seharusnya sangat membantu.”

“Wow, empat tahun?” bola mata Antonio melebar. “Kau terlihat sangat muda, punya pengalaman yang lebih dari cukup. Seharusnya kau tidak bekerja di tempat ini.”

“Agency yang memberikan pekerjaan ini untuk saya, Antonio. Saya sangat bersyukur.”

Antonio menarik sudut bibirnya ke bawah.

“Oke, kalau begitu saya akan lihat hasil pekerjaanmu selama kau bekerja dengan saya di sini. Saya tidak akan menjanjikan apa pun, kalau kau bisa menunjukkan hasil kerja yang memuaskan, kau akan menerima timbal balik dari saya. Pergilah, lanjutkan pekerjaanmu.”

Lho, cuma begitu? Aku tidak jadi dimarahi, nih?

“Baiklah. Terima kasih, Antonio,” ujarku senang.

“Tidak masalah.”

Rupanya aku terlalu cepat menyimpulkan. Tidak lama kemudian, Alfredo mendatangiku saat aku mengepel di area jus konter.

“Psst!” Dia menjawil punggungku.

Apaan sih, tidak sopan. Aku pura-pura tidak mendengarnya.

“Heh, saya memanggilmu!”

Aku menoleh.

“Oh, apa?”

Alfredo berbicara selirih mungkin.

“Saya tidak akan melaporkanmu ke Antonio. Sebagai gantinya, tugas jam makan siang nanti saya ingin pergi lebih cepat. Kau gantikan tugas menyapu dan mengepel area buffet utama.”

Busuk! Akhirnya terungkap juga apa maunya. Kupikir Antonio sudah mengetahui bahwa hari ini aku datang terlambat dan dia telah memaafkanku tanpa membahasnya. Tahu begitu, lebih baik kuberitahu saja tadi.

“Antonio tidak akan tahu selama kau bisa jaga rahasia. Ini rahasia antara kau dan saya. Antonio selesai bertugas lebih cepat dari kita. Begitu jam makan siang crew mess tutup, ia kembali ke kabin.”

Rahasia antara kau dan aku? Aku diam berpikir.

Ini sih, kejahatan besar namanya. Persekongkolan crew korupsi jam kerja!

“Deal?” tanya Alfredo menegaskan. “Awas kalau kau berani macam-macam dan mengadu pada Antonio, kau akan merasakan akibatnya! Satu kali terlambat memang hanya ditegur. Dua kali terlambat, kau akan dapat surat peringatan dari Maitre’D! Suatu saat aku bisa melaporkanmu dua kali bahkan tiga kali terlambat pada Antonio, lalu Antonio akan meneruskannya ke Maitre’D. Kau pasti ... ”

Ngeek! Alfredo menirukan gerakan tangan mengiris leher.

Brengsek. Berurusan dengan Alfredo sangat berbahaya. Aku terpaksa mengiyakan permintaannya.


***


Crew mess kembali dibuka pukul sepuluh tiga puluh. Saatnya jam makan siang. Aku menghela napas panjang. Rasanya tempat ini baru saja selesai dibersihkan. Bahkan aku tidak sempat duduk-dukuk ganteng sekadar beristirahat. Sekarang bersiap-siap lagi menghadapi serangan manusia-manusia lapar ronde berikutnya.

Aku mengantuk berat karena semalam kurang tidur. Ditambah ... oh, ya ampun! Ombak ini membuatku pusing. Goyangannya tidak kalah dengan goyang pinggul artis dangdut pantura. Membuatku mabuk kepayang. Lebih enak goyang pantura. Lha, ini rasanya ingin muntah.

“Hey, kau baik-baik saja?” tanya Orlando.

“Tidak apa-apa. Saya cuma agak pusing.”

“Ah, kau mabuk laut. Sebentar saya ambilkan sesuatu.”

Orlando pergi mengambil sesuatu di lemari pendingin. Lalu dia kembali dengan membawa apel hijau di tangannya.

“Makanlah apel hijau ini. Kau pasti akan merasa lebih baik,” ujarnya.

“Bukannya kita tidak diperbolehkan makan saat bertugas?”

“Ini pengecualian. Tenanglah, kau tidak akan diberi peringatan gara-gara ini. Duduklah sebentar dan makanlah.”

Aku menerima apel hijau itu dari tangan Orlando.

Hmmm, masam sekali. Lebih masam dari muka Alfredo yang menyebalkan itu. Aku memejamkan mata menahan rasa kecut. Hey ... setidaknya kantukku berkurang.

“Bagaimana, apa kau merasa lebih baik?”

“Yah, ini lumayan.”

Orlando senang.

Kami pun kembali bekerja.

“Yudis!” panggil Noel. Dia mengintruksikan sesuatu. “Apa kau ingin mencoba mendorong troli-troli itu? Saya akan menjaga jus konter. Kau handle troli yang ada di ruang depan, sementara Orlando akan meng-handle troli di ruang sebelah.”

“Baiklah, akan saya coba.”

Troli itu berdiri berjajar di dalam lemari besar dengan dikaitkan menggunakan rantai agar tidak lari ke sana ke mari akibat gelombang. Tingginya sebatas batang hidungku. Terdapat rak-rak tempat menyusun baki piring-piring kotor. Para Crew akan meletakkan bakinya setelah makan. Ketika troli itu penuh, aku mengangkutnya ke dishwaser.

Terlihat mudah, tapi jangan salah. Banyaknya crew yang jumlahnya mencapai seribu orang, membuat pekerjaan ini tidak lagi mudah. Apalagi jika tidak pernah melakukannya.

Aku kehilangan keseimbangan saat ombak besar menerjang. Troli yang kudorong itu tiba-tiba terlepas dari pegangan tangan dan terguling. Menimbulkan suara berdebam keras seperti benda berat dari logam yang terbanting.

Sementara orang-orang di sekelilingku terkejut mendengar suara berdebamnya.

“Wooi! Hati-hati kalau bekerja. Jangan merusak properti perusahaan!” teriak Alfredo yang saat itu sedang mengangkut piring bersih di area dishwaser. Lantas dia keluar menghampiriku.

Aku tergopoh-gopoh mengembalikan troli itu ke posisi semula. Rak-rak tempat menaruh baki malah ambrol. Piring-piring melamin kotor berjatuhan. Sisa makanan berserakan.

Noel dan Orlando berlari. Mencoba membantu mengangkatnya.

“Kau tidak pernah kerja, ya? Siapa yang merekrutmu, hah?” cibir Alfredo sambil berkacak pinggang.

Bangke! Bukannya menolong.

“Heeey, ini pertama kalinya dia mendorong troli. tidak usah marah-marah begitu,” tukas Orlando. Wajahnya memerah karena kesal melihat sikap Alfredo.

“Memangnya salah? Saya cuma mengingatkan dia agar berhati-hati dalam bekerja.”

“Tapi kau tidak perlu kasar seperti itu.”

“Siapa yang kasar? Saya cuma bersikap tegas.”

Noel lalu menjadi penengah. Dia berbicara pada Alfredo menggunakan bahasa planet mereka. Meski tidak bisa kumengerti, aku tahu Noel juga membelaku.

Setelah Noel berbicara pada Alfredo, ia berbicara padaku.

“Ini salah saya, teman. Ombak sedang tidak stabil, harusnya saya tidak memintamu mendorong troli.”

Alfredo menimpali, “Sudahlah! Biarkan dia membereskannya. Lihat itu, troli lain sudah penuh!”

“Kalian pergilah, saya akan membereskannya,” pintaku pada Noel dan Orlando.

Kulihat Antonio sejak tadi berdiri tidak jauh dari kami. Dia tidak bicara apa pun, hanya menggelengkan kepala, seolah kejadian seperti ini sudah biasa terjadi di depan mata.

Lalu tiba-tiba tukang cuci India itu menghampiriku.

“Kau harus membantu temanmu mengangkut troli-troli itu ke sini. Kalau tidak, troli-troli itu akan penuh semuanya, dan kru tidak bisa meletakan baki kotor mereka. Saya akan kewalahan kalau troli-troli itu datang secara bersamaan. Pergilah, saya akan membereskannya untukmu.”

“Terima kasih teman, ini tanggung jawab saya.”

“Pergilah.”

“Baiklah, kalau itu maumu.”

Drama insiden troli berakhir dan kami kembali bekerja.

“Kau baik-baik saja? Kau yakin akan mendorong troli-troli ini lagi?” tanya Noel cemas.

“Tidak apa-apa. Saya jadikan ini sebagai bahan pelajaran. Kau tidak usah khawatir, saya akan lebih berhati-hati mendorongnya.”

Sial! Betapa bodohnya. Semua tatapan mata kru itu mengarah padaku. Beruntung Cici atau paisano lain tidak di sini. Kalau tidak, aku pasti malu setengah mati dan kehilangan harga diri. Tidak hanya itu, nama bangsa negara pun ikut ternodai.

Sepintas kudengar pembicaran lirih di meja kru Thailand.

“Eh, yang menjatuhkan troli itu orang mana, sih?”

“INDONESIA.”
Diubah oleh storyharibawa 10-12-2018 07:36
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.