- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#255
LELAKI MISTERIUS
Quote:
Aku berlari seperti dikejar setan. Dalam kegelapan malam tubuh ku beberapa kali membentur pohon, pakaian yang ku kenakan robek-robek terkait duri, bahkan kulit ku tidak luput penuh dengan barut luka yang menjadi perih akibat terkena keringat.
Namun semua itu tidak ku perdulikan. Aku lari terus sekencang yang bisa ku lakukan walau nafas mulai menyesak dan lidah terjulur-julur seperti anjing gila. Sambil berlari aku berulang kali berpaling ke arah belakang. Bunyi berkerosakan masih terdengar dan terus mengikuti ku.
"Celaka…..! Celaka diriku! Sepertinya aku harus mati di tangan siluman jadi –jadian ini !”
Aku berlari terus. Berusaha lebih kecang. Namun tenaga hampir punah. Kedua kaki ku seperti diberati batu besar. Beberapa kali jatuh berkalang tanah tapi bangkit kembali dan berlari lagi. Berpaling kembali ke belakang, suara lolongan dan langkah kaki yang begitu banyaknya itu semakin dekat.
"Celaka! Celaka diriku…..!" Sekali lagi aku tersungkur di tanah. Pasrah. Sekujur tubuhku terasa lemas tidak bertenaga. Terduduk di atas tanah. Mahkluk – mahkluk mengerikan dengan kepala anjing itu sudah berdiri merapat. Mengurungku. Nyawa ku sepertinya sudah di ujung tanduk.
Pada saat itu lah tiba – tiba sesosok tubuh hitam tinggi besar hampir dua meter menerobos masuk ke dalam kepungan diiringi suara lolongan yang teramat kencang. Ku rasakan tanah tempatku berpijak bergetar hebat. Suasana hening sesaat. Ku buka mataku perlahan. Dan untuk kesekian kalinya aku terkejut. Tegak berdiri beberapa langkah di depan ku sesosok mahkluk yang hampir sama dengan para siluman itu. Hanya saja mahkluk ini lebih tinggi dan besar. Bulu –bulu kelabu hampir menutupi sekujur tubuhnya. Moncongnya yang runcing menyeringai memperlihatkan sederet gigi yang runcing. Sepasang tangannya yang tampak kokoh dengan kuku –kuku seperti pisau siap mencabik –cabik. Kepalanya yang berbentuk anjing dengan mata merah itu terdongak ke atas menatap bulan dengan liarnya.
Mahkluk –mahkluk yang mengepungku sejenak terdiam, hanya menatap tajam ke arah mahkluk serupa yang baru datang. Tampak siluman ajag yang berjumlah hampir tiga puluh ekor itu seperti bingung untuk berbuat apa. Dan tiba –tiba saja mahkluk tinggi besar itu merangsek menyerang ke arah kepungan. Dua ekor anjing jadi –jadian menjadi korbannya. Kepalanya langsung tanggal menggelinding ke tanah karena dibetot dengan keras. Dan seekor lainnya mati dengan tubuh terpisah menjadi dua bagian. Darah hitam mengucur membasahi tanah. Lalu terdengar lolongan bersahut –sahutan.
Kawanan ajag jadi –jadian itu menyerang tamunya dengan buas. Pertempuran yang ganjil itu pecah. Seekor ajag raksasa yang mampu berdiri dengan kedua kakinya melawan kumpulan ajag yang jumlahnya kurang dari tigapuluh ekor. Saling cakar, saling gigit dan saling cabik. Akan tetapi, rupanya ajag raksasa itu bukan lawan yang enteng. Terbukti beberapa kali terlihat beberapa ekor ajag dari kawanan itu terlempar dengan keadaan tubuh terpotong jadi dua bagian. Purnama berdarah. Bau anyir busuk darah menusuk – nusuk syaraf penciuman ku. Isi perutku seperti di aduk –aduk beberapa kali aku meludah ke tanah. Hanya dalam waktu yang begitu singkat tanah tergenang darah hitam menyerupai aspal cair. Anjing raksasa yang besar itu berdiri dengan tegap sementara di sekelilingnya terhampar bangkai –bangkai yang tercerai berai.
Lalu perlahan –lahan anjing raksasa itu menoleh ke arahku. Pandangannya dingin meski sepasang mata itu menyala merah laksana dua buah bola api. Anjing raksasa bermata merah itu membuka mulutnya. Gigi-gigi dan taringnya yang runcing kemerahan hitam mencuat mengerikan. Lidahnya yang basah merah terjulur keluar. Kepalanya merunduk dan kedua kakinya diluruskan panjang-panjang ke depan tanda siap menerkam.
“Binatang ini hendak menyerangku,”
Aku tersurut ke belakang. Tangan kanan ku cepat bergerak ke samping. Ku pungut sebatang kayu sebesar lengan orang dewasa yang tergeletak tidak jauh dari tempat ku duduk. Entah mengapa mahkluk ganjil bermata aneh angker itu perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua kaki depannya ditarik, kepalanya yang merunduk ditegakkannya kembali. Setelah menggereng sekali lagi binatang ini lalu memutar diri, melompat masuk ke dalam serumpunan semak belukar dan lenyap! Aku menarik nafas lega.
Beberapa lamanya aku tidak bisa bergerak dari tempat duduk ku. Begitu banyak kejadian dan sekarang di hadapanku terhampar bangkai yang jumlahnya sangat banyak dengan kondisi tercabik – cabik mengerikan. Kembali jantungku seperti dipacu dengan cepat. Hamparan bangkai itu tiba –tiba mengeluarkan asap kelabu disertai dengan bau busuk yang teramat sangat. Tatkala asap itu sirna lenyap terbawa angin. Hamparan bangkai itu raib tidak meninggalkan bekas sedikitpun.
Namun semua itu tidak ku perdulikan. Aku lari terus sekencang yang bisa ku lakukan walau nafas mulai menyesak dan lidah terjulur-julur seperti anjing gila. Sambil berlari aku berulang kali berpaling ke arah belakang. Bunyi berkerosakan masih terdengar dan terus mengikuti ku.
"Celaka…..! Celaka diriku! Sepertinya aku harus mati di tangan siluman jadi –jadian ini !”
Aku berlari terus. Berusaha lebih kecang. Namun tenaga hampir punah. Kedua kaki ku seperti diberati batu besar. Beberapa kali jatuh berkalang tanah tapi bangkit kembali dan berlari lagi. Berpaling kembali ke belakang, suara lolongan dan langkah kaki yang begitu banyaknya itu semakin dekat.
"Celaka! Celaka diriku…..!" Sekali lagi aku tersungkur di tanah. Pasrah. Sekujur tubuhku terasa lemas tidak bertenaga. Terduduk di atas tanah. Mahkluk – mahkluk mengerikan dengan kepala anjing itu sudah berdiri merapat. Mengurungku. Nyawa ku sepertinya sudah di ujung tanduk.
Pada saat itu lah tiba – tiba sesosok tubuh hitam tinggi besar hampir dua meter menerobos masuk ke dalam kepungan diiringi suara lolongan yang teramat kencang. Ku rasakan tanah tempatku berpijak bergetar hebat. Suasana hening sesaat. Ku buka mataku perlahan. Dan untuk kesekian kalinya aku terkejut. Tegak berdiri beberapa langkah di depan ku sesosok mahkluk yang hampir sama dengan para siluman itu. Hanya saja mahkluk ini lebih tinggi dan besar. Bulu –bulu kelabu hampir menutupi sekujur tubuhnya. Moncongnya yang runcing menyeringai memperlihatkan sederet gigi yang runcing. Sepasang tangannya yang tampak kokoh dengan kuku –kuku seperti pisau siap mencabik –cabik. Kepalanya yang berbentuk anjing dengan mata merah itu terdongak ke atas menatap bulan dengan liarnya.
Mahkluk –mahkluk yang mengepungku sejenak terdiam, hanya menatap tajam ke arah mahkluk serupa yang baru datang. Tampak siluman ajag yang berjumlah hampir tiga puluh ekor itu seperti bingung untuk berbuat apa. Dan tiba –tiba saja mahkluk tinggi besar itu merangsek menyerang ke arah kepungan. Dua ekor anjing jadi –jadian menjadi korbannya. Kepalanya langsung tanggal menggelinding ke tanah karena dibetot dengan keras. Dan seekor lainnya mati dengan tubuh terpisah menjadi dua bagian. Darah hitam mengucur membasahi tanah. Lalu terdengar lolongan bersahut –sahutan.
Kawanan ajag jadi –jadian itu menyerang tamunya dengan buas. Pertempuran yang ganjil itu pecah. Seekor ajag raksasa yang mampu berdiri dengan kedua kakinya melawan kumpulan ajag yang jumlahnya kurang dari tigapuluh ekor. Saling cakar, saling gigit dan saling cabik. Akan tetapi, rupanya ajag raksasa itu bukan lawan yang enteng. Terbukti beberapa kali terlihat beberapa ekor ajag dari kawanan itu terlempar dengan keadaan tubuh terpotong jadi dua bagian. Purnama berdarah. Bau anyir busuk darah menusuk – nusuk syaraf penciuman ku. Isi perutku seperti di aduk –aduk beberapa kali aku meludah ke tanah. Hanya dalam waktu yang begitu singkat tanah tergenang darah hitam menyerupai aspal cair. Anjing raksasa yang besar itu berdiri dengan tegap sementara di sekelilingnya terhampar bangkai –bangkai yang tercerai berai.
Lalu perlahan –lahan anjing raksasa itu menoleh ke arahku. Pandangannya dingin meski sepasang mata itu menyala merah laksana dua buah bola api. Anjing raksasa bermata merah itu membuka mulutnya. Gigi-gigi dan taringnya yang runcing kemerahan hitam mencuat mengerikan. Lidahnya yang basah merah terjulur keluar. Kepalanya merunduk dan kedua kakinya diluruskan panjang-panjang ke depan tanda siap menerkam.
“Binatang ini hendak menyerangku,”
Aku tersurut ke belakang. Tangan kanan ku cepat bergerak ke samping. Ku pungut sebatang kayu sebesar lengan orang dewasa yang tergeletak tidak jauh dari tempat ku duduk. Entah mengapa mahkluk ganjil bermata aneh angker itu perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua kaki depannya ditarik, kepalanya yang merunduk ditegakkannya kembali. Setelah menggereng sekali lagi binatang ini lalu memutar diri, melompat masuk ke dalam serumpunan semak belukar dan lenyap! Aku menarik nafas lega.
Beberapa lamanya aku tidak bisa bergerak dari tempat duduk ku. Begitu banyak kejadian dan sekarang di hadapanku terhampar bangkai yang jumlahnya sangat banyak dengan kondisi tercabik – cabik mengerikan. Kembali jantungku seperti dipacu dengan cepat. Hamparan bangkai itu tiba –tiba mengeluarkan asap kelabu disertai dengan bau busuk yang teramat sangat. Tatkala asap itu sirna lenyap terbawa angin. Hamparan bangkai itu raib tidak meninggalkan bekas sedikitpun.
Quote:
Bersusah payah aku berusaha berdiri bertopang pada kayu yang aku temukan tadi. Tertatih – tatih aku mulai berjalan. Namun gerakan ku tertahan. Telinga ku lamat -lamat menangkap suara langkah kaki yang menyibak rumput dan semak belukar. Suara itu semakin mendekat.
“ Ya, Tuhan apalagi ini yang akan aku temui ini “
Semak belukar di samping kanan bergernerisik dan terkuak. Aku berpaling. Dalam jilatan sinar purnama aku melihat seorang lelaki yang sudah berumur akan tetapi masih memiliki badan yang tegap. Sama sekali tidak terlihat bungkuk badannya. Kepalanya terbungkus ikat kepala berwarna hitam. Dan baju yang dikenakan menurut ku sangat aneh. Seperti baju orang jaman dahulu. Sebuah surjan berwarna gelap di padu dengan celana hitam sebatas lutut. Sebuah kain batik terbelit di pinggangnya. Di sela –sela lipatan itu mataku menangkap sebuah senjata seperti tombak dengan panjang sekitar tiga jengkal orang dewasa. Orang tua misterius itu menatapku sejenak. Lalu tersenyum.
“ Apa yang kau lakukan malam –malam begini di tengah alas ini Nak?”
“ Sebenarnya apa yang terjadi? Aku lihat wajahmu sangat pucat dan tegang. Dan tubuh mu itu kenapa? Banyak sekali luka baret dan itu sepertinya tangan dan kakimu juga terluka “
Lelaki tua itu lalu berjalan mendekatiku. Aku hanya berdiri saja dari tempatku tadi.
“ Banyak yang terjadi dan sungguh tidak dapat diterima dengan akal sehat Kek. Kakek ini sebenarnya siapa? “
Orang tua itu tersenyum lebar sehingga memperlihatkan deretan gigi nya yang masih utuh.
“ Aku hanya orang desa yang sedang cari angin saja Nak. Sembari menikmati indahnya malam purnama seperti ini “
Mendengar semua itu aku hanya tersenyum. Terpaksa tersenyum.
“ Malam –malam seperti ini sungguh berbahaya di tengah hutan. Dan aku sangat yakin aku bukan orang desa daerah sekitar sini “
“ Iya Kek, memang benar. Saya tersesat “
Aku berbohong tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau lelaki tua ini menganggapku gila dan mengada –ada. Lebih dari itu aku sebenarnya curiga dengan lelaki tua ini. Penampilannya dan kehadirannya sangat aneh. Ia muncul dari tempat anjing raksasa tadi lenyap. Apakah kakek –kakek ini juga mahkluk jelmaan? Tiba –tiba saja pikiran itu berseliweran di otakku. Aku tidak mau kejadian Sino terulang lagi untuk ke dua kalinya.
Lamunan ku terpecah manakala lelaki tua itu mendeham beberapa kali.
“ Hei Nak, mengapa kau melamun. Kalau kau mau kita cari tempat yang nyaman untuk melepas lelah. Di dekat sini ada sebuah pedataran yang nyaman untuk beristirahat “
Aku termenung sesaat lamanya. Dan rupanya lelaki tua itu tahu. Sembari tertawa terkekeh. Ia berkata, “ Kau tidak perlu khawatir aku bukan salah satu dari kawanan ajag itu “
Kalimat terakhirnya itu serasa menyambar gendang telingaku. Orang tua ini tahu tentang ajag jadi –jadian itu. Siapa dia sebenarnya?
"Kalau kau ingin beristirahat dan berbicara banyak padaku ayo ikuti aku.. Tapi jika kau mau tersesat di hutan ini silahkan saja…"
“ Tapi sebelum itu, nampaknya ada yang mencuri dengar pembicaraan kita Nak. Kau diam saja ditempatmu. Aku yang akan mengurus si penguping itu “
Wajahku kembali tegang dan pucat. Aku hanya mampu berdiri kaku seperti dipantek. Sosok lelaki tua itu meloncat lalu lenyap di balik belukar dan kerapatan pohon jati. Tidak lama aku mendengar suara bentakan –bentakan dan geraman serta lolongan anjing. Hanya sepersekian detik suara itu lenyap. Suasana malam kembali sunyi.
“ Ya, Tuhan apalagi ini yang akan aku temui ini “
Semak belukar di samping kanan bergernerisik dan terkuak. Aku berpaling. Dalam jilatan sinar purnama aku melihat seorang lelaki yang sudah berumur akan tetapi masih memiliki badan yang tegap. Sama sekali tidak terlihat bungkuk badannya. Kepalanya terbungkus ikat kepala berwarna hitam. Dan baju yang dikenakan menurut ku sangat aneh. Seperti baju orang jaman dahulu. Sebuah surjan berwarna gelap di padu dengan celana hitam sebatas lutut. Sebuah kain batik terbelit di pinggangnya. Di sela –sela lipatan itu mataku menangkap sebuah senjata seperti tombak dengan panjang sekitar tiga jengkal orang dewasa. Orang tua misterius itu menatapku sejenak. Lalu tersenyum.
“ Apa yang kau lakukan malam –malam begini di tengah alas ini Nak?”
“ Sebenarnya apa yang terjadi? Aku lihat wajahmu sangat pucat dan tegang. Dan tubuh mu itu kenapa? Banyak sekali luka baret dan itu sepertinya tangan dan kakimu juga terluka “
Lelaki tua itu lalu berjalan mendekatiku. Aku hanya berdiri saja dari tempatku tadi.
“ Banyak yang terjadi dan sungguh tidak dapat diterima dengan akal sehat Kek. Kakek ini sebenarnya siapa? “
Orang tua itu tersenyum lebar sehingga memperlihatkan deretan gigi nya yang masih utuh.
“ Aku hanya orang desa yang sedang cari angin saja Nak. Sembari menikmati indahnya malam purnama seperti ini “
Mendengar semua itu aku hanya tersenyum. Terpaksa tersenyum.
“ Malam –malam seperti ini sungguh berbahaya di tengah hutan. Dan aku sangat yakin aku bukan orang desa daerah sekitar sini “
“ Iya Kek, memang benar. Saya tersesat “
Aku berbohong tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau lelaki tua ini menganggapku gila dan mengada –ada. Lebih dari itu aku sebenarnya curiga dengan lelaki tua ini. Penampilannya dan kehadirannya sangat aneh. Ia muncul dari tempat anjing raksasa tadi lenyap. Apakah kakek –kakek ini juga mahkluk jelmaan? Tiba –tiba saja pikiran itu berseliweran di otakku. Aku tidak mau kejadian Sino terulang lagi untuk ke dua kalinya.
Lamunan ku terpecah manakala lelaki tua itu mendeham beberapa kali.
“ Hei Nak, mengapa kau melamun. Kalau kau mau kita cari tempat yang nyaman untuk melepas lelah. Di dekat sini ada sebuah pedataran yang nyaman untuk beristirahat “
Aku termenung sesaat lamanya. Dan rupanya lelaki tua itu tahu. Sembari tertawa terkekeh. Ia berkata, “ Kau tidak perlu khawatir aku bukan salah satu dari kawanan ajag itu “
Kalimat terakhirnya itu serasa menyambar gendang telingaku. Orang tua ini tahu tentang ajag jadi –jadian itu. Siapa dia sebenarnya?
"Kalau kau ingin beristirahat dan berbicara banyak padaku ayo ikuti aku.. Tapi jika kau mau tersesat di hutan ini silahkan saja…"
“ Tapi sebelum itu, nampaknya ada yang mencuri dengar pembicaraan kita Nak. Kau diam saja ditempatmu. Aku yang akan mengurus si penguping itu “
Wajahku kembali tegang dan pucat. Aku hanya mampu berdiri kaku seperti dipantek. Sosok lelaki tua itu meloncat lalu lenyap di balik belukar dan kerapatan pohon jati. Tidak lama aku mendengar suara bentakan –bentakan dan geraman serta lolongan anjing. Hanya sepersekian detik suara itu lenyap. Suasana malam kembali sunyi.
Quote:
Bruk!!!
Lelaki tua tadi datang sambil melemparkan sosok tubuh di hadapanku. Seorang lelaki bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana hitam kumal sebatas lutut. Dua anak panah menancap di lengan dan sebelah kakinya. Aku mundur beberapa tindak tatkala tahu siapa sebenarnya yang meringkuk mengerang di hadapanku itu.
Lelaki tua tadi berjalan mendekat sambil memutar – mutar tombak pendek yang sekarang ada di genggaman tangan kanannya. Tombak itu mengeluarkan suara berdesir –desir. Aku menahan nafas.
Dan kemudian kejadiannya sangat cepat. Lelaki tua itu menghunjamkan mata tombak ke arah dada orang yang terkapar di tanah. Suara lengkingan terdengar memecah keheningan malam. Terjadilah hal yang aneh. Lelaki yang bertelanjang dada tadi berangsur –angsur berubah wujud. Tubuhnya ditumbuhi bulu –bulu lebat berwarna kelabu. Kepalanya meruncing dan moncong basah serta deretan gigi –giginya berubah tajam.
Dan raungannya mendadak berubah kuncup dan kini mengecil. Binatang ini bersurut sambil rundukkan kepalanya. Tubuhnya tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan tubuh itu tampak dibungkus oleh kepulan asap hitam berbau amis. Ketika asap hitam sirna, di tanah hanya kelihatan seonggok tulang belulang putih, membujur rapi seperti ruas-ruas tulang anjing. Badanku bergetar hebat melihat pemandangan yang tersaji di hadapan ku. Perlahan tubuhku limbung dan nyaris jatuh.
“ Ayo Nak, ikuti aku!”
Aku mengangguk perlahan. Aku menunggu sampai orang tua itu melangkah dan berjalan di sebelah depannya, lalu baru aku mengikuti dari belakang.
Pedataran itu letaknya tidak begitu jauh. Sebuah pedataran dengan rumput yang empuk seperti sehelai tikar yang terhampar di atas bukit. Bulan purnama terlihat jelas dan dekat seperti bisa teraih dengan tangan telanjang. Dari atas pedataran itu terlihat pemandangan hamparan sawah dan pepohonan dalam jilatan cahaya purnama. Aku duduk bersila di hadapan lelaki tua tadi. Dan si orang tua duduk sambil membuka perbekalannya.
“ Ini ada singkong. Silahkan makanlah! Aku tahu kau sangat lapar. Dan ini ada sedikit air untuk mengurangi dahaga mu “
Aku lirik makanan yang terhampar di depanku. Beberapa potong singkong di atas daun jati kering dan sebuah bumbung bambu berisi minuman. Sesaat aku ragu. Akan tetapi perutku telah menjerit –jerit minta diisi. Lalu perlahan –lahan aku mengambil sepotong lalu memasukkan ke dalam mulut dan mengunyahnya secara perlahan –lahan.
“ Sekarang ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi? Kau tidak usah menutup –nutupi semua itu dari ku “
Lelaki tua tadi bertanya kepadaku. Sebelum aku menjawab pertanyaannya aku raih bumbung bambu lalu aku tenggak isinya hingga hampir habis. Segar dan nyaman.
“ Kejadiannya sangat mengerikan dan tidak masuk di akal Kek “
Lelaki tua itu hanya manggut – manggut. Sesaat wajahnya berubah menjadi sendu.
“ Ya, hari pembalasan itu akhirnya tiba juga. Sang titisan telah lahir dan ditakdirkan untuk menuntut balas “
Gumaman lelaki tua itu sangat jelas terdengar di kepala ku. Dan dengan cepat otakku menyusun potongan –potongan asumsi itu menjadi sebuah kesimpulan yang jelas. Tiba –tiba lelaki tua itu berdiri.
“ Ayo kau ikut aku ke Telaga Muncar “
“ Tapi kek..saya..saya.....”
“ Kau harus ikut karena sebenarnya kau adalah kunci dari masalah ini. Aku tidak mau banyak jatuh korban dari orang –orang yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu tentang persoalan laknat ini “
Lelaki tua itu lalu memegang tangan ku membantuku untuk berdiri.
“ Sekarang pegang erat –erat tangan ku. Dan ingat jangan membuka mata sebelum aku suruh. Kau paham? “
Tanpa menunggu persetujuanku kedua tanganku di cengkeram dengan kuat.
“ Pejamkan mata mu sekarang juga “
Lelaki tua itu mengulangi perintahnya. Perlahan –lahan aku pejamkan mataku rapat –rapat. Pada saat itu lah aku merasakan tubuhku sangat enteng dan serasa terbang.
“ Buka mata mu Nak “
Aku membuka mataku perlahan. Dan tatkala aku sudah mebuka mata lebar. Hatiku kembali berdebar. Aku telah berdiri di depan gerbang masuk desa Telaga Muncar!
Lelaki tua tadi datang sambil melemparkan sosok tubuh di hadapanku. Seorang lelaki bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana hitam kumal sebatas lutut. Dua anak panah menancap di lengan dan sebelah kakinya. Aku mundur beberapa tindak tatkala tahu siapa sebenarnya yang meringkuk mengerang di hadapanku itu.
Lelaki tua tadi berjalan mendekat sambil memutar – mutar tombak pendek yang sekarang ada di genggaman tangan kanannya. Tombak itu mengeluarkan suara berdesir –desir. Aku menahan nafas.
Dan kemudian kejadiannya sangat cepat. Lelaki tua itu menghunjamkan mata tombak ke arah dada orang yang terkapar di tanah. Suara lengkingan terdengar memecah keheningan malam. Terjadilah hal yang aneh. Lelaki yang bertelanjang dada tadi berangsur –angsur berubah wujud. Tubuhnya ditumbuhi bulu –bulu lebat berwarna kelabu. Kepalanya meruncing dan moncong basah serta deretan gigi –giginya berubah tajam.
Dan raungannya mendadak berubah kuncup dan kini mengecil. Binatang ini bersurut sambil rundukkan kepalanya. Tubuhnya tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan tubuh itu tampak dibungkus oleh kepulan asap hitam berbau amis. Ketika asap hitam sirna, di tanah hanya kelihatan seonggok tulang belulang putih, membujur rapi seperti ruas-ruas tulang anjing. Badanku bergetar hebat melihat pemandangan yang tersaji di hadapan ku. Perlahan tubuhku limbung dan nyaris jatuh.
“ Ayo Nak, ikuti aku!”
Aku mengangguk perlahan. Aku menunggu sampai orang tua itu melangkah dan berjalan di sebelah depannya, lalu baru aku mengikuti dari belakang.
Pedataran itu letaknya tidak begitu jauh. Sebuah pedataran dengan rumput yang empuk seperti sehelai tikar yang terhampar di atas bukit. Bulan purnama terlihat jelas dan dekat seperti bisa teraih dengan tangan telanjang. Dari atas pedataran itu terlihat pemandangan hamparan sawah dan pepohonan dalam jilatan cahaya purnama. Aku duduk bersila di hadapan lelaki tua tadi. Dan si orang tua duduk sambil membuka perbekalannya.
“ Ini ada singkong. Silahkan makanlah! Aku tahu kau sangat lapar. Dan ini ada sedikit air untuk mengurangi dahaga mu “
Aku lirik makanan yang terhampar di depanku. Beberapa potong singkong di atas daun jati kering dan sebuah bumbung bambu berisi minuman. Sesaat aku ragu. Akan tetapi perutku telah menjerit –jerit minta diisi. Lalu perlahan –lahan aku mengambil sepotong lalu memasukkan ke dalam mulut dan mengunyahnya secara perlahan –lahan.
“ Sekarang ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi? Kau tidak usah menutup –nutupi semua itu dari ku “
Lelaki tua tadi bertanya kepadaku. Sebelum aku menjawab pertanyaannya aku raih bumbung bambu lalu aku tenggak isinya hingga hampir habis. Segar dan nyaman.
“ Kejadiannya sangat mengerikan dan tidak masuk di akal Kek “
Lelaki tua itu hanya manggut – manggut. Sesaat wajahnya berubah menjadi sendu.
“ Ya, hari pembalasan itu akhirnya tiba juga. Sang titisan telah lahir dan ditakdirkan untuk menuntut balas “
Gumaman lelaki tua itu sangat jelas terdengar di kepala ku. Dan dengan cepat otakku menyusun potongan –potongan asumsi itu menjadi sebuah kesimpulan yang jelas. Tiba –tiba lelaki tua itu berdiri.
“ Ayo kau ikut aku ke Telaga Muncar “
“ Tapi kek..saya..saya.....”
“ Kau harus ikut karena sebenarnya kau adalah kunci dari masalah ini. Aku tidak mau banyak jatuh korban dari orang –orang yang tidak berdosa dan tidak tahu menahu tentang persoalan laknat ini “
Lelaki tua itu lalu memegang tangan ku membantuku untuk berdiri.
“ Sekarang pegang erat –erat tangan ku. Dan ingat jangan membuka mata sebelum aku suruh. Kau paham? “
Tanpa menunggu persetujuanku kedua tanganku di cengkeram dengan kuat.
“ Pejamkan mata mu sekarang juga “
Lelaki tua itu mengulangi perintahnya. Perlahan –lahan aku pejamkan mataku rapat –rapat. Pada saat itu lah aku merasakan tubuhku sangat enteng dan serasa terbang.
“ Buka mata mu Nak “
Aku membuka mataku perlahan. Dan tatkala aku sudah mebuka mata lebar. Hatiku kembali berdebar. Aku telah berdiri di depan gerbang masuk desa Telaga Muncar!
Quote:
Semakin larut malam, suasana hening semakin menyelimuti desa Telaga Muncar di kaki pegunungan Tepus yang tampak lebih kelabu dari biasanya.Tak seorang pun tampak berkeliaran di luar rumah karena hampir semua penghuninya telah pergi mengungsi. Bulan purnama penuh tanggal lima belas, dan bintang gumintang menari-nari gemulai di langit biru jernih. Udara pun berembus segar. Nyaman.
Malam itu, sesuatu akan terjadi. Dan mereka semua menunggu. Dengan tegang. Satu-satunya pintu rumah yang terbuka adalah pintu rumah kepala desa. Cahaya lampu minyak menerobos keluar, menjilati tanah berpasir di pekarangan. Angin malam yang menerobos masuk ke dalam rumah membuat lampu minyak sesekali menggeliat. Segan dan kaku.
Sekelompok laki-laki sedang berkumpul di ruang tengah rumah. Wajah mereka juga tampak tegang dan kaku. Bahkan satu-dua di antaranya jelas dicekam perasaan takut, tanpa dapat menyembunyikannya. Hanya Jampadi dan seorang lelaki tua dengan tongkat berhulu gading yang terlihat tenang. Hampir acuh tak acuh.
Lelaki tua itu tidak lain adalah Tuan Dargo. Lelaki tua itu untuk kesekian kali menyapukan pandang pada wajah-wajah tegang di sekelilingnya, dan berakhir di wajah Jampadi yang dari tadi duduk gelisah.
"Tak ada yang perlu dicemaskan! Semua sudah diputuskan bersama" ujarnya tiba-tiba, mengejutkan semua yang ada di tempat itu.
"Kita telah menemukan kelemahan kawanan ajag jadi –jadian itu. Yakinkanlah diri kalian masing-masing, bahwa kita tidak akan gagal. Buat yang ragu-ragu, masih terbuka kesempatan untuk mundur. Aku juga tidak mau melibatkan kalian semua di bencana maut ini."
Satu per satu yang hadir menarik napas. Namun tak ada yang ingin mundur. Suasana hening sejenak. Sobar, pemuda berbadan besar yang memakai ikat kepala berwarna hitam lalu menyahut pelan tapi tegas.
“ Leluhur kami turun temurun mengabdi pada keluarga Tuan Dargo dan kami harus melanjutkan amanat itu, meski masa telah berganti akan tetapi kesetiaan kami tidak sama sekali lalu pudar begitu saja “
''Syukurlah kalian semua telah membulatkan tekad. Aku sangat terharu sekali atas kesetiaan kalian pada keluarga ku. Sebelum perang ini pecah, ada satu hal yang perlu saya utarakan. Pada kalian semua. Bertempur dengan gagah berani memang sangat penting tapi keselamatan jauh lebih penting. Jika situasi mendesak kalian lari lah. Kalian semua paham? “
Dargo kembali menatap lurus ke wajah Jampadi.Yang ditatap duduknya semakin resah. Tetapi sebagai orang yang paling dihormati dan disegani di desa itu, ia harus mempertahankan wibawanya. Susah payah ia kuasai dirinya, lalu bergumam lirih,
"Tak apa Tuan, kita semua rela menyabung nyawa demi trah Randu Alas!"
Dargo kembali menyapukan pandang pada mereka yang hadir duduk berbanjar di sebuah tikar pandan.
"Bagus," desahnya,lembut.
Lalu menambahkan dengan khidmat,
"Kini waktunya menjalankan tugas!"
Mereka yang hadir sama-sama menarik napas. Lalu berjalan ke luar satu per satu. Jampadi akhirnya dapat tersenyum. Ia tepuk-tepuk pundak Sobar kemudian melangkah dengan gagah meninggalkan rumahnya.Tiba di luar, sejenak ia tengadah. Menatap rembulan purnama penuh. Purnama yang mencekam.
Rombongan kecil itu kemudian berjalan meninggalkan rumah kepala desa menuju ke tepian desa. Beriring-iringan dengan mulut diam membisu. Jampadi berjalan paling depan, menggenggam tangkai obor ekstra hati-hati. Seperti takut lepas, takut dari kegelapan malam ada makhluk jahat menerkam dirinya. Dargo berjalan di belakangnya, disusul Danny pemuda itu berjalan dengan tegap.
Tangan kanannya menggengam busur, selusin lebih anak panah tergantung di punggungnya. Lima orang pemuda lainnya berjalan beriringan di belakang. Langkah kakinya mantap. Napasnya tenang, teratur. Namun toh ketika mereka mulai di mulut desa Telaga Muncar raut ketegangan terpancar jelas di wajah –wajah mereka. Dargo sempat juga menahan napas.Tengadah menatap ke angkasa. Bulan purnama terang seolah –olah berubah jadi merah darah! Tangannya meraba gagang tongkat berhulu gading. Tongkat itu memancarkan uap panas. Lalu telapak tangan Dargo perlahan-lahan terasa lembap. Basah. Berkeringat.
Malam yang sunyi senyap. Makhluk-makhluk penghuni hutan seperti mengetahui sesuatu akan
terjadi, lalu memutuskan untuk berkubang diam di sarang masing-masing. Tak terdengar suara apa pun, kecuali desau-desau angin berembus menerpa pucuk-pucuk pepohonan. Lalu batang-batang rumpun bambu bergesekan menimbulkan suara yang ganjil dan menegakkan bulu roma.
Seolah roh-roh penghuni alam sedang ribut. Saling berbisik tentang sesuatu yang akan terjadi sebentar lagi. Dan benar saja dari rerimbunan semak belukar muncul empat sosok tubuh. Keempat sosok itu seperti datang dari kegelapan. Sinar purnama menjilati ke empatnya. Dua orang lelaki muda dan dua orang perempuan cantik yang masih sangat muda.
Melihat empat orang yang keluar dari kegelapan rombongan kecil itu pun sontak menghentikan langkahnya.
Bersiaga.
“ Hati –hatilah kalian. Mereka itu bukan orang sembarangan. Ada uap panas yang dapat aku rasakan dari sini “
Dargo berbisik lirih. Jampadi, Danny dan kelima pemuda anggota rombongan segera bersiap –siap. Tangan mereka memegang hulu senjata masing –masing.
Malam itu, sesuatu akan terjadi. Dan mereka semua menunggu. Dengan tegang. Satu-satunya pintu rumah yang terbuka adalah pintu rumah kepala desa. Cahaya lampu minyak menerobos keluar, menjilati tanah berpasir di pekarangan. Angin malam yang menerobos masuk ke dalam rumah membuat lampu minyak sesekali menggeliat. Segan dan kaku.
Sekelompok laki-laki sedang berkumpul di ruang tengah rumah. Wajah mereka juga tampak tegang dan kaku. Bahkan satu-dua di antaranya jelas dicekam perasaan takut, tanpa dapat menyembunyikannya. Hanya Jampadi dan seorang lelaki tua dengan tongkat berhulu gading yang terlihat tenang. Hampir acuh tak acuh.
Lelaki tua itu tidak lain adalah Tuan Dargo. Lelaki tua itu untuk kesekian kali menyapukan pandang pada wajah-wajah tegang di sekelilingnya, dan berakhir di wajah Jampadi yang dari tadi duduk gelisah.
"Tak ada yang perlu dicemaskan! Semua sudah diputuskan bersama" ujarnya tiba-tiba, mengejutkan semua yang ada di tempat itu.
"Kita telah menemukan kelemahan kawanan ajag jadi –jadian itu. Yakinkanlah diri kalian masing-masing, bahwa kita tidak akan gagal. Buat yang ragu-ragu, masih terbuka kesempatan untuk mundur. Aku juga tidak mau melibatkan kalian semua di bencana maut ini."
Satu per satu yang hadir menarik napas. Namun tak ada yang ingin mundur. Suasana hening sejenak. Sobar, pemuda berbadan besar yang memakai ikat kepala berwarna hitam lalu menyahut pelan tapi tegas.
“ Leluhur kami turun temurun mengabdi pada keluarga Tuan Dargo dan kami harus melanjutkan amanat itu, meski masa telah berganti akan tetapi kesetiaan kami tidak sama sekali lalu pudar begitu saja “
''Syukurlah kalian semua telah membulatkan tekad. Aku sangat terharu sekali atas kesetiaan kalian pada keluarga ku. Sebelum perang ini pecah, ada satu hal yang perlu saya utarakan. Pada kalian semua. Bertempur dengan gagah berani memang sangat penting tapi keselamatan jauh lebih penting. Jika situasi mendesak kalian lari lah. Kalian semua paham? “
Dargo kembali menatap lurus ke wajah Jampadi.Yang ditatap duduknya semakin resah. Tetapi sebagai orang yang paling dihormati dan disegani di desa itu, ia harus mempertahankan wibawanya. Susah payah ia kuasai dirinya, lalu bergumam lirih,
"Tak apa Tuan, kita semua rela menyabung nyawa demi trah Randu Alas!"
Dargo kembali menyapukan pandang pada mereka yang hadir duduk berbanjar di sebuah tikar pandan.
"Bagus," desahnya,lembut.
Lalu menambahkan dengan khidmat,
"Kini waktunya menjalankan tugas!"
Mereka yang hadir sama-sama menarik napas. Lalu berjalan ke luar satu per satu. Jampadi akhirnya dapat tersenyum. Ia tepuk-tepuk pundak Sobar kemudian melangkah dengan gagah meninggalkan rumahnya.Tiba di luar, sejenak ia tengadah. Menatap rembulan purnama penuh. Purnama yang mencekam.
Rombongan kecil itu kemudian berjalan meninggalkan rumah kepala desa menuju ke tepian desa. Beriring-iringan dengan mulut diam membisu. Jampadi berjalan paling depan, menggenggam tangkai obor ekstra hati-hati. Seperti takut lepas, takut dari kegelapan malam ada makhluk jahat menerkam dirinya. Dargo berjalan di belakangnya, disusul Danny pemuda itu berjalan dengan tegap.
Tangan kanannya menggengam busur, selusin lebih anak panah tergantung di punggungnya. Lima orang pemuda lainnya berjalan beriringan di belakang. Langkah kakinya mantap. Napasnya tenang, teratur. Namun toh ketika mereka mulai di mulut desa Telaga Muncar raut ketegangan terpancar jelas di wajah –wajah mereka. Dargo sempat juga menahan napas.Tengadah menatap ke angkasa. Bulan purnama terang seolah –olah berubah jadi merah darah! Tangannya meraba gagang tongkat berhulu gading. Tongkat itu memancarkan uap panas. Lalu telapak tangan Dargo perlahan-lahan terasa lembap. Basah. Berkeringat.
Malam yang sunyi senyap. Makhluk-makhluk penghuni hutan seperti mengetahui sesuatu akan
terjadi, lalu memutuskan untuk berkubang diam di sarang masing-masing. Tak terdengar suara apa pun, kecuali desau-desau angin berembus menerpa pucuk-pucuk pepohonan. Lalu batang-batang rumpun bambu bergesekan menimbulkan suara yang ganjil dan menegakkan bulu roma.
Seolah roh-roh penghuni alam sedang ribut. Saling berbisik tentang sesuatu yang akan terjadi sebentar lagi. Dan benar saja dari rerimbunan semak belukar muncul empat sosok tubuh. Keempat sosok itu seperti datang dari kegelapan. Sinar purnama menjilati ke empatnya. Dua orang lelaki muda dan dua orang perempuan cantik yang masih sangat muda.
Melihat empat orang yang keluar dari kegelapan rombongan kecil itu pun sontak menghentikan langkahnya.
Bersiaga.
“ Hati –hatilah kalian. Mereka itu bukan orang sembarangan. Ada uap panas yang dapat aku rasakan dari sini “
Dargo berbisik lirih. Jampadi, Danny dan kelima pemuda anggota rombongan segera bersiap –siap. Tangan mereka memegang hulu senjata masing –masing.
User telah dihapus dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas