- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#245
DI AMBANG MAUT
Quote:
Sebuah guncangan keras seperti menyentakku untuk segera membuka mata. Pandanganku gelap, lalu berangsur –angsur ada seberkas cahaya dan sekarang menjadi terang benderang. Aku usap bagian belakang kepalaku yang berdenyut sakit. Aku merapatkan tubuh ke dinding pondok kayu itu. Hujan deras yang menguyur sedari tadi telah berhenti.
Langit yang tadi gelap gulita kini berubah menjadi terang benderang, purnama penuh menerangi jagad raya. Akan tetapi, aku masih diliputi ketakutan yang belum pernah aku alami sebelum ini. Ku lirik ke tiga teman ku yang duduk memeluk lutut. Gemetar. Muka mereka sama sepertiku. Menampakkan ketegangan. Liar mataku mencoba menembus ratusan meter jalan setapak masih menghampar di hadapan ku.
Kabut tipis mulai turun dari puncak pegunungan kapur itu. Bergulung –gulung dan menebal dari berbagai arah. Sesekali aku mendongak lewat dinding pondok yang rendah. Meninjau ke bawah tebing dimana pondok itu terletak. Jalan pintas perkebunan singkong di bawah pondok, hampir tidak terlihat oleh mataku. Kabut tebal seakan telah menelan jalan itu.
“ ...... mana Nathan. Mana kendaraan itu?!”
Alit menggumam. Seolah bergumam pada dirinya sendiri. Sepotong rokok yang dia jepit dengan kedua jemarinya tampak bergetar.
“ Aku yakin Nathan hanya terjebak kabut sebentar. Dan tidak berapa lama lagi dia akan menjemput kita dan kita akan pulang dengan selamat “
Ya...aku tahu Alit berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa Nathan akan datang dan tidak melarikan diri. Ia cuma terhalang kabut. Tetapi sebentar lagi semuanya akan beres. Mereka semua akan segera pulang dan bertemu dengan keluarga masing – masing. Makan bersama di ruang tengah, segelas kopi susu hangat di gelas dan bercanda ria seperti biasanya.
Masih ingat beberapa jam tadi pada waktu Nathan menawarkan diri untuk pergi. Menemui Danny, meminjam mobil dan meminta anak itu untuk mengantarkan keluar dari desa Telaga Muncar.
“ Biarlah aku yang akan pergi. Kalian menunggulah saja disini. Kalian lihat Mima, Ida , Ajeng masih sangat letih tidak mungkin kita berjalan kembali ke Telaga Muncar. Biarkan saja aku yang pergi “
Dan kami pun tidak bisa mencegahnya. Tubuhnya segera tertelan rerimbunan semak belukar setinggi tubuh orang dewasa.
Kejutan keras seperti menyengat otakku yang tampaknya sempat beku dan membatu. Dimana rombongan orang –orang itu. Apa teman –teman ku tahu bahwa mereka yang telah menolong sebenarnya manusia setengah siluman yang akan menuntut balas kepada keluarga Tuan Dargo di desa Telaga Muncar?
Aku beranjak ke arah jendela yang terbuka di sisi tembok kayu itu. Aku melihat kabut kian menipis, dan bulan purnama penuh bersinar terang di angkasa. Cahayanya menerobos dari celah –celah puncak pepohonan yang menjulang. Aku diam sebentar. Kembali ku lirik ke tiga orang yang duduk gelisah dilanda ketegangan. Ada sesuatu yang salah, ada yang hilang. Pikiranku terus mencoba mengingat. Aku hampir terjatuh dari berdiriku. Ida tidak ada. Ida tidak terlihat duduk di depan ku.
Setengah bergetar aku berkata, “ Dimana Ida? Dimana dia?! “
Sesaat tidak ada jawaban dan aku berdiri setengah terhuyung mendekati Alit.
“ Dimana Ida? Dimana dia?! “
Alit hanya menunduk rokok yang masih separoh itu di campakkan ke lantai kayu.
“ Mereka membawa Ida “
“ Apa yang kau katakan? Mereka membawa Ida? Mengapa kalian tidak mencegahnya?!”
“ Kau tahu siapa sebenarnya mereka ? “
Suasana hening, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari rongga mulut mereka.
“ Ida pergi dengan sukarela, kami sempat menahannya tapi Sino bersikeras membawanya. Aku dan kita semua tidak mampu untuk mencegahnya “
Mima menjawab sembari menahan isak tangis. Lututku goyah, kedua kaki bergetar hebat. Aku terduduk di lantai.
“ Aku bertanya kepada kalian, apa yang terjadi dengan diri ku?!”
“ Setelah mandi kau jatuh terpeleset di dekat pancuran Zul. Lalu pingsan, Sino dan kawannya yang menggotongmu ke depan “
Aku mendesah pelan, sepertinya rombongan itu masih tidak mau jati dirinya terbuka oleh orang lain. Dan tiba – tiba sekarang mereka pergi dengan membawa Ida. Apa maksud semua itu?
Tunggu sebentar, aku sepertinya harus masuk kembali ke dalam kamar itu. Apakah orang dengan dua anak panah menusuk tubuhnya itu masih ada?! Ku kerahkan sisa –sisa tenagaku untuk bangkit berdiri. Pada saat bersamaan terdengar seperti ada bunyi berderak - derak.
“ Hai, kalian mendengar suara itu?!”
Sontak ketiga temanku memandang ke arah ku. Wajah mereka bertambah tegang.
“ Suara apa? Kau jangan membuat kita semakin tercekam ketakutan. Aku tidak mendengar.....”
“ Diam dulu Ajeng, aku juga mendengar suara itu. Seperti suara.....gempa atau tanah longsor ”
Baru saja Alit berkata seperti itu, tiba –tiba tanah yang mereka pijak bergetar kencang. Dinding pondok bergetar perlahan – perlahan dan semakin kencang. Atapnya kemudian rubuh, diterjang angin kencang yang meluncur dari atas perbukitan kapur.
Langit yang tadi gelap gulita kini berubah menjadi terang benderang, purnama penuh menerangi jagad raya. Akan tetapi, aku masih diliputi ketakutan yang belum pernah aku alami sebelum ini. Ku lirik ke tiga teman ku yang duduk memeluk lutut. Gemetar. Muka mereka sama sepertiku. Menampakkan ketegangan. Liar mataku mencoba menembus ratusan meter jalan setapak masih menghampar di hadapan ku.
Kabut tipis mulai turun dari puncak pegunungan kapur itu. Bergulung –gulung dan menebal dari berbagai arah. Sesekali aku mendongak lewat dinding pondok yang rendah. Meninjau ke bawah tebing dimana pondok itu terletak. Jalan pintas perkebunan singkong di bawah pondok, hampir tidak terlihat oleh mataku. Kabut tebal seakan telah menelan jalan itu.
“ ...... mana Nathan. Mana kendaraan itu?!”
Alit menggumam. Seolah bergumam pada dirinya sendiri. Sepotong rokok yang dia jepit dengan kedua jemarinya tampak bergetar.
“ Aku yakin Nathan hanya terjebak kabut sebentar. Dan tidak berapa lama lagi dia akan menjemput kita dan kita akan pulang dengan selamat “
Ya...aku tahu Alit berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa Nathan akan datang dan tidak melarikan diri. Ia cuma terhalang kabut. Tetapi sebentar lagi semuanya akan beres. Mereka semua akan segera pulang dan bertemu dengan keluarga masing – masing. Makan bersama di ruang tengah, segelas kopi susu hangat di gelas dan bercanda ria seperti biasanya.
Masih ingat beberapa jam tadi pada waktu Nathan menawarkan diri untuk pergi. Menemui Danny, meminjam mobil dan meminta anak itu untuk mengantarkan keluar dari desa Telaga Muncar.
“ Biarlah aku yang akan pergi. Kalian menunggulah saja disini. Kalian lihat Mima, Ida , Ajeng masih sangat letih tidak mungkin kita berjalan kembali ke Telaga Muncar. Biarkan saja aku yang pergi “
Dan kami pun tidak bisa mencegahnya. Tubuhnya segera tertelan rerimbunan semak belukar setinggi tubuh orang dewasa.
Kejutan keras seperti menyengat otakku yang tampaknya sempat beku dan membatu. Dimana rombongan orang –orang itu. Apa teman –teman ku tahu bahwa mereka yang telah menolong sebenarnya manusia setengah siluman yang akan menuntut balas kepada keluarga Tuan Dargo di desa Telaga Muncar?
Aku beranjak ke arah jendela yang terbuka di sisi tembok kayu itu. Aku melihat kabut kian menipis, dan bulan purnama penuh bersinar terang di angkasa. Cahayanya menerobos dari celah –celah puncak pepohonan yang menjulang. Aku diam sebentar. Kembali ku lirik ke tiga orang yang duduk gelisah dilanda ketegangan. Ada sesuatu yang salah, ada yang hilang. Pikiranku terus mencoba mengingat. Aku hampir terjatuh dari berdiriku. Ida tidak ada. Ida tidak terlihat duduk di depan ku.
Setengah bergetar aku berkata, “ Dimana Ida? Dimana dia?! “
Sesaat tidak ada jawaban dan aku berdiri setengah terhuyung mendekati Alit.
“ Dimana Ida? Dimana dia?! “
Alit hanya menunduk rokok yang masih separoh itu di campakkan ke lantai kayu.
“ Mereka membawa Ida “
“ Apa yang kau katakan? Mereka membawa Ida? Mengapa kalian tidak mencegahnya?!”
“ Kau tahu siapa sebenarnya mereka ? “
Suasana hening, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari rongga mulut mereka.
“ Ida pergi dengan sukarela, kami sempat menahannya tapi Sino bersikeras membawanya. Aku dan kita semua tidak mampu untuk mencegahnya “
Mima menjawab sembari menahan isak tangis. Lututku goyah, kedua kaki bergetar hebat. Aku terduduk di lantai.
“ Aku bertanya kepada kalian, apa yang terjadi dengan diri ku?!”
“ Setelah mandi kau jatuh terpeleset di dekat pancuran Zul. Lalu pingsan, Sino dan kawannya yang menggotongmu ke depan “
Aku mendesah pelan, sepertinya rombongan itu masih tidak mau jati dirinya terbuka oleh orang lain. Dan tiba – tiba sekarang mereka pergi dengan membawa Ida. Apa maksud semua itu?
Tunggu sebentar, aku sepertinya harus masuk kembali ke dalam kamar itu. Apakah orang dengan dua anak panah menusuk tubuhnya itu masih ada?! Ku kerahkan sisa –sisa tenagaku untuk bangkit berdiri. Pada saat bersamaan terdengar seperti ada bunyi berderak - derak.
“ Hai, kalian mendengar suara itu?!”
Sontak ketiga temanku memandang ke arah ku. Wajah mereka bertambah tegang.
“ Suara apa? Kau jangan membuat kita semakin tercekam ketakutan. Aku tidak mendengar.....”
“ Diam dulu Ajeng, aku juga mendengar suara itu. Seperti suara.....gempa atau tanah longsor ”
Baru saja Alit berkata seperti itu, tiba –tiba tanah yang mereka pijak bergetar kencang. Dinding pondok bergetar perlahan – perlahan dan semakin kencang. Atapnya kemudian rubuh, diterjang angin kencang yang meluncur dari atas perbukitan kapur.
Quote:
Aku menghindar keluar diikuti oleh kawan –kawanku yang tampak panik. Jerit ketakutan bercampur dengan suara gemuruh berderaknya tanah dan rubuhnya pondok kayu itu. Aku masih sempat menghindar dan meraih salah satu ujung akar pohon yang menjuntai. Namun, tampaknya sebatang pohon besar itu yang aku manfaatkan untuk perlindungan mulai bergoyang – goyang dengan keras.
Aku panik. Tanah basah berlumpur bercampur pasir dan bongkahan batu kapur menerjang muka, aku mengelak dan jatuh berguling ke bawah. Sebuah batu besar menahan tubuhku agar tidak jatuh tehempas ke bawah. Punggungku terasa sakit, mungkin ada beberapa tulang ku yang patah. Mataku sampai berair menahan sakit dan perih yang alang kepalang.
Dan saat mataku terbuka, pondok tempat kami berlindung hilang lenyap sudah. Tanah datar tempat pondok itu berdiri sudah longsor seluruhnya, jatuh ke jalan di bawah tebing. Begitu pula pepohonan yang ada disekitarnya, rubuh tumbang tak tentu arah. Suara hiruk pikuk yang beberapa saat sebelumnya memacu detak jantung perlahan –lahan lenyap.
Celaka...
Aku memaki, lesu, manakala aku menyadari ketiga kawanku itu sudah hilang entah kemana. Mungkin mereka terseret lalu tertimbun tanah longsor, mungkin pula ada yang jatuh ke tebing di bawah sana. Aku mencoba menenangkan diri dan duduk dengan susah payah. Sakitnya bukan main, mataku berkunang –kunang. Aku mengatur nafas sebentar, lalu mencoba untuk berdiri meskipun sempat limbung dan terhuyung –huyung. Aku berjalan dengan sempoyongan.
“ Alit, Mima, Ajeng! Dimana kalian?!”
Suara teriakanku bergema sampai ke bawah bukit memantul dari tebing dan bebatuan kapur tetapi tidak ada sahutan. Cahaya purnama penuh sedikit banyak membantuku melihat sekitar. Di bawah sebuah pohon besar bersandar sesosok tubuh. Sempat terlihat olehku tubuhnya bergerak –gerak. Perlahan aku dekati dan aku harus melihat pemandangan ini. Tubuh Alit tersandar di pohon besar, sebuah akar menembus dadanya. Darah segar masih menetes di sela –sela bibirnya. Matanya melotot hingga hampir seperti copot dari rongga. Wajahnya seperti mengisyaratkan bahwa ia masih belum rela meninggalkan kehidupan di dunia.
Tubuhku kembali goyah. Kusapukan pandangan di sekitarku. Dan kembali kulihat sesosok tubuh yang hampir terkubur dalam bongkahan batu kapur. Darah mengalir dari sela –sela bebatuan. Satu tangan menjuntai seperti melambai ke arahku. Dari pakaian yang dikenakan sudah jelas itu Ajeng. Gadis itu mati tertimbun bebatuan.
“ Dimana Mima dan dimana orang –orang itu membawa Ida?”
“ Aku harus mencari dan menemukannya”
Saat itulah aku mendengar suara seperti anjing melolong dikejauhan. Panjang dan menggidikkan.
" Lolongan anjing. Bukan! Bukan lolongan anjing biasa. Itu lolongan ajag..." aku memandang berkeliling. Tiba-tiba saja aku merasa seperti ada puluhan pasang mata yang memperhatikan. Puluhan pasang mata yang tidak terlihat oleh mata biasa, oleh mata ku sendiri! Rasa ngeri membuat keringat dingin mengucuri tubuh ku.
Aku menyurut beberapa langkah lalu balikkan diri dan tinggalkan tempat itu setengah berlari terhuyung –huyung nyaris roboh. Aku tidak tahu berapa lama berlari, dalam lari itu aku merasa seolah-olah ada yang mengikuti. Namun setiap aku menoleh ke belakang sama sekali tidak kelihatan ada orang yang menguntit!
" Orangnya tak kelihatan. Tapi aku yakin ada yang mengikutiku. Bukan cuma satu orang..."
kata ku dalam hati lalu mempercepat lari. Di hadapan sebuah pohon besar aku akhirnya hentikan lari. Nafasku terengah dan keringat membasahi tubuh serta pakaian yang ku kenakan. Pada saat itulah suasan sunyi dalam hutan dirobek oleh suara lolongan riuh, panjang dan keras. Aku merasakan tubuh ku bergetar keras. Suara lolongan itu bukan lolongan biasa. Ada satu kekuatan aneh tapi juga terasa mengerikan menyertai lolongan
itu.
"Lolongan ajag...apakah mereka kembali?" ujar ku dalam hati.
"Bukan hanya seekor... Mungkin puluhan. Tapi dimana binatang-binatang itu..."
Aku memandang berkeliling. Suara lolongan semakin keras tanda semakin dekat. Tapi mahkluk yang melolong tetap saja tidak kelihatan.
Kini terlihat hanyalah kepulan asap putih mengurung. Tapi tidak! Bukan hanya kepulan asap putih setinggi lutut itu yang saja yang kelihatan! Ada lagi benda lain yang tampak! Dan lutut ku seperti goyah ketika menyadari mahluk apa yang mengelilingi ku! Mahluk-mahluk itu memiliki kepala berupa binatang yaitu kepala anjing, bertelinga runcing ke atas, bermulut panjang yang selalu menganga memperlihatkan taring-taring runcing dan lidah yang basah. Sepasang mata merah laksana menyala.
Anehnya mahluk yang berkepala anjing hitam ini memiliki tubuh sebatas leher kebawah sama dengan tubuh manusia, kecuali sepasang tangan yang memiliki jari-jari berkuku runcing mengerikan! Seperti manusia adanya mereka mengenakan celana hitam sebatas lutut. Menurut dugaan ku paling tidak ada sekitar tiga puluh mahluk berkepala anjing mengurung saat itu. Semua memandang dengan buas ke arah ku.
Aku panik. Tanah basah berlumpur bercampur pasir dan bongkahan batu kapur menerjang muka, aku mengelak dan jatuh berguling ke bawah. Sebuah batu besar menahan tubuhku agar tidak jatuh tehempas ke bawah. Punggungku terasa sakit, mungkin ada beberapa tulang ku yang patah. Mataku sampai berair menahan sakit dan perih yang alang kepalang.
Dan saat mataku terbuka, pondok tempat kami berlindung hilang lenyap sudah. Tanah datar tempat pondok itu berdiri sudah longsor seluruhnya, jatuh ke jalan di bawah tebing. Begitu pula pepohonan yang ada disekitarnya, rubuh tumbang tak tentu arah. Suara hiruk pikuk yang beberapa saat sebelumnya memacu detak jantung perlahan –lahan lenyap.
Celaka...
Aku memaki, lesu, manakala aku menyadari ketiga kawanku itu sudah hilang entah kemana. Mungkin mereka terseret lalu tertimbun tanah longsor, mungkin pula ada yang jatuh ke tebing di bawah sana. Aku mencoba menenangkan diri dan duduk dengan susah payah. Sakitnya bukan main, mataku berkunang –kunang. Aku mengatur nafas sebentar, lalu mencoba untuk berdiri meskipun sempat limbung dan terhuyung –huyung. Aku berjalan dengan sempoyongan.
“ Alit, Mima, Ajeng! Dimana kalian?!”
Suara teriakanku bergema sampai ke bawah bukit memantul dari tebing dan bebatuan kapur tetapi tidak ada sahutan. Cahaya purnama penuh sedikit banyak membantuku melihat sekitar. Di bawah sebuah pohon besar bersandar sesosok tubuh. Sempat terlihat olehku tubuhnya bergerak –gerak. Perlahan aku dekati dan aku harus melihat pemandangan ini. Tubuh Alit tersandar di pohon besar, sebuah akar menembus dadanya. Darah segar masih menetes di sela –sela bibirnya. Matanya melotot hingga hampir seperti copot dari rongga. Wajahnya seperti mengisyaratkan bahwa ia masih belum rela meninggalkan kehidupan di dunia.
Tubuhku kembali goyah. Kusapukan pandangan di sekitarku. Dan kembali kulihat sesosok tubuh yang hampir terkubur dalam bongkahan batu kapur. Darah mengalir dari sela –sela bebatuan. Satu tangan menjuntai seperti melambai ke arahku. Dari pakaian yang dikenakan sudah jelas itu Ajeng. Gadis itu mati tertimbun bebatuan.
“ Dimana Mima dan dimana orang –orang itu membawa Ida?”
“ Aku harus mencari dan menemukannya”
Saat itulah aku mendengar suara seperti anjing melolong dikejauhan. Panjang dan menggidikkan.
" Lolongan anjing. Bukan! Bukan lolongan anjing biasa. Itu lolongan ajag..." aku memandang berkeliling. Tiba-tiba saja aku merasa seperti ada puluhan pasang mata yang memperhatikan. Puluhan pasang mata yang tidak terlihat oleh mata biasa, oleh mata ku sendiri! Rasa ngeri membuat keringat dingin mengucuri tubuh ku.
Aku menyurut beberapa langkah lalu balikkan diri dan tinggalkan tempat itu setengah berlari terhuyung –huyung nyaris roboh. Aku tidak tahu berapa lama berlari, dalam lari itu aku merasa seolah-olah ada yang mengikuti. Namun setiap aku menoleh ke belakang sama sekali tidak kelihatan ada orang yang menguntit!
" Orangnya tak kelihatan. Tapi aku yakin ada yang mengikutiku. Bukan cuma satu orang..."
kata ku dalam hati lalu mempercepat lari. Di hadapan sebuah pohon besar aku akhirnya hentikan lari. Nafasku terengah dan keringat membasahi tubuh serta pakaian yang ku kenakan. Pada saat itulah suasan sunyi dalam hutan dirobek oleh suara lolongan riuh, panjang dan keras. Aku merasakan tubuh ku bergetar keras. Suara lolongan itu bukan lolongan biasa. Ada satu kekuatan aneh tapi juga terasa mengerikan menyertai lolongan
itu.
"Lolongan ajag...apakah mereka kembali?" ujar ku dalam hati.
"Bukan hanya seekor... Mungkin puluhan. Tapi dimana binatang-binatang itu..."
Aku memandang berkeliling. Suara lolongan semakin keras tanda semakin dekat. Tapi mahkluk yang melolong tetap saja tidak kelihatan.
Kini terlihat hanyalah kepulan asap putih mengurung. Tapi tidak! Bukan hanya kepulan asap putih setinggi lutut itu yang saja yang kelihatan! Ada lagi benda lain yang tampak! Dan lutut ku seperti goyah ketika menyadari mahluk apa yang mengelilingi ku! Mahluk-mahluk itu memiliki kepala berupa binatang yaitu kepala anjing, bertelinga runcing ke atas, bermulut panjang yang selalu menganga memperlihatkan taring-taring runcing dan lidah yang basah. Sepasang mata merah laksana menyala.
Anehnya mahluk yang berkepala anjing hitam ini memiliki tubuh sebatas leher kebawah sama dengan tubuh manusia, kecuali sepasang tangan yang memiliki jari-jari berkuku runcing mengerikan! Seperti manusia adanya mereka mengenakan celana hitam sebatas lutut. Menurut dugaan ku paling tidak ada sekitar tiga puluh mahluk berkepala anjing mengurung saat itu. Semua memandang dengan buas ke arah ku.
Diubah oleh breaking182 01-11-2018 00:03
User telah dihapus dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas