- Beranda
- Stories from the Heart
EKSEKUSI TAPAL KUDA '98'
...
TS
ahmaddanielo
EKSEKUSI TAPAL KUDA '98'
SELAMAT DATANG DI THREAD SAYA YANG KELIMA.
Kisah kali ini terinspirasi dari tragedi yang pernah menggemparkan daerah timur jawa, sekitar tahun 1998.
Walaupun begitu, saya masih memberi label FIKSI karena tokoh dan semua yang terjadi di dalamnya adalah imajinasi saya.
Walaupun begitu, saya masih memberi label FIKSI karena tokoh dan semua yang terjadi di dalamnya adalah imajinasi saya.
Tidak ada niat lain dari saya selain menghibur--semoga terhibur--karena TS nya juga menulis hanya sebagai hobi.
Untuk thread kali ini, tidak ada jadwal update yang tetap. Bisa kentang juga. (Nah, sudah saya peringatkan itu)
Tapi tenang, thread saya pasti tamat meskipun agak lama
Tapi tenang, thread saya pasti tamat meskipun agak lama
Teman-teman tidak wajib baca Pesta Bunuh Diri dan Barisan Keranda Merah.
Thread ini bisa dinikmati sendiri tanpa dua karya sebelumnya. Meskipun ada beberapa tokoh dan kejadian yang masih berhubungan. Tapi saya akan berusaha memberi penjelasan singkat di akhir setiap chapter.
Thread ini bisa dinikmati sendiri tanpa dua karya sebelumnya. Meskipun ada beberapa tokoh dan kejadian yang masih berhubungan. Tapi saya akan berusaha memberi penjelasan singkat di akhir setiap chapter.
Oke, selamat membaca.
TOP COMMENTS
Spoiler for TOP COMMENTS:
Quote:
Original Posted By khakhapu►1998, jadi ingat musim isu ninja.... kondisi mencekam bahkan dikmpung ane yg cuma ada 1 orang yg disebut kiai
Tiap malam selalu diaktifkan poskamling, dijalan masuk desa dijaga dan diportal
Dikota sebelah malah gosipnya beberapa kali terjadi pemenggalan kepala orang yg disangka sebagai ninja pemburu ulama
Tapi yg kasat mata para korban adalah para orang gila/gelandangan
Hanya Tuhan dan pelaku otak pemburuan ulama saja yg tahu maksud & tujuan kejadian saat itu
Ane terlalu muda buat mengerti dan memahami yg terjadi saat itu, secara ane baru sweet 17 deh, masih unyu2 dan bertampang sperti Teddy Syah.... cieeeee
Tiap malam selalu diaktifkan poskamling, dijalan masuk desa dijaga dan diportal
Dikota sebelah malah gosipnya beberapa kali terjadi pemenggalan kepala orang yg disangka sebagai ninja pemburu ulama
Tapi yg kasat mata para korban adalah para orang gila/gelandangan
Hanya Tuhan dan pelaku otak pemburuan ulama saja yg tahu maksud & tujuan kejadian saat itu
Ane terlalu muda buat mengerti dan memahami yg terjadi saat itu, secara ane baru sweet 17 deh, masih unyu2 dan bertampang sperti Teddy Syah.... cieeeee
Quote:
Original Posted By dianeva58►ingin komen biasanya males login
pilu gan jika mengingat masa2 itu
lebih tepatnya mencekam
para santri memegang senjata demi menjaga kiai mereka
masjid mushola dipenuhi para jamaah yg sll ronda malam
momok yg menakutkan adalah tanda silang itu
saya mengalami sendiri pada masa itu
dan kebetulan melihat tanda silang merah itu di rumah seorang pemilik masjid yg cm berjarak 150m dr rumah saya
keep update gan daniel
btw kejadian itu tidak cm terjadi di daerah tapal kuda
tapi juga jawa timur bagian barat sendiri
pilu gan jika mengingat masa2 itu
lebih tepatnya mencekam
para santri memegang senjata demi menjaga kiai mereka
masjid mushola dipenuhi para jamaah yg sll ronda malam
momok yg menakutkan adalah tanda silang itu
saya mengalami sendiri pada masa itu
dan kebetulan melihat tanda silang merah itu di rumah seorang pemilik masjid yg cm berjarak 150m dr rumah saya
keep update gan daniel
btw kejadian itu tidak cm terjadi di daerah tapal kuda
tapi juga jawa timur bagian barat sendiri
Quote:
Original Posted By treepras►Seluruh Jatim seingatku, dr timur ke barat. Walau mungkin lebih mencekam di bagian timur. Serem memang. Bahkan di daerah saya yang di barat, jalan2 masuk semua di pager tinggi. Kalau malam blum balik ya sudah wassalam dah.
Pun denger cerita temen2 di sini (merantau saya nya). Tahun itu memang menyeramkan.
Btw bang Danil, disini ame di wattpad duluan mana yah? kalau di wattpad, ke sana aja dah, ude di instal juga di hape...
salam dr Sunrise Of Java
Pun denger cerita temen2 di sini (merantau saya nya). Tahun itu memang menyeramkan.
Btw bang Danil, disini ame di wattpad duluan mana yah? kalau di wattpad, ke sana aja dah, ude di instal juga di hape...
salam dr Sunrise Of Java
Quote:
Original Posted By fact2ride►Ini mungkin analisa pertama, mumpung mata masih blm mau tidur, krn ini cerita fiksi anggap aja analisa ini fiksi jga... klo gan daniel kurang berkenan, blang aja, ntar ane hapus.
98' untuk banyak anak jaman sekarang mungkin hanya cerita usang ttng tragedi kelam bangsa ini, tpi bagi ane yg menyaksikan langsung (walau lewat layar kaca, kondisi ane berada di pulau luar jawa, dan ane bkan orng jawa, serta daerah ane aman2 saja) betapa bisa hilang akalnya manusia gara2 kekuasaan, sampai harus mengorbankan saudara sebangsa untuk memuluskan langkahnya.... ok lanjut
Awal mula tragedi di ETK, adalah lepasnya para tahanan kelas "kakap" yg "sengaja" di lepaskan... jika dilihat pada situasi politik saat itu, mmng "wajar" mereka dilepaskan untuk menimbulkan kekacauan... saat membaca kolom komentar, ad orng yg menganggap daerahnya aman2 saja walau daerahnya masih bertetanggaan, menurut ane, mungkin itu karena yg dia sasar mmng kelompok putihan, basis utama pak gusdur yg lantang bersuara meneriakkan reformasi... (ini hanya dugaan yah gan, tolong luruskan klo salah) dan tahukah agan sekalian jika pada saat itu kepolisian masih masuk naungan ABRI, dan yg paling menonjol di ABRI itu adalah pasukan darat... dan kekacauan adalah pintu militer untuk masuk ke dalam tampuk kekuasaan, apalagi kita yg berada di asia tenggara... ini hanya sedikit analisa fiksi ane. Keep posting gan, semoga sehat selalu.
98' untuk banyak anak jaman sekarang mungkin hanya cerita usang ttng tragedi kelam bangsa ini, tpi bagi ane yg menyaksikan langsung (walau lewat layar kaca, kondisi ane berada di pulau luar jawa, dan ane bkan orng jawa, serta daerah ane aman2 saja) betapa bisa hilang akalnya manusia gara2 kekuasaan, sampai harus mengorbankan saudara sebangsa untuk memuluskan langkahnya.... ok lanjut
Awal mula tragedi di ETK, adalah lepasnya para tahanan kelas "kakap" yg "sengaja" di lepaskan... jika dilihat pada situasi politik saat itu, mmng "wajar" mereka dilepaskan untuk menimbulkan kekacauan... saat membaca kolom komentar, ad orng yg menganggap daerahnya aman2 saja walau daerahnya masih bertetanggaan, menurut ane, mungkin itu karena yg dia sasar mmng kelompok putihan, basis utama pak gusdur yg lantang bersuara meneriakkan reformasi... (ini hanya dugaan yah gan, tolong luruskan klo salah) dan tahukah agan sekalian jika pada saat itu kepolisian masih masuk naungan ABRI, dan yg paling menonjol di ABRI itu adalah pasukan darat... dan kekacauan adalah pintu militer untuk masuk ke dalam tampuk kekuasaan, apalagi kita yg berada di asia tenggara... ini hanya sedikit analisa fiksi ane. Keep posting gan, semoga sehat selalu.
Quote:
Original Posted By l4d13put►Kalo seinget ane, waktu itu karena memang masa2 awal demo yg menuntut reformasi. Nah, para target/korban tsb adalah orang2 yang menolak mendukung reformasi. Masalahnya target tsb punya pengaruh besar untuk memperoleh dukungan masyarakat karena statusnya sbg ustad, ulama, dan kyai.
Akhirnya para politisi penggerak reformasi saat itu merasa terancam, akhirnya mereka merancang operasi pembantaian tsb.
Awalnya para pengurus NU menduga ini ada kaitannya dengan eks-PKI yang ingin membalas dendam, tapi untuk menghindari fitnah akhirnya dibentuk Tim Pencari Fakta, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jatim.
Uniknya Tim Pencari fakta ini malah mengambil data dari surat kaleng yang tidak jelas kebenarannya, dan justru menyudutkan orang2 Orba.
Hingga saat ini masih belum terungkap siapa dalangnya. Yang jelas ada kaitannya dengan politisi reformasi.
Akhirnya para politisi penggerak reformasi saat itu merasa terancam, akhirnya mereka merancang operasi pembantaian tsb.
Awalnya para pengurus NU menduga ini ada kaitannya dengan eks-PKI yang ingin membalas dendam, tapi untuk menghindari fitnah akhirnya dibentuk Tim Pencari Fakta, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jatim.
Uniknya Tim Pencari fakta ini malah mengambil data dari surat kaleng yang tidak jelas kebenarannya, dan justru menyudutkan orang2 Orba.
Hingga saat ini masih belum terungkap siapa dalangnya. Yang jelas ada kaitannya dengan politisi reformasi.
Quote:
Original Posted By yadigembil►Kalo di ponpes ane dulu, namanya ninja,.
Cerita ustadz2 lama sama warga2, pas kejadian emang semua pada waspada,.
Pas pada cerita, suasana saat itu emang mencekam, apa lagi ponpes ada didesa yang beenr2 terpencil + mojok,. Apa algi Kyai sebelum gabung JT posisinya tinggi di NU,.
Untungnya juga para warga desa juga pada ta'zim sama ulama, siap korban apa aja buat Kyai,. Yang kesehariannya petani ternyata ahli beladiri
Alhamdulillah, sejak jaman PKI sampe ninja, ponpes ga ada kejadian pembunuhan ustadz atau Kyai, padahal posisi desa deket dari Madiun
Cerita ustadz2 lama sama warga2, pas kejadian emang semua pada waspada,.
Pas pada cerita, suasana saat itu emang mencekam, apa lagi ponpes ada didesa yang beenr2 terpencil + mojok,. Apa algi Kyai sebelum gabung JT posisinya tinggi di NU,.
Untungnya juga para warga desa juga pada ta'zim sama ulama, siap korban apa aja buat Kyai,. Yang kesehariannya petani ternyata ahli beladiri
Alhamdulillah, sejak jaman PKI sampe ninja, ponpes ga ada kejadian pembunuhan ustadz atau Kyai, padahal posisi desa deket dari Madiun
Quote:
Original Posted By kulerjahat►taun 98 ane masih SMA kelas 1,klo ga salah,kelas 3 mau ebtanas itu...sekolah di libur kan,penjarahan dimana mana...ane sih ga ngalamin yg nama nya ninja,jauh,ane masih di jabodetabek...tpi ane liat sih,yg jdi sasaran justru kaum minoritas klo di mari.rumah kauminoritas pada kosong ditinggal aama penghuni nya
Quote:
Original Posted By antonemaja►Weh...... Timur trilogi lanjut lagi..... mantap dah!!!
Isu Ninja tahun 98? Dulu, saya pikir hanya di Madura saja yang mencekam. Di suatu malam di tahun itu (bulan juni kalo tidak salah), saya, 2 saudara dan om saya sedang berkendara dengan mobil dari Pamekasan ke Sampang, untuk silaturahmi ke Guru "Ngaji" kami di sana. Sepanjang pesisir daerah Branta sampai Camplong, banyak warga yang berjaga dengan membawa pedang dan celurit berkumpul di pinggir jalan. Begitu mencekam dan mendebarkan perjalanan tersebut, sehingga Om menyuruh kami semua untuk terus berdzikir, karena bisa saja mobil rombongan kami diberhentikan dan sesuatu yang buruk menimpa kami. Dan Alhamdulillah, kami bisa sampai tujuan dengan selamat (ya eyalaaahhh... buktinya saya bisa komen di mari).
Saya akan menganggap tulisan gan danil ini fiksi, karena memang banyak isu2 yang berkembang di kala itu. So, buat kalian para pembaca, jangan anggap ini fakta yaa.....
Isu Ninja tahun 98? Dulu, saya pikir hanya di Madura saja yang mencekam. Di suatu malam di tahun itu (bulan juni kalo tidak salah), saya, 2 saudara dan om saya sedang berkendara dengan mobil dari Pamekasan ke Sampang, untuk silaturahmi ke Guru "Ngaji" kami di sana. Sepanjang pesisir daerah Branta sampai Camplong, banyak warga yang berjaga dengan membawa pedang dan celurit berkumpul di pinggir jalan. Begitu mencekam dan mendebarkan perjalanan tersebut, sehingga Om menyuruh kami semua untuk terus berdzikir, karena bisa saja mobil rombongan kami diberhentikan dan sesuatu yang buruk menimpa kami. Dan Alhamdulillah, kami bisa sampai tujuan dengan selamat (ya eyalaaahhh... buktinya saya bisa komen di mari).
Saya akan menganggap tulisan gan danil ini fiksi, karena memang banyak isu2 yang berkembang di kala itu. So, buat kalian para pembaca, jangan anggap ini fakta yaa.....
Diubah oleh ahmaddanielo 15-07-2018 15:18
Ardi97BSTN dan 98 lainnya memberi reputasi
97
377.7K
Kutip
1.6K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ahmaddanielo
#1033
CHAPTER 34 - DUA SKENARIO BERBEDA
Spoiler for CHAPTER 34:
Masih di sekitar Hutan Sumbergede. Sepasang mata menyaksikan sepak terjang Pak Saleh yang ternyata jauh dari perhitungan mereka: kawanan bertopeng hitam. Melihat rekannya tepar dalam sekali pukul, membuat sosok pengintip itu mengigil di balik tumpukan daun kering. Benar-benar tidak seimbang.
Sosok itu pergi. Tidak ada gunanya dia sini. Peran pembantu mustahil dimainkan kalau peran utamanya sudah tewas duluan. Mengenaskan.
"Kalaupun saya keluar dan membantunya, saya kira hasilnya sama saja," Gumamnya, "Sial! Kenapa mereka mencantumkan Salehudin di daftar ini?"
Orang itu menerobos jajaran luar pepohonan. Berusaha menghindari jalan setapak dan memilih lewat hutan. Dalam sekejap, sosoknya hilang ditelan bayang pohon-pohon besar.
Tidak ada jalan khusus yang harus dia lalui. Kalaupun ada, kegelapan hutan akan menutupinya. Tapi, orang itu berjalan dengan kesadaran penuh akan tujuannya. Dia tahu betul seluk-beluk hutan Sumbergede. Hal yang bahkan penduduk desa pun belum tentu pernah melewatinya, apalagi mengahafalnya.
Tunggu dulu!
Dia berhenti. Membalik badan dengan tangan kanan mengenggam belati. Sikapnya siaga. Karena, dia merasa seseorang sedang mengikutinya.
Diperhatikan sekeliling. Pohon-pohon itu seolah bernafas dengan caranya sendiri. Bergoyang perlahan didorong angin malam, dan menghujani tanah basah dengan daun-daun kering. Tenang sekali. Batang-batang besar yang pas untuk bersembunyi. Mungkin saja di salah satunya terdapat seorang pengintai, yang bertanggung jawab atas bunyi langkah kaki yang membuatnya berhenti.
"Siapa di situ?"
Dia memeriksa sekitar. Dia harus benar-benar memastikan. Sampai dirinya yakin tidak sedang dibuntuti. Karena, tempat yang sedang ia tuju saat ini tidak boleh diketahui orang lain.
Perasaanku saja.Lalu melanjutkan perjalanan.
Lima belas menit kiranya dia keliaran di hutan. Sekarang sudah sampai di tepi sungai. Di sana, sudah menunggu empat orang berpakaian hitam lainnya. Duduk gelisah di atas batu dan tumpukan kayu mati.
"Sedikit sekali yang kembali. Baru beberapa hari saja, jumlah kita sudah berkurang drastis."
"Ya, kebanyakan yang tertangkap adalah mereka yang targetnya anggota Karmapala, dan beberapa benteng tua Banyusirih."
"Lalu, kamu. Bagaimana denganmu?"
"Gagal. Teman kita tepar sekali hantam di tangan Ki Saleh."
"Sudah kamu pastikan kalau dia mati?"
"Ti-tidak."
"Bodoh!"
"Sudah-sudah! Untuk sementara ini, kita mundur saja. Setidaknya kita sudah menghabisi separuh dari daftar."
"Berterima kasihlah kalian pada preman-preman itu. Mereka membantu menghapus beberapa nama untuk kita. Dan, berkat mereka juga kita tidak harus berurusan dengan H. Karim."
"Jadi, sekarang bagaimana?"
"Kita tunggu sebentar lagi. Karena dua orang yang pergi mengurus Ki Jalu dan Ki Gusafar juga belum kembali."
Mereka tidak akan kembali. Karena saat ini, Rahwan sedang bermain-main dengan salah satu dari mereka. Anggota kawanan bertopeng hitam itu sedang sekarat. Rahwan menjilati wajahnya yang penuh memar dan sedang mencium bumi. Membedaki tanah dengan butir-butir darah halus yang sempat menyembur dari bibir yang pecah. Monyet itu kelihatan bahagia. Sudah lama ia tidak mencium aroma darah.
"Rahwan!" Panggil Gusafar.
Monyet itu melompat turun dari kepala orang bertopeng hitam, lalu berlari mendaki tubuh tuannya dan bertengger di bahu.
"Jangan! Yang itu darahnya kotor." Kata Gusafar.
Kakek keturunan india itu sedang mengelap luka-luka di beberapa bagian tubuhnya akibat pertarungan barusan. Merepotkan saja.
"Lagipula, kenapa orang ini mengincar aku? Hutangku di warung kan sudah lunas. Atau jangan-jangan si ibu beli panci baru dan belum bayar? Atau jangan-jangan ini ulah kalian? Anak-anakku yang tidak tahu diri," Katanya mencerocos tak karuan.
"Ayo Rahwan, kita harus berkumpul dengan yang lainnya."
Gusafar berdiri sambil menekan lehernya dengan sapu tangan putih yang mulai memerah. Diletakkannya sekeranjang pisang dan sayur-sayuran pada sebuah tunggul pohon besar. Kemudian, ia mendekati seekor monyet betina yang tangannya sedang diperban.
"Gelis, tanganmu sudah sembuh. Kamu bebas bermain, dan tidak butuh rantai ini lagi."
Gusafar membuka rantai di leher monyet bernama Gelis itu, dan memasangkannya ke leher si pembunuh yang belum sadarkan diri. Rantai itu terikat pada sebuah pohon kelapa. Gusafar menggunakannya sebagai hukuman jika salah satu dari anaknya sedang nakal.
"Babun, Gelis, Ketek, Lengek, dan, Jalu!" Katanya sambil menunjuk monyet paling besar yang bergelantungan di atas pohon kelapa, "Kalian jangan mencuri makanan di pasar lagi! Aku capek berurusan dengan para penagih hutang--Hei-hei, Tidak usah protes!" Bentak Gusafar pada monyet-monyet lainnya. "Satu lagi. Ini saudara baru kalian. Jaga dia, jangan sampai kabur!"
Kalau aku juga jadi incaran, maka kemungkinan besar ini adalah masalah pribadi. "Ayo Rahwan!"
Gusafar pergi menuju desa. Ia percayakan kebun kelapa miliknya pada anak-anaknya.
Waktunya makan malam. Menu kali ini adalah ayam. Lagi. Ki Jalu duduk bersila di lantai tanah. Menjilati jari tangan yang berlumur kecap dengan penuh nikmat. Di tangan kirinya masih ada satu tusuk ayam bakar utuh yang separuhnya sudah masuk perut. Lalu, sendawa panjang itu adalah isyarat kenyang dan Ki Jalu harus berhenti makan sebentar.
Di tanah sudah tergambar sosok seorang laki-laki. Gambar ki jalu jelek sekali. Hanya gabungan garis yang membentuk badan, dan sebuah lingkaran yang anggap saja kepala. Untuk mempertegas identitas seksualnya, Ki Jalu menambahkan kumis dan pita pada gambarnya. Lalu, dia mulai bercerita.
"Hari ini, aku sedih sekali. Aku teringat tentang Agus. Cucuku yang malang." Ki Jalu terisak.
Telunjuknya bermain-main di gambar laki-laki yang dia buat sendiri.
"Agus senang sekali bermain jarum," Ki Jalu terkekeh, "Ya! Jarum. Bayangkan, dia sering menusukkan jarum ke dalam telinganya sendiri, dan tidak akan pernah puas sampai ujungnya mengorek gendang telinga. Ah, anak yang aneh."
Dalam jeda ceritanya, terdengar suara tangis. Tangis pilu tanpa kata, dari seseorang yang saat ini sedang terikat di kursi dengan mulut disumpal kain kotor berbau pesing.
"Ah, kamu tertarik dengan ceritaku?" Ki Jalu girang. Bersemangat seperti anak kecil, "Baiklah, aku lanjutkan. Tapi, pertama-tama kamu harus bilang, 'Aku mohon'. Coba!"
Orang itu membalasnya dengan geleng kepala dan air mata yang tumpah. Mana mungkin ia bisa menjawab dengan mulut disumpal kain yang basah oleh cairan berbau pesing.
"Salah!"
Ki Jalu menusuk paha orang itu dengan pisau, hingga terdengar suara terpekik yang perlahan-lahan melemah dan berakhir serak.
"Aku... mohon, gitu. Coba!" Ki Jalu mendekte.
Kali ini, orang itu hanya diam. Belajar dari kesalahan, dia tidak ingin daging pahanya kembali dilewati logam.
"Salah! bodoh! bodoh! bodoh!" Diulanginya kata itu sampai belasan kali sambil menusukkan pisau ke paha kanan dan kiri. Bergantian, dengan jumlah yang sama.
Pandangan orang itu memudar. Bola matanya bergulir ke atas hingga yang tampak hanya putih berurat merah. Sampai akhirnya, kepala orang itu diguyur air dingin dan dihantam gayung plastik. Megap-megap. Orang itu kembali sadar dan sesaat melupakan rasa sakitnya. Hanya sesaat, sebelum perih dan ngilu menjalar di bagian bawah tubuhnya.
"Agus sudah pergi." Air mata Ki Jalu berderai. Hidungnya memerah. "Sudah kusuruh tunggu di sini. Tapi, saat aku kembali dia sudah... sudah... pergi."
Ki Jalu menghapus bagian kepala dari gambar laki-lakinya, kemudian menggambarnya lagi di tempat terpisah. Dengan sebuah garis menembus dari bawah ke atas.
"Aku sedih. Aku tidak suka dibuat kecewa. Agus harusnya begini." Kata Ki Jalu menunjuk gambar kepala yang sedang disate.
"Ah, kamu melirik gambar yang satu lagi? Pasti kamu bertanya-tanya, yang perempuan itu gambar siapa?" Kata Ki Jalu sambil cekikikan, lalu berdeham pertanda bersiap memulai cerita.
"Ini istrinya Agus. Namanya, Syarifah."
Mata orang itu terbelalak. Tidak percaya bahwa Ki Jalu menyebut sebuah nama yang sangat familiar baginya.
"Kenal? Kamu kenal?" Tanya Ki Jalu sambil memasukkan jari telunjuk ke dalam luka di paha orang itu, "Oh, tidak kenal. Yah, aku juga tidak kenal. Aku hanya tidak sengaja menemukan cincin nikah Agus dan sebuah foto keluarga yang sudah usang. Ada nama syarifah di bawah foto perempuan cantik berkerudung abu-abu. Lalu, di bawah foto laki-laki yang Syarifah gandeng, ada sebuah nama..."
Jeda yang dibuat Ki Jalu membuat orang itu semakin berontak. Kaki kursinya menghentak-hentak ke tanah.
"Diam, jangan berisik!"
Teguran Ki Jalu tidak digubris. Orang itu malah semakin beringas.
"Aku bilang,"
Ki Jalu menendang dada orang itu hingga terjungkal ke belakang dan jatuh dengan kepala membentur tanah lebih dulu. Barulah orang itu diam. Setelah itu, Ki Jalu membuang cincin nikah dan sebuah foto yang berhasil ia temukan di saku orang tersebut.
"Hari yang sial. Sudah kalah sabung ayam, tawanan kabur, masih juga mau dibunuh."
Ki Jalu mengelap tangan dan kembali menikmati sisa ayam bakarnya. Ayam malang yang jadi santapan karena kalah bertarung dan menyebabkan Ki Jalu kehilangan sejumlah uang.
"Seseorang sudah menemukan gua ini. Tapi, kenapa dia repot-repot membebaskan Agus? Lalu, kenapa juga orang ini coba membunuhku? Sialan memang. Sepertinya Aku harus kabari yang lainnya. Semoga Rahwan, Sopet dan Gusafar baik-baik saja."
"Jadi, sebenarnya orang ini siapa?" Tanya Pak Busrowi.
"Mantan murid Kiai Fatah, sebelum padepokannya tutup dan beliau berhenti menerima murid lagi."
Jawaban Pak Saleh sangat mantap. Ia yakin sekali bahwa orang yang wajahnya sudah diacak-acak itu adalah murid dari Kiai Fatah. Pak Saleh ingat benar alisnya yang menyambung dan sebuah kutil besar di hidung yang mulai kempes karena ia hantam.
"Jadi, maksud sampean, Ninja yang selama ini meresahkan masyarakat adalah...."
"Jangan mengambil kesimpulan dulu! Saya merasa masih ada yang janggal."
"Apakah itu?"
"Saya tidak bisa jelaskan sekarang. Kita berdoa saja semoga Ning Aluf--Maksud saya, Maulida berhasil melakukan tugasnya."
"Bagus. Kalau begitu, sekarang waktunya mengantar sampean ke rumah sakit. Tapi, apa yang akan kita lakukan dengan benda ini?"
Pak Busrowi mengangangkat sebuah radio panggil milik si pembunuh.
"Biar saya bawa," Pinta Pak Saleh.
"Mau diselidiki?"
"Tidak. Dari dulu saya pengen punya beginian."
Sebuah mobil pickup pengangkut kawanan preman sedang siaga di tengah kebun pepaya yang jauh dari kompleks perumahan. Gelap. Hanya terlihat beberapa cahaya merah yang berasal dari rokok mereka. Sementara itu, pengemudinya gelisah. Ia mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jari jemarinya, sambil sesekali memperhatikan radio panggil.
Saat kesabarannya hampir habis, radio itu berbunyi. Di antara derau berisik, terdengar suara orang.
Waktunya kalian berangkat. Ingat, tetap lewat di jalur yang sudah kami tentukan.
"Siap!" Sang Supir merespon mantap.
Di tengah kegelapan kebun pepaya, cahaya lampu mobil menyala. Mesinnya terdengar sangat menyiksa. Mendengarnya saja bisa terbayang seberapa tua pickup berwarna biru itu. Kemudian, kendaraan roda empat itu melesat di jalanan beraspal Desa Kalakan, menuju ke Sumbergede. Di belakang sudah berdiri sedikitnya sepuluh orang preman. Cecunguk yang sama dengan yang tempo hari. Hanya saja, yang beraksi malam ini hanyalah mereka yang tidak terluka dan masih punya tenaga.
Belum seberapa jauh melaju, pickup itu sudah harus berhenti karena dihadang empat orang bertubuh tegap. Berpewarakan keras dengan potongan rambut seragam. Tentu saja, itu membuat para preman marah dan gugup bersamaan.
"Woy, ada apa ini?" Bentak si sopir.
Tanpa peringatan, bahkan tanpa sepatah kata. Empat orang itu mengangkat senjata dan menyemprotkan rentetan peluru pada para preman hingga Bak mobil pickup itu nyaris tergenang oleh darah.
Semua rubuh tanpa perlawanan.
"Ke-kenapa? Bukankah kami sudah melaksanakan tugas?" Kata si Sopir.
Ia mengangkat kedua tangan sebagai simbol damai dan bersedia diajak kerja sama.
"Justru karena itu, kalian kami bebas tugaskan."
"Ah, sudah aku bilang. Tembak sopirnya nanti saja setelah dia keluar. Sekarang, aku harus mengemudikan mobil ini sambil duduk di kursi lengket karena darah. Anjing kau!"
"Jangan banyak mengeluh! Cepat bawa pergi!" Kata salah seorang dari empat pria itu, setelah ia menutup bak mobil dengan kain terpal."
"Jadi, bagaimana laporan dari Sumbergede?"
"Aku baru saja membawa kabur salah seorang preman yang berhasil disekap warga. Percaya atau tidak, kondisinya buruk sekali ketika kutemukan di gua itu. Namanya Agus. Jangan lupakan itu! Karena, kita harus menggantinya dengan Agus yang baru di penjara."
"Agus. Agak Gundul Sedikit," Canda salah seorang dari mereka, membuat suasana tegang sedikit melemas.
"Untuk sementara kita tinggalkan Sumbergede. Kita bergerak ke barat sampai bertemu di titik yang sudah disepakati."
"Jadi, kita sudah tidak butuh Sumbergede lagi?"
"Sementara ini, tidak. Karena...
Note: Maaf telat update. Eh iya, di kaskus belum ane kasih jadwal.
Thread ini akan diupdate setiap hari sabtu dan selasa malam gan. Sedangkan midnight expeditionnya diupdate tiap malam jumat.
Sosok itu pergi. Tidak ada gunanya dia sini. Peran pembantu mustahil dimainkan kalau peran utamanya sudah tewas duluan. Mengenaskan.
"Kalaupun saya keluar dan membantunya, saya kira hasilnya sama saja," Gumamnya, "Sial! Kenapa mereka mencantumkan Salehudin di daftar ini?"
Orang itu menerobos jajaran luar pepohonan. Berusaha menghindari jalan setapak dan memilih lewat hutan. Dalam sekejap, sosoknya hilang ditelan bayang pohon-pohon besar.
Tidak ada jalan khusus yang harus dia lalui. Kalaupun ada, kegelapan hutan akan menutupinya. Tapi, orang itu berjalan dengan kesadaran penuh akan tujuannya. Dia tahu betul seluk-beluk hutan Sumbergede. Hal yang bahkan penduduk desa pun belum tentu pernah melewatinya, apalagi mengahafalnya.
Tunggu dulu!
Dia berhenti. Membalik badan dengan tangan kanan mengenggam belati. Sikapnya siaga. Karena, dia merasa seseorang sedang mengikutinya.
Diperhatikan sekeliling. Pohon-pohon itu seolah bernafas dengan caranya sendiri. Bergoyang perlahan didorong angin malam, dan menghujani tanah basah dengan daun-daun kering. Tenang sekali. Batang-batang besar yang pas untuk bersembunyi. Mungkin saja di salah satunya terdapat seorang pengintai, yang bertanggung jawab atas bunyi langkah kaki yang membuatnya berhenti.
"Siapa di situ?"
Dia memeriksa sekitar. Dia harus benar-benar memastikan. Sampai dirinya yakin tidak sedang dibuntuti. Karena, tempat yang sedang ia tuju saat ini tidak boleh diketahui orang lain.
Perasaanku saja.Lalu melanjutkan perjalanan.
Lima belas menit kiranya dia keliaran di hutan. Sekarang sudah sampai di tepi sungai. Di sana, sudah menunggu empat orang berpakaian hitam lainnya. Duduk gelisah di atas batu dan tumpukan kayu mati.
"Sedikit sekali yang kembali. Baru beberapa hari saja, jumlah kita sudah berkurang drastis."
"Ya, kebanyakan yang tertangkap adalah mereka yang targetnya anggota Karmapala, dan beberapa benteng tua Banyusirih."
"Lalu, kamu. Bagaimana denganmu?"
"Gagal. Teman kita tepar sekali hantam di tangan Ki Saleh."
"Sudah kamu pastikan kalau dia mati?"
"Ti-tidak."
"Bodoh!"
"Sudah-sudah! Untuk sementara ini, kita mundur saja. Setidaknya kita sudah menghabisi separuh dari daftar."
"Berterima kasihlah kalian pada preman-preman itu. Mereka membantu menghapus beberapa nama untuk kita. Dan, berkat mereka juga kita tidak harus berurusan dengan H. Karim."
"Jadi, sekarang bagaimana?"
"Kita tunggu sebentar lagi. Karena dua orang yang pergi mengurus Ki Jalu dan Ki Gusafar juga belum kembali."
***
Mereka tidak akan kembali. Karena saat ini, Rahwan sedang bermain-main dengan salah satu dari mereka. Anggota kawanan bertopeng hitam itu sedang sekarat. Rahwan menjilati wajahnya yang penuh memar dan sedang mencium bumi. Membedaki tanah dengan butir-butir darah halus yang sempat menyembur dari bibir yang pecah. Monyet itu kelihatan bahagia. Sudah lama ia tidak mencium aroma darah.
"Rahwan!" Panggil Gusafar.
Monyet itu melompat turun dari kepala orang bertopeng hitam, lalu berlari mendaki tubuh tuannya dan bertengger di bahu.
"Jangan! Yang itu darahnya kotor." Kata Gusafar.
Kakek keturunan india itu sedang mengelap luka-luka di beberapa bagian tubuhnya akibat pertarungan barusan. Merepotkan saja.
"Lagipula, kenapa orang ini mengincar aku? Hutangku di warung kan sudah lunas. Atau jangan-jangan si ibu beli panci baru dan belum bayar? Atau jangan-jangan ini ulah kalian? Anak-anakku yang tidak tahu diri," Katanya mencerocos tak karuan.
"Ayo Rahwan, kita harus berkumpul dengan yang lainnya."
Gusafar berdiri sambil menekan lehernya dengan sapu tangan putih yang mulai memerah. Diletakkannya sekeranjang pisang dan sayur-sayuran pada sebuah tunggul pohon besar. Kemudian, ia mendekati seekor monyet betina yang tangannya sedang diperban.
"Gelis, tanganmu sudah sembuh. Kamu bebas bermain, dan tidak butuh rantai ini lagi."
Gusafar membuka rantai di leher monyet bernama Gelis itu, dan memasangkannya ke leher si pembunuh yang belum sadarkan diri. Rantai itu terikat pada sebuah pohon kelapa. Gusafar menggunakannya sebagai hukuman jika salah satu dari anaknya sedang nakal.
"Babun, Gelis, Ketek, Lengek, dan, Jalu!" Katanya sambil menunjuk monyet paling besar yang bergelantungan di atas pohon kelapa, "Kalian jangan mencuri makanan di pasar lagi! Aku capek berurusan dengan para penagih hutang--Hei-hei, Tidak usah protes!" Bentak Gusafar pada monyet-monyet lainnya. "Satu lagi. Ini saudara baru kalian. Jaga dia, jangan sampai kabur!"
Kalau aku juga jadi incaran, maka kemungkinan besar ini adalah masalah pribadi. "Ayo Rahwan!"
Gusafar pergi menuju desa. Ia percayakan kebun kelapa miliknya pada anak-anaknya.
***
Waktunya makan malam. Menu kali ini adalah ayam. Lagi. Ki Jalu duduk bersila di lantai tanah. Menjilati jari tangan yang berlumur kecap dengan penuh nikmat. Di tangan kirinya masih ada satu tusuk ayam bakar utuh yang separuhnya sudah masuk perut. Lalu, sendawa panjang itu adalah isyarat kenyang dan Ki Jalu harus berhenti makan sebentar.
Di tanah sudah tergambar sosok seorang laki-laki. Gambar ki jalu jelek sekali. Hanya gabungan garis yang membentuk badan, dan sebuah lingkaran yang anggap saja kepala. Untuk mempertegas identitas seksualnya, Ki Jalu menambahkan kumis dan pita pada gambarnya. Lalu, dia mulai bercerita.
"Hari ini, aku sedih sekali. Aku teringat tentang Agus. Cucuku yang malang." Ki Jalu terisak.
Telunjuknya bermain-main di gambar laki-laki yang dia buat sendiri.
"Agus senang sekali bermain jarum," Ki Jalu terkekeh, "Ya! Jarum. Bayangkan, dia sering menusukkan jarum ke dalam telinganya sendiri, dan tidak akan pernah puas sampai ujungnya mengorek gendang telinga. Ah, anak yang aneh."
Dalam jeda ceritanya, terdengar suara tangis. Tangis pilu tanpa kata, dari seseorang yang saat ini sedang terikat di kursi dengan mulut disumpal kain kotor berbau pesing.
"Ah, kamu tertarik dengan ceritaku?" Ki Jalu girang. Bersemangat seperti anak kecil, "Baiklah, aku lanjutkan. Tapi, pertama-tama kamu harus bilang, 'Aku mohon'. Coba!"
Orang itu membalasnya dengan geleng kepala dan air mata yang tumpah. Mana mungkin ia bisa menjawab dengan mulut disumpal kain yang basah oleh cairan berbau pesing.
"Salah!"
Ki Jalu menusuk paha orang itu dengan pisau, hingga terdengar suara terpekik yang perlahan-lahan melemah dan berakhir serak.
"Aku... mohon, gitu. Coba!" Ki Jalu mendekte.
Kali ini, orang itu hanya diam. Belajar dari kesalahan, dia tidak ingin daging pahanya kembali dilewati logam.
"Salah! bodoh! bodoh! bodoh!" Diulanginya kata itu sampai belasan kali sambil menusukkan pisau ke paha kanan dan kiri. Bergantian, dengan jumlah yang sama.
Pandangan orang itu memudar. Bola matanya bergulir ke atas hingga yang tampak hanya putih berurat merah. Sampai akhirnya, kepala orang itu diguyur air dingin dan dihantam gayung plastik. Megap-megap. Orang itu kembali sadar dan sesaat melupakan rasa sakitnya. Hanya sesaat, sebelum perih dan ngilu menjalar di bagian bawah tubuhnya.
"Agus sudah pergi." Air mata Ki Jalu berderai. Hidungnya memerah. "Sudah kusuruh tunggu di sini. Tapi, saat aku kembali dia sudah... sudah... pergi."
Ki Jalu menghapus bagian kepala dari gambar laki-lakinya, kemudian menggambarnya lagi di tempat terpisah. Dengan sebuah garis menembus dari bawah ke atas.
"Aku sedih. Aku tidak suka dibuat kecewa. Agus harusnya begini." Kata Ki Jalu menunjuk gambar kepala yang sedang disate.
"Ah, kamu melirik gambar yang satu lagi? Pasti kamu bertanya-tanya, yang perempuan itu gambar siapa?" Kata Ki Jalu sambil cekikikan, lalu berdeham pertanda bersiap memulai cerita.
"Ini istrinya Agus. Namanya, Syarifah."
Mata orang itu terbelalak. Tidak percaya bahwa Ki Jalu menyebut sebuah nama yang sangat familiar baginya.
"Kenal? Kamu kenal?" Tanya Ki Jalu sambil memasukkan jari telunjuk ke dalam luka di paha orang itu, "Oh, tidak kenal. Yah, aku juga tidak kenal. Aku hanya tidak sengaja menemukan cincin nikah Agus dan sebuah foto keluarga yang sudah usang. Ada nama syarifah di bawah foto perempuan cantik berkerudung abu-abu. Lalu, di bawah foto laki-laki yang Syarifah gandeng, ada sebuah nama..."
Jeda yang dibuat Ki Jalu membuat orang itu semakin berontak. Kaki kursinya menghentak-hentak ke tanah.
"Diam, jangan berisik!"
Teguran Ki Jalu tidak digubris. Orang itu malah semakin beringas.
"Aku bilang,"
DIAM!
Ki Jalu menendang dada orang itu hingga terjungkal ke belakang dan jatuh dengan kepala membentur tanah lebih dulu. Barulah orang itu diam. Setelah itu, Ki Jalu membuang cincin nikah dan sebuah foto yang berhasil ia temukan di saku orang tersebut.
"Hari yang sial. Sudah kalah sabung ayam, tawanan kabur, masih juga mau dibunuh."
Ki Jalu mengelap tangan dan kembali menikmati sisa ayam bakarnya. Ayam malang yang jadi santapan karena kalah bertarung dan menyebabkan Ki Jalu kehilangan sejumlah uang.
"Seseorang sudah menemukan gua ini. Tapi, kenapa dia repot-repot membebaskan Agus? Lalu, kenapa juga orang ini coba membunuhku? Sialan memang. Sepertinya Aku harus kabari yang lainnya. Semoga Rahwan, Sopet dan Gusafar baik-baik saja."
***
"Jadi, sebenarnya orang ini siapa?" Tanya Pak Busrowi.
"Mantan murid Kiai Fatah, sebelum padepokannya tutup dan beliau berhenti menerima murid lagi."
Jawaban Pak Saleh sangat mantap. Ia yakin sekali bahwa orang yang wajahnya sudah diacak-acak itu adalah murid dari Kiai Fatah. Pak Saleh ingat benar alisnya yang menyambung dan sebuah kutil besar di hidung yang mulai kempes karena ia hantam.
"Jadi, maksud sampean, Ninja yang selama ini meresahkan masyarakat adalah...."
"Jangan mengambil kesimpulan dulu! Saya merasa masih ada yang janggal."
"Apakah itu?"
"Saya tidak bisa jelaskan sekarang. Kita berdoa saja semoga Ning Aluf--Maksud saya, Maulida berhasil melakukan tugasnya."
"Bagus. Kalau begitu, sekarang waktunya mengantar sampean ke rumah sakit. Tapi, apa yang akan kita lakukan dengan benda ini?"
Pak Busrowi mengangangkat sebuah radio panggil milik si pembunuh.
"Biar saya bawa," Pinta Pak Saleh.
"Mau diselidiki?"
"Tidak. Dari dulu saya pengen punya beginian."
***
Sebuah mobil pickup pengangkut kawanan preman sedang siaga di tengah kebun pepaya yang jauh dari kompleks perumahan. Gelap. Hanya terlihat beberapa cahaya merah yang berasal dari rokok mereka. Sementara itu, pengemudinya gelisah. Ia mengetuk-ngetuk setir mobil dengan jari jemarinya, sambil sesekali memperhatikan radio panggil.
Saat kesabarannya hampir habis, radio itu berbunyi. Di antara derau berisik, terdengar suara orang.
Waktunya kalian berangkat. Ingat, tetap lewat di jalur yang sudah kami tentukan.
"Siap!" Sang Supir merespon mantap.
Di tengah kegelapan kebun pepaya, cahaya lampu mobil menyala. Mesinnya terdengar sangat menyiksa. Mendengarnya saja bisa terbayang seberapa tua pickup berwarna biru itu. Kemudian, kendaraan roda empat itu melesat di jalanan beraspal Desa Kalakan, menuju ke Sumbergede. Di belakang sudah berdiri sedikitnya sepuluh orang preman. Cecunguk yang sama dengan yang tempo hari. Hanya saja, yang beraksi malam ini hanyalah mereka yang tidak terluka dan masih punya tenaga.
Belum seberapa jauh melaju, pickup itu sudah harus berhenti karena dihadang empat orang bertubuh tegap. Berpewarakan keras dengan potongan rambut seragam. Tentu saja, itu membuat para preman marah dan gugup bersamaan.
"Woy, ada apa ini?" Bentak si sopir.
Tanpa peringatan, bahkan tanpa sepatah kata. Empat orang itu mengangkat senjata dan menyemprotkan rentetan peluru pada para preman hingga Bak mobil pickup itu nyaris tergenang oleh darah.
Semua rubuh tanpa perlawanan.
"Ke-kenapa? Bukankah kami sudah melaksanakan tugas?" Kata si Sopir.
Ia mengangkat kedua tangan sebagai simbol damai dan bersedia diajak kerja sama.
"Justru karena itu, kalian kami bebas tugaskan."
DOR!
"Ah, sudah aku bilang. Tembak sopirnya nanti saja setelah dia keluar. Sekarang, aku harus mengemudikan mobil ini sambil duduk di kursi lengket karena darah. Anjing kau!"
"Jangan banyak mengeluh! Cepat bawa pergi!" Kata salah seorang dari empat pria itu, setelah ia menutup bak mobil dengan kain terpal."
"Jadi, bagaimana laporan dari Sumbergede?"
"Aku baru saja membawa kabur salah seorang preman yang berhasil disekap warga. Percaya atau tidak, kondisinya buruk sekali ketika kutemukan di gua itu. Namanya Agus. Jangan lupakan itu! Karena, kita harus menggantinya dengan Agus yang baru di penjara."
"Agus. Agak Gundul Sedikit," Canda salah seorang dari mereka, membuat suasana tegang sedikit melemas.
"Untuk sementara kita tinggalkan Sumbergede. Kita bergerak ke barat sampai bertemu di titik yang sudah disepakati."
"Jadi, kita sudah tidak butuh Sumbergede lagi?"
"Sementara ini, tidak. Karena...
ADA SEKELOMPOK WARGA BODOH YANG SEDANG MAIN NINJA-NIJAAN.
Note: Maaf telat update. Eh iya, di kaskus belum ane kasih jadwal.
Thread ini akan diupdate setiap hari sabtu dan selasa malam gan. Sedangkan midnight expeditionnya diupdate tiap malam jumat.
sampeuk dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas
Tutup