- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#240
TERJEBAK
Quote:
HUJAN deras tiba –tiba mengguyur di penghujung siang menjelang senja. Kilatan cahaya petir sesekali terdengar menggelegar di angkasa. Kadang-kadang dentumannya menyentak keras, seakan ingin membelah bumi menjadi separuh bagian. Pada saat itu terlihat lima orang lelaki berdiri di sekeliling sebuah mobil espass berwarna biru. Dua diantaranya tampak sibuk membetulkan mesin mobil. Beberapa orang sisanya berusaha menutupi mesin mobil samping yang terbuka menggunakan mantel hujan yang dibentangkan.
Salah seorang lelaki yang masih mengutak atik mesin tampak menggeleng –gelengkan kepala. Lelaki muda itu tidak lain Sino, pimpinan rombongan pecinta alam yang ditemuinya siang tadi.
“ Sudah tidak mampu dibenahi lagi kalau hanya dengan peralatan yang ada saat ini, harus dibawa ke bengkel Zul. Sedari tadi dicoba untuk di stater tapi tetep tidak mau ngangkat mesinnya. Kalaupun dicoba terus, resikonya aki pasti tekor “
“ Biarkan saja kalau begitu, hujan juga semakin deras. Suasana sudah gelap sebentar lagi menjelang malam. Kita harus segera mencari tempat untuk berteduh! “
Aku berbicara dengan setengah berteriak. Suaraku beradu dengan suara hujan dan dentuman guntur yang masih sering terdengar.
“Aku kasihan dengan gadis –gadis itu, mereka terlalu capek dengan situasi seperti ini “
Sino mengusap wajahnya yang basah diguyur hujan.
“ Kalau kalian bersedia, aku punya pondok sederhana di atas sana. Cukup aman untuk berteduh ada sedikit perbekalan juga. Tempat itu sengaja kami persiapkan untuk kegiatan ini “
Aku tidak langsung menjawab iya. Aku menoleh ke arah Alit.
“ Sudah diterima saja Zul, kasihan yang lain. Daripada kita membeku disini “
“ Baiklah, kami akan ikut ke pondok mu “
Sino tersenyum, “ Baguslah kalau begitu, mari kita langsung berangkat “
Tiba –tiba Alit merapatkan tubuhnya ke arah ku. Dia menarik lengan kemeja ku yang sudah basah kuyup sedari tadi. Sekilas dalam keremangan hujan aku melihat wajahnya penuh ketegangan.
“ Zul, kau mendengar suara teriakan itu? Seperti suara Nathan, tapi aku tidak yakin di dalam situasi hujan deras seperti ini suara aneh menyerupai apa saja bisa terdengar di telinga “
“ Aku tidak mendengar apa –apa, salah dengar mungkin? “
Alit terdiam sejenak, lalu “ Tapi aku yakin mendengar suara itu “
Pembicaraan kita terputus tatkala aku melihat Sino melambaikan tangan ke arah ku.
“ Ayo lah, kita segera berangkat “
Lalu aku dan Alit segera menyusul Sino beserta rombongannya menuju ke arah pondok yang dimaksud.
Salah seorang lelaki yang masih mengutak atik mesin tampak menggeleng –gelengkan kepala. Lelaki muda itu tidak lain Sino, pimpinan rombongan pecinta alam yang ditemuinya siang tadi.
“ Sudah tidak mampu dibenahi lagi kalau hanya dengan peralatan yang ada saat ini, harus dibawa ke bengkel Zul. Sedari tadi dicoba untuk di stater tapi tetep tidak mau ngangkat mesinnya. Kalaupun dicoba terus, resikonya aki pasti tekor “
“ Biarkan saja kalau begitu, hujan juga semakin deras. Suasana sudah gelap sebentar lagi menjelang malam. Kita harus segera mencari tempat untuk berteduh! “
Aku berbicara dengan setengah berteriak. Suaraku beradu dengan suara hujan dan dentuman guntur yang masih sering terdengar.
“Aku kasihan dengan gadis –gadis itu, mereka terlalu capek dengan situasi seperti ini “
Sino mengusap wajahnya yang basah diguyur hujan.
“ Kalau kalian bersedia, aku punya pondok sederhana di atas sana. Cukup aman untuk berteduh ada sedikit perbekalan juga. Tempat itu sengaja kami persiapkan untuk kegiatan ini “
Aku tidak langsung menjawab iya. Aku menoleh ke arah Alit.
“ Sudah diterima saja Zul, kasihan yang lain. Daripada kita membeku disini “
“ Baiklah, kami akan ikut ke pondok mu “
Sino tersenyum, “ Baguslah kalau begitu, mari kita langsung berangkat “
Tiba –tiba Alit merapatkan tubuhnya ke arah ku. Dia menarik lengan kemeja ku yang sudah basah kuyup sedari tadi. Sekilas dalam keremangan hujan aku melihat wajahnya penuh ketegangan.
“ Zul, kau mendengar suara teriakan itu? Seperti suara Nathan, tapi aku tidak yakin di dalam situasi hujan deras seperti ini suara aneh menyerupai apa saja bisa terdengar di telinga “
“ Aku tidak mendengar apa –apa, salah dengar mungkin? “
Alit terdiam sejenak, lalu “ Tapi aku yakin mendengar suara itu “
Pembicaraan kita terputus tatkala aku melihat Sino melambaikan tangan ke arah ku.
“ Ayo lah, kita segera berangkat “
Lalu aku dan Alit segera menyusul Sino beserta rombongannya menuju ke arah pondok yang dimaksud.
Quote:
Jalan yang kami lalui menanjak dengan batu bertojolan sangat licin dan berlubang disana -sini, beberapa kali aku menahan tubuh Ida yang hampir terpeleset jatuh. Hujan belum juga mereda, air seperti dicurahkan dari langit tanpa henti. Tidak berapa lama kami melihat Sino menyeruak di sebuah semak belukar. Sesaat aku heran sekali karena sesudah itu ternyata di balik semak itu terdapat sebuah jalan setapak yang mengarah ke sebuah pondok dari kayu.
Di teras rumah itu terdapat sebuah bale –bale dan satu meja panjang. Dan di bale – bale itu telah duduk seorang perempuan muda yang cantik. Aku ingat betul perempuan muda itu yang tadi pergi meninggalkan rombongan terlebih dahulu. Kalau tidak salah perempuan itu bernama Nilam. Gadis itu masih memakai pakaiannya yang tadi, kaos merah dipadu dengan celana jeans berwarna biru pekat. Melihat kami datang ia segera beranjak dari tempat duduknya.
“ Ayo lekas, masuk. Keringkan badan kalian di belakang. Ada beberapa lembar baju, aku yakin cocok untuk kalian “
“ Kau Zulham bukan nama mu? “
Ia bertanya kepadaku. Ku jawab dengan anggukan kecil. Gadis itupun tersenyum memperlihatkan lesung pipi dan deretan giginya yang sangat putih. Ida, Ajeng dan Mima masuk ke dalam ditemani oleh Utari. Sementara aku dan Alit duduk di beranda di temani oleh Nilam dan Sino.
“ Nilam, mengapa kau tidak menyusul kami? “
Sino bertanya sembari mengusap rambut basahnya menggunakan punggung tangan.
“ Keburu hujan turun dan aku memutuskan untuk berteduh dulu disini dan lagi...Soma masih terus mengerang di biliknya “
Aku lalu menyahut, “ Jadi ada teman kalian yang sakit disini?”
Sesaat aku menangkap sedikit keterkejutan di wajah Nilam, akan tetapi dengan cerdik gadis itu segera menguasai dirinya.
“ Iya, sudah dua hari ini demam tinggi. Kemungkinan kena malaria, nyamuk hutan disini sangat ganas “
Nilam tersenyum, ada sesuatu yang aneh tertangkap oleh pandangan mataku. Tapi apa? Lamunanku seketika buyar manakala suara Sino memecah keheningan.
“ Utari, siapkan hidangan kelas satu untuk teman –teman baru kita ini! Mereka pasti lapar dan haus!"
Tidak berapa lama di atas meja sudah terhidang setumpuk nasi putih yang masih mengepul hangat, setumpuk sayur kangkung yang ditumis dan menebar bau sedap, di sebuah piring besar yang terbuat dari kayu dan dilambari selembar daun pisang tampak potongan –potongan daging menebarkan bau yang menggugah selera lalu sebuah bumbung bambu berisi cairan yang mengeluarkan harum sekali! Tenggorokan ku turun naik. Air liur terbit membasahi sudut mulut ku.
Bersamaan dengan itu Mima, Ajeng, Ida sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Sino dengan ramah mempersilahkan mereka untuk bergabung dengan kami. Sekilas aku perhatikan wajah Ida. Wajah itu tampak sedikit pucat ada guratan aneh yang masih terlihat oleh mataku. Akan tetapi, aku tidak punya kesempatan untuk bertanya kepadanya.
“ Ayolah, silahkan disantap hidangan ini “
Sino mempersilahkan aku dan kawan –kawanku untuk bersantap.
Tiba -tiba ada rasa tidak enak membuat aku tak mau memakan hidangan yang disediakan. Tapi dalam ketidakberdayaannya seperti ada sesuatu yang manarikku dan aku tidak mampu menolak. Kulirik ke arah kawan –kawanku mereka sudah sibuk dengan piringnya masing –masing. Hanya Ida yang masih termangu memandangi hidangan di depannya itu.
Utari tersenyum, lalu tanpa sungkan gadis yang juga tidak kalah cantik dengan Nilam itu segera memberikan piring yang telah terisi makanan ke arah ku. Sedikit gamang dan ragu aku hanya mampu memandangi kepulan nasi yang masih panas itu.
“ Ayolah Zul, kau makan dulu lah “
“ Ah, maaf bajuku masih basah. Aku sampai lupa untuk mengganti baju. Bisakah aku berganti baju dulu ?”
Itu hanya alasanku saja. Makanan yang nampak enak itu sama sekali tidak menggugah selera dan nafsu makan ku.
“ Makan dululah Zul, urusan baju gampang. Kau lihat baju ku juga basah dan aku lebih memilih mengisi perutku dulu “
Alit berkata kepadaku sembari mengunyah potongan daging di dalam mulutnya. Suaranya berkecipak sangat riuh.
“ Iya makan dulu “
Nilam mempertegas kalimatnya. Aku hanya tersenyum hambar. Aku berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah orang –orang yang tengah sibuk dengan makanannya masing –masing. Ida pun telah menyuapkan makanan itu kedalam mulutnya. Lalu mulut mungil itu tampak bergerak –gerak dengan perlahan. Tanpa menunggu persetujuan lagi aku pergi meninggalkan ruang tangah dan bergegas menuju ke belakang.
Tatkala aku melewati pintu sebuah bilik, lamat –lamat terdengar suara itu lagi. Suara geraman antara menahan amarah dan menahan himpitan sakit yang maha dahsyat. Aku terhenti sejenak. Suara itu menghilang hanya lamat –lamat aku mendengar desah nafas yang sangat berat. Kulanjutkan langkah kaki ku ke bagian belakang pondok kayu itu.
Di teras rumah itu terdapat sebuah bale –bale dan satu meja panjang. Dan di bale – bale itu telah duduk seorang perempuan muda yang cantik. Aku ingat betul perempuan muda itu yang tadi pergi meninggalkan rombongan terlebih dahulu. Kalau tidak salah perempuan itu bernama Nilam. Gadis itu masih memakai pakaiannya yang tadi, kaos merah dipadu dengan celana jeans berwarna biru pekat. Melihat kami datang ia segera beranjak dari tempat duduknya.
“ Ayo lekas, masuk. Keringkan badan kalian di belakang. Ada beberapa lembar baju, aku yakin cocok untuk kalian “
“ Kau Zulham bukan nama mu? “
Ia bertanya kepadaku. Ku jawab dengan anggukan kecil. Gadis itupun tersenyum memperlihatkan lesung pipi dan deretan giginya yang sangat putih. Ida, Ajeng dan Mima masuk ke dalam ditemani oleh Utari. Sementara aku dan Alit duduk di beranda di temani oleh Nilam dan Sino.
“ Nilam, mengapa kau tidak menyusul kami? “
Sino bertanya sembari mengusap rambut basahnya menggunakan punggung tangan.
“ Keburu hujan turun dan aku memutuskan untuk berteduh dulu disini dan lagi...Soma masih terus mengerang di biliknya “
Aku lalu menyahut, “ Jadi ada teman kalian yang sakit disini?”
Sesaat aku menangkap sedikit keterkejutan di wajah Nilam, akan tetapi dengan cerdik gadis itu segera menguasai dirinya.
“ Iya, sudah dua hari ini demam tinggi. Kemungkinan kena malaria, nyamuk hutan disini sangat ganas “
Nilam tersenyum, ada sesuatu yang aneh tertangkap oleh pandangan mataku. Tapi apa? Lamunanku seketika buyar manakala suara Sino memecah keheningan.
“ Utari, siapkan hidangan kelas satu untuk teman –teman baru kita ini! Mereka pasti lapar dan haus!"
Tidak berapa lama di atas meja sudah terhidang setumpuk nasi putih yang masih mengepul hangat, setumpuk sayur kangkung yang ditumis dan menebar bau sedap, di sebuah piring besar yang terbuat dari kayu dan dilambari selembar daun pisang tampak potongan –potongan daging menebarkan bau yang menggugah selera lalu sebuah bumbung bambu berisi cairan yang mengeluarkan harum sekali! Tenggorokan ku turun naik. Air liur terbit membasahi sudut mulut ku.
Bersamaan dengan itu Mima, Ajeng, Ida sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Sino dengan ramah mempersilahkan mereka untuk bergabung dengan kami. Sekilas aku perhatikan wajah Ida. Wajah itu tampak sedikit pucat ada guratan aneh yang masih terlihat oleh mataku. Akan tetapi, aku tidak punya kesempatan untuk bertanya kepadanya.
“ Ayolah, silahkan disantap hidangan ini “
Sino mempersilahkan aku dan kawan –kawanku untuk bersantap.
Tiba -tiba ada rasa tidak enak membuat aku tak mau memakan hidangan yang disediakan. Tapi dalam ketidakberdayaannya seperti ada sesuatu yang manarikku dan aku tidak mampu menolak. Kulirik ke arah kawan –kawanku mereka sudah sibuk dengan piringnya masing –masing. Hanya Ida yang masih termangu memandangi hidangan di depannya itu.
Utari tersenyum, lalu tanpa sungkan gadis yang juga tidak kalah cantik dengan Nilam itu segera memberikan piring yang telah terisi makanan ke arah ku. Sedikit gamang dan ragu aku hanya mampu memandangi kepulan nasi yang masih panas itu.
“ Ayolah Zul, kau makan dulu lah “
“ Ah, maaf bajuku masih basah. Aku sampai lupa untuk mengganti baju. Bisakah aku berganti baju dulu ?”
Itu hanya alasanku saja. Makanan yang nampak enak itu sama sekali tidak menggugah selera dan nafsu makan ku.
“ Makan dululah Zul, urusan baju gampang. Kau lihat baju ku juga basah dan aku lebih memilih mengisi perutku dulu “
Alit berkata kepadaku sembari mengunyah potongan daging di dalam mulutnya. Suaranya berkecipak sangat riuh.
“ Iya makan dulu “
Nilam mempertegas kalimatnya. Aku hanya tersenyum hambar. Aku berdiri lalu sedikit membungkuk ke arah orang –orang yang tengah sibuk dengan makanannya masing –masing. Ida pun telah menyuapkan makanan itu kedalam mulutnya. Lalu mulut mungil itu tampak bergerak –gerak dengan perlahan. Tanpa menunggu persetujuan lagi aku pergi meninggalkan ruang tangah dan bergegas menuju ke belakang.
Tatkala aku melewati pintu sebuah bilik, lamat –lamat terdengar suara itu lagi. Suara geraman antara menahan amarah dan menahan himpitan sakit yang maha dahsyat. Aku terhenti sejenak. Suara itu menghilang hanya lamat –lamat aku mendengar desah nafas yang sangat berat. Kulanjutkan langkah kaki ku ke bagian belakang pondok kayu itu.
Quote:
Aku mandi sepuas hatinya di bawah pancuran. Kedua tangan ku sibuk menggosok daki tebal yang menyelimuti sekujur muka dan wajahku. Lengket air hujan berganti dengan badan yang segar meskipun mandi tanpa sabun. Ini lebih dari cukup. Sejenak keganjilan –keganjilan yang aku alami mulai terabaikan. Terdengar langkah kaki dari dalam pondok kayu, seorang gadis cantik memakai kaos merah dan celana jeans berwarna hitam mendatangi membawa sebuah baju dan kemeja.
" Ini baju untuk ganti Zul! " kata gadis itu keras-keras agar dapat meningkahi suara air pancuran yang deras.
Hujan sudah mulai reda hanya rintik –rintik air saja yang masih terus jatuh dari langit. Aku berpaling sedikit lalu berkata datar. “ Terimakasih banyak"
“ Mengapa kau sangat dingin Zul ?”
Nilam mengerling nakal. Lalu gadis itu terus saja membuka baju dan ikat pinggang kulit berwarna hitam yang membelit pinggangnya. Zulham jadi terperangah ketika dilain kejap dia dapatkan Nilam sudah dalam keadaan tidak berpakaian lagi. Lalu enak saja perempuan ini menelentangkan tubuhnya di atas hamparan baju dan celana panjangnya.
“ Hai! Tunggu apa lagi?! Sudah hampir malam. Ayo cepatlah. kemarilah….”
Aku ternganga di bawah pancuran, aku sama sekali tidak mengira kalau gadis cantik itu akan menelanjangi dirinya sendiri di hadapanku. Sesaat lamanya aku hanya membisu. Tiba –tiba terdengar langkah kaki dari dalam pondok. Mendengar ada suara langkah kaki mendekat Nilam buru –buru mengenakan baju yang tadi telah dilepaskannya. Tidak berapa lama, Sino muncul dari ambang pintu.
“ Kau lama sekali Nilam, ingat kita ada hal yang lebih penting malam ini. Sementara tahan dulu kekonyolanan mu “
Lalu Sino memandang ke arahku dengan tajam.
“ Aku menunggu mu bersantap di depan Zul “
Aku hanya mengangguk. Kulihat Sino telah berbalik badan diikuti oleh Nilam yang berjalan di belakangnya sambil menundukkan kepala.
" Ini baju untuk ganti Zul! " kata gadis itu keras-keras agar dapat meningkahi suara air pancuran yang deras.
Hujan sudah mulai reda hanya rintik –rintik air saja yang masih terus jatuh dari langit. Aku berpaling sedikit lalu berkata datar. “ Terimakasih banyak"
“ Mengapa kau sangat dingin Zul ?”
Nilam mengerling nakal. Lalu gadis itu terus saja membuka baju dan ikat pinggang kulit berwarna hitam yang membelit pinggangnya. Zulham jadi terperangah ketika dilain kejap dia dapatkan Nilam sudah dalam keadaan tidak berpakaian lagi. Lalu enak saja perempuan ini menelentangkan tubuhnya di atas hamparan baju dan celana panjangnya.
“ Hai! Tunggu apa lagi?! Sudah hampir malam. Ayo cepatlah. kemarilah….”
Aku ternganga di bawah pancuran, aku sama sekali tidak mengira kalau gadis cantik itu akan menelanjangi dirinya sendiri di hadapanku. Sesaat lamanya aku hanya membisu. Tiba –tiba terdengar langkah kaki dari dalam pondok. Mendengar ada suara langkah kaki mendekat Nilam buru –buru mengenakan baju yang tadi telah dilepaskannya. Tidak berapa lama, Sino muncul dari ambang pintu.
“ Kau lama sekali Nilam, ingat kita ada hal yang lebih penting malam ini. Sementara tahan dulu kekonyolanan mu “
Lalu Sino memandang ke arahku dengan tajam.
“ Aku menunggu mu bersantap di depan Zul “
Aku hanya mengangguk. Kulihat Sino telah berbalik badan diikuti oleh Nilam yang berjalan di belakangnya sambil menundukkan kepala.
Quote:
Aku mengeringkan rambut dengan sehelai kain kumal berwarna coklat. Setelah itu aku memakai baju ganti yang telah dipersiapkan oleh Nilam barusan. Sebuah kemeja yang warnanya sudah mulai pudar dan sebuah celana hitam sebatas lutut yang di beberapa tempat aku lihat jahitannya sudah mulai renggang.
Kembali suara rintihan dan geraman itu terdengar lagi. Sangat keras dan jelas. Bergegas aku berjalan setengah mengendap ke arah suara itu. Jelas sekali suara itu ada disalah satu bilik di pondok kayu itu. Aku tekan keinginan dan rasa penasaranku yang tiba –tiba mendera dan menjadi –jadi. Tidak butuh waktu lama aku telah berada di depan pintu bilik itu. Setelah sekian lama aku berada di depan pintu itu mendengarkan suara orang yang mengerang kesakitan, seperti dihimpit rasa sakit yang berkepanjangan perlahan-lahan aku menempelkan telingaku di atas pintu ruangan itu.
Suara itu semakin jelas, kembali mengerang. Suara yang ganjil, sekarang lebih menyerupai suara seekor binatang buas dan liar. Beberapa lama aku masih saja berdiri di depan pintu itu. Di tanah dekat tangga aku lihat ada sepotong belahan bambu. Perlahan aku mengambilnya, lalu ku masukkan ke celah pinggiran pintu, untuk dipergunakan membuka kayu kecil pemalang pintu. Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong.
Sinar terang nyala lampu minyak menyeruak keluar. Aku tak segera masuk, berhenti dulu di ambang pintu. Ada perasaan ragu – ragu dan ketegangan yang menyergap nyali. Sepasang mata ku berputar cepat, memandang memperhatikan keadaan dalam bilik kayu. Cahaya lampu yang menerangi wajah ku memperlihatkan bahwa aku sangat tegang dan juga takut. Lampu minyak itu terletak di atas sebuah meja kayu. Berkelap-kelip pertanda minyaknya tinggal sedikit.
Di sudut kiri ada sebuah lemari kecil yang bagian atasnya berbentuk rak. Lalu di samping lemari ini, agak terlindung dari cahaya lampu minyak terdapat sebuah balai-balai kayu. Di atas balai-balai itu terbujur sosok seorang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, orang itu menghadap ke dinding. Aku sebenarnya tidak terlalu takut melihat sosok yang sedang terbujur mengerang kesakitan ini.
Hanya saja dua benda yang menancap di lengan dan kaki kanan orang itu yang membuat jantungku seperti dipacu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dua buah anak panah yang sangat aku kenali. Ya itu anak panah milik Danny, rajahan dan bentuknya aku yakin dan tidak mungkin salah. Dan panah itu telah dilepaskan ke arah seekor ajag yang kami ditemui di kawasan hutan di sebelah timur desa Telaga Muncar. Dan bahkan, aku dipaksa Danny untuk terus memburu anjing ajag yang tengah terlka itu. Dan sekarang.....Aku perlahan mundur dengan perlahan, lututku gemetaran. Tulang –tulang seperti tercabut dari kaki ku.
Tiba - tiba di sebelah belakang ada suara menegur.
"Zul, apa yang kau cari sehingga dengan lancang memasuki kamar ini?!"
Saking kagetnya kendi yang ada di atas meja tersenggol oleh tangan ku. Kendi jatuh ke bawah, pecah berkepingan di lantai pondok. Aku dengan cepat membalik badan. Di depan sana, Sino berdiri di ambang pintu. Sorot matanya tajam seberkas kilatan merah terlihat sekilas di sepasang bola matanya. Aku bergidik ngeri. Tatapan itu seperti tidak asing lagi bagiku!
Keterkejutan ku tidak hanya sampai disini, sekarang aku melihat seseorang yang terbujur tidur sambil mengerang kesakitan kini duduk di tepi balai-balai kayu. Menyeringai sambil memegang anak panah yang masih menancap di lengannya. Matanya mencorong merah, bulu -bulu kasar dan panjang tampak hampir menutupi sekujur tubuhnya yang telanjang dada.
“ Sino, pemuda inilah kawan cucu Randu Alas yang melukai ku tempo hari. Ia masih ada hubungannya dengan Randu Alas. Mungkin sanak kadangnya. Bagus kau membawanya ke tempat ini. Kita bunuh, cincang lumat tubuhnya lalu kita penggal kepalanya “
Aku mundur dan merapatkan punggungku ke dinding kayu. Sial!Umpatanku dalam hati, pisau komando itu tidak aku bawa tertinggal di dalam ransel. Apakah aku harus mati di tangan gerombolan siluman jadi –jadian ini?!
Kembali suara rintihan dan geraman itu terdengar lagi. Sangat keras dan jelas. Bergegas aku berjalan setengah mengendap ke arah suara itu. Jelas sekali suara itu ada disalah satu bilik di pondok kayu itu. Aku tekan keinginan dan rasa penasaranku yang tiba –tiba mendera dan menjadi –jadi. Tidak butuh waktu lama aku telah berada di depan pintu bilik itu. Setelah sekian lama aku berada di depan pintu itu mendengarkan suara orang yang mengerang kesakitan, seperti dihimpit rasa sakit yang berkepanjangan perlahan-lahan aku menempelkan telingaku di atas pintu ruangan itu.
Suara itu semakin jelas, kembali mengerang. Suara yang ganjil, sekarang lebih menyerupai suara seekor binatang buas dan liar. Beberapa lama aku masih saja berdiri di depan pintu itu. Di tanah dekat tangga aku lihat ada sepotong belahan bambu. Perlahan aku mengambilnya, lalu ku masukkan ke celah pinggiran pintu, untuk dipergunakan membuka kayu kecil pemalang pintu. Daun pintu mengeluarkan suara berkereket halus ketika didorong.
Sinar terang nyala lampu minyak menyeruak keluar. Aku tak segera masuk, berhenti dulu di ambang pintu. Ada perasaan ragu – ragu dan ketegangan yang menyergap nyali. Sepasang mata ku berputar cepat, memandang memperhatikan keadaan dalam bilik kayu. Cahaya lampu yang menerangi wajah ku memperlihatkan bahwa aku sangat tegang dan juga takut. Lampu minyak itu terletak di atas sebuah meja kayu. Berkelap-kelip pertanda minyaknya tinggal sedikit.
Di sudut kiri ada sebuah lemari kecil yang bagian atasnya berbentuk rak. Lalu di samping lemari ini, agak terlindung dari cahaya lampu minyak terdapat sebuah balai-balai kayu. Di atas balai-balai itu terbujur sosok seorang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana hitam sebatas lutut, orang itu menghadap ke dinding. Aku sebenarnya tidak terlalu takut melihat sosok yang sedang terbujur mengerang kesakitan ini.
Hanya saja dua benda yang menancap di lengan dan kaki kanan orang itu yang membuat jantungku seperti dipacu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Dua buah anak panah yang sangat aku kenali. Ya itu anak panah milik Danny, rajahan dan bentuknya aku yakin dan tidak mungkin salah. Dan panah itu telah dilepaskan ke arah seekor ajag yang kami ditemui di kawasan hutan di sebelah timur desa Telaga Muncar. Dan bahkan, aku dipaksa Danny untuk terus memburu anjing ajag yang tengah terlka itu. Dan sekarang.....Aku perlahan mundur dengan perlahan, lututku gemetaran. Tulang –tulang seperti tercabut dari kaki ku.
Tiba - tiba di sebelah belakang ada suara menegur.
"Zul, apa yang kau cari sehingga dengan lancang memasuki kamar ini?!"
Saking kagetnya kendi yang ada di atas meja tersenggol oleh tangan ku. Kendi jatuh ke bawah, pecah berkepingan di lantai pondok. Aku dengan cepat membalik badan. Di depan sana, Sino berdiri di ambang pintu. Sorot matanya tajam seberkas kilatan merah terlihat sekilas di sepasang bola matanya. Aku bergidik ngeri. Tatapan itu seperti tidak asing lagi bagiku!
Keterkejutan ku tidak hanya sampai disini, sekarang aku melihat seseorang yang terbujur tidur sambil mengerang kesakitan kini duduk di tepi balai-balai kayu. Menyeringai sambil memegang anak panah yang masih menancap di lengannya. Matanya mencorong merah, bulu -bulu kasar dan panjang tampak hampir menutupi sekujur tubuhnya yang telanjang dada.
“ Sino, pemuda inilah kawan cucu Randu Alas yang melukai ku tempo hari. Ia masih ada hubungannya dengan Randu Alas. Mungkin sanak kadangnya. Bagus kau membawanya ke tempat ini. Kita bunuh, cincang lumat tubuhnya lalu kita penggal kepalanya “
Aku mundur dan merapatkan punggungku ke dinding kayu. Sial!Umpatanku dalam hati, pisau komando itu tidak aku bawa tertinggal di dalam ransel. Apakah aku harus mati di tangan gerombolan siluman jadi –jadian ini?!
User telah dihapus dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas