- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#760
Quote:
PART 52
Mbak, Tirtanya ada?
Mas Tirta barusan di bawa bapak ke rumah sakit mbak. Saya kasihan, Mas Tirta di pukulin terus sama bapak.
----
Medina melangkah buru – buru menyusuri lorong rumah sakit yang terhubung langsung dengan ruang IGD, tempat dimana Tirta di rawat.
Dugaan Medina benar pertengkaran yang ia dengar lewat telepon tadi bukanlah pertengkaran kecil. Buktinya akibat pukulan itu sahabatnya harus di larikan ke rumah sakit.
Hingga kini, Medina masih saja bertanya – tanya, apa ayah seperti itu yang selalu Tirta banggakan? Jujur saja, sejak pertemuannya dengan ayah Tirta , Medina tidak menemukan satupun sisi baik yang ada pada pria itu.
Langkah cepat Medina terhenti mendapati ayah Tirta terlihat tengah menangis sesenggukan tepat didepan ruang IGD.
Medina menghela nafas panjang, sejujurnya ia sangat ingin melampiaskan amarahnya pada ayah Tirta atas apa yang terjadi pada Tirta.
Tapi...mendengar betapa pilunya tangisan seorang ayah yang ia lihat saat ini, rasanya Medina tidak tega.
Medina berjalan pelan mendekati kursi tunggu, tempat dimana ayah Tirta sedang menyesali semua kekejamannya. Medina memilih diam dan sesekali melirik ayah Tirta. Ia bingung kalimat seperti apa yang tepat untuk ia utarakan saat ini.
“ Saya terlalu bodoh,” ucap ayahTirta masih dalam isak tangis. Dan sepertinya ia mulai menyadari keberadaan Medina di sampingnya.
“ Saya terus menyalahkan Tirta atas kematian ibunya. Bahkan saya tidak peduli mau berapa ribu kali dia minta maaf. Saya terus saja menyalahkannya,” sambungnya dengan air mata yang semakin mengalir deras. Medina masih memilih menjadi pendengar setia, ia belum ingin berkomentar.
“ Padahal jelas kecelakaan itu terjadi karena saya kurang hati – hati, bukan karena Tirta yang membiarkan ibunya terjebak di dalam mobil setelah menyelamatkannya. Saya hanya tidak bisa memaafkan diri saya sendiri, karena itu saya melampiaskan semuanya pada Tirta. Saya menyesal.”
Medina sengaja membiarkan ayah Tirta menangis sejadi – jadinya, barangkali dengan menangis bisa sedikit membuatnya tenang. Medina juga sadar ia bukan orang yang pantas untuk menasehati orang lain dalam mengatasi sebuah masalah, karena masalah sendiri saja ia tidak becus menyelesaikannya. Tapi...hanya diam saja, tidak akan ada gunanya juga.
“ Kakak saya selalu bilang, hanya menyesal saja itu tidak akan cukup memperbaiki semuanya. Dia juga bilang, hanya meminta maaf tanpa sebuah perubahan itu juga konyol,” tutur Medina dengan tatapan lurus mengarah ke tembok rumah sakit.
“ Saya rasa, om cukup pintar untuk memahami ucapan saya barusan.” Lanjut Medina sambil beranjak dari tempat duduknya. Ayah Tirta hanya diam memperhatikan.
“ Tadinya saya ingin berada di sini, sampe Tirta sadar. Tapi...akan lebih baik dia sama om. Seorang ayah yang selalu dia banggakan. Saya permisi.” Pamit Medina dan kemudian melangkah pergi.
Tapi baru beberapa langkah ia kembali memutar badannya,” Oh iya, kakak saya juga bilang, sebesar apapun masalah yang kita hadapi, tetaplah percaya kalau Allah akan memberikan jalan keluarnya. Assalammualaikum.” Pamit Medina sekali lagi dengan senyum tipis.
Tapi senyum itu seketika sirna saat langkah kakinya kian menjauh dari ruang IGD. Ia kembali teringat Pertemuannya dengan pak Wahyu, bukannya menemui titik terang tapi justru semakin membuat Medina terpuruk kian dalam.
Harapannya agar kakaknya kembali seakan terkikis habis oleh berita yang di bawa pak Wahyu. Belum lagi...ia harus mendapati kenyataan bahwa orang yang perlahan mulai ia percaya justru membohonginya.
---------
“ Saat Mas Adam memutuskan berangkat ke Jerman, saya sudah melarangnya mbak. Tapi mas Adam gak mau dengar, dia terus saja meyakinkan saya kalau semuanya akan baik – baik saja. Saya juga sudah meminta mas Nando untuk membujuk Mas Adam, tapi dia tetap keras kepala.”
“ Jadi...kak Adam juga ada di pesawat yang sama dengan Nando?” tanya Medina dengan suara bergetar, ia tak sanggup membayangkan apa yang terjadi pada kakaknya pasca kecelakaan itu.
Pak Wahyu mengangguk pelan, terlihat jelas kesedihan di wajahnya, “ Banyak hal yang selama ini sengaja mas Adam rahasiakan demi kebaikan mbak Medina. Dia hanya ingin mbak Medina bahagia, dia sengaja menyembunyikan semuanya karena nggak mau Mbak Medina mengalami hal yang sama dengan yang dia alamin.”
“ Kak Adam pasti baik – baik aja kan , pak?” tanya Medina dengan tatapan sendu.
Pak Wahyu menggeleng dengan wajah sedih,” Hingga pencarian di hentikan tim penyelamat nggak berhasil menemukan Mas Adam, Mbak. Mereka bilang kecil kemungkinan Mas Adam untuk selamat.” Terang Pak Wahyu mulai terisak.
“ Nggak...nggak...mungkin. Itu pasti nggak mungkin!!” pekik Medina terlihat frustrasi.
Medina tak mampu berkata – kata lagi, hanya air mata yang terus tumpah membasahi pipinya yang bisa mendefinisikan seburuk apa perasaannya saat ini.
Kehilangan seorang kakak dengan cara seperti ini tentu tak pernah di inginkan oleh siapapun. Terlebih lagi sebelum Adam pergi hubungan keduanya tidak sedang baik – baik saja.
“ Kak, maafin aku.” Isak Medina tanpa henti.
----------
Wajah manis itu tampak semakin muram, langkah kakinya pelan meninggalkan pelataran parkir rumah sakit, sekalipun langit mulai menumpahkan rinainya Medina tak berhasrat mempercepat langkahnya apalagi mencari tempat untuk berteduh.
Ia tak peduli dengan itu, ya ia tak peduli bahkan jika ia harus sakit sekalipun. Hatinya jauh lebih sakit sekarang. Air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan di depan ayah Tirta, akhirnya tumpah ruah bersamaan dengan hujan deras yang terus membasahi tubuh mungilnya tanpa ampun.
“ Kak Adam, maafin aku kak. Maaf.” Lirih Medina.
Hujan yang terus jatuh menghantam bumi bersamaan dengan guruh dan kilat yang menyambar – nyambar, menemani Medina larut dalam kesedihannya malam ini.
***
Tidur nyenyak Nina terganggu oleh suara bel yang di pencet berkali – kali. Nina yang terpaksa bangun sempat melirik jam, dan mulai merasa kesal. Tamu sopan mana yang bertamu saat jam 3 pagi???
Belum lagi, tak ada satu orang pun di rumahnya yang berniat membuka pintu, tidak ayahnya, ibunya, bahkan ARTnya sekalipun. Dengan langkah berat Nina keluar kamar, dan kemudian menapaki anak tangga menuju ke lantai dasar.
“ Hadeuh...siapa sih yang bertamu jam segini? Nggak sopan banget,” gerutu Medina yang kini telah berada di depan pintu.
Ia memutar anak kunci , dan sedikit kaget melihat siapa yang ada di balik pintu yang baru saja ia buka,” Medina!!” seru Nina kaget.
Belum lagi keadaan Medina yang tampak kacau dari ujung rambut hingga ujung kaki, gadis itu tidak hanya basah kuyup, matanya juga tampak sembab, bibirnya pucat, serta wajahnya terlihat muram semuram – muramnya.
“ Nina,” isak Medina dan berhambur memeluk Nina.
Nina hanya diam membalas pelukan sahabatnya, walau sebenarnya ia tidak tahu apa yang membuat Medina jadi sesedih ini.
Ia juga belum ingin bertanya, karena sepertinya Medina lebih butuh di tenangkan daripada di hujani berbagai pertanyaan.
Pagi harinya, Nina yang sejak subuh memilih merawat Medina yang demam akibat kehujanan terlihat sedang mengganti kompres di kepala Medina. Ia menatap kasihan wajah Medina yang masih terlihat pucat sambil menghela nafas panjang,” Sebenarnya apa yang udah terjadi sama lo sih, Na??”
“ Permisi, mbak.” Seorang ibu paruh baya berjilbab mendatangi Medina sambil membawa nampan berisi satu mangkok bubur dan segelas air putih. “ Ini buburnya.”
“ Loh bi, temen sayakan belum bangun. Ntar buburnya keburu dingin loh. Lagian...siapa yang minta di bawain buburnya sekarang?”
“ Mas Nando, mbak.”
Nina menghela nafas panjang sekali lagi, tak habis pikir dengan aksi tak terduga dari laki – laki itu,” Dia udah dateng?”
“ Udah dari tadi mbak. Ini juga buburnya dia yang bikin. Katanya special buat mbak Medina.”
Nina menggaruk keningnya yang tak gatal, gemas sendiri dengan Nando. Sweet sih, tapi liat situasi juga kalik.
“ Ya udah, bibi tolong jagain Medina dulu, nanti kalo dia udah bangun tolong kasih bubur sama obatnya. Saya mau samperin bocah tengil itu dulu.”
“ Baik mbak.”
Nina melangkah cepat meninggalkan kamar, dan bergegas menemui Nando yang ia yakini ada di ruang tengah. Salah satuntempat favorit Nando setiap berkunjung ke rumahnya, karena di sana ada semacam mini golf yang sengaja di buat oleh ayah Nina untuk mengusir kejenuhan setelah bekerja di kantor.
Dan Nando adalah satu – satunya orang yang di izinkan ayahnya untuk bermain mini golf itu. Padahal Nina sendiri tak pernah mendapat izin itu sama sekali.
Sayangnya, feeling Nina kali ini salah ia tak menemukan Nando di sana, kecuali ibunya yang terlihat asyik nonton drama korea favorit.
“ Ma, Nando mana?”
“ Kayaknya belum keluar tu dari dapur.”
Nina menuju area dapur, dan benar saja laki – laki itu masih di sana dan terlihat sibuk menyeduh sesuatu di dalam cangkir. Aroma teh bercampur jahe menerobos indra penciuman Nina, ternyata setelah sukses memasak bubur, Nando sedang mencoba membuat teh jahe unuk Medina.
“ Siapa yang ngizinin lo ngacak – ngacak dapur rumah gue?”
“ Nyokap lo,” jawab Nando santai dan kemudian tersenyum karena berhasil membuat teh jahe. “ Gimana keadaan Medina?”
“ Panasnya belum turun, gue nggak tahu berapa lama dia kehujanan kayak gitu. Gue juga belum sempat tanya dia kenapa.”
“ Apapun itu semoga nggak ada hubungannya sama Tirta,” Nando terlihat emosi. Ia kemudian berjalan meninggalkan dapur sambil membawa cangkir berisi teh jahe racikannya.
“ Lah, lo mau kemana?”
“ Samperin jodoh gue lah,” riang Nando sukses memancing senyum Nina.
Walau ia tidak bisa menggapai hati Nando, entah kenapa ia merasa sangat senang melihat Nando dan Medina yang mulai akur dan jujur dengan perasaan masing – masing. Apa ini arti cinta yang sebenarnya? Entahlah...Nina hanya sangat menikmati apa yang ia rasakan sekarang, bahagia melihat dua orang yang dia sayangi saling membahagiakan satu sama lain. Ya...walau status mereka masih belum jelas sih. Nina berharap, apapun hasil akhirnya nanti mereka tidak akan saling menyakiti.
Nina tak ingin terjebak dengan berbagai macam spekulasinya sendiri, ia memilih menyusul Nando yang mungkin sudah sok – sok’an jadi pangeran cinta didepan sahabatnya. Ah...baiklah itu terdengar sedikit menggelikan.
Lagi-lagi...feeling Nina salah, bukannya adegan super romantis yang ia lihat melainkan satu tamparan keras dari Medina yang mendarat tepat di pipi Nando hingga menyisakan jejak merah di sana.
Ia bisa melihat tatapan penuh amarah Medina pada Nando. Sebenarnya apa yang terjadi???? Apa ini ada hubungannya dengan tangisan Medina tadi malam?
Tapi kenapa Nando???
●●●
1
Kutip
Balas