- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#17
Spoiler for Luka kecil:
Suasana akhirnya tenang malam itu, teriakan tentang kematian seakan menghilang dari ruangan kamar milik Calista, udara pengap yang melingkupi menghilang di gantikan angin malam yang menenangkan, hanya sayup-sayup terdengar tangisan suka cita dari istri pak Hendrik, gadis manis itu masih tidak sadarkan diri akan tetapi raut mukanya menunjukan ketenangan.
Romo membantu Senja berdiri, ia sedikit melihat raut wajah Senja yang meringis menahan sakit di pundaknya.
"Ra, kamu ikut PMR kan waktu di Bandung? Tolong bantu nak Senja bersihkan lukanya, kakek akan keluar sebentar beli perban dan obat."
"Iya, kek siap!" jawab Naura sigap.
"Kamar mandi ada di sebelah sana, jika perlu sesuatu yang lain tinggal tanyakan ke saya," seru pak Hendrik yang sedang membelai anak semata wayangnya.
Naura berlalu bersama Senja menuju kamar mandi sambil membawa tas selempang miliknya, sedangkan romo beranjak keluar hendak membeli obat-obatan di apotik terdekat.
Di dalam kamar mandi Senja lekas membuka bajunya yang bersimbah darah, Naura yang hendak masuk berhenti sejenak kemudian tercekat melihat tubuh lelaki di depannya, ia terperanjak ketika melihat belakang tubuh Senja, punggung yang tegap dan kekar akan tetapi dihiasi bekas luka yang sangat banyak, luka bekas gunting tadi seakan hanya luka kecil dibandingkan luka-luka di punggungnya, perlahan senja membalikkan badannya, tubuh bagian depan Senja membuat Naura terperanga sambil menelan saliva, tubuh berotot, tegap nan bidang dihiasi roti sobek dibagian perutnya terlebih wajah Senja yang termasuk kategori manis akan tetapi maskulin dihiasi lesung pipi ketika ia berbicara membuat getaran yang aneh di sekujur tubuh Naura.
"Astagfirullah..! Ini manusia apa hasil photoshop, badannya bagus banget," gumam Naura dalam hati, kemudian ia membuang muka ke arah lain.
Senja hanya tersenyum kecil melihat tingkah Naura sambil mengambil tas selempang yang di pegang Naura.
"Kamu kenapa?" tanya Senja heran.
"Enggh tidak kenapa-kenapa kok," jawab Naura gugup.
"Oh, tolong bersihin dong," pinta Senja sambil menyodorkan kapas yang dia ambil dari tasnya.
Naura mengambil kapas tanpa melihat wajah Senja, Senja kemudian memunggungi Naura agar Naura bisa membersihkan luka di bahunya.
Mereka terdiam, hening suasana kala itu terbuai dengan fikiran mereka masing-masing.
"Hei," celetuk Senja memecah keheningan.
"Bersihin lukanya gak usah gemeteran, aku gak ngegigit kok," celetuk Senja.
"Engh, iya, maaf."
"Kamu kenal Surya dimana?" tanya Senja.
"Surya? Surya teman sekelas aku maksud kamu?"
"Iya, siapa lagi, tadi aku gak sengaja baca isi fikiran kamu, maaf ya ?"
"Oh iya enggak kenapa-kenapa kok, kamu saudara Surya ya? Wajahnya mirip banget, bedanya Surya agak minus kalo kamu enggak."
"Minus?" tanya Senja bingung.
"Kelakuannya, kamu kembar ya sama Surya?" tanya Naura selidik.
"Hehe bisa di bilang seperti itu, nanti juga kamu tau, jadi?"
"Jadi apa?"
"Kamu siapanya Surya? Pacar?"
"Iih bukan tahu, amit-amit pacaran ama anak kasar kayak gitu, dia temen sekelas saya, sebangku malah," jawab Naura enteng.
Setelah lukanya bersih Naura meneteskan beberapa tetes alkohol ke kapas kemudian membersihkan luka yang menganga agar tidak infeksi.
"Hei Naura, kamu bisa jahit?"
"Eng, bisa, buat apa memangnya?"
"Hihi, bikinin aku taplak meja bisa?"
"Huh..?" jawab Naura kebingungan.
"Hahahahaha. kamu lucu, ya enggak lah, jahitin luka aku, bisa?"
"Iih, Naura belum pernah jahit manusia..! kalau jahit baju sering tapi kalo jahit daging manusia belum pernah, nanti kalo salah gimana?" tanya Naura gugup.
"Tidak kenapa-kenapa, aku percaya sama kamu, alat jahitnya ada di dalam tas."
Naura salah tingkah mendengar kata-kata Senja, setelah membersihkan luka dengan gugup Naura mengambil alat jahit steril milik Senja di tas.
"Kamu bisa masukinnya enggak?" tanya Senja.
"Bisalah, Naura mah jago masukin yang beginian, udah biasa." jawab Naura sambil fokus memasukkan benang ke dalam lubang jarum.
"Jangan gemetar nanti enggak masuk-masuk."
"iih susah, lobangnya kekecilan tahu."
"Di basahin dulu ujungnya biar gampang masukinnya."
-BRAAK..!-
Suara pintu terbuka secara paksa.
Kedua insan manusia di kamar mandi terkejut dengan suara barusan, romo berdiri di depan bibir pintu sambil menatap nanar melihat Naura dan Senja.
"Romo?! Ada apa!?" tanya Naura.
"Apa Calista di ganggu lagi romo?!" tanya Senja.
"Ka-kalian sedang ngapain?!" tanya romo gugup dengan nada cemas.
"Ini Naura mau jahit luka mas Senja supaya tidak infeksi," jawab Naura enteng.
"Oh, ya sudah lanjutkan, ini pintu kakek biarkan terbuka ya, biar udara enggak pengap," kilah kakek sambil menaruh obat kemudian berlalu menuju kamar Calista kembali.
Naura keheranan dengan sikap kakeknya, kemudian melanjutkan aktifitasnya, dia fokus melihat ujung jarum, "bismillah" seru Naura sambil mulai menjahit luka di bahu Senja, perlahan tapi pasti ia mengikat luka yang menganga itu, Senja meringis kesakitan akan tetapi dia tahan agar menjaga nama baiknya sebagai lelaki di depan Naura.
"Sakit ya?!" tanya Naura khawatir.
"Tidak kenapa-kenapa kok, nama kamu Naura ya?"
"Emh iya."
"Nama yang bagus, kamu asli dari bandung?" tanya Senja kembali.
"Engh, iya, kenapa memangnya?"
"Tidak kenapa-kenapa, nanya aja biar sakitnya teralihkan," kilah Senja.
"Tahan ya, bentar lagi selesai kok."
"Udah punya pacar?"
Naura terdiam sejenak, wajahnya memanas, pipi putih nan halus miliknya kian memerah mendengar pertanyaan Senja.
"Be-belum."
"Mau jadi pacar aku enggak?"
(DEG..DEG..DEG.DEG.DEG x100)
"Kok diem? Kalo belum mau ya tidak apa-apa, masih banyak waktu kok."
Naura membersihkan hasil jahitannya di pundak Senja, kemudian mengikatkan perban di luka tersebut, sunyi terasa kala itu, wajah Naura kian memerah, sedangkan Senja hanya tersenyum melihat ekspresi Naura di balik cermin di depan mereka.
"Emh, ud-dah mas Senja, a-aku langsung balik ke romo ya?" tanya Naura gugup.
"Oh sudah, cepet ya kerja kamu, ada bakat kamu buat jadi dokter bedah."
Naura pun berjalan melewati pintu kamar mandi, akan tetapi langkahnya terhenti tatkala ia mendengar panggilan Senja.
"Makasih ya naura cantik, kamu juga kayak hasil photoshop kok," goda Senja pada Naura kala itu.
Naura menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia berlari kecil menuju ke ruang tamu.
Senja hanya tersenyum melihat wajah Naura yang memerah seperti kepiting rebus.
Senja beranjak bangun kemudian memakai bajunya, merapikan peralatannya dan siap-siap beranjak pergi dari rumah ini.
Dia berjalan menyusuri lorong rumah, gedung rumah susun ini terbilang gedung tua, tidak heran ada entitas astral yang tidak suka manusia di sini, apa lagi di lihat dari kondisi rumah yang lembab dan pengap menjadikan tempat yang pas bagi entitas astral itu untuk menetap.
Dia sampai di ruang tamu, semua orang telah berkumpul, kecuali Naura yang tak terlihat batang hidung mancungnya.
"Romo saya izin pamit, pengganggu ini akan saya lepaskan di tempat yang aman dan nyaman bagi dia." jawab Senja sambil memperlihatkan botol yang di gunakan untuk menyegel entitas astral tadi.
"Apa dia tidak akan mengganggu lagi nak Senja?, tidakkah lebih baik arwah tersebut di musnahkan saja?" tanya pak Hendrik dengan antusias.
"Itu bukan wewenang saya pak, saya hanya membantu melerai persinggungan antara dua dunia, untuk mencabut nyawa suatu mahkluk sudah ada malaikatnya sendiri, saya tidak berani mengambil alih tugasnya, kecuali jika dia mengganggu keluarga bapak lagi, saya tidak segan-segan membinasakannya dan lagi pula ini bukan arwah ini hanya jin yang usil tidak lebih," jawab Senja sambil memandang tajam ke arah botol.
"Terima kasih banyak ya nak Senja, saya sangat bersyukur ada nak Senja disini, maafkan ibu tadi yang gegabah sampai nak Senja terluka seperti ini," kata bu Hendrik penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa bu, jika saya di posisi ibu saya akan melakukan hal yang sama, baik saya izin permisi dulu."
Senja menyalami semua bapak dan ibu Hendrik kemudian ia menyalami romo.
"Kamu pulang naik apa? Bareng saja sama romo, nanti romo antarkan sampai rumahmu nak."
"Terima kasih romo, saya masih ada pekerjaan di tempat lain, mungkin lain waktu, Assalamualaikum," jawabnya dengan sopan.
Senja pun berlalu meninggalkan ruangan tersebut, menuruni tangga kemudian meninggalkan lobi rusun menuju lahan parkir, pandangannya berpendar mencari seseorang.
"Kemana gadis itu?" gumamnya pelan.
Tak menemukan apa yang dia cari dia melanjutkan langkahnya, menyusuri gelapnya malam jakarta di temani cahaya rembulan.
Di balkon atas seseorang gadis berjilab putih tengah melihat punggung Senja yang berlalu meninggalkan lahan parkir, bibir bawahnya digigit dengan lembut, ia masih memainkan jari tangannya sedari tadi sambil melihat kerlap kerlip sang bintang di langit yang menemani tiap langkah Senja pergi meninggalkannya, hatinya kalut, malu, bingung dan prasangka menjadi satu, membuat detak jantungnya kian memacu.
"Dan panah pun terlepas menuju peraduannya, hati ini tertusuk meninggalkan luka kecil, luka yang nanti mereka sebut cinta."
Romo membantu Senja berdiri, ia sedikit melihat raut wajah Senja yang meringis menahan sakit di pundaknya.
"Ra, kamu ikut PMR kan waktu di Bandung? Tolong bantu nak Senja bersihkan lukanya, kakek akan keluar sebentar beli perban dan obat."
"Iya, kek siap!" jawab Naura sigap.
"Kamar mandi ada di sebelah sana, jika perlu sesuatu yang lain tinggal tanyakan ke saya," seru pak Hendrik yang sedang membelai anak semata wayangnya.
Naura berlalu bersama Senja menuju kamar mandi sambil membawa tas selempang miliknya, sedangkan romo beranjak keluar hendak membeli obat-obatan di apotik terdekat.
Di dalam kamar mandi Senja lekas membuka bajunya yang bersimbah darah, Naura yang hendak masuk berhenti sejenak kemudian tercekat melihat tubuh lelaki di depannya, ia terperanjak ketika melihat belakang tubuh Senja, punggung yang tegap dan kekar akan tetapi dihiasi bekas luka yang sangat banyak, luka bekas gunting tadi seakan hanya luka kecil dibandingkan luka-luka di punggungnya, perlahan senja membalikkan badannya, tubuh bagian depan Senja membuat Naura terperanga sambil menelan saliva, tubuh berotot, tegap nan bidang dihiasi roti sobek dibagian perutnya terlebih wajah Senja yang termasuk kategori manis akan tetapi maskulin dihiasi lesung pipi ketika ia berbicara membuat getaran yang aneh di sekujur tubuh Naura.
"Astagfirullah..! Ini manusia apa hasil photoshop, badannya bagus banget," gumam Naura dalam hati, kemudian ia membuang muka ke arah lain.
Senja hanya tersenyum kecil melihat tingkah Naura sambil mengambil tas selempang yang di pegang Naura.
"Kamu kenapa?" tanya Senja heran.
"Enggh tidak kenapa-kenapa kok," jawab Naura gugup.
"Oh, tolong bersihin dong," pinta Senja sambil menyodorkan kapas yang dia ambil dari tasnya.
Naura mengambil kapas tanpa melihat wajah Senja, Senja kemudian memunggungi Naura agar Naura bisa membersihkan luka di bahunya.
Mereka terdiam, hening suasana kala itu terbuai dengan fikiran mereka masing-masing.
"Hei," celetuk Senja memecah keheningan.
"Bersihin lukanya gak usah gemeteran, aku gak ngegigit kok," celetuk Senja.
"Engh, iya, maaf."
"Kamu kenal Surya dimana?" tanya Senja.
"Surya? Surya teman sekelas aku maksud kamu?"
"Iya, siapa lagi, tadi aku gak sengaja baca isi fikiran kamu, maaf ya ?"
"Oh iya enggak kenapa-kenapa kok, kamu saudara Surya ya? Wajahnya mirip banget, bedanya Surya agak minus kalo kamu enggak."
"Minus?" tanya Senja bingung.
"Kelakuannya, kamu kembar ya sama Surya?" tanya Naura selidik.
"Hehe bisa di bilang seperti itu, nanti juga kamu tau, jadi?"
"Jadi apa?"
"Kamu siapanya Surya? Pacar?"
"Iih bukan tahu, amit-amit pacaran ama anak kasar kayak gitu, dia temen sekelas saya, sebangku malah," jawab Naura enteng.
Setelah lukanya bersih Naura meneteskan beberapa tetes alkohol ke kapas kemudian membersihkan luka yang menganga agar tidak infeksi.
"Hei Naura, kamu bisa jahit?"
"Eng, bisa, buat apa memangnya?"
"Hihi, bikinin aku taplak meja bisa?"
"Huh..?" jawab Naura kebingungan.
"Hahahahaha. kamu lucu, ya enggak lah, jahitin luka aku, bisa?"
"Iih, Naura belum pernah jahit manusia..! kalau jahit baju sering tapi kalo jahit daging manusia belum pernah, nanti kalo salah gimana?" tanya Naura gugup.
"Tidak kenapa-kenapa, aku percaya sama kamu, alat jahitnya ada di dalam tas."
Naura salah tingkah mendengar kata-kata Senja, setelah membersihkan luka dengan gugup Naura mengambil alat jahit steril milik Senja di tas.
"Kamu bisa masukinnya enggak?" tanya Senja.
"Bisalah, Naura mah jago masukin yang beginian, udah biasa." jawab Naura sambil fokus memasukkan benang ke dalam lubang jarum.
"Jangan gemetar nanti enggak masuk-masuk."
"iih susah, lobangnya kekecilan tahu."
"Di basahin dulu ujungnya biar gampang masukinnya."
-BRAAK..!-
Suara pintu terbuka secara paksa.
Kedua insan manusia di kamar mandi terkejut dengan suara barusan, romo berdiri di depan bibir pintu sambil menatap nanar melihat Naura dan Senja.
"Romo?! Ada apa!?" tanya Naura.
"Apa Calista di ganggu lagi romo?!" tanya Senja.
"Ka-kalian sedang ngapain?!" tanya romo gugup dengan nada cemas.
"Ini Naura mau jahit luka mas Senja supaya tidak infeksi," jawab Naura enteng.
"Oh, ya sudah lanjutkan, ini pintu kakek biarkan terbuka ya, biar udara enggak pengap," kilah kakek sambil menaruh obat kemudian berlalu menuju kamar Calista kembali.
Naura keheranan dengan sikap kakeknya, kemudian melanjutkan aktifitasnya, dia fokus melihat ujung jarum, "bismillah" seru Naura sambil mulai menjahit luka di bahu Senja, perlahan tapi pasti ia mengikat luka yang menganga itu, Senja meringis kesakitan akan tetapi dia tahan agar menjaga nama baiknya sebagai lelaki di depan Naura.
"Sakit ya?!" tanya Naura khawatir.
"Tidak kenapa-kenapa kok, nama kamu Naura ya?"
"Emh iya."
"Nama yang bagus, kamu asli dari bandung?" tanya Senja kembali.
"Engh, iya, kenapa memangnya?"
"Tidak kenapa-kenapa, nanya aja biar sakitnya teralihkan," kilah Senja.
"Tahan ya, bentar lagi selesai kok."
"Udah punya pacar?"
Naura terdiam sejenak, wajahnya memanas, pipi putih nan halus miliknya kian memerah mendengar pertanyaan Senja.
"Be-belum."
"Mau jadi pacar aku enggak?"
(DEG..DEG..DEG.DEG.DEG x100)
"Kok diem? Kalo belum mau ya tidak apa-apa, masih banyak waktu kok."
Naura membersihkan hasil jahitannya di pundak Senja, kemudian mengikatkan perban di luka tersebut, sunyi terasa kala itu, wajah Naura kian memerah, sedangkan Senja hanya tersenyum melihat ekspresi Naura di balik cermin di depan mereka.
"Emh, ud-dah mas Senja, a-aku langsung balik ke romo ya?" tanya Naura gugup.
"Oh sudah, cepet ya kerja kamu, ada bakat kamu buat jadi dokter bedah."
Naura pun berjalan melewati pintu kamar mandi, akan tetapi langkahnya terhenti tatkala ia mendengar panggilan Senja.
"Makasih ya naura cantik, kamu juga kayak hasil photoshop kok," goda Senja pada Naura kala itu.
Naura menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia berlari kecil menuju ke ruang tamu.
Senja hanya tersenyum melihat wajah Naura yang memerah seperti kepiting rebus.
Senja beranjak bangun kemudian memakai bajunya, merapikan peralatannya dan siap-siap beranjak pergi dari rumah ini.
Dia berjalan menyusuri lorong rumah, gedung rumah susun ini terbilang gedung tua, tidak heran ada entitas astral yang tidak suka manusia di sini, apa lagi di lihat dari kondisi rumah yang lembab dan pengap menjadikan tempat yang pas bagi entitas astral itu untuk menetap.
Dia sampai di ruang tamu, semua orang telah berkumpul, kecuali Naura yang tak terlihat batang hidung mancungnya.
"Romo saya izin pamit, pengganggu ini akan saya lepaskan di tempat yang aman dan nyaman bagi dia." jawab Senja sambil memperlihatkan botol yang di gunakan untuk menyegel entitas astral tadi.
"Apa dia tidak akan mengganggu lagi nak Senja?, tidakkah lebih baik arwah tersebut di musnahkan saja?" tanya pak Hendrik dengan antusias.
"Itu bukan wewenang saya pak, saya hanya membantu melerai persinggungan antara dua dunia, untuk mencabut nyawa suatu mahkluk sudah ada malaikatnya sendiri, saya tidak berani mengambil alih tugasnya, kecuali jika dia mengganggu keluarga bapak lagi, saya tidak segan-segan membinasakannya dan lagi pula ini bukan arwah ini hanya jin yang usil tidak lebih," jawab Senja sambil memandang tajam ke arah botol.
"Terima kasih banyak ya nak Senja, saya sangat bersyukur ada nak Senja disini, maafkan ibu tadi yang gegabah sampai nak Senja terluka seperti ini," kata bu Hendrik penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa bu, jika saya di posisi ibu saya akan melakukan hal yang sama, baik saya izin permisi dulu."
Senja menyalami semua bapak dan ibu Hendrik kemudian ia menyalami romo.
"Kamu pulang naik apa? Bareng saja sama romo, nanti romo antarkan sampai rumahmu nak."
"Terima kasih romo, saya masih ada pekerjaan di tempat lain, mungkin lain waktu, Assalamualaikum," jawabnya dengan sopan.
Senja pun berlalu meninggalkan ruangan tersebut, menuruni tangga kemudian meninggalkan lobi rusun menuju lahan parkir, pandangannya berpendar mencari seseorang.
"Kemana gadis itu?" gumamnya pelan.
Tak menemukan apa yang dia cari dia melanjutkan langkahnya, menyusuri gelapnya malam jakarta di temani cahaya rembulan.
Di balkon atas seseorang gadis berjilab putih tengah melihat punggung Senja yang berlalu meninggalkan lahan parkir, bibir bawahnya digigit dengan lembut, ia masih memainkan jari tangannya sedari tadi sambil melihat kerlap kerlip sang bintang di langit yang menemani tiap langkah Senja pergi meninggalkannya, hatinya kalut, malu, bingung dan prasangka menjadi satu, membuat detak jantungnya kian memacu.
"Dan panah pun terlepas menuju peraduannya, hati ini tertusuk meninggalkan luka kecil, luka yang nanti mereka sebut cinta."



namakuve dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Kutip
Balas