- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#740
Quote:
PART 50
Mobil Nando telah terparkir di depan rusun, tapi Medina tidak langsung turun. Ia merasa ada beberapa hal yang harus ia bicarakan pada Nando. Sesuatu yang mungkin tidak begitu penting tapi wajib ia beritahu. Ia tak ingin di rundung perasaan bersalah sekaligus menyesal untuk kedua kalinya.
“ Kabur dari rumah lagi? Kenapa?” tanya Nando yang membuka pembicaraan lebih dulu.
“ Bosen dengarin mereka berantem setiap hari.”
“ Bukannya...itu sama aja lo lari dari masalah?”
“ Lebih tepatnya menghindar. Gue nggak mau kehadiran gue di sana justru menambah buruk situasi. Tahu sendirikan , gue kalau lagi marah kayak apa?”
“ Dengan nggak adanya lo, masalah mereka juga belum tentu selesaikan? Malah lo makin memperlebarnya kemana-mana.”
Medina diam, ia merasa semua kalimat pembelaannya di patahkan begitu saja oleh Nando. Tumben nih anak, bijak mikirnya.
“ Mereka pasti khawatir dan nyari’in lo, Na.”
“ Lantas gimana dengan lo? Yang kabur dari bandara dan situasi seketika heboh karena berita kecelakaan itu. Apa itu juga nggak memperlebar masalah?”
Medina berhasil memutar keadaan. Kini Nando yang di buatnya bungkam. Tapi tak lama, pria itu justru tersenyum.
“ Lo emang pintar nyari kesalahan gue,” ucap Nando yang juga memancing senyum Medina.
“ Gue nyaris kehilangan semuanya saat lo dan kak Adam pergi ninggalin gue dalam waktu yang nyaris bersamaan? Dan satu – satunya hal yang gue sesali, gue kehilangan kesempatan buat minta maaf.”
Wajah Medina seketika berubah sendu tatapannya lurus kedepan melihat rusun yang terlihat menjulang ke langit. Nando turut melakukan hal yang sama, bahkan senyumnya turut pudar bersamaan dengan ucapan Medina.
“ Maafin gue,” sambung Medina dengan suara pelan.
Ini adalah kali pertama, ia bisa mengucapkan kata maaf dengan begitu lancarnya. Satu hal yang ia rasakan saat ini, ‘lega’. Ia sadar, ternyata ini alasan Adam kenapa terus – terusan mengajarinya untuk tidak melupakan permintaan maaf.
“ Lo benar, gue mungkin bisa bohongin lo dan semua orang, tapi gue nggak bisa ngebohongin hati gue sendiri.” Lanjut Medina lagi dengan senyum tipis.
Nando kembali tersenyum mendengar penuturan Medina. Bukannya terlalu percaya diri, tapi tanpa pengakuan dari Medina pun, ia sudah tahu kalau perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan lagi. Kebahagiaan itu seketika hilang saat pikirannya kembali tertuju pada Adam. Menghalau kesedihan Medina karena menghilangnya Adam jelas lebih penting daripada merayakan kegembiraannya saat ini.
“ Na, soal Kak Adam, gue yakin dia pasti baik – baik aja dimanapun dia sekarang,” hibur Nando.
Medina tersenyum hambar,” Gue harap. Tapi akan jauh lebih baik kalau dia tetap ada di sini.”
“ Suatu hari nanti, dia pasti balik buat nemuin adiknya. Satu – satunya hal yang perlu lo lakuin sekarang, adalah fokus sama cita – cita lo. Bukannya kebahagiaan kak Adam ada pada kebahagiaan lo?” nasehat Nando dengan senyum riang. Ia tak ingin melihat wajah murung Medina lagi.
Medina terdiam sejenak, merasa sedikit heran karena ucapan Nando persis sama dengan ucapan Adam malam itu.
“ Lo yakin, beneran nggak tahu di mana Kak Adam sekarang?” tanya Medina dengan tatapan penuh selidik.
“ Kalau gue tahu, gue pasti ngasih tahu lo.” Jawab Nando sekedarnya. “ Udah mau maghrib, masuk gih. Kak Adam pasti marah kalau jam segini lo masih keluyuran dan nggak shalat.”
“ Ok...sekali lagi terima kasih ya.”
“ Terima kasih buat apa?”
“ Buat kembali ke sini lagi,” ucap Medina dengan senyum kecil dan kemudian bergegas turun dari mobil.
“ Terima kasih juga,” seru Nando saat Medina belum begitu jauh dari posisinya.
“ Terima kasih buat apa?”
“ Buat kejujuran lo hari ini.”
Keduanya saling melempar senyum dan kemudian kembali sibuk pada pikiran masing – masing. Medina yang tampak menaruh curiga pada Nando yang terlihat menyembunyikan sesuatu. Sedang Nando yang menyesal karena telah membohongi gadis itu.
“ Ini adalah ide paling gila yang pernah muncul dari otak lo kak!!”
Tatapan Nando terus mengikuti Medina yang perlahan mulai memasuki rusun hingga hilang sama sekali. Ia merasa telah melakukan kesalahan besar pada Medina.
“ Maafin gue.”
***
Nando baru saja tiba di rumah saat jam makan malam, setelah mengantar Medina pulang ada beberapa hal yang ia urus di luar. Salah satunya mencari ibunya. Walau ia tidak punya petunjuk apapun, ia yakin suatu saat nanti Allah akan mengizinkan mereka bertemu.
Ia bisa saja kembali bertanya pada ayahnya tentang sang ibu, tapi ia tak ingin memicu pertengkaran lagi.
“ Assalammualaikum,” salam Nando setelah menemukan ayahnya tengah menikmati sajian makan malam yang berjejer di atas meja.
“ Waalaikumsalam,” jawab Ayah dengan senyum kecil. “ Kamu udah makan?”
“ Belum pa, Nando masih kenyang,” jawab Nando dan memilih duduk di kursi yang berada dekat dengan ayahnya.
“ Belum makan tapi udah kenyang. Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu,” sang Ayah mulai berspekulasi. “ Cerita sama Papa, ada apa?”
sambungnya lagi dengan wajah serius.
Nando menghela nafas panjang, jika di tanya seperti itu apa perlu ia menceritakan keinginannya untuk bertemu sang ibu. Ia tak Cuma rindu tapi juga sangat mengkhawatirkan keadaan ibunya.
“ Nando pengen ketemu Mama, Pa.”
Sang ayah terdiam, satu keinginan yang tak akan mau ia penuhi. Ia lebih memilih mmelanjutkan makannya, seakan Nando tak pernah mengucapkan apapun.
“ Pa, please...izinin Nando buat ketemu Mama,” pinta Nando lagi dengan wajah kian memelas.
" Belasan tahun, papa bohongin Nando soal mama. Apa salahnya, kali ini biarin Nando ketemu mama?"
" Jadi kamu benar-benar percaya dengan perkataan laki-laki itu?"
" Satu - satunya hal yang membuat Nando percaya bahwa mama masih hidup karena papa nggak pernah sekalipun nunjukin di mana mama di makamkan."
" Sekalipun mama kamu masih hidup, papa tidak akan membiarkan kamu bertemu dengannya. Kamu boleh minta apapun, tapi tidak untuk yang satu itu,” tegas ayah sambil menyeka mulutnya dengan sapu tangan yang tadi tergeletak di atas meja.
“ Nando mohon, Pa.” Mohon Nando lagi, ia tak menyerah sama sekali .
“ Percayalah Nando, papa bertindak begini untuk kebaikan kamu,” keukeuh Ayah dan kemudian berlalu pergi meninggalkan meja makan.
Meninggalkan Nando yang hanya diam menahan perasaan kesalnya, ia juga kecewa kenapa ayahnya masih enggan meemberitahu keberadaan ibunya.
Drttt...drttt...
Getar ponsel di atas meja memecah lamunan Nando, satu panggilan masuk dari Nina tertera di layar datarnya.
“ Hallo,” Nando menjawab telepon dari Nina datar.
“ NANDO!!!”
Suara melengking Nina di ujung telepon membuat Nando reflek menjauhkan ponsel dari kupingnya sesaat. Ia tak ingin pendengarannya rusak karena teriakan Nina.
“ Lo kok nggak bilang sih, mau ketemu Medina? Terus gimaana responnya waktu liat lo masih hidup? Seneng, atau sebaliknya? Terus dia marah nggak sama lo?”
Nando menghela nafas panjang, ia bingung pertanyaan yang mana dulu yang harus ia jawab. Ia juga tidak di beri kesempatan bicara oleh Nina.
Ini anak abis makan mercon kayaknya.
“ Oh iya, gimana soal kak Adam? Udah ada kabar?”
Nando tak menjawab, karena memang ia tak ingin memberikan jawaban lagi untuk pertanyaan semacam itu. Terlalu sering berbohong dan berpura – puraa tidak tahu apapun tentang Adam bukanlah hal ingin ia lakukan terus – terusan. Tapi, jujur sekarang juga bukan waktu yang tepat bagi Nando.
Dan hanya diam mungkin lebih baik untuk saat ini.
●●●
Diubah oleh riani14 21-10-2018 13:50
1
Kutip
Balas