- Beranda
- Stories from the Heart
#AyoKeStadion: Sebuah Catatan Tribun Ala Kadarnya dari Seorang Pencinta Sepak Bola
...
TS
jonmalibo
#AyoKeStadion: Sebuah Catatan Tribun Ala Kadarnya dari Seorang Pencinta Sepak Bola
Sebuah catatan tribun ala kadarnya dari seorang pencinta sepak bola..
#AyoKeStadion
*****
Quote:
PROLOG
Terlahir sebagai seorang laki-laki di keluarga yang cukup menggemari olahraga, sangat wajar rasanya jika saya menyukai sepak bola. Ayah saya cukup menyukai olahraga tersebut, meski lebih memilih untuk bermain bulu tangkis ketika masih muda. Dua orang kakak laki-laki saya sempat menghabiskan masa-masa sekolahnya untuk berlatih di sebuah Sekolah Sepak Bola di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.
Saya sendiri sempat ingin didaftarkan untuk ikut berlatih di SSB yang sama dengan kedua kakak saya. Tapi, saya menolaknya ketika itu (dan sedikit menyisakan penyesalan saat ini), karena alasan yang sangat remeh. Ketika itu saya masih terlalu manja, dan cukup takut untuk mengenal orang serta lingkungan baru.
Soal sepak bola, coba tanyakan anak laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pesepak bola? Saya rasa sebagian besar mereka akan menulis “Pemain Sepak Bola” pada bagian cita-cita di biodata atau buku tahunan sekolah mereka. Begitu juga dengan saya.
Akan tetapi rasa takut seperti yang saya sebutkan sebelumnya membuat saya yakin, cita-cita menjadi pemain sepak bola hanya akan berakhir di buku tahunan. Meski begitu saya tetap bermain sepak bola meskipun hanya bersama teman-teman, baik di sekolah dan di lingkungan rumah.
Lahir di awal 90-an dan baru benar-benar mengerti sepak bola di usia belasan tahun, saya menjadikan Manchester United sebagai tim favorit. Apalagi kalau bukan faktor seorang David Beckham. Masih sangat jelas di ingatan saya, momen dimana pada akhirnya saya mengatakan “Jagoan gue MU!”
27 Mei 1999 dini hari WIB. Saya dipaksa bangun oleh kakak saya -yang juga penggemar Man United- untuk menyaksikan salah satu pertandingan paling dramatis dalam sejarah sepak bola. Final Liga Champions 1999 antara Bayern Munchen vs Man United. Dua gol di injury time babak kedua membawa The Red Devils memastikan Treble Winners di musim tersebut.
Sejak saat itulah saya semakin menikmati olahraga yang katanya paling populer sejagat raya ini. Dari menonton pertandingan sepak bola di layar kaca, hingga bersorak sorai bernyanyi di tribun stadion saat mulai beranjak dewasa. Bahkan rela pergi ke luar negeri untuk mengawal Tim Nasional Indonesia berlaga.
Melalui kumpulan tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman yang saya alami sendiri ketika menonton langsung sepak bola di stadion. Semoga kumpulan tulisan ini bisa terus bertambah di kemudian hari.
anasabila memberi reputasi
3
5.8K
Kutip
41
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•41.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jonmalibo
#2
Quote:
Part 1: DEBUT
Usia saya baru lima tahun ketika pertama kali datang langsung ke stadion untuk menyaksikan pertandingan sepak bola. Tentu saja tak mungkin seorang diri. Ketika itu bukan hanya bersama ayah dan kedua kakak laki-laki saya, tapi ibu serta kakak perempuan saya juga ikut ke stadion.
Final SEA Games 1997 menjadi momen pertama saya menyaksikan langsung lapangan hijau dari tribun penonton. Indonesia vs Thailand digelar di Stadion Utama Senayan, yang kini namanya berubah menjadi Gelora Bung Karno.
Apa yang saya ingat dari pertandingan tersebut? Jawabannya tidak ada. Sama sekali saya tidak melihat bagaimana Tim Merah Putih bermain dengan seragam yang sangat unik itu. Saya juga tidak melihat bagaimana gol yang dicetak oleh Kurniawan Dwi Yulianto. Hanya satu yang saya ingat ketika itu: menangis!
Menyaksikan langsung pertandingan sepak bola di stadion pada saat itu kondisinya bisa saya katakan sangat jauh berbeda dengan saat ini. Dulu, semua barang mungkin bisa dibawa masuk ke stadion dengan begitu mudahnya. Mulai dari petasan, kembang api, dan berbagai macam barang lainnya.
Seingat saya, ketika itu suara ledakan petasan seolah tak pernah berhenti. Satu ledakan disambut ledakan lainnya. Karena itu lah saya tidak berani melihat lapangan dari kursi penonton. Tangan saya sama sekali tidak pernah lepas dari telinga. Dan satu-satunya yang saya lakukan adalah menangis.
Bahkan ‘debut’ saya datang ke stadion untuk langsung menyaksikan pertandingan sepak bola tidak sampai pertandingan selesai. Kerusuhan yang terjadi di tribun stadion saat jeda pertandingan (thanks to internet for the information) membuat saya memaksa keluarga saya untuk pulang, meski pertandingan belum selesai.
Ibarat seorang pesepak bola, debut saya menjadi penonton sepak bola langsung di stadion tidaklah berjalan baik. Datang, menangis, dan pulang. Tapi berkat debut tersebut, menyaksikan pertandingan sepak bola langsung di stadion menjadi salah satu hal yang sangat menyenangkan untuk saya lakukan.
0
Kutip
Balas