Kaskus

Story

sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:
emoticon-Ultah

Cover:


From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)

NB: Sorry Bad Editing


Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter


Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita

Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.

Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.

Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.

Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.

Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.

Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.

Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.

Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.

Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.

Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.

Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.

***

Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.

“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.

“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.

“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.

Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.

Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.

Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.

Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.

“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.

“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.

“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.

“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.

“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”

Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.

“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.

Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.

“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.

Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.

Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.

***

Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.

Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,

“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.

“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.

Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.

“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.

Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.

Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.

“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.

“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.

“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.

“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.

“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.

Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.

Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.

Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.

Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.

“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.

“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.

‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.

Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.

Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
santinorefre720Avatar border
blackjavapre354Avatar border
rizetamayosh295Avatar border
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
sandriaflowAvatar border
TS
sandriaflow
#56
Bab 12: Tekad yang Mengambang part 1


Malam-malam yang menakutkan itu pun berlalu. Fajar mulai menyingsing, suara toa masjid terdengar sayup-sayup ditelingaku. Lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an dari kaset rekaman terdengar begitu merdu. Waktu hampir memasuki waktu Subuh. Aku membuka mataku pelan-pelan, bangun dari tidurku dan duduk bersandar didinding.

Tanganku meraih sebotol air mineral dari dalam tasku. Rasa kantuk masih terasa. Aku sedikit khawatir, kuperiksa segera barang-barang yang ada didalam tasku. Kuperiksa dengan teliti, aku bersyukur tak ada satupun yang hilang. Semua lengkap utuh.

Lampu masjid dibagian dalam menyala bergantian, menerangi ruangan yang sedari tadi gelap. Suara muadzin perlahan terdengar merdu menggema dilangit fajar kota Surabaya. Adzan Subuh itu menyadarkanku yang sesekali masih setengah memejamkan mata karena tak kuasa menahan kantuk. Ipung yang masih menikmati tidurnya, berselimut sarung merah kotak-kotak. Kutepuk-tepuk pinggulnya sedikit keras, tapi dia masih saja terlelap.

Kubiarkan saja dia seperti itu, aku bergegas mengambil air wudhu. Memenuhi seruan Tuhan. Kakiku melangkah menuju sisi belakang masjid. Ruangan kecil. Disana terdapat beberepa keran yang berjejer rapi untuk berwudhu. Kuhidupkan keran itu perlahan, kemudian kubasuh telapak tanganku menyebut asma Tuhan. Berurutan.

Rasa kantukku perlahan menghilang, aku kembali menuju tempatku semula untuk membangunkan Ipung. Tanpa perlu aku melakukan itu, dia sudah terbangun dengan sendirinya. Wajahnya seprerti orang linglung, kusut
masam, mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang masih melayang kemanamana.
“Ambil air wudhu dulu bro biar nggak ngantuk.” Aku menyeru, dia mengangguk dan segera berdiri.
Tanganku dengan cekatan merapikan tempat yang tadi kami pakai untuk tidur. Kutaruh dengan rapi tikar yang tadi malam dipinjamkan oleh masmas berbaju koko.

Suasana masjid perlahan mulai ramai. Para jamaah mulai berdatangan. Dengan kopiah warna hitam serta sarung-sarung berwarnawarni. Bunyi gesekan sandal para jamaah dijalanan beraspal terdengar lirih. Mereka memasuki masjid, duduk rapi bersila, beri’tikaf diantara adzan dan iqomah, berdzikir menyebut asma Tuhan. Aku bergabung dengan jamaah tersebut. Menunggu iqomah dikumandangkan.

Beberapa menit berlalu, muadzin yang tadi duduk dibarisan paling depan berdiri. Suaranya begitu lantang menyerukan iqomah, tanda akan dimulainya sholat Subuh. Semua jamaah berdiri, menata shaf dengan rapi, aku mengikuti. Dari belakang Ipung datang merapat kedalam barisan. Imam perlahan mengangkat kedua tangannya dekat dengan telinga, mengumandangkan takbir, memimpin sholat.

Kira-kira sekitar lima menit berlalu, ritual rutin tersebut dilakukan dengan khidmat dan khusyuk. Ada beberapa jamaah yang langsung meninggalkan barisan, ada juga yang masih duduk khidmat berdzikir mengikuti imam. Aku tetap duduk ditempatku, menunggu imam selesai membaca doa.

Doa telah selesai dibacakan, perlahan para jamaah membubarkan diri secara teratur.
Aku melirik Ipung, dia masih tetap duduk takzim ditempatnya. Dia menatapku, paham dengan arti tatapanku untuk segara menuju tempat barangbarang kami berada. Lantas kami pun berdiri, beranjak pergi.

Namun, langkah kaki kami terhenti. Tepat disebelah kami ada bapak pengurus masjid yang tadi malam yang begitu baik telah memperbolehkan kami menginap semalam.
“Permisi pak, kami berdua mengucapkan terimakasih banyak kepada anda telah dibolehkan menginap tadi malam.” Ipung membuka pembicaraan dengan sopan, wajahnya tersenyum lebar. Aku pun demikian.
“Iya tidak masalah, semua aman-aman saja kan?” Bapak itu bertanya.
“Alhamdulillah pak, tidak terjadi apa-apa.” Aku menjawab pertanyaan tadi.
“Ngomong-ngomong kalian berdua ini yang akan mengikuti tes ? jam berapa?” Bapak itu kembali melanjutkan pembicaraan dengan ramah.
“Oh bukan pak, teman saya yang satu ini saja. Saya hanya menemani.” Ipung menjawab pertanyaan bapak tadi, senyumnya menyeringai, matanya melirik ke arahku.
“Baiklah kalau begitu, disebelah barat masjid ini kan ada kamar mandi. Supaya segar dan lebih fokus ujian, adik mandi dulu saja. Tentunya sudah keringetan dari kemarin-kemarin.” Tangan bapak itu menepuk bahuku. Aku mengangguk, sekali lagi mengucapkan terimakasih yang banyak kepada bapak tersebut.

***

Langit-langit hitam samar dipenghujung malam mulai memudar, tergantikan oleh cahaya matahari yang mulai memenuhi langit-langit. Matahari belum sempurna muncul di ufuk timur. Embun bergelayut diujungujung dedaunan, udara segar masih memenuhi suasana pagi itu. Jalanan mulai ramai, masyarakat mulai beraktifitas. Ibu-ibu berjalan membawa tas jinjing berisi sayur-sayuran. Para tukang becak mulai bergerak menarik becaknya, menyusuri jalanan kecil tersebut.

Aku mengambil baju ganti yang ada didalam tasku, bercampur aduk dengan barang-barang yang lain. Beringsut menuju kamar mandi yang
ditujukan oleh bapak tadi. Tak lebih dari sepuluh menit aku berada di kamar mandi tersebut.

Dengan penampilan baru, aku berjalan dengan menggenggam baju merah kotak-kotak yang kupakai seharian kemarin. Tergantikan oleh baju biru gelap dengan garis putih-putih tegak lurus disepanjang kancing baju, aku menuju tempat Ipung berada.
“Lo nggak mandi sekalian?” Aku menggugah dia yang tengah meneruskan tidurnya sejenak.
“Ah nggak, gue tadi cuma gosok gigi aja.” Dengan santai tanpa dosa ia menjawab pertanyaanku. Aku tak terlalu mempermasalahkan hal itu.
Baju merah kotak-kotak tadi kumasukkan ke dalam tasku. Sebuah deodorant dan parfum kugunakan, minimal untuk mengurangi bau badan. Aku menata rambutku yang berantakan dengan sebuah sisir hitam kecil dari dalam tasku. Dalam hitungan menit, penampilan lebih rapi dan tampan tentunya dari beberapa saat yang lalu.
“Wih, keren lo.” Ipung menyeringai, mencoba mengejekku. Meski kata-katanya seolah memujiku, wajahnya menunjukkan arti yang berbeda.
“Ah biasa aja.” Aku menjawabnya sedikit menggertak kasar, kulanjutkan dengan tawa singkat.
Sejenak, aku melihat jam hitam dipergelangan tanganku. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ujianku nanti dimulai tepat pukul sepuluh pagi. Dihitung dari detik ini masih tersisa sekitar tiga setengah jam lagi.
“Nih bro, buat cemilan.” Sepotong roti kutawarkan kepada Ipung.
Tangan kekar kecoklatan itu mengambil secuil lalu ia makan dengan pelan. Sesekali kami membicarakan hal yang kurang penting, contohnya gadis yang kemarin. Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya yang kusut tersebut.

Disela-sela perbincangan kami. Seorang ibu setengah baya melintas didepan kami. Ia mengayuh sepeda warna pink. Tanpa kuduga ibu itu berhenti hampir tepat didepan kami. Raut mukanya terlihat seperti kebingungan, ada keresahan terlihat diwajahnya.
“Eh dek, kotak amal masjid itu disebelah mana ya?” Ibu itu menanyakan hal yang sungguh mengagetkan kami berdua. Ada apa gerangan.
“Kami tidak tahu bu.” Kami berdua tidak membohongi ibu itu, karena memang kami tidak tahu letaknya. Walaupun kami tahu, kami juga tidak akan memberitahu ibu itu secara gamblang.

Ekspresi kebingungan itu tampak lebih jelas terlihat. Dengan sigap, ibu itu langsung mengayuh sepedanya kembali, tak tahu kemanakah tujuan ibu tersebut. Aku dan Ipung setengah curiga. Ada yang tidak beres dengan ibu itu.
“Eh gimana kalau kita cari makan terlebih dahulu Pung.” Aku membuka pembicaraan, setelah beberapa saat hening setelah kejadian tersebut.
“Terserah lo aja gy, kan lo yang traktir.” Jawaban yang sama seperti tadi malam, sewaktu kami mampir ke gerobak kecil penjual nasi goreng.
Perlahan kami mengemasi barang kami, meninggalkan masjid yang sunyi tersebut. Kami berdua berjalan mencari tempat makan. Tak perlu mahal yang terpenting kenyang untuk ukuran anak perantauan. Melewati sebuah hotel yang tingginya sekitar lima belas lantai, melewati taman makam pahlawan lagi, dan juga air mancur didekatnya.

Mentari mulai meninggi, cukup dalam hitungan detik terik matahari tersebut terasa sedikit menyengat disela-sela kulitku. Beberapa meter kami
berjalan, langkah kaki kami terhenti disebuah warung kecil. Sebuah warung yang menyediakan berbagai macam menu. Disana ada beberapa orang duduk sambil menikmati makanannya. Seorang pemuda berkulit cokelat kehitaman dengan tas besarnya, kemungkinan dia anak kuliahan. Dan juga seorang ibu tua dan anaknya yang merupakan keluargan Tionghoa, terlihat dari kulitnya yang putih dan matanya yang sipit. Kami mencari tempat duduk yang kosong.
“Mau pesan apa mas?” Ibu pemilik warung bertanya kepada kami.
“Eh kita pesan apa Pung?” Bukannya langsung menjawab pertanyaan ibu tadi, aku malah bertanya kepada Ipung yang kelihatannya sama bingung sepertiku.
Aku yakin jawabannya akan sama seperti yang kemarin, terserah kepadaku. Dugaanku benar, cengar-cengir dia menjawab seperti itu. Jenggotnya menari-nari. Meskipun kami ini seumuran tapi kalau dilihat-lihat dia lebih tua beberapa tahun dariku.
“Pesan dua nasi pecel buk.” Setelah beberapa lama, aku menjawab pertanyaan ibu tadi.
“Sama teh angetnya dua ya buk.” Aku menyambung ucapanku barusan.
“Baik, pakai ayam apa telur?” Sekali lagi, ibu itu bertanya ramah kepadaku.
Aku kebingungan, baru kali ini ada nasi pecel dengan telur atau ayam.
“Pakai telur aja buk.” Aku menjawab singkat, mungkin selain tempe tahu ada tambahan lauk lain pikirku.
“Telur dadar apa telur mata sapi?” Sekali lagi ibu itu bertanya dengan ramah kepadaku. Telur dadar, itu jawaban yang kuberikan.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku setelah kejadian barusan. Untung saja ibu tadi tidak bertanya lagi, sibuk dengan peralatan memasaknya, menyiapkan pesanan kami berdua.

“Eh gy, lo nanti gimana kalau nggak diterima di UI?” Ipung melontarkan pertanyaan yang cukup mengagetkanku.
“Ah itu urusan belakangan Pung. Gua kesini bukan untuk itu. Orang tua gue ngelarang jadi bukan masalah serius kalau gue nanti nggak diterima. Tapi kalau diterima gue bersyukur, itu akan jadi kebanggaan buat gue sekaligus pencapaian terbesar dalam hidup gue.” Aku menjawab pertanyaan tadi dengan sedikit guyonan.

Tekad yang dulu kuat, tertancap dan kutatap pasti, kini entah mengapa tekad itu mulai mengambang. Tak tentu arah.
Dari balik meja, ibu itu membawa pesanan kami berdua. Perut sudah mulai keroncongan, tanpa banyak cingcong seporsi nasi pecel plus telur dadar kami lahap dengan cepat.

Masih sama seperti kemarin. Nafsu makanku perlahan hilang ditengah aku melahap nasi itu. Perutku seakan tak mau lagi menerima sesuap makanan. Terlihat dipiringku masih tersisa cukup banyak. Kuhentikan makanku dan kuminum teh hangat didekatku. Ipung masih melahap makanannya.
“Nggak habis lagi.” Dia bertanya kepadaku heran, aku mengangguk.

Tangannya perlahan meraih piringku dan memakan sisa makananku tadi. Ekspresiku sama seperti tadi malam, kaget bukan kepalang. Bukan perkara dia kelaparan, aku bisa menarik kesimpulan bahwa dia memang menghargai arti sebuah makanan. Menyisakan makanan itu tidaklah sopan meski itu hal yang lazim bagi sebagian orang.
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.