- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#203
NO WAY OUT?!
Quote:
Lantas anak panah yang berbau maut itu tiba –tiba melesat dengan cepat, menimbulkan suara gesekan dengan udara di sekitar, sedetik lebih cepat dari pisau komando yang aku lemparkan ke arah Danny. Ya, aku tidak akan mati semudah itu. Aku harus melawan. Pisau komando ini memang selalu aku bawa jika aku pergi ke tempat yang terpencil seperti di Telaga Muncar. Danny berkelit cepat sekali. Pisau yang aku lempar lewat hanya beberapa inci di samping telinganya, menghantam sebuah pohon dan menancap disana.
Busur panah di tangan Danny masih terentang. Anak panahnya melesat sangat dekat dengan tempatku duduk, namun hebat. Anak panah dengan ujung logam berkilauan itu tidak menyentuh kepalaku walau nyawaku seperti melayang tatkala anak panah itu berdecit –decit mencari sasaran. Aku hanya mendengar suara bersiur halus dan cepat di atas kepalaku waktu lesatan anak panah itu meluncur dari busur yang terentang, suara berderak lembut, kemudian suatu benda cair memercik mengenai bahu kanan ku.
Lalu, sebuah benda panjang kehitam –hitaman sebesar lengan anak – anak jatuh tepat di atas bahu kanan ku. Aku kaget. Tanganku reflek menolak benda panjang licin itu. Benda itu menggelapar sesaat. Kepalanya tertembus anak panah. Diam sesaat lamanya. Mati.
Kupandangi lekat –lekat di bawah guyuran sinar bulan tanggal empat belas. Ternyata seekor ular sendok yang cukup besar. Tubuhku bergidik ngeri dan jijik. Anyir bau darah tercium santer di pundak kanan ku. Aku sentuh cairan anyir itu. Amis dan lengket. Lantas, terdengar suara tawa Danny parau.
“ Lemparan pisaumu boleh juga “
Seraya mencabut pisau komando yang barusan hampir melukainya itu.
“ Tembakan yang jitu. Aku tidak menyangka kau pemanah yang ulung. Alangkah biadabnya aku kan?!”
“ Kau berprasangka buruk Zul”
“ Aku berhutang nyawa padamu”
“ Suatu saat akan kutagih hutang mu itu “
Aku hanya mengangkat bahu sembari tertawa kecut. Mata ku memandang ke arah bangkai ular sendok yang melingkar mati di atas rerumputan. Mataku tidak berkedip melihat anak panah yang menancap tepat di kepala ular itu. Sebuah anak panah yang bagus, tangkainya kecil tapi kokoh dan kuat. Entah terbuat dari kayu apa dan yang lebih menarik perhatianku adalah mata anak panahnya. Terbuat dari logam seperti perak yang tampak berkilauan tertimpa cahaya bulan. Dan yang lebih unik lagi di mata anak panah itu seperti ada rajahan huruf jawa yang tidak aku ketahui maknanya.
“ Kau suka anak panah itu Zul “
Suara Danny memecah konsentrasiku. Aku menggeleng pelan.
“ Tidak, hanya saja aku melihat anak panah mu itu unik mungkin juga langka. Dan itu seperti ada rajahan huruf jawa kuno?! “
Danny tertawa parau.
“ Itu panah khusus untuk membunuh mereka. Mengenai deretan huruf jawa itu aku juga tidak tahu apa artinya “
Mereka, ya aku sangat tahu siapa yang disebut dengan mereka. Siapa lagi kalau bukan kawanan siluman ajag yang mungkin saja setiap saat mengintai untuk kemudian memangsa. Aku kembali bergidik ngeri.
Danny berjalan ke arah bangkai ular sendok itu, setelah sebelumnya mengangsurkan pisau komando yang dicabut dari batang pohon tadi. Anak panah yang masih menancap di kepala ular sendok itu di betotnya keras – keras hingga terlepas. Lewat lengan bajunya pemuda itu membersihkan noda – noda darah di mata anak panah. Lalu setelah dirasa bersih ia memasukkan anak panah itu kembali di tempatnya. Bergantung – gantung dipunggungnya.
“ Anak panah ini jumlahnya sangat terbatas dan tadi aku telah membuang dua buah. Mahkluk sialan itu lari dengan dua mata anak panah ku menembus kaki depan dan belakangnya. Tentu ia tidak akan mati semudah itu tapi akan menderita tidak berujung. Tidak ada mampu yang mencabutnya selain keluarga Dargo “
Aku hanya tertegun diam tanpa tahu musti berkata apa. Dan terdengar Danny menarik nafas dengan berat, lantas ia menarik lenganku kuat –kuat mengajakku berjalan kembali menuju ke kampung yang masih jauh di hadapan kami. Kekaguman dan kepercayaan sekaligus kuletakkan di tangan pemuda urakan cucu dari keluarga Tuan Dargo itu, semenjak ia selamatkan jiwaku dari patukan ular berbisa yang tanpa aku sadari tengah bergelantungan pada cabang pohon dimana tadi aku tengah melepas lelah.
Tampaknya sudah memasuki dini hari tatkala kami menginjakkan kaki di ambang desa Telaga Muncar. Jauh di depan kami beberapa meter, tampak nyala obor meliuk –liuk di terpa angin di depan pos jaga desa. Dua orang lelaki aku lihat berkeliaran sekitar pos itu. Seseorang lagi memukul kentongan, sembilan kali dan beberapa obor tampak berseliweran dari satu rumah ke rumah lain yang aku sangat yakin sudah semuanya kosong ditinggalkan para penduduknya. Bergegas, kami berlari ke arah kampung.
“ Hai, siapa kalian?” seseorang di depan pos jaga berseru ke arah kami, seraya menaikkan obor di tangan kanannya.
“ Kami, apakah matamu sudah rabun Rojak?!” balas Danny berseru sambir cengar –cengir.
“ Kami siapa?”
“ Aku Danny cucu Tuan Dargo dan ini anak kota yang katanya akan membangun desa kita “
Danny tertawa. Aku hanya tersenyum mendengar candaannya yang sama sekali tidak lucu itu.
Wajah lelaki yang bernama Rojak itu sedikit tegang tatkala memandang wajah Danny dan wajahku secara bergantian.
“ Kau tahu Dann, orang di luar desa Telaga Muncar harus sudah pergi sore tadi. Dan sekarang kau malahan membawa anak ini keluyuran dan teman –temannya itu terpaksa belum pergi meninggalkan desa ini sebelum menunggunya pulang “
Rojak kembali memandangku dengan tatapan tajam dan dingin.
“ Aku minta maaf, aku teledor sehingga tersesat dan untung ada Danny yang menolongku membawa pulang ke desa ini “
Aku mencoba mencari alasan untuk membela diri. Danny tidak bereaksi sama sekali. Anak itu hanya berdiri dan sesekali mengusap rambutnya yang acak –acakan.
“ Stttt...diamlah kalian. Itu Pak Jampadi berjalan menuju kesini. Jelaskan kepadanya sebenarnya apa yang terjadi pada kalian berdua “
Dan kepala desa Telaga Muncar yang berumur sekitar lima puluh tahun namun masih terlihat tegap itu, langsung memeluk Danny dan sebelah tangannya menenpuk – nepuk pundakku dengan bersahabat. Tidak ada pandangan marah atau mungkin kejengkelan dengan semua ulahku siang tadi. Aku sempat melirik ke arah pinggangnya, tampak dari dalam bajunya mencuat dua benda asing. Sudah bisa aku duga itu mungkin sejenis pedang atau golok. Nampaknya, orang – orang pilihan ini sudah siap mengadu nyawa melindungi trah Randu Alas. Aku benar –benar salut di jaman ini masih ada orang yang menjunjung diri amanat leluhurnya.
Waktu kami berpisah, Danny dan aku masih sempat bermain mata. Ada satus enyuman yang kita kulum di bibir masing –masing. Dan pemuda urakan itu telah berlalu pergi. Tubuhnya lenyap di tikungan jalan di ujung desa Telaga Muncar.
Busur panah di tangan Danny masih terentang. Anak panahnya melesat sangat dekat dengan tempatku duduk, namun hebat. Anak panah dengan ujung logam berkilauan itu tidak menyentuh kepalaku walau nyawaku seperti melayang tatkala anak panah itu berdecit –decit mencari sasaran. Aku hanya mendengar suara bersiur halus dan cepat di atas kepalaku waktu lesatan anak panah itu meluncur dari busur yang terentang, suara berderak lembut, kemudian suatu benda cair memercik mengenai bahu kanan ku.
Lalu, sebuah benda panjang kehitam –hitaman sebesar lengan anak – anak jatuh tepat di atas bahu kanan ku. Aku kaget. Tanganku reflek menolak benda panjang licin itu. Benda itu menggelapar sesaat. Kepalanya tertembus anak panah. Diam sesaat lamanya. Mati.
Kupandangi lekat –lekat di bawah guyuran sinar bulan tanggal empat belas. Ternyata seekor ular sendok yang cukup besar. Tubuhku bergidik ngeri dan jijik. Anyir bau darah tercium santer di pundak kanan ku. Aku sentuh cairan anyir itu. Amis dan lengket. Lantas, terdengar suara tawa Danny parau.
“ Lemparan pisaumu boleh juga “
Seraya mencabut pisau komando yang barusan hampir melukainya itu.
“ Tembakan yang jitu. Aku tidak menyangka kau pemanah yang ulung. Alangkah biadabnya aku kan?!”
“ Kau berprasangka buruk Zul”
“ Aku berhutang nyawa padamu”
“ Suatu saat akan kutagih hutang mu itu “
Aku hanya mengangkat bahu sembari tertawa kecut. Mata ku memandang ke arah bangkai ular sendok yang melingkar mati di atas rerumputan. Mataku tidak berkedip melihat anak panah yang menancap tepat di kepala ular itu. Sebuah anak panah yang bagus, tangkainya kecil tapi kokoh dan kuat. Entah terbuat dari kayu apa dan yang lebih menarik perhatianku adalah mata anak panahnya. Terbuat dari logam seperti perak yang tampak berkilauan tertimpa cahaya bulan. Dan yang lebih unik lagi di mata anak panah itu seperti ada rajahan huruf jawa yang tidak aku ketahui maknanya.
“ Kau suka anak panah itu Zul “
Suara Danny memecah konsentrasiku. Aku menggeleng pelan.
“ Tidak, hanya saja aku melihat anak panah mu itu unik mungkin juga langka. Dan itu seperti ada rajahan huruf jawa kuno?! “
Danny tertawa parau.
“ Itu panah khusus untuk membunuh mereka. Mengenai deretan huruf jawa itu aku juga tidak tahu apa artinya “
Mereka, ya aku sangat tahu siapa yang disebut dengan mereka. Siapa lagi kalau bukan kawanan siluman ajag yang mungkin saja setiap saat mengintai untuk kemudian memangsa. Aku kembali bergidik ngeri.
Danny berjalan ke arah bangkai ular sendok itu, setelah sebelumnya mengangsurkan pisau komando yang dicabut dari batang pohon tadi. Anak panah yang masih menancap di kepala ular sendok itu di betotnya keras – keras hingga terlepas. Lewat lengan bajunya pemuda itu membersihkan noda – noda darah di mata anak panah. Lalu setelah dirasa bersih ia memasukkan anak panah itu kembali di tempatnya. Bergantung – gantung dipunggungnya.
“ Anak panah ini jumlahnya sangat terbatas dan tadi aku telah membuang dua buah. Mahkluk sialan itu lari dengan dua mata anak panah ku menembus kaki depan dan belakangnya. Tentu ia tidak akan mati semudah itu tapi akan menderita tidak berujung. Tidak ada mampu yang mencabutnya selain keluarga Dargo “
Aku hanya tertegun diam tanpa tahu musti berkata apa. Dan terdengar Danny menarik nafas dengan berat, lantas ia menarik lenganku kuat –kuat mengajakku berjalan kembali menuju ke kampung yang masih jauh di hadapan kami. Kekaguman dan kepercayaan sekaligus kuletakkan di tangan pemuda urakan cucu dari keluarga Tuan Dargo itu, semenjak ia selamatkan jiwaku dari patukan ular berbisa yang tanpa aku sadari tengah bergelantungan pada cabang pohon dimana tadi aku tengah melepas lelah.
Tampaknya sudah memasuki dini hari tatkala kami menginjakkan kaki di ambang desa Telaga Muncar. Jauh di depan kami beberapa meter, tampak nyala obor meliuk –liuk di terpa angin di depan pos jaga desa. Dua orang lelaki aku lihat berkeliaran sekitar pos itu. Seseorang lagi memukul kentongan, sembilan kali dan beberapa obor tampak berseliweran dari satu rumah ke rumah lain yang aku sangat yakin sudah semuanya kosong ditinggalkan para penduduknya. Bergegas, kami berlari ke arah kampung.
“ Hai, siapa kalian?” seseorang di depan pos jaga berseru ke arah kami, seraya menaikkan obor di tangan kanannya.
“ Kami, apakah matamu sudah rabun Rojak?!” balas Danny berseru sambir cengar –cengir.
“ Kami siapa?”
“ Aku Danny cucu Tuan Dargo dan ini anak kota yang katanya akan membangun desa kita “
Danny tertawa. Aku hanya tersenyum mendengar candaannya yang sama sekali tidak lucu itu.
Wajah lelaki yang bernama Rojak itu sedikit tegang tatkala memandang wajah Danny dan wajahku secara bergantian.
“ Kau tahu Dann, orang di luar desa Telaga Muncar harus sudah pergi sore tadi. Dan sekarang kau malahan membawa anak ini keluyuran dan teman –temannya itu terpaksa belum pergi meninggalkan desa ini sebelum menunggunya pulang “
Rojak kembali memandangku dengan tatapan tajam dan dingin.
“ Aku minta maaf, aku teledor sehingga tersesat dan untung ada Danny yang menolongku membawa pulang ke desa ini “
Aku mencoba mencari alasan untuk membela diri. Danny tidak bereaksi sama sekali. Anak itu hanya berdiri dan sesekali mengusap rambutnya yang acak –acakan.
“ Stttt...diamlah kalian. Itu Pak Jampadi berjalan menuju kesini. Jelaskan kepadanya sebenarnya apa yang terjadi pada kalian berdua “
Dan kepala desa Telaga Muncar yang berumur sekitar lima puluh tahun namun masih terlihat tegap itu, langsung memeluk Danny dan sebelah tangannya menenpuk – nepuk pundakku dengan bersahabat. Tidak ada pandangan marah atau mungkin kejengkelan dengan semua ulahku siang tadi. Aku sempat melirik ke arah pinggangnya, tampak dari dalam bajunya mencuat dua benda asing. Sudah bisa aku duga itu mungkin sejenis pedang atau golok. Nampaknya, orang – orang pilihan ini sudah siap mengadu nyawa melindungi trah Randu Alas. Aku benar –benar salut di jaman ini masih ada orang yang menjunjung diri amanat leluhurnya.
Waktu kami berpisah, Danny dan aku masih sempat bermain mata. Ada satus enyuman yang kita kulum di bibir masing –masing. Dan pemuda urakan itu telah berlalu pergi. Tubuhnya lenyap di tikungan jalan di ujung desa Telaga Muncar.
Quote:
PEPOHONAN JATI yang berderet –deret rapat menyerupai pagar berdiri dengan tegak. Matahari mengintip dari celah –celah dedaunan. Angin pegunungan pagi yang sejuk masuk lewat jendela mobil Espass yang aku biarkan terbuka. Mobil tua dengan AC yang sudah tidak berfungsi sungguh pengap. Suasana di dalam mobil sunyi. Hanya sesekali terdengar suara nafas ditarik dengan berat dan dihembuskan perlahan –lahan. Mata ku sempat melirik ke arah Ida. Gadis manis itu duduk tepat di sebelahku. Pandangan matanya dibuang jauh –jauh melalui kaca jendela yang terbuka. Masih seperti kemarin. Murung, lesu dengan mata sedikit sembab dan memerah.
Suasana hening dan kaku itu terpecahkan dengan suara Alit.
“ Kemarin kemana saja kau Zul? “
Ya, aku memang belum menceritakan semuanya kepada mereka. Dini hari tadi setelah diantar Rojak pulang ke rumah Pak Jampadi aku hanya melihat mereka sudah terbaring di lantai beralaskan tikar dan berselimutkan kain sarung. Hanya Ida yang masih terjaga. Gadis itu duduk bersandar di tembok sembari memeluk lutut. Tatkala melihatku, ia hanya tersenyum lalu mmbaringkan tubuhnya. Tanpa sepatah katapun berkata kepadaku.
Dan pagi tadi saat terjaga kami langsung memeprsiapkan barang –barang yang akan kami bawa. Hanya butuh waktu sekitar tigapuluh menitan untuk mengemas dan memasukkannya ke dalam mobil. Sehabis sarapan pagi bersama dan mengucapkan sepatah dua patah ucapan terimakasih kepada kepala desa Telaga Muncar kami lantas berpamitan. Aku ingat nasihat Pak Jampadi pagi itu.
“ Zul dan kalian semua hati –hati di jalan. Itu ada kendaraan yang akan membawa kalian secepatnya pergi dari tempat ini. Kalian bisa melalui jalan memutar karena kalau lewat jalan saat kalian kemari tidak akan bisa dilalui menggunakan mobil. Nanti mobil itu dititipkan saja pada kepala desa Glagah Sari, kebetulan aku sangat mengenalnya. Dan beliau juga sudah akrab dengan mobil itu “
Kami mengangguk serempak, lalu satu persatu menyalami Pak Jampadi. Mobil melaju pelan meninggalkan desa Telaga Muncar dengan diikuti pandangan beberapa warga desa yang memang sengaja tidak meninggalkan desa.
“ Zul.....”
Alit mengulangi memanggil namaku dengan lebih keras.
“ Iya “
“ Aku bertanya kepadamu, kau tidak mendengar? “
“ Iya, aku mendengar “
“ Terus terang, kemarin aku tersesat saat berjalan –jalan di tepi desa Telaga Muncar. Dan untung saja ketemu Danny sedang berburu di hutan “
“ Danny?”
“ Cucu Tuan Dargo yang rumahnya menyeramkan itu?”
Aku hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan ku ke depan ke arah jalan yang menghampar di depan. Jalanan ini sungguh sangat jelek. Peduh batu cadas, dan lubang menganga di kanan kiri. Sesekali mobil oleng ke kiri kerena menghantam lubang yang cukup besar.
“ Hati –hati Zul “
Ajeng menggerutu karena sesaat gadis berkaca mata itu hampir saja memejamkan matanya. Ia bersungut –sungut sembari membetulkan letak kacamatanya yang hampir melorot ke hidung.
Aku hanya tersenyum. Wajah Ajeng terlihat gusar terpantul dari kaca belakang.
“ Zul, kau tidak heran mengapa warga desa tiba –tiba disuruh mengungsi secara besar –besaran. Dan imbasnya ke kita. Kita pun dipaksa dipulangkan mengakhiri program KKN kita yang masih separuh jalan “
“ Lagian aneh juga, mengapa kampus kita mengadakan program KKN disitu ya? “
Nathan yang sedari mendengarkan musik dari walkman nya tiba –tiba ikut membuka mulut. Bersuara.
Aku hanya mengangkat bahu ku. Pura – pura tidak tahu menahu dan tidak mungkin jika aku ceritakan tentang perjanjian keramat, perjanjian dengan siluman ajag dan desa akan diserang oleh titisan siluman itu dan para pengikutnya. Tentu saja mereka akan menganggapku gila. Seperti pertama kali saat aku mendengar penjelasa Danny. Waktu itu aku juga sempat mengira kalau pemuda urakan itu mengalami gangguan kejiwaan.
“ Sedari tadi kau diam saja Ida? “
Ida menoleh ke belakang dengan lesu.
“ Aku lelah sekali Nath, semalaman aku hampir tidak bisa memejamkan mata “
“ Menunggu Zulham pulang...eh... “
Alit menggoda Ida dengan pertanyaannya itu. Aku hanya mampu mengulum senyum. Dan Ida hanya diam saja tanpa bereaksi apa –apa. Sejenak ia menatap wajahku dari samping dan kemudian membetulkan letak duduknya. Kembali lagi ia buang pandangannya jauh ke luar. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Satu jam berlalu dengan lambat, seolah waktu berputar dengan tersendat-sendat. Jalan di depan ku belum juga tampak ada ujungnya. Pagi tadi Pak Jampadi berkata.
“ Ikuti jalanan itu saja nanti paling lama satu jam ada pertigaan kecil. Ambil kanan lurus dan kalian akan sampai di gerbang desa Glagah Sari “
Dan ini sudah satu jam lebih, aku melirik ke pergelangan tangan kanan ku ke arah arloji berwarna silver yang melingkar erat disana.
Nampaknya kegelisahanku terpantul dari kaca. Mima yang terjaga dari tidurnya sontak berkata.
“ Sudah sampai mana kita?”
“ Masih di jalan, belum sampai ke desa Glagah Sari “
“ Mana pertigaan yang dikatakan oleh Pak Jampadi? Sedari tadi kita belum menemukan pertigaan itu. Dan sekarang sudah hampir jam dua belas siang “
“ Kau tidak salah jalan kan Zul? “
Ajeng bertanya sembari melongokkan kepalanya ke luar jendela memandang sekeliling.
“ Tidak mungkin salah, aku ikuti jalanan terus. Tidak ada belokan sedari tadi “
Edan. Benar –benar. Umpatku dalam hati. Apakah ini ada campur tangan gaib? Tidak ini siang hari, tengah hari mana ada setan yang mempermainkan laju kendaraan ini sehingga tidak juga sampai ke tempat tujuan. Aku membuang pikiran – pikiran burukku.
Pandanganku masih tidak lepas memperhatikan jalanan di depan. Tampak lengang dan sepi. Aku melirik ke kanan kiri. Kerapatan pohon jati telah bereganti dengan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa. Jalanan juga relatif halus. Secepatnya aku harus temukan pertigaan itu. Aku oper gigi empat lalu aku injak pedal gas. Mobil melaju lebih kencang.
Dan, sesosok bayangan besar mendadak menyeruak dari rerimbunan semak dan menyebrangi jalan. Sesaat aku melihat itu bayangan manusia. Ia menyebrang begitu saja tanpa melihat ada mobil melaju dengan cukup kencang dari berlawanan arah. Aku terperanjat bukan kepalang. Refleks mengalir ke jemari tangan. Seketika membanting kemudi ke sebelah kiri. Rem aku injak keras-keras sampai habis. Tetapi kecepatan mobil yang tinggi memberikan reaksi lain. Mobil keluar dari jalan menyeruak di rerimbunan semak , oleng sebentar kemudian melejit dalam belokan seratus delapan puluh derajat ke seberang lain, sebelum kemudian terguling lalu terbanting diam dalam posisi terbalik.
Suasana hening dan kaku itu terpecahkan dengan suara Alit.
“ Kemarin kemana saja kau Zul? “
Ya, aku memang belum menceritakan semuanya kepada mereka. Dini hari tadi setelah diantar Rojak pulang ke rumah Pak Jampadi aku hanya melihat mereka sudah terbaring di lantai beralaskan tikar dan berselimutkan kain sarung. Hanya Ida yang masih terjaga. Gadis itu duduk bersandar di tembok sembari memeluk lutut. Tatkala melihatku, ia hanya tersenyum lalu mmbaringkan tubuhnya. Tanpa sepatah katapun berkata kepadaku.
Dan pagi tadi saat terjaga kami langsung memeprsiapkan barang –barang yang akan kami bawa. Hanya butuh waktu sekitar tigapuluh menitan untuk mengemas dan memasukkannya ke dalam mobil. Sehabis sarapan pagi bersama dan mengucapkan sepatah dua patah ucapan terimakasih kepada kepala desa Telaga Muncar kami lantas berpamitan. Aku ingat nasihat Pak Jampadi pagi itu.
“ Zul dan kalian semua hati –hati di jalan. Itu ada kendaraan yang akan membawa kalian secepatnya pergi dari tempat ini. Kalian bisa melalui jalan memutar karena kalau lewat jalan saat kalian kemari tidak akan bisa dilalui menggunakan mobil. Nanti mobil itu dititipkan saja pada kepala desa Glagah Sari, kebetulan aku sangat mengenalnya. Dan beliau juga sudah akrab dengan mobil itu “
Kami mengangguk serempak, lalu satu persatu menyalami Pak Jampadi. Mobil melaju pelan meninggalkan desa Telaga Muncar dengan diikuti pandangan beberapa warga desa yang memang sengaja tidak meninggalkan desa.
“ Zul.....”
Alit mengulangi memanggil namaku dengan lebih keras.
“ Iya “
“ Aku bertanya kepadamu, kau tidak mendengar? “
“ Iya, aku mendengar “
“ Terus terang, kemarin aku tersesat saat berjalan –jalan di tepi desa Telaga Muncar. Dan untung saja ketemu Danny sedang berburu di hutan “
“ Danny?”
“ Cucu Tuan Dargo yang rumahnya menyeramkan itu?”
Aku hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan ku ke depan ke arah jalan yang menghampar di depan. Jalanan ini sungguh sangat jelek. Peduh batu cadas, dan lubang menganga di kanan kiri. Sesekali mobil oleng ke kiri kerena menghantam lubang yang cukup besar.
“ Hati –hati Zul “
Ajeng menggerutu karena sesaat gadis berkaca mata itu hampir saja memejamkan matanya. Ia bersungut –sungut sembari membetulkan letak kacamatanya yang hampir melorot ke hidung.
Aku hanya tersenyum. Wajah Ajeng terlihat gusar terpantul dari kaca belakang.
“ Zul, kau tidak heran mengapa warga desa tiba –tiba disuruh mengungsi secara besar –besaran. Dan imbasnya ke kita. Kita pun dipaksa dipulangkan mengakhiri program KKN kita yang masih separuh jalan “
“ Lagian aneh juga, mengapa kampus kita mengadakan program KKN disitu ya? “
Nathan yang sedari mendengarkan musik dari walkman nya tiba –tiba ikut membuka mulut. Bersuara.
Aku hanya mengangkat bahu ku. Pura – pura tidak tahu menahu dan tidak mungkin jika aku ceritakan tentang perjanjian keramat, perjanjian dengan siluman ajag dan desa akan diserang oleh titisan siluman itu dan para pengikutnya. Tentu saja mereka akan menganggapku gila. Seperti pertama kali saat aku mendengar penjelasa Danny. Waktu itu aku juga sempat mengira kalau pemuda urakan itu mengalami gangguan kejiwaan.
“ Sedari tadi kau diam saja Ida? “
Ida menoleh ke belakang dengan lesu.
“ Aku lelah sekali Nath, semalaman aku hampir tidak bisa memejamkan mata “
“ Menunggu Zulham pulang...eh... “
Alit menggoda Ida dengan pertanyaannya itu. Aku hanya mampu mengulum senyum. Dan Ida hanya diam saja tanpa bereaksi apa –apa. Sejenak ia menatap wajahku dari samping dan kemudian membetulkan letak duduknya. Kembali lagi ia buang pandangannya jauh ke luar. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Satu jam berlalu dengan lambat, seolah waktu berputar dengan tersendat-sendat. Jalan di depan ku belum juga tampak ada ujungnya. Pagi tadi Pak Jampadi berkata.
“ Ikuti jalanan itu saja nanti paling lama satu jam ada pertigaan kecil. Ambil kanan lurus dan kalian akan sampai di gerbang desa Glagah Sari “
Dan ini sudah satu jam lebih, aku melirik ke pergelangan tangan kanan ku ke arah arloji berwarna silver yang melingkar erat disana.
Nampaknya kegelisahanku terpantul dari kaca. Mima yang terjaga dari tidurnya sontak berkata.
“ Sudah sampai mana kita?”
“ Masih di jalan, belum sampai ke desa Glagah Sari “
“ Mana pertigaan yang dikatakan oleh Pak Jampadi? Sedari tadi kita belum menemukan pertigaan itu. Dan sekarang sudah hampir jam dua belas siang “
“ Kau tidak salah jalan kan Zul? “
Ajeng bertanya sembari melongokkan kepalanya ke luar jendela memandang sekeliling.
“ Tidak mungkin salah, aku ikuti jalanan terus. Tidak ada belokan sedari tadi “
Edan. Benar –benar. Umpatku dalam hati. Apakah ini ada campur tangan gaib? Tidak ini siang hari, tengah hari mana ada setan yang mempermainkan laju kendaraan ini sehingga tidak juga sampai ke tempat tujuan. Aku membuang pikiran – pikiran burukku.
Pandanganku masih tidak lepas memperhatikan jalanan di depan. Tampak lengang dan sepi. Aku melirik ke kanan kiri. Kerapatan pohon jati telah bereganti dengan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa. Jalanan juga relatif halus. Secepatnya aku harus temukan pertigaan itu. Aku oper gigi empat lalu aku injak pedal gas. Mobil melaju lebih kencang.
Dan, sesosok bayangan besar mendadak menyeruak dari rerimbunan semak dan menyebrangi jalan. Sesaat aku melihat itu bayangan manusia. Ia menyebrang begitu saja tanpa melihat ada mobil melaju dengan cukup kencang dari berlawanan arah. Aku terperanjat bukan kepalang. Refleks mengalir ke jemari tangan. Seketika membanting kemudi ke sebelah kiri. Rem aku injak keras-keras sampai habis. Tetapi kecepatan mobil yang tinggi memberikan reaksi lain. Mobil keluar dari jalan menyeruak di rerimbunan semak , oleng sebentar kemudian melejit dalam belokan seratus delapan puluh derajat ke seberang lain, sebelum kemudian terguling lalu terbanting diam dalam posisi terbalik.
Diubah oleh breaking182 12-10-2018 09:54
User telah dihapus dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas