- Beranda
- Stories from the Heart
One More Hour
...
TS
karnaufal
One More Hour

Cerita ini kupersembahkan untukmu.
Hanya untuk dirimu.
Much Love,
-B-

Polling
Poll ini sudah ditutup. - 477 suara
Siapakah yang akan menjadi pasangan hidup Bayu?
Muthia
6%
Sita
28%
Alexy
54%
Wanita lain selain pilihan-pilihan di atas
12%
pavidean dan 69 lainnya memberi reputasi
66
1.6M
6.1K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
karnaufal
#5708
121.
Wishing Upon a Star


"Ancaaa, mau minta tolong ambilin baju aku di kamer dooong..."
"Iya mbaaak, bentaaar..."
"Eh, bentar Ca!" Gue memanggil Anca, lalu menyuruhnya untuk duduk di sini. "Sini aja biar Aa yang ambilin bajunya Lexy."
"Yeee, dasar!" Anca bersungut-sungut tetapi dia tetapmenuruti perkataan gue sambil tertawa-tawa.
Dengan santai gue masuk ke dalam kamar dan berjalan menuju ke arah lemari di mana terdapat beberapa pakaian Alexy yang sengaja ia bawa dari rumahnya. Ada beberapa potong pakaian tidur yang dia bawa, tetapi gue juga melihat ada cukup banyak baju-baju Alexy yang terlipat maupun digantung di sini.
Ada sebuah cardigan tipis berwarna hitam yang terlipat rapi di atas beberapa potong jeans berwarna biru navy dan hitam. Ada beberapa potong kaos yang dilipat rapi di atas cardigan itu, dan ada juga beberapa potong pakaian yang di gantung pada sisi sebelah kanan dari lemari ini. Pandangan gue pun kemudian terpaku untuk sejenak, terdiam dan menatap lekat kepada sebuah jumpsuit hitam panjang, yang entah kenapa dapat membuat gue merekahkan sebuah senyuman di kedua sisi bibir.
Gue masih ingat sekali ketika untuk yang pertama kalinya gue melihat Alexy berpakaian seperti itu, di tengah-tengah sebuah jalan kecil yang terlihat biasa-biasa saja, dengan dikelilingi oleh bangunan yang juga terlihat biasa-biasa saja, tetapi entah kenapa Alexy sangat terlihat luar biasa sekali di antara itu semua.
Gue masih ingat ketika dia sedang berdiri di samping pintu mobilnya yang terbuka, berbalutkan jumpsuit hitam panjang tanpa lengan bersama dengan obi berwarna putih gading yang melingkar di pinggangnya, berdiri dengan mengenakan high heels yang membuatnya terlihat semakin anggun, dan penampilannya pada hari itu pun terasa sangat lengkap sekali dengan kacamata hitam yang sengaja ia pasang di antara helai-helai rambutnya yang berkilau kecokelatan.
She is totally made out of elegance, pikir gue pada saat itu.
Kadang hingga saat ini gue masih tidak habis pikir, mimpi apa gue bisa mendapatkan hati dari seorang Alexy, yang notabenenya menjadi incaran para kaum lelaki?
Jangankan untuk mendapatkan Alexy, gue sekalipun bahkan tidak pernah berharap ataupun berpikir untuk bertemu dan berkenalan dengan seorang wanita seanggun Alexy. Gue sudah merasa cukup dengan apa yang sudah gue miliki pada saat itu. Gue sudah memiliki pekerjaan yang cukup baik, dengan lingkaran pertemanan yang bisa membuat gue senang, memiliki keluarga yang harmonis, apa lagi yang harus gue minta?
Yah, walaupun gue selalu menyelipkan sepercik do'a kepada Yang Maha Kuasa di setiap sujud gue, meminta kepada-Nya agar didekatkan dengan seorang jodoh di kemudian hari, dan gue sangat tidak percaya sekali ketika Tuhan menjawab doa kecil gue itu melalui seorang Alexy.
Gue terkekeh kecil.
Love will find its way, eventually.
Di saat gue yang sedang asyik bernostalgia dan sedikit berkontemplasi mengenai itu semua, tiba-tiba gue mendengar ada suara getaran yang berasal dari belakang. Gue pun kemudian membalikkan badan, lalu mempertajam indera pendengaran serta mengkerutkan kening untuk mencari keberadaan sumber suara.
"Handphone..." Gumam gue pelan.
Gue mencari-cari keberadaan dari handphone tersebut, dan gue tidak mendapati apa-apa selain tas milik Alexy yang tergeletak di atas tempat tidur. Setelah agak ragu sejenak karena sebenarnya gue tidak ingin mengganggu privasi milik Alexy dengan mengacak-acak isi dari tasnya itu, gue pun pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengganggu privasinya.
Namun ketika gue hendak keluar kamar sambil membawa satu buah kaos putih, cardigan dan juga jeans hitam untuk Alexy, handphonenya kembali bergetar dan gue memutuskan untuk mengambil handphonenya itu dari dalam tasnya, barangkali ada sesuatu yang penting yang harus Alexy ketahui saat ini juga.
Tangan gue tiba-tiba berhenti sejenak ketika gue sedang mencari-cari keberadaan telepon genggam miliknya. Gue menjadi kebingungan sendiri ketika gue mendapati beberapa jenis pil obat dalam botol kaca kecil berwarna cokelat gelap transparan. Nama-nama obatnya terdengar asing di telinga gue, bahkan untuk melafalkannya pun terasa sulit sekali.
Gue tahu bahwa ini adalah resep dokter karena tertulis nama Alexy, jadwal minum dan juga rumah sakit di mana obat itu berasal.
Tetapi, kenapa Alexy meminum obat-obatan ini?
***
Gue berjalan di atas trotoar di samping sebuah jalan protokol utama, sambil menggandeng erat tangan dari seorang wanita yang sedang berjalan di sisi gue. Suasana pada malam hari ini terasa cukup hangat, sehangat perasaan gue pada saat menggandeng tangannya seperti ini. Gue pun kemudian menoleh kepada wanita tersebut, lalu tertawa gemas ketika melihatnya memakan roti bakar hingga menyisakan cokelat yang meleleh di sudut-sudut bibirnya.
Penampilannya terasa kontras sekali dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini. Rambut kecokelatannya yang dikuncir itu terlihat berkilauan diterpa oleh cahaya lampu yang berada di sekitar kami, dan sesekali bergoyang kesana kemari karena ditiup oleh angin malam yang sekaligus menebarkan aroma harum parfumnya yang sangatgue nikmati sekali.
Alexy kemudian melepas tangan gue, lalu dia membenarkan sedikit cardigan hitam yang ia kenakan, dan juga sedikit membersihkan remah-remah roti yang jatuh di atas kaos putihnya sebelum pada akhirnya dia menoleh ke arah gue, dan tersenyum menawan.
"Hehehe, maaf ya aku jadi kayak bocah gini..."
Dan gue pun tertawa kecil sembari memeluk erat pundaknya. "Mau kayak gimana juga, kamu tetep seorang Alexy yang aku sayang." Ujar gue, yang membuatnya agak sedikit tersipu. "Kamu tetep jadi seorang Alexy yang kalo ngomong itu datar nadanya, tapi kamu tetep punya nada sendiri di balik suara kamu yang datar itu. Dalem, lembut, tegas, hangat, damai rasanya kalo denger suara kamu terus-terusan.
"Masa sih?" Alexy tertawa. "Terus-terus?"
"Kamu juga bakal tetep jadi seorang Alexy yang kalo jalan itu selalu mantep, yang selalu bikin aku 'waw' kalo ngeliat kamu jalan sambil pake high heels, dengan gaya busana kamu yang elegan, sampe kadang aku suka bingung sendiri aku harus dandan kayak gimana kalo mau jalan sama kamu. Masa nanti kalo aku lagi jalan sama kamu, orang-orang yang ngeliatin kita tuh kayak ngeliat babu sama majikan?"
Alexy pun kemudian semakin tertawa hingga bahunya bergetar kecil, dan dia semakin mendusel manja kepada gue. "Kamu kan emang babunya aku, kalo belanja kemana-mana kan kamu yang terus bawain barang-barang belanjaan aku, iya kan?"
"Ngg..." Gue menggaruk tengkuk. "Ya ga gitu juga sih Lex..."
Kami terus melangkah ke depan, berangkulan dan tertawa hangat tanpa mempedulikan orang-orang yang menatap kami heran, sebelum pada akhirnya kami berdua berhenti di depan salah satu bangku dan kami berdua pun mendudukinya. Alexy bergidik kedinginan ketika ada angin malam yang berhembus. Tanpa dikomandoi, gue pun kemudian melepaskan jaket dan memakaikan jaket itu kepadannya, seperti apa yang selama ini selalu gue lakukan untuknya.
"Kamu ga dingin?"
Gue menoleh, tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Enggak, Jakarta panas untukku, dinginnya kalo lagi ujan-ujanan doang."
Senyuman tipis Alexy yang khas itu terasa sangat menghangatkan sekali, memberikan sebuah rasa hangat hingga ke relung sanubari terdalam walaupun kulit tubuh gue sedang dibelai lembut oleh sang angin malam. Kami berdua di sini duduk terdiam untuk waktu yang cukup lama, dengan Alexy yang menyandarkan kepalanya di bahu gue sembari memainkan jemari gue lembut.
"Bay..." Panggil Alexy kemudian.
"Ya?"
"What if..."Alexy terdiam sejenak, dan genggaman tangannya itu terasa semakin erat. "...we are not meant to be together?"
"..."
Ini adalah sebuah pertanyaan yang simple walaupun tidak mudah untuk dijawab, dan juga terdengar retoris, karena gue tahu sebenarnya Alexy sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan yang dia utarakan itu. Mungkin, pada saat ini, Alexy hanya ingin kembali diyakinkan oleh gue mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut.
Gue pun menghela nafas panjang secara cepat, lalu melepaskan genggamannya dan merangkul bahu Alexy. "Sayang..." Panggil gue lembut. "Kita ga pernah tau kita bakalan kayak gimana di masa depan. Jangankan di masa depan, lima menit dari sekarang aja kan kita ga tau bakal terjadi hal apa, iya kan?"
"..." Alexy mengangguk.
"Aku sama sekali ga bisa menjamin kita bakal selalu bareng-bareng atau pada akhirnya kita harus berpisah, even if it's for the sake of us..." Gue terdiam sejenak, dan membiarkan kami berdua larut dalam lamunan masing-masing, sebelum pada akhirnya gue kembali berbicara.
"Aku saat ini cuman bisa bersyukur aku udah punya kamu sebagai pasanganku, aku juga setiap hari hanya bisa berdoa sama Tuhan kalo suatu saat nanti aku bisa memiliki kamu secara utuh, dan aku juga berdoa kalo kita bisa menikmati proses pendewasaan diri kita masing-masing dalam mencapai tujuan itu. Biar ketika nanti kita sudah sampai di tujuan, kita bisa melihat ke belakang, dan tersenyum karena kita sudah melewati itu semua, dengan jemari kita berdua yang masih berpegangan erat."
"..."
"Through ups and downs, through good and bad times."
Alexy pun kemudian semakin membenamkan kepalanya di dada gue, sementara gue membelai lembut bahunya seraya mencium hangat ubun-ubunnya itu.
Lalu tiba-tiba saja ada sebuah pikiran yang datang secara tiba-tiba, yang membuat gue menjadi memikirkan sebuah cincin pernikahan yang akan gue berikan kepada seorang wanita hebat yang sedang gue peluk erat ini, bersama dengan sebuah rasa penasaran dari apa yang sebenarnya Alexy belum mau ia ceritakan kepada gue.
Diubah oleh karnaufal 30-09-2018 01:56
pavidean dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup