- Beranda
- Stories from the Heart
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
...
TS
sandriaflow
From Cethe Town : Diary Siswa Biasa (True Story)
Quote:

Cover:

NB: Sorry Bad Editing
Klik Link Berikut Untuk Melihat Daftar Chapter
Chapter 1.1 : Mimpi Awal dari Sebuah Cerita
Tak ada satupun hal yang spesial dalam hidupku untuk saat ini. Semua terasa membosankan, aku menjalani rutinitasku yang sewajarnya. Berangkat sekolah, belajar tak kurang dari tujuh jam kemudian pulang kerumah. Monoton. Seperti siklus hidrosfer yang berulang-ulang.
Tahun ini adalah tahun terakhirku di SMA, tak kurang dari lima bulan lagi aku lulus dari bangku sekolah. Itu artinya, sebentar lagi aku akan meninggalkan masa-masa yang orang bilang adalah masa-masa terindah dalam hidup seseorang. Masa putih abu-abu. Naik tingkat menuju bangku perkuliahan. Bermetamorfosis menjadi anak kos.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studiku. Orangtuaku juga mendukung, karena pendidikan adalah prioritas utama yang harus dikejar selagi masih muda. Hal itulah yang menjadi masalah yang membuatku bimbang berhari-hari. Akan kemanakah tujuanku? Ini bukan persoalan remeh, tetapi menyangkut pilihan hidup.
Jujur saja, dalam pikiranku terlintas banyak tujuan, terlintas banyak angan-angan yang tak jelas. Semu nan memusingkan. Aku belum bisa memutuskan rencana akan kuliah dimana nantinya. Teman-temanku ada yang sudah santai dengan pilihannya, tapi tak jarang pula yang masih bimbang dengan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Terjebak dalam sebuah labirin ketidakpastian.
Termasuk Eru, salah seorang sahabatku sekaligus konsultan atas segala permasalahanku sewaktu-waktu. Kurang lebih hampir lima tahun kami saling mengenal. Tumbuh bersama. Dengan berbagai pemikiran sederhana yang tak jarang pula terbilang gila. Dengan berbagai karakter yang berbeda. Meski demikian, ketika kami nongkrong bareng pemikiran kami terkoneksi satu sama lain. Dalam satu waktu, kami membicarakan banyak hal. Terkait tentang isu politik, cinta, filosofi, problem kehidupan, mimpi, angan-angan, serta apapun yang bisa dijadikan topik kami bicarakan.
Keseharianku dan Eru sama seperti pelajar lainnya, belajar dikelas lalu mengerjakan tugas. Hanya satu mungkin yang membedakan kami berdua dengan yang lain, persepsi dalam belajar yang cenderung santai dan selow. Bagi kami berdua belajar tak perlu serius, sesekali kita harus menikmati proses belajar tersebut dengan santai. Antara belajar dan relaksasi itu perlu seimbang, kami tahu kapan harus serius kapan harus bercanda. Tak jarang ia tertidur pulas ditengah-tengah pelajaran ketika suasana dalam kelas membosankan. Sedangkan aku, lebih senang berkarya abstrak dalam selembar kertas putih bergaris. Corat-coret pulpen tak jelas.
Kami berdua memiliki hobi yang berbeda. Aku adalah seorang blogger pemula, bagiku dunia blog memiliki keunikan tersendiri. Darisinilah ketertarikanku terhadap dunia kepenulisan berawal. Memposting bermacam-macam artikel, bercerita tentang pengalaman hidup, walau terkadang hanya sedikit visitor yang bersedia mampir untuk membaca karyaku. Selain itu aku juga suka bernyanyi dan menikmati lagu bergenre pop galau atau lagu barat. Musisi-musisi seperti Scorpion, Bruno Mars, Maroon V, Avril Lavigne, lagu-lagu mereka mendominasi perpustakaan musik dilaptopku.
Berbeda denganku, Eru adalah penggemar game. Tak tanggung-tanggung dia memainkan game secara totalitas tak peduli menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Contoh saja dulu dia demen banget dengan Clash of Clan, game android yang pernah bertengger paling atas di playstore. Baru-baru ini, dia lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain dota 2 di laptopnya. Lebih jauh lagi flashback ke beberapa tahun yang lalu, ia penggila Stronghold Crusader. Bagiku, ia masih dalam batas wajar. Tak seperti anak-anak warnet yang sebelas dua belas sama abang Toyib, saking kecanduan game tak pulang-pulang ke rumah.
Ia adalah anak keempat dari lima bersaudara. Bapaknya adalah petani tembakau yang cukup terkenal didesanya. Berkilo-kilo atau berton-ton tembakau pernah hilir mudik dirumahnya. Setiap kali musim panen, jangan heran jika banyak rajangan tembakau dijemur dipekarangan rumahnya yang sederhana itu.
Meskipun ekonomi keluarganya tak terlalu mapan. Orangtuanya mampu menyekolahkan kedua abangnya hingga menjadi sarjana. Yang tertua adalah lulusan elektronika, pernah bekerja di Surabaya sebagai teknisi listrik. Sedangkan yang kedua adalah lulusan akuntansi, karena lebih menekuni bidang informasi dan teknologi, ia sekarang membuka usaha bengkel komputer sederhana dirumahnya sendiri. Saat ini, mbaknya Eru juga sedang melakukan studi, mengambil sarjana di kota sendiri. Entah, Eru akan menjadi seperti apa nantinya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Selain Eru, salah seorang sahabatku yang lain adalah Ardan. Dari awal kami berjumpa, disuatu masa orientasi sekolah, entah mengapa aku seringkali berbeda pendapat dengan dia. Mungkin karena perbedaan cara pandang kami terhadap sesuatu. Itu bukan menjadi sebuah permasalahan serius, bukankah perbedaan adalah hal yang wajar dalam persahabatan. Saling menghargai, itu yang penting.
Ia adalah anak tunggal, sama sepertiku. Orangtuanya memiliki usaha ayam potong. Meski tak terlalu besar, namun usahanya telah memiliki banyak pelanggan setia. Ia hobi menikmati musik, sama sepertiku. Dalam hal ini pun, kami punya sudut pandang yang berbeda pula. Selera musiknya tak sama denganku. Ia lebih gandrung ke musik blues dan rock, sedangkan aku lebih demen lagu pop galau nan mellow. Tak jarang aku dan dia memperdebatkan hal sepele tentang lagu siapa yang paling enak. Selain menikmati musik, dia merupakan seorang drummer dan sering tampil diberbagai event atau dikafe-kafe. Namun, akhir-akhir ini dia sibuk mengikuti bimbingan belajar demi ujian nasional serta ujian masuk perguruan tinggi.
Meskipun hobi kami berbeda, ada satu hobi sekaligus kegiatan rutin yang senantiasa kami lakukan yaitu nongkrong diwarung kopi alias ngopi. Entah itu seminggu sekali atau beberapa hari sekali. Berganti-ganti tempat tak menentu. Disanalah momen yang paling pas untuk kami bertukar pikiran dan membahas hal-hal baru. Bisa dikatakan, ngopi adalah sarana pemersatu diantara perbedaan-perbedaan yang ada.
***
Di suatu waktu yang membosankan, ketika jam istirahat sekolah berlangsung.
“Eh bro nanti sepulang sekolah ayo ngopi di warungnya pak Panjoel?” Aku mendekati Eru yang sedang duduk santai dibangku panjang didepan kelas. Menatap gadis-gadis anjay yang melintas berlalu lalang.
“Oke siap, sekalian nebeng pulang ya hahaha.” Wajahnya cengar-cengir. Ia selalu siap sedia jika diajak ngopi bareng, kecuali jika dia memang sibuk sungguhan.
“Ya udah gampang, gue yang traktir kopinya deh entar.” Sahutku, kemudian aku melangkah pergi menuju kekelasku yang hanya terpisah beberapa meter dari kelasnya.
Kelas dimulai pukul 10.00 WIB, pelajaran setelah ini adalah pelajaran Sosiologi. Aku sebenarnya tak terlalu tertarik dengan pelajaran ini. Masalahnya sederhana, karena ada sedikit kejenuhan akan berlembar-lembar tugas folio yang dulu diberikan oleh guruku ditahun lalu. Namun berhubung sekarang gurunya di-resuffle dan wataknya itu humoris nan asik kalau mengajar, sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya.
Bangku pojok belakang paling kiri, adalah tempat duduk favoritku. Tempat yang paling strategis dalam segala situasi. Bermain gadget ketika jenuh, tidur ketika mengantuk, atau yang paling menyenangkan, melirik-lirik teman perempuanku yang paling cantik dan aduhai dikelas.
Dari belakang aku mendengarkan penjelasan dari pak Udin tentang gejala-gejala sosial yang ada dimasyarakat. Sesekali bercanda dengan geng omes bangku pojok belakang.
Cukup beberapa menit beliau menyampaikan subtansi-subtansi dari materi pelajaran, selebihnya dia mendongeng kisah-kisah berdasarkan realitas sehari-hari. Ekspresi wajahnya yang luwes dan jenaka, dengan nada bicaranya yang mengandung unsur tawa, membuat para siswa betah jika diajar olehnya. Jika peribahasa mengatakan sambil menyelam minum air, maka pak Udin memiliki ungkapan tersendiri “Sambil mengajar, tak apalah stand up comedy”.
Kali ini beliau membahas masalah kenakalan remaja. Hal yang sangat mengkhawatirkan di era modern ini.
“Anak-anak, diusia-usia kalian sekarang, itu rawan sekali terjadi hal yang tidak-tidak. Ada yang hamil diluar nikahlah, minuman keraslah. Bikin malu orangtua. Moral bangsa ini diambang kehancuran jika tidak segera dibenahi.” Pak Udin bercerita dengan nada serius, seluruh kelas merenung diam. Tak ada satupun yang berkomentar.
“Begini ya, misalkan kalau kalian yang perempuan hamil diluar nikah, masih untung kalau ada yang mau tanggung jawab. Coba kalau tidak, ada banyak diluar sana yang digilir beramai-ramai oleh pria yang tak bertanggung jawab. Masalahnya satu, karena mereka salah pergaulan. Kalian mau seperti itu? Makanya saat ini pergaulan kalian mesti dijaga, mumpung masih muda. Jangan berpikiran bahwa main begituan enak, halah itu hanya sesaat dan mudharat-nya berat.” Beliau melanjutkan dengan penuh takzim.
“Oleh sebab itu, untuk yang laki-laki jangan mikir nikah saja. Kontrol nafsu, pertebal iman. Setelah lulus kalian harus cari keahlian, kursus atau sejenisnya. Kuliah? Halah buat kalian-kalian ini kuliah bukan jaminan, sekarang banyak sarjana pengangguran, mereka terlalu gengsi untuk bekerja kasar. Baru jika sudah punya penghasilan dan punya calon, mikir berumah tangga. Untuk yang perempuan, setelah lulus lebih baik segera menikah kalau sudah ada calon agar terhindar dari zina. Saya tanya, kalian kalo cari calon suami itu seperti apa?” Pembicaraan mulai serius, gurat wajah beliau berubah.
“Yang tampan pak, menyenangkan jika dipandang, membuat hati tentram dan nyaman.” Salah satu temanku perempuan menjawab. Disusul jawaban-jawaban lain yang hampir senada. Mengangguk setuju.
“Halah, tampan bukan jaminan. Tampan atau cantik itu relatif, sedangkan jelek itu realitas. Cinta tak selalu jadi prioritas. Perempuan pintar, cari suami itu yang mapan. Cinta bisa diurus belakangan, memang kalian mau hidup keteteran sewaktu berumah tangga hanya karena termakan cinta buta. Malah ujung-ujungnya nanti perceraian. Gini ya saya kasih tahu, menikah itu enaknya hanya 10% !” Pak Udin kembali memberikan statement yang cukup mengejutkan kami.
“Saya pertegas kembali, kalian ingat ini baik-baik! Menikah itu enaknya hanya 10%...”
Aku pun dalam hati bertanya heran, mungkin benar apa yang beliau sampaikan. Manisnya hanya dimalam-malam pertama setelah menikah, selebihnya mungkin akan banyak rintangan dan badai dalam rumah tangga. Aku menyimak serius. Beliau penuh tanda tanya.
“Yang 90%....”Kata-kata beliau terpotong.
Seluruh kelas hening, menahan nafas sambil menunggu kata-kata berikutnya.
“Ueeeeeeenaaaaaaaaaaakk.” Ekspresi serius tadi berubah menjadi jenaka, seketika suasana kelas mencair. Semua tertawa terpingkal-pingkal. Jawaban yang sungguh tak dinyana muncul dari sosok pak Udin.
Satu hal yang aku salut dari pak Udin. Dalam proses pembelajaran, beliau menekankan prinsip kejujuran. Proses adalah segalanya, sedangkan nilai itu bukan penentu utama. Meski terkadang itu adalah hal-hal yang menjadi target utama bagi para pelajar, dengan menghalalkan berbagai cara.
Beliau juga lebih menekankan kepada praktik bukan hanya teori-teori belaka. Untuk apa belajar teori jika pada penerapannya kosong. Lebih baik langsung ke praktik dengan sedikit teori, itu akan mempermudah siswa dalam memahami materi.
***
Pukul 14.30 WIB, bel pulang berbunyi. Aku segera melangkah keluar kelas. Memenuhi janji yang kubuat dengan Eru pada jam istirahat tadi.
Banyak siswa dengan seragam putih abu-abu berlalu lalang, membawa tas dan helm dengan beragam warna. Mereka bergegas menuju tempat parkir, hendak pulang kerumah. Aku tetap berjalan, cukup beberapa menit aku sampai didepan kelas Eru.
Eru yang juga duduk dibangku paling belakang sedang bersiap mengemasi buku-buku yang berserakan dibangkunya,
“Bentar ya Megg.” Sahut dia kearahku. Kembali terfokus memasukkan buku itu satu persatu kedalam tasnya.
Aku mengangguk, mencoba mencari kesibukan lain sembari menunggu dia mengemasi barang-barangnya.
“Oke, let’s go.” Tak perlu menunggu lama, dengan jaket warna hijau pupus beserta helm hitam tanpa kaca penutup muka itu, ia berjalan santai. Aku berjalan dibelakangnya sambil sedikit memainkan kunci motorku, kulempar keatas pelan lalu kutangkap dengan sigap. Meski sesekali tanganku meleset, kunci itu jatuh ke lantai.
Butuh beberapa menit untuk keluar dari sesaknya parkiran sekolah yang luasnya terbilang cukup sempit. Motorku terjebak diantara motor-motor lainnya. Akibat sempitnya lahan parkir, suasana diparkiran itu lumayan pengap.
“Gue bantu Megg, biar gue yang mindahin motor ini, keluarin motor lo gih.” Tangannya menyambar motor yang tadi hendak kupindahkan ke ruang kosong diantara rentetan-rentetan motor lainnya karena menghalangi jalan keluar. Dengan cekatan ia memindah motor tersebut.
Beberapa menit, akhirnya motorku dapat dikeluarkan. Kuhidupkan motorku lalu kutancap gas pelan, bersamaan dengan siswa-siswa lain yang juga hendak meninggalkan sekolah.
Tepat setelah keluar dari gerbang sekolah, aku langsung menambah kecepatan. Menuju warung “Mas Panjoel” yang jaraknya tak jauh dari sekolahku. Sesampai disana kami langsung mencari posisi yang pas untuk ngopi. Aku duduk disalah satu meja yang kosong. Meletakkan tasku disampingku.
Eru perlahan menuju ke tempat pemilik warung untuk memesan dua kopi ijo dan juga sebungkus rokok mild untuk menemani sore ini.
Setelah memesan, ia melangkah menuju posisiku. Tangannya melemparkan sebungkus rokok tadi ke meja. Kemudian sebuah korek api bensol diletakkan didekat rokok itu. Aku meraihnya, kunyalakan sebatang rokok tadi lalu kuhisap pelan dan kunikmati setiap kepulan asap.
“Eh bro, lo udah mikir belum habis ini mau kuliah dimana?” Aku mulai membuka pembicaraan.
“Gue udah memutuskan kalau gue bakalan kuliah ke Jogja bro.” Dengan santai dia menjawab.
“Yah enak, lo udah punya tujuan. Gue bingung nih, banyak opsi yang bikin gue susah milih.” Jawabku dengan ekspresi sedikit bingung.
“Tapi mungkin gue bakalan kuliah di Malang. Orangtua gue mendukung kalau gue kuliah disana.” Aku menyambung pernyataanku barusan tanpa sempat ia berkomentar.
“Santai sob, masih lama kok. Lo pikir matang-matang aja dulu. Siapa tau dapet hidayah dari langit, hehe.” Dia mencoba menghiburku yang sedang dilanda kebingungan. Dengan sedikit banyolan.
Disela-sela perbincangan kami, pesanan Eru tadi telah sampai ke meja kami. Diantar oleh mas-mas pelayan warung. Dua gelas kopi ijo bercampur susu putih kental.
Kopi ijo adalah kopi khas dari kotaku, Tulungagung. Kopi ini dinamakan kopi ijo bukan karena warnanya yang murni hijau. Melainkan karena proses pembuatannya yang benar-benar teliti, kopi disangrai cukup lama lalu dihaluskan sampai bubuknya benar-benar lembut. Ketika diseduh warnanya seperti kopi pada umumnya, hitam gelap.
Namun, cita rasalah yang membedakan kopi ini dengan kopi lainnya. Sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, pahit pasti namun ada sentuhan khas. Ampas dari kopi ini juga bermanfaat. Orang-orang yang senantiasa ngopi, biasanya memakai cethe (ampas kopi) sebagai pelengkap rokok. Mereka mengoleskan secara halus cethe yang masih berupa cairan lembut tadi ke rokok mereka. Hampir mirip seperti lotion. Bagi para pecinta seni, hal ini juga dapat dijadikan ajang kreasi untuk membatik diatas rokok. Tentu dengan teknik tertenu untuk menghasilkan motif yang bagus. Aroma dari rokok yang dilapisi cethe juga memiliki ciri khas tersendiri. Rasanya berubah seperti ada aroma-aroma kopi hijau tadi.
Berbicara tentang Tulungagung, mungkin begitu asing ditelinga masyarakat. Kota ini berada disisi paling selatan dari wilayah Jawa Timur. Kota ini memang tak terlalu dikenal, tak dapat dibandingkan dengan Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Namun, kota ini menyimpan kejaiban kecil. Pesona alam yang luar biasa, pantai-pantai yang belum terjamah maupun yang sudah. Selain itu, kota ini punya catatan historis yang terekam dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak era prasejarah. Fosil homo wajakensis pernah ditemukan didaerah Wajak, diteliti oleh sejarawan-sejarawan Belanda. Ada banyak juga arca-arca di kota ini, serta candi-candi peninggalan zaman dulu. Sebagai pengingat, perlu dicatat juga bahwa kota ini adalah salah satu penghasil marmer terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Kembali ke topik perbincanganku dengan Eru.
“Er, besok ada sosialisasi tentang universitas kan di aula?” Aku bertanya kepada Eru yang sedang asik membatik halus diatas rokoknya dengan sebatang tusuk gigi kecil.
“Yap, jam delapan pagi.” Dia menjawab pertanyaanku sekenanya, masih terfokus pada rokoknya. Meski patut diacungi jempol, ukirannya abstrak tak jelas.
‘Semoga besok gue udah punya jawaban atas kebingunganku selama ini.’Aku bergumam sendiri dalam hati.
Selepas itu, kami membicarakan beberapa hal yang kurang penting. Sesekali terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi melalui jalur tulis. Eru masih santai-santai saja. Aku sesekali menyindir dia, padahal aku sendiri telah mencicil materi sedikit demi sedikit.
Hari mulai sore, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kami beranjak dari tempat duduk kami, lalu beringsut meninggalkan warung kopi tersebut. Aku menghidupkan motorku, dia duduk dibelakangku. Kutancap gas sedang, dan kunikmati perjalanan pulang sore itu. Bersama langit yang mulai berubah warnanya.
Diubah oleh sandriaflow 02-08-2019 16:47
rizetamayosh295 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
18K
106
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
sandriaflow
#52
Chapter 10.2: Hari yang Melelahkan di Surabaya (Part 2)
Pukul 12.00 WIB, bus hampir tiba di Surabaya. Sialnya, didaerah Mojokerto jalanan macet. Butuh bermenit-menit untuk bisa lepas dari kemacetan tersebut.
“Kok pake macet segala?” gue heran, dan bertanya kepada Ipung.
“Wajar, besok lusa kan udah memasuki bulan puasa. Banyak orang yang pulang kampung, makanya jalanan macet kayak gini. Sabar aja sebentar lagi juga normal lagi kok.” Ipung menyeringai, menjawab pertanyaanku.
Ketika jalanan mulai normal lagi, bus putih oranye tersebut langsung tancap gas, berusaha tepat waktu untuk sampai diterminal Bungurasih.
Ditengah perjalananan memasuki kota Surabaya, ada bapak tua lansia dengan baju khas adat Jawa lengkap dengan blangkon naik kedalam bus hendak mencari rezeki seperti pengamen-pengamen lainnya. Bermodalkan suara serak tanpa gitar tanpa icik-icik, ia memulai aksinya.
Dengan logat Jawa-nya yang khas, bapak itu bercerita panjang lebar. Sebuah pantun dan syair Jawa atau lebih dikenal dengan tembang macapat, bapak itu menembang dengan khidmat. Dalam syair itu tersimpan filosofifilosofi kehidupan yang jarang sekali diketahui oleh khalayak umum. Mengutak-atik kalimat satu persatu, menyampaikan pesan-pesan kehidupan, dari kita hidup sampai alam setelah kita meninggal.
Beliau membawakan tembang khas itu dengan suaranya yang khas berlanggam Jawa, mengingatkanku kepada suara dalang dalam pagelaran wayang kulit, hanya saja kali ini tanpa diiringi oleh paduan musik gamelan. Patut kuacungi jempol, meski rambutnya dipenuhi uban, tapi faktanya usia tidak menghalangi seseorang untuk berkarya. Beliau adalah seniman jalanan sejati, sekaligus berdakwah dalam menyampaikan syiar dan nasihat tentang
kehidupan.
Aku tergerak untuk memberikan selembar uang yang tak terlalu besar nominalnya kepada bapak tua tersebut.
Beberapa waktu kemudian, akhirnya kita sampai juga di Surabaya. Jalanan yang padat, gedung-gedung besar, mall-mall mewah, jauh berbeda dengan kotaku. Butuh beberapa kilometer lagi untuk sampai di terminal Bungurasih.
Sesampainya di terminal, aku dan Ipung turun. Melewati kerumunan banyak orang, ruko-ruko yang berisikan bermacam-macam barang dagangan. Kami ditawari barang disana-sini oleh banyak pedagang asongan. Diinterview singkat oleh para sopir taksi atau tukang ojek yang hendak mencari penumpang.
Ipung bergegas pergi dengan gerak kaki cepat, mencari bus kota. Dahulu ia hendak ditipu oleh orang, tanpa ia sadari tangannya diseret dan dituntun menuju ke sebuah taksi tanpa persetujuannya. Untung hal itu bisa dicegah karena ada temannya yang mengingatkannya.
Kami kemudian naik ke salah satu bus kota dengan cat warna hitam. Amboi, didalam sana baunya sungguh tidak mengenakkan, menyeruak kemana-mana. Aku seperti ingin mual, tapi bisa kutahan. Bus masih diam ditempat menunggu penumpang lain berdatangan. Pedagang asongan naik turun dari bus menjajakan berbagai macam barang. Makanan ringan, air mineral, headset, gelang, dompet, topi, buah, apapun mereka ditawarkan. Aku tak ada minat sama sekali.
Kursi-kursi yang tadi kosong mulai terisi. Bus pun melaju pelan. Sungguh pelan sekali meninggalkan terminal Bungurasih. Cuaca di Surabaya saat itu lumayan terik, peluhku menetes tak karuan. Huh aku sedikit mengeluh. Keinginanku hanya cepat sampai ditempat selanjutnya dan beristirahat sejenak. Kekesalanku lengkap siang itu karena di jalanan itu harus ada acara macet segala.
***
Sekitar pukul 15.00 WIB, kami tiba di terminal Jayabaya. Kami berdua berjalan kaki beberapa meter, mencari mushola untuk menunaikan sholat yang tadi tertunda, sekaligus istirahat sebentar.
Kami sholat bergantian. Maklum kota ini memang rawan kriminalitas, lengah sedikit bisa jadi barang berharga hilang. Aku menjaga barang-
barang, dan ia pergi untuk mengambil air wudhu lalu sholat.
Setelah selesai, giliran Ipung yang menjaga barang-barang. Aku mengambil air wudhu. Sungguh sensasi yang sangat menyegarkan, berjamjam duduk, kelelahan, setiap basuhan dan air yang mengalir dari ritual ini terasa hebat efeknya. Perlahan aku merasa lebih segar dan lebih rileks. Kemudian aku sholat Dzuhur kujamak dengan sholat Ashar. Sholatku memang tak terlalu khusyuk, mungkin karena suasana yang begitu ramai oleh kendaraan, tapi juga tak terlalu terburu-buru. Selepas sholat, tak lupa kupanjatkan sebuah doa. Sebuah kalimat doa untuk orangtua dan doa Sapujagat.
Kami berdua bersandar didinding luar mushola. Menjulurkan kaki, melepas lelah meski sesaat. Kuambil tasku dan kubuka pelan. Satu kantong plastik berisi dua bungkus makanan kupegang dan kuletakkan dilantai mushola.
“Ayo pung, kita makan dulu.” Sambil kubuka bungkusan yang ada didepanku, aku menawarkan bungkusan satunya kepada Ipung.
“Oke, thanks.” Ia mengambil bungkusan itu dan memakannya. Ia tak punya alasan untuk menolak, rasa sungkan tidak berlaku lagi. Faktanya, kami sama-sama lapar. Butuh tenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan ini.
Memang tak terlalu mewah, hanya mie instan dan juga irisan ayam. Kami memakannya dengan lahap. Dari pagi aku sengaja belum sarapan, kukira perjalanan tidak akan semelelahkan ini. Sebungkus nasi itu cukup untuk mengisi ulang tenagaku. Aku kembali bugar, tekadku masih kuat.
"Udah apa belum makannya?” Dia menghabiskan makanannya lebih cepat dariku.
“Sebentar, gue habiskan ini dulu.”
Nasi bungkus itu habis tak tersisa dalam hitungan menit. Kuambil sebotol besar air mineral dari tasku. Air itu kuteguk pelan, kemudian kusodorkan kepada Ipung. Ia menerimanya lantas meminumnya pelan.
“Gimana? Lanjut apa istirahat dulu.” Dia kemudian bertanya kepadaku, setengah ragu dengan kondisiku.
“Tunggu dulu ya, gue masih lelah.” Aku menjawab lirih kerena kelelahan. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bangkit lagi.
Dia mengangguk, sambil tetap bersandar didinding masjid.
Sungguh kota yang ramai sekali. Angkot warna-warni melintas dijalanan dengan bunyi klaksonnya yang khas, tukang becak sayup-sayup duduk santai dikursi becaknya sesekali mengumbar perut dengan membuka bajunya sedikit keatas. Matahari mulai bergerak pelan diarah barat, langitlangit warnanya mulai membias, menandakan hari sudah mulai sore. Tak ada alasan untuk berlama-lama disini.
“Ayo pung, kita berangkat lagi.” Aku berdiri, tanganku sibuk menggendong tasku yang tadi masih berada dilantai.
Tak banyak bicara, Ipung bergegas merapikan pakaiannya. Melipat sarungnya kemudian meletakkannya kedalam tas. Ia bergegas menghampiriku yang sedang menalikan tali sepatuku.
Setiba dijalan raya, kami berdua berdiri dipinggir jalan berusaha mencari angkutan. Bisa saja kita berdua berjalan kaki menuju lokasi tes, namun itu terlalu jauh nan melelahkan. Sebuah angkot berwarna pink mendadak berhenti tepat didepan kita berdua.
“Kemana dik?” Sopir angkot itu pun bertanya kepada kita.
“Maaf mas, ke lokasi ini bisa apa nggak?” Ipung bertanya ramah. Tangannya bergerak-gerak tak pasti.
“Waduh dek, aku tak tahu lokasi ini dimana.” Tanpa basa-basi, angkot pink itu langsung melaju meninggalkan kita berdua.
“Kita ke Stasiun Gubeng aja dulu gimana pung? setelah itu kita jalan kaki.” Aku sedikit panic menawarkan saran.
“Ya udah deh, gue ngikut lo aja gi. Gak apa-apa.” Saranku disepakati olehnya.
Kita masih berdiri, menanti angkot selanjutnya yang lewat. Tak berapa lama, didepan kita datang lagi angkot berwarna kuning.
“Pak ke Stasiun Gubeng.” Ucap kami berdua hampir bersamaan.
Sopir itu tanpa banyak kata langsung mengangguk. Kita berdua bergegas naik kedalam angkot tersebut. Angkot kuning itu melaju cepat diantara puluhan kendaraan yang berlalu lalang sore itu. Memutari jalanan, melewati jembatan yang dibawahnya melintas sungai yang kumuh penuh sampah. Bangunan-bangunan megah terpampang jelas dipinggir jalan. Sungguh kota yang padat.
Tiba-tiba angkot kuning tersebut berhenti. Sopirnya lantas turun dan meninggalkan kemudinya. Kupikir ia melarikan diri karena suatu alasan. Dugaanku benar, panggilan alamlah yang membuatnya melakukan hal demikian. Sopir itu berlari kecil menuju sebuah pohon, berdiri merapat ke pohon tersebut, dengan penuh khidmat ia melakukan upacara pembuangan hajat singkat tersebut. Aku tertawa kecil. Angkot kuning melaju lagi, hanya butuh beberapa menit lagi kita sampai.
Sesampainya didepan stasiun Gubeng, kami turun kemudian membayar ongkos angkot tersebut.
“Habis ini kita ngapain?” Ipung bertanya kepadaku.
“Udah kita jalan aja, butuh beberapa menit lagi untuk sampai dilokasi tes gue.” Aku menjawab pertanyaan tadi sambil kulihat peta di google map.
Kita berdua berjalan dipinggiran trotoar, mengikuti alur sepanjang selokan. Kadangkala bau busuk menyeruak tajam, aku tak memedulikan hal itu. Kaki-kaki ini entah mengapa bisa kuajak bekerjasama, meski sesekali terasa ngilu karena kelelahan.
“Nah diperempatan itu kita tinggal belok kiri, sampai.” Ekspresi wajahku perlahan berubah menjadi lebih ceria.
Hanya butuh beberapa langkah lagi, dan akhirnya sampailah kita ditempat yang dituju. Lokasi tesku adalah salah satu SMA besar di kota Surabaya. Dari tahun ke tahun, tempat ini merupakan salah satu tempat tes dari beberapa tempat lainnya yang tersebar dibeberapa pulau.
Daripada celingukan tak jelas, aku melangkah menuju gerbang. Didekat gerbang, pria gendut agak ketus menyambutku. Dari tampangnya sudah jelas, dia satpam di sekolah ini.
“Maaf pak, ini tempat tes SIMAK UI kan? Boleh saya lihat-lihat kedalam?” Aku bertanya sopan, sangat sopan.
“Kau lihat selebaran didinding itu, nomor peserta kau ada disana tidak? Nah habis itu kau datang lagi kepadaku.” Cara bicaranya seperti mengajak orang bercanda. Raut wajahnya seperti menyepelekan orang lain. Ah, kalau aku lebih gagah dan perkasa, sudah kutempeleng mukanya yang menyebalkan tersebut. Mungkin kekesalanku ini disebabkan karena efek lelah berkepanjangan.
Aku bergegas merapat ke dinding yang ditunjukkan satpam menyebalkan tersebut. Kulihat selembar kertas yang tertempel didinding itu dengan teliti. Butuh beberapa detik untuk menemukan ruangan tesku. Aku berjalan kembali menemui satpam tadi, mengikuti kata pepatah ‘Malu bertanya sesat dijalan’ daripada aku salah masuk ruang mending memastikan sekali lagi ke satpam menyebalkan itu.
“Maaf pak, ruang dua itu dimana ya?” Aku bertanya sekali lagi, lebih sopan lagi.
“Kau diruang apa? Ruang satu sampai sepuluh lantai bawah, sisanya dilantai atas.” Jawab dia sama menyebalkannya dengan yang tadi.
“Ruang dua pak. Itu dimana?” Aku mengulang ucapanku, entah karena dia gagal fokus atau punya masalah pendengaran aku tak tahu. Yang jelas jawabannya tadi tidak memberikan pencerahan atas pertanyaanku.
“Oh ruang dua. Kau jalan terus melewati gerbang itu, nah dekat tangga kau belok. Kau cari saja sendirilah.” Kali ini dia menjelaskan dengan benar, sambil menggerak-gerakkan tangannya memberikan arahan.
Langsung saja, aku pergi meninggalkan satpam tersebut mencari lokasi tesku berada.
Aku tak terlalu fokus mencarinya dan yang kutemukan hanyalah ruangan kosong. Seperti ruang kelas pada umumnya. Tak ada satupun tandatanda bahwa itu dipakai untuk ujian. Ah masa bodoh pikirku. Aku bergegas pergi meninggalkan ruangan itu melewati lorong sekolah. Bagiku, sudah menemukan lokasi tes ini sudah sangat bersyukur, perihal letak pasti ruangan itu bukan masalah yang terlalu serius.
Sesampainya dihalaman depan, aku duduk sebentar diatas paving halaman dan bersandar ditembok.
“Sekarang kita tinggal mencari tempat untuk bermalam.” Nafasku mulai terngah-engah. Sedikit sesak karena kebanyakan rokok. Aku berbicara sepelan mungkin untuk menghemat tenaga. Kuteguk botol air mineral dari tasku untuk melepas dahaga.
“Masih pukul 16.30 WIB ini. Sekitar satu jam lagi memasuki waktu maghrib, lebih baik kita segera mencari tempat untuk bermalam.” Ipung membujukku pelan untuk bangkit dari posisiku.
Sepersekian detik, posisiku telah berganti. Berdiri dan meneruskan perjalanan yang melelahkan ini.
Tuhan, semoga perjalanan yang melelahkan ini akan membuahkan hasil yang hebat. Hebat dalam arti yang luas, aku percaya akan skenario yang telah Engkau gariskan. Kuatkanlah langkahku kedepan. Amin.
Pukul 12.00 WIB, bus hampir tiba di Surabaya. Sialnya, didaerah Mojokerto jalanan macet. Butuh bermenit-menit untuk bisa lepas dari kemacetan tersebut.
“Kok pake macet segala?” gue heran, dan bertanya kepada Ipung.
“Wajar, besok lusa kan udah memasuki bulan puasa. Banyak orang yang pulang kampung, makanya jalanan macet kayak gini. Sabar aja sebentar lagi juga normal lagi kok.” Ipung menyeringai, menjawab pertanyaanku.
Ketika jalanan mulai normal lagi, bus putih oranye tersebut langsung tancap gas, berusaha tepat waktu untuk sampai diterminal Bungurasih.
Ditengah perjalananan memasuki kota Surabaya, ada bapak tua lansia dengan baju khas adat Jawa lengkap dengan blangkon naik kedalam bus hendak mencari rezeki seperti pengamen-pengamen lainnya. Bermodalkan suara serak tanpa gitar tanpa icik-icik, ia memulai aksinya.
Dengan logat Jawa-nya yang khas, bapak itu bercerita panjang lebar. Sebuah pantun dan syair Jawa atau lebih dikenal dengan tembang macapat, bapak itu menembang dengan khidmat. Dalam syair itu tersimpan filosofifilosofi kehidupan yang jarang sekali diketahui oleh khalayak umum. Mengutak-atik kalimat satu persatu, menyampaikan pesan-pesan kehidupan, dari kita hidup sampai alam setelah kita meninggal.
Beliau membawakan tembang khas itu dengan suaranya yang khas berlanggam Jawa, mengingatkanku kepada suara dalang dalam pagelaran wayang kulit, hanya saja kali ini tanpa diiringi oleh paduan musik gamelan. Patut kuacungi jempol, meski rambutnya dipenuhi uban, tapi faktanya usia tidak menghalangi seseorang untuk berkarya. Beliau adalah seniman jalanan sejati, sekaligus berdakwah dalam menyampaikan syiar dan nasihat tentang
kehidupan.
Aku tergerak untuk memberikan selembar uang yang tak terlalu besar nominalnya kepada bapak tua tersebut.
Beberapa waktu kemudian, akhirnya kita sampai juga di Surabaya. Jalanan yang padat, gedung-gedung besar, mall-mall mewah, jauh berbeda dengan kotaku. Butuh beberapa kilometer lagi untuk sampai di terminal Bungurasih.
Sesampainya di terminal, aku dan Ipung turun. Melewati kerumunan banyak orang, ruko-ruko yang berisikan bermacam-macam barang dagangan. Kami ditawari barang disana-sini oleh banyak pedagang asongan. Diinterview singkat oleh para sopir taksi atau tukang ojek yang hendak mencari penumpang.
Ipung bergegas pergi dengan gerak kaki cepat, mencari bus kota. Dahulu ia hendak ditipu oleh orang, tanpa ia sadari tangannya diseret dan dituntun menuju ke sebuah taksi tanpa persetujuannya. Untung hal itu bisa dicegah karena ada temannya yang mengingatkannya.
Kami kemudian naik ke salah satu bus kota dengan cat warna hitam. Amboi, didalam sana baunya sungguh tidak mengenakkan, menyeruak kemana-mana. Aku seperti ingin mual, tapi bisa kutahan. Bus masih diam ditempat menunggu penumpang lain berdatangan. Pedagang asongan naik turun dari bus menjajakan berbagai macam barang. Makanan ringan, air mineral, headset, gelang, dompet, topi, buah, apapun mereka ditawarkan. Aku tak ada minat sama sekali.
Kursi-kursi yang tadi kosong mulai terisi. Bus pun melaju pelan. Sungguh pelan sekali meninggalkan terminal Bungurasih. Cuaca di Surabaya saat itu lumayan terik, peluhku menetes tak karuan. Huh aku sedikit mengeluh. Keinginanku hanya cepat sampai ditempat selanjutnya dan beristirahat sejenak. Kekesalanku lengkap siang itu karena di jalanan itu harus ada acara macet segala.
***
Sekitar pukul 15.00 WIB, kami tiba di terminal Jayabaya. Kami berdua berjalan kaki beberapa meter, mencari mushola untuk menunaikan sholat yang tadi tertunda, sekaligus istirahat sebentar.
Kami sholat bergantian. Maklum kota ini memang rawan kriminalitas, lengah sedikit bisa jadi barang berharga hilang. Aku menjaga barang-
barang, dan ia pergi untuk mengambil air wudhu lalu sholat.
Setelah selesai, giliran Ipung yang menjaga barang-barang. Aku mengambil air wudhu. Sungguh sensasi yang sangat menyegarkan, berjamjam duduk, kelelahan, setiap basuhan dan air yang mengalir dari ritual ini terasa hebat efeknya. Perlahan aku merasa lebih segar dan lebih rileks. Kemudian aku sholat Dzuhur kujamak dengan sholat Ashar. Sholatku memang tak terlalu khusyuk, mungkin karena suasana yang begitu ramai oleh kendaraan, tapi juga tak terlalu terburu-buru. Selepas sholat, tak lupa kupanjatkan sebuah doa. Sebuah kalimat doa untuk orangtua dan doa Sapujagat.
Kami berdua bersandar didinding luar mushola. Menjulurkan kaki, melepas lelah meski sesaat. Kuambil tasku dan kubuka pelan. Satu kantong plastik berisi dua bungkus makanan kupegang dan kuletakkan dilantai mushola.
“Ayo pung, kita makan dulu.” Sambil kubuka bungkusan yang ada didepanku, aku menawarkan bungkusan satunya kepada Ipung.
“Oke, thanks.” Ia mengambil bungkusan itu dan memakannya. Ia tak punya alasan untuk menolak, rasa sungkan tidak berlaku lagi. Faktanya, kami sama-sama lapar. Butuh tenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan ini.
Memang tak terlalu mewah, hanya mie instan dan juga irisan ayam. Kami memakannya dengan lahap. Dari pagi aku sengaja belum sarapan, kukira perjalanan tidak akan semelelahkan ini. Sebungkus nasi itu cukup untuk mengisi ulang tenagaku. Aku kembali bugar, tekadku masih kuat.
"Udah apa belum makannya?” Dia menghabiskan makanannya lebih cepat dariku.
“Sebentar, gue habiskan ini dulu.”
Nasi bungkus itu habis tak tersisa dalam hitungan menit. Kuambil sebotol besar air mineral dari tasku. Air itu kuteguk pelan, kemudian kusodorkan kepada Ipung. Ia menerimanya lantas meminumnya pelan.
“Gimana? Lanjut apa istirahat dulu.” Dia kemudian bertanya kepadaku, setengah ragu dengan kondisiku.
“Tunggu dulu ya, gue masih lelah.” Aku menjawab lirih kerena kelelahan. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk bangkit lagi.
Dia mengangguk, sambil tetap bersandar didinding masjid.
Sungguh kota yang ramai sekali. Angkot warna-warni melintas dijalanan dengan bunyi klaksonnya yang khas, tukang becak sayup-sayup duduk santai dikursi becaknya sesekali mengumbar perut dengan membuka bajunya sedikit keatas. Matahari mulai bergerak pelan diarah barat, langitlangit warnanya mulai membias, menandakan hari sudah mulai sore. Tak ada alasan untuk berlama-lama disini.
“Ayo pung, kita berangkat lagi.” Aku berdiri, tanganku sibuk menggendong tasku yang tadi masih berada dilantai.
Tak banyak bicara, Ipung bergegas merapikan pakaiannya. Melipat sarungnya kemudian meletakkannya kedalam tas. Ia bergegas menghampiriku yang sedang menalikan tali sepatuku.
Setiba dijalan raya, kami berdua berdiri dipinggir jalan berusaha mencari angkutan. Bisa saja kita berdua berjalan kaki menuju lokasi tes, namun itu terlalu jauh nan melelahkan. Sebuah angkot berwarna pink mendadak berhenti tepat didepan kita berdua.
“Kemana dik?” Sopir angkot itu pun bertanya kepada kita.
“Maaf mas, ke lokasi ini bisa apa nggak?” Ipung bertanya ramah. Tangannya bergerak-gerak tak pasti.
“Waduh dek, aku tak tahu lokasi ini dimana.” Tanpa basa-basi, angkot pink itu langsung melaju meninggalkan kita berdua.
“Kita ke Stasiun Gubeng aja dulu gimana pung? setelah itu kita jalan kaki.” Aku sedikit panic menawarkan saran.
“Ya udah deh, gue ngikut lo aja gi. Gak apa-apa.” Saranku disepakati olehnya.
Kita masih berdiri, menanti angkot selanjutnya yang lewat. Tak berapa lama, didepan kita datang lagi angkot berwarna kuning.
“Pak ke Stasiun Gubeng.” Ucap kami berdua hampir bersamaan.
Sopir itu tanpa banyak kata langsung mengangguk. Kita berdua bergegas naik kedalam angkot tersebut. Angkot kuning itu melaju cepat diantara puluhan kendaraan yang berlalu lalang sore itu. Memutari jalanan, melewati jembatan yang dibawahnya melintas sungai yang kumuh penuh sampah. Bangunan-bangunan megah terpampang jelas dipinggir jalan. Sungguh kota yang padat.
Tiba-tiba angkot kuning tersebut berhenti. Sopirnya lantas turun dan meninggalkan kemudinya. Kupikir ia melarikan diri karena suatu alasan. Dugaanku benar, panggilan alamlah yang membuatnya melakukan hal demikian. Sopir itu berlari kecil menuju sebuah pohon, berdiri merapat ke pohon tersebut, dengan penuh khidmat ia melakukan upacara pembuangan hajat singkat tersebut. Aku tertawa kecil. Angkot kuning melaju lagi, hanya butuh beberapa menit lagi kita sampai.
Sesampainya didepan stasiun Gubeng, kami turun kemudian membayar ongkos angkot tersebut.
“Habis ini kita ngapain?” Ipung bertanya kepadaku.
“Udah kita jalan aja, butuh beberapa menit lagi untuk sampai dilokasi tes gue.” Aku menjawab pertanyaan tadi sambil kulihat peta di google map.
Kita berdua berjalan dipinggiran trotoar, mengikuti alur sepanjang selokan. Kadangkala bau busuk menyeruak tajam, aku tak memedulikan hal itu. Kaki-kaki ini entah mengapa bisa kuajak bekerjasama, meski sesekali terasa ngilu karena kelelahan.
“Nah diperempatan itu kita tinggal belok kiri, sampai.” Ekspresi wajahku perlahan berubah menjadi lebih ceria.
Hanya butuh beberapa langkah lagi, dan akhirnya sampailah kita ditempat yang dituju. Lokasi tesku adalah salah satu SMA besar di kota Surabaya. Dari tahun ke tahun, tempat ini merupakan salah satu tempat tes dari beberapa tempat lainnya yang tersebar dibeberapa pulau.
Daripada celingukan tak jelas, aku melangkah menuju gerbang. Didekat gerbang, pria gendut agak ketus menyambutku. Dari tampangnya sudah jelas, dia satpam di sekolah ini.
“Maaf pak, ini tempat tes SIMAK UI kan? Boleh saya lihat-lihat kedalam?” Aku bertanya sopan, sangat sopan.
“Kau lihat selebaran didinding itu, nomor peserta kau ada disana tidak? Nah habis itu kau datang lagi kepadaku.” Cara bicaranya seperti mengajak orang bercanda. Raut wajahnya seperti menyepelekan orang lain. Ah, kalau aku lebih gagah dan perkasa, sudah kutempeleng mukanya yang menyebalkan tersebut. Mungkin kekesalanku ini disebabkan karena efek lelah berkepanjangan.
Aku bergegas merapat ke dinding yang ditunjukkan satpam menyebalkan tersebut. Kulihat selembar kertas yang tertempel didinding itu dengan teliti. Butuh beberapa detik untuk menemukan ruangan tesku. Aku berjalan kembali menemui satpam tadi, mengikuti kata pepatah ‘Malu bertanya sesat dijalan’ daripada aku salah masuk ruang mending memastikan sekali lagi ke satpam menyebalkan itu.
“Maaf pak, ruang dua itu dimana ya?” Aku bertanya sekali lagi, lebih sopan lagi.
“Kau diruang apa? Ruang satu sampai sepuluh lantai bawah, sisanya dilantai atas.” Jawab dia sama menyebalkannya dengan yang tadi.
“Ruang dua pak. Itu dimana?” Aku mengulang ucapanku, entah karena dia gagal fokus atau punya masalah pendengaran aku tak tahu. Yang jelas jawabannya tadi tidak memberikan pencerahan atas pertanyaanku.
“Oh ruang dua. Kau jalan terus melewati gerbang itu, nah dekat tangga kau belok. Kau cari saja sendirilah.” Kali ini dia menjelaskan dengan benar, sambil menggerak-gerakkan tangannya memberikan arahan.
Langsung saja, aku pergi meninggalkan satpam tersebut mencari lokasi tesku berada.
Aku tak terlalu fokus mencarinya dan yang kutemukan hanyalah ruangan kosong. Seperti ruang kelas pada umumnya. Tak ada satupun tandatanda bahwa itu dipakai untuk ujian. Ah masa bodoh pikirku. Aku bergegas pergi meninggalkan ruangan itu melewati lorong sekolah. Bagiku, sudah menemukan lokasi tes ini sudah sangat bersyukur, perihal letak pasti ruangan itu bukan masalah yang terlalu serius.
Sesampainya dihalaman depan, aku duduk sebentar diatas paving halaman dan bersandar ditembok.
“Sekarang kita tinggal mencari tempat untuk bermalam.” Nafasku mulai terngah-engah. Sedikit sesak karena kebanyakan rokok. Aku berbicara sepelan mungkin untuk menghemat tenaga. Kuteguk botol air mineral dari tasku untuk melepas dahaga.
“Masih pukul 16.30 WIB ini. Sekitar satu jam lagi memasuki waktu maghrib, lebih baik kita segera mencari tempat untuk bermalam.” Ipung membujukku pelan untuk bangkit dari posisiku.
Sepersekian detik, posisiku telah berganti. Berdiri dan meneruskan perjalanan yang melelahkan ini.
Tuhan, semoga perjalanan yang melelahkan ini akan membuahkan hasil yang hebat. Hebat dalam arti yang luas, aku percaya akan skenario yang telah Engkau gariskan. Kuatkanlah langkahku kedepan. Amin.
Diubah oleh sandriaflow 23-09-2018 13:38
1