- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#194
MENCARI SEBUAH JAWABAN
Quote:
Pada pagi hari itu hujan rintik-rintik turun di puncak- puncak pegunungan Tepus. Menyaksikan keadaan puncak ini nyatalah bahwa ada satu peristiwa besar tengah terjadi di desa Telaga Muncar ini. Para warga desa, tua, muda, anak – anak, dewasa, lelaki perempuan semua berkumpul di sebuah joglo besar yang merupakan ruangan pertemuan desa. Mereka duduk berbanjar dengan tertib. Sementara Jampadi sang kepala desa berdiri di tengah-tengah ruangan ini. Wajah lelaki paruh baya ini tampak kuyu, letih dan lelah kedua matanya masih terlihat sedikit merah pertanda kalau lelaki ini kurang tidur. Para penduduk desa yang jumlahnya puluhan itu saling pandang satu sama lain. Sekali –kali memandang ke arah Jampadi. Sejak desa ini ada hampir 200 tahun yang silam, tak pernah hal seperti ini berlangsung. Baru kali ini ada peristiwa menegangkan yang mungkin akan terjadi terjadi. Hati para penduduk desa diliputi kecemasan dan bertanya –tanya, ada apa gerangan sebenarnya?
Aku pun yang ikut duduk bergabung dan berbaur dengan warga desa lainnya. Hanya bisa terdiam. Ku lirik Ida gadis pujaanku itu, ia mengenakan baju berwarna biru muda. Rambutnya kusut dan wajahnya yang cantik kelihatan mendung. Sebentar-sebentar dia pergunakan sehelai sapu tangan untuk menyapu peluh yang menitik di kening nya. Alit, Nathan, Mima, Mira dan Ajeng yang duduk satu deret dengan ku juga terbungkam seribu bahasa. Sibuk dengan pikirannya masing –masing.
Kepala desa Telaga Muncar memandang berkeliling kemudian berseru, " Wahai, para saudaraku penduduk desa Telaga Muncar saya akan menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting. Menyangkut dengan keselamatan kita semua ! “
Sontak joglo besar itu suasananya berubah hening. Aku jadi bertanya –tanya. Demi keselamatan, demi keselamatan. Aku mengulang kalimat itu berkali –kali di dalam hati.
“ Sepulang kalian dari pertemuan ini, berkemas –kemaslah. Mengungsilah pergi jauh –jauh dari desa ini untuk beberapa saat lamaya. Jika situasi sudah memungkinkan. Aku akan mencari kalian, aku akan menjemput kalian “
“ Aku memberi waktu hingga paling lambat sore nanti keadaan desa ini harus sudah bersih. Pergilah ke tempat aman “
Seorang lelaki tua memakai ikat kepal berwarna putih berdiri dari tempat duduknya dan berkata,
“ Tapi Pak, mengapa kita semua harus mengungsi secara mendadak seperti ini? Bagaimana dengan harta benda kami? Sawah, ladang, binatang ternak?”
“ Jangan kau pikirkan hal itu. Tinggalkan saja semua. Ambil barang –barang yang ringkas dan bisa kalian bawa “
“ Aku menjamin barang – barang kalian tidak akan hilang barang sedikit pun “
Terdengar bisik –bisik yang semakin riuh dari mulut warga desa.
“ Aku tahu kalian tentu bingung dengan keputusan ku ini, tapi ketahui lah aku hanya ingin kalian selamat. Ini masalah desa kita sejak ratusan tahun yang lalu. Aku tidak dapat menjelaskan lebih banyak lagi. Tentu nenek kakek kalian telah bercerita secara turun temurun. Nah, itulah yang akan terjadi sekarang “
Aku saling berpandangan ke arah Nathan, pemuda berkaca mata itu mengangkat bahunya tanpa tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Apakah ini ada hubungannya dengan pembunuhan kemarin pagi? Ada hubungannya dengan keluarga Dargo, berarti kuncinya Danny. Ya, anak itu tentu tahu banyak karena ia salah satu dari keluarga Dargo yang bisa dikatakan aku mengenalnya. Dan aku tidak akan segan atau sungkan untuk memaksa anak itu membuka mulutnya. Aku harus menguak misteri ini. Ada apa sebenarnya di desa ini?!
Suasana tidak nyaman bagiku karena dihantam bertubi –tubi pertanyaan yang kian menggelitik di benakku. Sesaat aku melirik arloji berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan kanan ku. Tepat pukul sepuluh dan pertemuan yang ganjil ini belum juga selesai.
Alit menyenggol bahuku. Aku melirik ke arahnya.
“ Berarti program –program KKN kita tidak bisa selesai Zul. Tanggung jawab kita ke kampus bagaimana?! “
“ Entahlah, aku juga bingung. Tapi apakah kau, kita juga musti meninggalkan tempat ini?”
“ Jangan gila kau Zul, aku yakin Pak Jampadi tidak main –main dengan situasi ini. Aku tidak mau konyol disini, edari awal aku juga sudah mencium gelagat yang tidak beres di desa ini !”
Mima mendengus dengan kesal. Wajahnya terlihat sinis memandang ke arah ku. Perdebatanku yang mungkin akan terus berlanjut itu tiba –tiba terpotong. Aku melihat ke depan, Pak Jampadi berkata dengan lantang.
“ Pertemuan ini kita cukupkan sampai disini. Kalian semua warga desa Telaga Muncar silahkan kembali ke rumah masing –masing dan berkemas – kemaslah!”
Para penduduk desa dengan bergegas membubarkan diri menuju ke rumah masing –masing. Aku melirik ke arah Pak Jampadi di seberang sana yang sedang berbicara dengan beberapa orang pemuda yang rata –rata berbadan tegap.
“ Kalian tunggulah disini. Aku akan berbicara dengan kepala desa itu “
Teman –temanku hanya mengangguk. Sekilas aku lihat wajah Ida. Wajah itu tampak lebih pucat dari biasanya. Aku menarik nafas panjang. Beda sekali dengan Ida yang aku kenal di kampus. Segala keriangan dan kecerewetannya hilang musnah berganti dengan wajah pucat dan penuh ketakutan. Nasib sial rupanya membawa kita berenam terdampar di desa laknat ini.
Ku ayunkan kaki ke arah Pak Jampadi yang masih tampak serius berbicara dengan keenam pemuda desa itu. Melihat aku berjalan mendekatinya terlihat Pak Jampadi agak merasa canggung dengan bubu –buru ia menyuruh ke enam orang itu untuk segera pergi.
“ Kalian pergilah, besok malam berkumpul di rumahku. Bersiap –siaplah mulai dari sekarang !”
Keenam orang itu segera berlalu tanpa melirik ke arah ku yang hanya berjarak satu langkah di depan ku. Tatkala berpapasan dengan para lelaki muda itu bisa aku lihat wajah –wajahnya menyiratkan ketegangan yang tidak dapat disembunyikan.
Pak Jampadi tesenyum lalu mengangguk ke arahku.
“ Kebetulan Nak Zulham belum pulang, jadi saya bisa berbicara langsung di tempat ini “
Seperti warga yang lain, Nak Zulham dan rombongan musti meninggalkan desa ini secepatnya “
“ Tapi pak, ada apa sebenarnya? Kegiatan KKN kita juga masih menyisakan waktu satu bulan lebih. Program – program kami, terutama saluran air bersih juga belum sepenuhnya selesai “
“ Lupakan itu Nak, lupakan semua itu yang penting keselamatan kalian “
“ Maksud bapak apa?! “ Aku bertanya dengan sedikit keras.
“ Saya tidak bisa berbicara lebih jauh. Ini menyangkut masalah pribadi perihal desa Telaga Muncar dan tidak bisa saya katakan pada orang luar . Saya mohon maaf “
Pak Jampadi menjawab dengan sedikit tegas, sesaat aku bisa melihat wajahnya sempat memerah. Nampaknya kepala desa itu tampak gusar dengan pertanyaanku barusan. Akhirnya aku menyerah, setelah berbasa – basi sejenak aku pamit pergi meninggalkan balai desa. Pak Jampadi tersenyum untuk mencairkan suasana, akan tetapi hal itu tidak merubah segalanya. Senyuman itu berasa hambar dan kaku.
Aku pun yang ikut duduk bergabung dan berbaur dengan warga desa lainnya. Hanya bisa terdiam. Ku lirik Ida gadis pujaanku itu, ia mengenakan baju berwarna biru muda. Rambutnya kusut dan wajahnya yang cantik kelihatan mendung. Sebentar-sebentar dia pergunakan sehelai sapu tangan untuk menyapu peluh yang menitik di kening nya. Alit, Nathan, Mima, Mira dan Ajeng yang duduk satu deret dengan ku juga terbungkam seribu bahasa. Sibuk dengan pikirannya masing –masing.
Kepala desa Telaga Muncar memandang berkeliling kemudian berseru, " Wahai, para saudaraku penduduk desa Telaga Muncar saya akan menyampaikan sesuatu hal yang sangat penting. Menyangkut dengan keselamatan kita semua ! “
Sontak joglo besar itu suasananya berubah hening. Aku jadi bertanya –tanya. Demi keselamatan, demi keselamatan. Aku mengulang kalimat itu berkali –kali di dalam hati.
“ Sepulang kalian dari pertemuan ini, berkemas –kemaslah. Mengungsilah pergi jauh –jauh dari desa ini untuk beberapa saat lamaya. Jika situasi sudah memungkinkan. Aku akan mencari kalian, aku akan menjemput kalian “
“ Aku memberi waktu hingga paling lambat sore nanti keadaan desa ini harus sudah bersih. Pergilah ke tempat aman “
Seorang lelaki tua memakai ikat kepal berwarna putih berdiri dari tempat duduknya dan berkata,
“ Tapi Pak, mengapa kita semua harus mengungsi secara mendadak seperti ini? Bagaimana dengan harta benda kami? Sawah, ladang, binatang ternak?”
“ Jangan kau pikirkan hal itu. Tinggalkan saja semua. Ambil barang –barang yang ringkas dan bisa kalian bawa “
“ Aku menjamin barang – barang kalian tidak akan hilang barang sedikit pun “
Terdengar bisik –bisik yang semakin riuh dari mulut warga desa.
“ Aku tahu kalian tentu bingung dengan keputusan ku ini, tapi ketahui lah aku hanya ingin kalian selamat. Ini masalah desa kita sejak ratusan tahun yang lalu. Aku tidak dapat menjelaskan lebih banyak lagi. Tentu nenek kakek kalian telah bercerita secara turun temurun. Nah, itulah yang akan terjadi sekarang “
Aku saling berpandangan ke arah Nathan, pemuda berkaca mata itu mengangkat bahunya tanpa tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Apakah ini ada hubungannya dengan pembunuhan kemarin pagi? Ada hubungannya dengan keluarga Dargo, berarti kuncinya Danny. Ya, anak itu tentu tahu banyak karena ia salah satu dari keluarga Dargo yang bisa dikatakan aku mengenalnya. Dan aku tidak akan segan atau sungkan untuk memaksa anak itu membuka mulutnya. Aku harus menguak misteri ini. Ada apa sebenarnya di desa ini?!
Suasana tidak nyaman bagiku karena dihantam bertubi –tubi pertanyaan yang kian menggelitik di benakku. Sesaat aku melirik arloji berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan kanan ku. Tepat pukul sepuluh dan pertemuan yang ganjil ini belum juga selesai.
Alit menyenggol bahuku. Aku melirik ke arahnya.
“ Berarti program –program KKN kita tidak bisa selesai Zul. Tanggung jawab kita ke kampus bagaimana?! “
“ Entahlah, aku juga bingung. Tapi apakah kau, kita juga musti meninggalkan tempat ini?”
“ Jangan gila kau Zul, aku yakin Pak Jampadi tidak main –main dengan situasi ini. Aku tidak mau konyol disini, edari awal aku juga sudah mencium gelagat yang tidak beres di desa ini !”
Mima mendengus dengan kesal. Wajahnya terlihat sinis memandang ke arah ku. Perdebatanku yang mungkin akan terus berlanjut itu tiba –tiba terpotong. Aku melihat ke depan, Pak Jampadi berkata dengan lantang.
“ Pertemuan ini kita cukupkan sampai disini. Kalian semua warga desa Telaga Muncar silahkan kembali ke rumah masing –masing dan berkemas – kemaslah!”
Para penduduk desa dengan bergegas membubarkan diri menuju ke rumah masing –masing. Aku melirik ke arah Pak Jampadi di seberang sana yang sedang berbicara dengan beberapa orang pemuda yang rata –rata berbadan tegap.
“ Kalian tunggulah disini. Aku akan berbicara dengan kepala desa itu “
Teman –temanku hanya mengangguk. Sekilas aku lihat wajah Ida. Wajah itu tampak lebih pucat dari biasanya. Aku menarik nafas panjang. Beda sekali dengan Ida yang aku kenal di kampus. Segala keriangan dan kecerewetannya hilang musnah berganti dengan wajah pucat dan penuh ketakutan. Nasib sial rupanya membawa kita berenam terdampar di desa laknat ini.
Ku ayunkan kaki ke arah Pak Jampadi yang masih tampak serius berbicara dengan keenam pemuda desa itu. Melihat aku berjalan mendekatinya terlihat Pak Jampadi agak merasa canggung dengan bubu –buru ia menyuruh ke enam orang itu untuk segera pergi.
“ Kalian pergilah, besok malam berkumpul di rumahku. Bersiap –siaplah mulai dari sekarang !”
Keenam orang itu segera berlalu tanpa melirik ke arah ku yang hanya berjarak satu langkah di depan ku. Tatkala berpapasan dengan para lelaki muda itu bisa aku lihat wajah –wajahnya menyiratkan ketegangan yang tidak dapat disembunyikan.
Pak Jampadi tesenyum lalu mengangguk ke arahku.
“ Kebetulan Nak Zulham belum pulang, jadi saya bisa berbicara langsung di tempat ini “
Seperti warga yang lain, Nak Zulham dan rombongan musti meninggalkan desa ini secepatnya “
“ Tapi pak, ada apa sebenarnya? Kegiatan KKN kita juga masih menyisakan waktu satu bulan lebih. Program – program kami, terutama saluran air bersih juga belum sepenuhnya selesai “
“ Lupakan itu Nak, lupakan semua itu yang penting keselamatan kalian “
“ Maksud bapak apa?! “ Aku bertanya dengan sedikit keras.
“ Saya tidak bisa berbicara lebih jauh. Ini menyangkut masalah pribadi perihal desa Telaga Muncar dan tidak bisa saya katakan pada orang luar . Saya mohon maaf “
Pak Jampadi menjawab dengan sedikit tegas, sesaat aku bisa melihat wajahnya sempat memerah. Nampaknya kepala desa itu tampak gusar dengan pertanyaanku barusan. Akhirnya aku menyerah, setelah berbasa – basi sejenak aku pamit pergi meninggalkan balai desa. Pak Jampadi tersenyum untuk mencairkan suasana, akan tetapi hal itu tidak merubah segalanya. Senyuman itu berasa hambar dan kaku.
Quote:
Aku menghentikan jalan di tikungan itu. Mata ku memandang ke depan memperhatikan beberapa buah gerobak besar ditumpangi oleh perempuan-perempuan dan anak-anak. Gerobak-gerobak itu juga penuh dengan muatan berbagai macam perabotan rumah tangga. Belasan orang laki-laki kelihatan berjalan kaki dan membawa buntalan barang-barang. Tatkala teman –teman ku sibuk berkemas aku diam-diam menyelinap keluar. Niatku hanya satu mencari Danny. Aku harus tahu ada apa sebenarnya di desa ini.
Aku berjalan lagi menyusuri tepi desa, beberapa kali berpapasan dengan warga desa yang mulai pergi mengungsi meninggalkan Telaga Muncar. Tidak terasa aku telah sampai di ujung kampung. Suasana sunyi senyap. Hamparan ladang jagung sudah mulai berbunga menghadang di depan mata.
Tatkala aku masih tertegun memandangi hamparan ladang jagung, sebuah batu kerikil mengenai kepalaku. Aku menoleh ke arah dimana batu itu berasal. Sepi tidak terlihat seorangpun. Jelas batu ini dilempar seseorang. Awalnya aku tidak memperdulikan itu, tetapi lemparan batu –batu kerikil itu tidak berhenti. Aku mulai jengkel. Sembari menoleh.
“ Siapa yang bermain –main denganku keluarlah! Jangan jadi pengecut main lempar dari belakang!”
Suara lantang ku bergema, suasana tetap sunyi. Tidak ada jawaban sama sekali. Aku hendak berteriak lagi. Pada saat itulah terdengar seseorang tertawa dengan keras. Sudah jelas tawa itu ditujukan kepada ku. Serentak kepala aku dongakkan ke atas, ke arah sumber suara.
Disebongkah batu kapur yang menjorok ke depan beberapa meter di atasku seorang pemuda, bercelana hitam selutut dengan sepatu boot tinggi berdiri disana. Wajahnya kelimis dengan rambut yang sedikit acak –acakan. Sebuah busur panah ada digenggaman tangan kanannya, beberapa anak panah terlihat menyembul dari balik punggungnya.
“ Brengsek kau Dann “
Aku masih mengumpat dari bawah. Pemuda yang tidak lain Danny masih saja tertawa, air matanya sampai keluar saking gelinya.
“Wajah mu sangat lucu Zul, kau bingung mencari siapa pelempar kerikil –kerikil ini?!” Habis berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat turun. Lalu dengan seenaknya ia duduk di atas sebuah papan kayu yang ada di tepi ladang. Busur panahnya ia letakkan di sampingnya. Aku masih terpaku di tempatku berdiri tadi.
“ Mengapa kau masih keluyuran disini Zul? Kau mustinya secepatnya pergi dari desa ini kalau kau sayang nyawa mu. Aku yakin teman –teman mu itu tidak sekonyol kamu “
Pemuda urakan itu tertawa, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemeja. Lalu menyulut dengan sebuah pemantik api. Tidak lama kemudian asap putih telah mengepul dan keluar melalui sela –sela bibirnya.
Aku melangkah mendekati Danny.
“ Dann, kau harus menceritakan kepadaku. Ada apa sebenarnya di desa ini?! Mengapa kepala desa itu menyuruh para warga untuk pergi mengungsi?”
“ Jangan kau katakan dengan tidak tahu. Aku sempat melihat Tuan Dargo dan Pak Jampadi berbicara sebentar di pemakaman itu “
Danny tidak menjawab, pemuda itu masih saja asyik dengan sebatang rokok yang masih menyelip di sela –sela bibir. Aku menjadi sedikit geram, Danny tidak sedikitpun menjawab petanyaan ku. Kerah bajunya aku cengkeram dengan kedua tangan ku.
“ Katakan Dann, atau aku akan memaksa agar kau mau membuka mulut “
“ Rupanya mata mu awas juga Zul?”
Pemuda itu sama sekali tidak terkejut dan masih tenang. Dicampakkan rokok yang masih tersisa separuh ke dalam parit kecil di depannya. Batang rokok itu mati lalu terbawa hanyut aliran air dan tidak terlihat lagi.
“ Kau ingin tahu yang sebenarnya?”
Aku mengangguk tanpa melepaskan cengkeraman ku.
“ Baiklah kalau itu kemauanmu. Tapi aku ada satu syarat “
“ Syarat apa itu? Lekas katakan ! “
“ Pertama lepaskan dulu kerah baju ku “
Aku melepaskan cengkeraman ku. Danny dengan tersenyum aneh memandangku sejenak lalu ia merapikan kerah bajunya yang sedikit kusut.
“ Syarat yang kedua susul aku ! “
Pemuda itu dengan cepat menyambar busur panah yang ada di atas papan kayu, tidak lama kemudian tubuhnya melesat berlari meninggalkan ku.
“ Brengsek kau Dann. Tunggu aku....”
“ Ayo orang kota kejar aku, susul aku kalau kau ingin tahu ada apa sebenarnya di desa ini “
Kuayunkan kakiku dengan cepat berusaha mengejar Danny yang telah berada jauh di depan ku. Kupercepat langkah ku agar aku bisa mengejar pemuda urakan itu. Hanya satu keinginanku. Menyingkap tabir misteri di desa Telaga Muncar.
Aku berjalan lagi menyusuri tepi desa, beberapa kali berpapasan dengan warga desa yang mulai pergi mengungsi meninggalkan Telaga Muncar. Tidak terasa aku telah sampai di ujung kampung. Suasana sunyi senyap. Hamparan ladang jagung sudah mulai berbunga menghadang di depan mata.
Tatkala aku masih tertegun memandangi hamparan ladang jagung, sebuah batu kerikil mengenai kepalaku. Aku menoleh ke arah dimana batu itu berasal. Sepi tidak terlihat seorangpun. Jelas batu ini dilempar seseorang. Awalnya aku tidak memperdulikan itu, tetapi lemparan batu –batu kerikil itu tidak berhenti. Aku mulai jengkel. Sembari menoleh.
“ Siapa yang bermain –main denganku keluarlah! Jangan jadi pengecut main lempar dari belakang!”
Suara lantang ku bergema, suasana tetap sunyi. Tidak ada jawaban sama sekali. Aku hendak berteriak lagi. Pada saat itulah terdengar seseorang tertawa dengan keras. Sudah jelas tawa itu ditujukan kepada ku. Serentak kepala aku dongakkan ke atas, ke arah sumber suara.
Disebongkah batu kapur yang menjorok ke depan beberapa meter di atasku seorang pemuda, bercelana hitam selutut dengan sepatu boot tinggi berdiri disana. Wajahnya kelimis dengan rambut yang sedikit acak –acakan. Sebuah busur panah ada digenggaman tangan kanannya, beberapa anak panah terlihat menyembul dari balik punggungnya.
“ Brengsek kau Dann “
Aku masih mengumpat dari bawah. Pemuda yang tidak lain Danny masih saja tertawa, air matanya sampai keluar saking gelinya.
“Wajah mu sangat lucu Zul, kau bingung mencari siapa pelempar kerikil –kerikil ini?!” Habis berkata begitu si pemuda laksana seekor alap-alap melompat turun. Lalu dengan seenaknya ia duduk di atas sebuah papan kayu yang ada di tepi ladang. Busur panahnya ia letakkan di sampingnya. Aku masih terpaku di tempatku berdiri tadi.
“ Mengapa kau masih keluyuran disini Zul? Kau mustinya secepatnya pergi dari desa ini kalau kau sayang nyawa mu. Aku yakin teman –teman mu itu tidak sekonyol kamu “
Pemuda urakan itu tertawa, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemeja. Lalu menyulut dengan sebuah pemantik api. Tidak lama kemudian asap putih telah mengepul dan keluar melalui sela –sela bibirnya.
Aku melangkah mendekati Danny.
“ Dann, kau harus menceritakan kepadaku. Ada apa sebenarnya di desa ini?! Mengapa kepala desa itu menyuruh para warga untuk pergi mengungsi?”
“ Jangan kau katakan dengan tidak tahu. Aku sempat melihat Tuan Dargo dan Pak Jampadi berbicara sebentar di pemakaman itu “
Danny tidak menjawab, pemuda itu masih saja asyik dengan sebatang rokok yang masih menyelip di sela –sela bibir. Aku menjadi sedikit geram, Danny tidak sedikitpun menjawab petanyaan ku. Kerah bajunya aku cengkeram dengan kedua tangan ku.
“ Katakan Dann, atau aku akan memaksa agar kau mau membuka mulut “
“ Rupanya mata mu awas juga Zul?”
Pemuda itu sama sekali tidak terkejut dan masih tenang. Dicampakkan rokok yang masih tersisa separuh ke dalam parit kecil di depannya. Batang rokok itu mati lalu terbawa hanyut aliran air dan tidak terlihat lagi.
“ Kau ingin tahu yang sebenarnya?”
Aku mengangguk tanpa melepaskan cengkeraman ku.
“ Baiklah kalau itu kemauanmu. Tapi aku ada satu syarat “
“ Syarat apa itu? Lekas katakan ! “
“ Pertama lepaskan dulu kerah baju ku “
Aku melepaskan cengkeraman ku. Danny dengan tersenyum aneh memandangku sejenak lalu ia merapikan kerah bajunya yang sedikit kusut.
“ Syarat yang kedua susul aku ! “
Pemuda itu dengan cepat menyambar busur panah yang ada di atas papan kayu, tidak lama kemudian tubuhnya melesat berlari meninggalkan ku.
“ Brengsek kau Dann. Tunggu aku....”
“ Ayo orang kota kejar aku, susul aku kalau kau ingin tahu ada apa sebenarnya di desa ini “
Kuayunkan kakiku dengan cepat berusaha mengejar Danny yang telah berada jauh di depan ku. Kupercepat langkah ku agar aku bisa mengejar pemuda urakan itu. Hanya satu keinginanku. Menyingkap tabir misteri di desa Telaga Muncar.
Quote:
PEMANDANGAN di lereng perbukitan seribu indah sekali menjelang senja. Di atas langit biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menghijau bagai hamparan permadani raksasa. Di sebelah barat tampak hutan yang subur, menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan memutih seperti emas tertimpa cahaya matahari yang sedang naik. Angin berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung terdengar dikejauhan. Lalu lenyap.
Aku mendengus kesal. Peluh membasahi sekujur tubuh. Kedua kaki ku rasanya seperti akan patah tulang –tulangnya. Nafas ku tersengal –sengal. Kebodohan apalagi yang telah aku perbuat mengejar Danny demi sebuah rasa penasaran. Aku hentikan langkah kaki ku, bersandar disebuah pohon jati. Mengatur nafas.
“ Dimana orang itu. Sosoknya tadi masih terlihat jelas berlari di depan ku “
Aku menoleh kesamping hanya terlihat kerapatan pohon jati dan semak belukar. Tampaknya tempat ini jarang dijamah manusia. Aku mengeluh dalam hati. Sesaat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh langkah – langkah kaki berkeresekan menyibak semak belukar dan sesekali berkereketan menginjak rerantingan pohon yang berserakan di tanah. Dari balik kerapatan pohon jati sesosok tubuh muncul.
“ Kau memang keras kepala Zul. Aku akui untuk seorang anak kota kau boleh juga. Mampu mengejarku hingga ke tempat ini “
Aku hendak melabraknya akan tetapi, tubuh ini tidka mau untuk diajak kompromi. Aku hanya melihatnya dengan sedikit melotot ke arah Danny.
“ Sesuai janjiku tadi, aku akan menceritakan kepadamu......”
Danny tiba –tiba tidak melanjutkan ucapannya. Pemuda itu lantas menarikku ke balik sebuah pohon jati yang sangat besar. Aku terkejut.
“ Ayo kemarilah dan jangan bersuara atau bergerak. Diam lah ! “
“ Ada apa?! “ Aku bertanya dengan ketus sedikit keras. Buru –buru Danny membekap mulutku dengan tangan kanannya.
Lalu tiba –tiba sebuah bayangan coklat berkelebat. Hanya berjarak sekitar tiga meter di depan ku. Binatang itu. Tampak seekor anjing hutan berlari lalu berhenti. Binatang itu mendongakkan kepalanya ke atas. Moncongnya mendengus –dengus. Deretan giginya yang tajam menyembul dari sela –sela mulut belendirnya.
Aku tidak memperhatikan Danny, tatkala sebuah anak panah melucur deras ke arah kaki binatang itu. Tampaknya binatang itu tidak kalah terkejutnya. Terdengar pekikan dan geraman penuh amarah manakala anak panah menancap di paha kiri bagian luar anjing hutan itu. Binatang itu pun hendak berlari meski dengan susah payah. Darah mengucur dari lukanya.
“ Hei, jangan lari!” teriak Danny.
Bersamaan dengan itu busur ditangannya terentang lagi dan dalam waktu sedetik sebelum teriakannya lenyap, anak panah kembali melesat dari busurnya. Anjing besar itu seperti terdorong ke depan, anak paah kembali menancap di kaki depannya. Tubuhnya terduduk di tanah tetapi dengan cepat telah bangun kembali. Danny membidik lagi. Tetapi anjing hutan yang tengah terluka dikedua kakinya itu telah melompat ke semak –semak. Sebelum melompat kepalanya sempat ditolehkan ke arah Danny dan ke arah k. Moncongnya yang rubcing dan berlendir itu keluar lenguhan kesakitan sementara dara matanya yang memerah terpancar sinar kebencian.
Kebencian, buakn rasa takut!
“ Kejar ! Ayo Zul kejar. Mari aku tunjukkan bagaimana sosok anjing itu sebenarnya !”
Kami kemudian berlari –lari di antara smeak belukar dan batang –batang pohon yang bercabang –cabang rendah, merunduk, tegak, berlari lai, jatuh tunggang langgang, bangkit lalu terus, terus, terus mengikuti arah kemana binatang terluka itu berlari. Tetapi anjing besar itu seperti lenyap ditelan bumi.
“ Sudahlah. Tak akan berhasil “ umpatku kelelahan.
“ Tidak!”
Danny mencium –cium. Lubang hidungnya kembang kempis, matanya liar berputar – putar mencari –cari, hidungnya mulai diciumkan ke arah tanah. Seperti seekor anjing pelacak. Aku tertegun melihatnya. Ingatanku kembali pada sosok –sosok anjing yang mencegatku di perbatasan desa Telaga Muncar malam itu. Tiba –tiba Danny berdiri tegak, matanya liar menatap ke depan.
“ Binatang itu lari ke arah sana. Ayo kita kejar !”
“ Dann. Berhentilah dulu!”
“ Zul, kalau kau mau duduk disini, duduklah. Aku akan terus mengejarnya hingga dapat ! “
“ Apa? Kau mau biarkan aku tersesat di tengah hutan belantara ini?”
Seperti mendapa suntikan tenaga baru aku mulai berlari mengejar Danny yang terus berlari.
“ Hei tunggu Danny. Tungguuuuu !”
Senja mulai merambat petang sebentar lagi berganti malam akhirnya Danny yang menyerah kalah. Ia jatuh terjerembab di atas hamparan rumput kering, berbaring kelelahan kemudian tertawa getir. Diantara tawanya yang terdengar tidak enak, ia berkata, “ Anjing setan. Kuat berlari sejauh ini dengan luka di kedua kakinya “
“ Mungkin itu anjing jadi –jadian seperti yang kita lihat sewaktu pulang dari rumah mu “
“ Tepat !” teriaknya parau, memandang ke sekeliling yang sudah mulai gelap.
Jawaban singkat itu membuatku terkejut.
Aku mendengus kesal. Peluh membasahi sekujur tubuh. Kedua kaki ku rasanya seperti akan patah tulang –tulangnya. Nafas ku tersengal –sengal. Kebodohan apalagi yang telah aku perbuat mengejar Danny demi sebuah rasa penasaran. Aku hentikan langkah kaki ku, bersandar disebuah pohon jati. Mengatur nafas.
“ Dimana orang itu. Sosoknya tadi masih terlihat jelas berlari di depan ku “
Aku menoleh kesamping hanya terlihat kerapatan pohon jati dan semak belukar. Tampaknya tempat ini jarang dijamah manusia. Aku mengeluh dalam hati. Sesaat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh langkah – langkah kaki berkeresekan menyibak semak belukar dan sesekali berkereketan menginjak rerantingan pohon yang berserakan di tanah. Dari balik kerapatan pohon jati sesosok tubuh muncul.
“ Kau memang keras kepala Zul. Aku akui untuk seorang anak kota kau boleh juga. Mampu mengejarku hingga ke tempat ini “
Aku hendak melabraknya akan tetapi, tubuh ini tidka mau untuk diajak kompromi. Aku hanya melihatnya dengan sedikit melotot ke arah Danny.
“ Sesuai janjiku tadi, aku akan menceritakan kepadamu......”
Danny tiba –tiba tidak melanjutkan ucapannya. Pemuda itu lantas menarikku ke balik sebuah pohon jati yang sangat besar. Aku terkejut.
“ Ayo kemarilah dan jangan bersuara atau bergerak. Diam lah ! “
“ Ada apa?! “ Aku bertanya dengan ketus sedikit keras. Buru –buru Danny membekap mulutku dengan tangan kanannya.
Lalu tiba –tiba sebuah bayangan coklat berkelebat. Hanya berjarak sekitar tiga meter di depan ku. Binatang itu. Tampak seekor anjing hutan berlari lalu berhenti. Binatang itu mendongakkan kepalanya ke atas. Moncongnya mendengus –dengus. Deretan giginya yang tajam menyembul dari sela –sela mulut belendirnya.
Aku tidak memperhatikan Danny, tatkala sebuah anak panah melucur deras ke arah kaki binatang itu. Tampaknya binatang itu tidak kalah terkejutnya. Terdengar pekikan dan geraman penuh amarah manakala anak panah menancap di paha kiri bagian luar anjing hutan itu. Binatang itu pun hendak berlari meski dengan susah payah. Darah mengucur dari lukanya.
“ Hei, jangan lari!” teriak Danny.
Bersamaan dengan itu busur ditangannya terentang lagi dan dalam waktu sedetik sebelum teriakannya lenyap, anak panah kembali melesat dari busurnya. Anjing besar itu seperti terdorong ke depan, anak paah kembali menancap di kaki depannya. Tubuhnya terduduk di tanah tetapi dengan cepat telah bangun kembali. Danny membidik lagi. Tetapi anjing hutan yang tengah terluka dikedua kakinya itu telah melompat ke semak –semak. Sebelum melompat kepalanya sempat ditolehkan ke arah Danny dan ke arah k. Moncongnya yang rubcing dan berlendir itu keluar lenguhan kesakitan sementara dara matanya yang memerah terpancar sinar kebencian.
Kebencian, buakn rasa takut!
“ Kejar ! Ayo Zul kejar. Mari aku tunjukkan bagaimana sosok anjing itu sebenarnya !”
Kami kemudian berlari –lari di antara smeak belukar dan batang –batang pohon yang bercabang –cabang rendah, merunduk, tegak, berlari lai, jatuh tunggang langgang, bangkit lalu terus, terus, terus mengikuti arah kemana binatang terluka itu berlari. Tetapi anjing besar itu seperti lenyap ditelan bumi.
“ Sudahlah. Tak akan berhasil “ umpatku kelelahan.
“ Tidak!”
Danny mencium –cium. Lubang hidungnya kembang kempis, matanya liar berputar – putar mencari –cari, hidungnya mulai diciumkan ke arah tanah. Seperti seekor anjing pelacak. Aku tertegun melihatnya. Ingatanku kembali pada sosok –sosok anjing yang mencegatku di perbatasan desa Telaga Muncar malam itu. Tiba –tiba Danny berdiri tegak, matanya liar menatap ke depan.
“ Binatang itu lari ke arah sana. Ayo kita kejar !”
“ Dann. Berhentilah dulu!”
“ Zul, kalau kau mau duduk disini, duduklah. Aku akan terus mengejarnya hingga dapat ! “
“ Apa? Kau mau biarkan aku tersesat di tengah hutan belantara ini?”
Seperti mendapa suntikan tenaga baru aku mulai berlari mengejar Danny yang terus berlari.
“ Hei tunggu Danny. Tungguuuuu !”
Senja mulai merambat petang sebentar lagi berganti malam akhirnya Danny yang menyerah kalah. Ia jatuh terjerembab di atas hamparan rumput kering, berbaring kelelahan kemudian tertawa getir. Diantara tawanya yang terdengar tidak enak, ia berkata, “ Anjing setan. Kuat berlari sejauh ini dengan luka di kedua kakinya “
“ Mungkin itu anjing jadi –jadian seperti yang kita lihat sewaktu pulang dari rumah mu “
“ Tepat !” teriaknya parau, memandang ke sekeliling yang sudah mulai gelap.
Jawaban singkat itu membuatku terkejut.
Diubah oleh breaking182 23-09-2018 00:22
User telah dihapus dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas