- Beranda
- Stories from the Heart
YANG HIDUP BERCERITA (Dwilogi 100 Tahun Setelah Aku Mati)
...
TS
kulon.kali
YANG HIDUP BERCERITA (Dwilogi 100 Tahun Setelah Aku Mati)
YANG HIDUP BERCERITA
(DWILOGI 100 TAHUN SETELAH AKU MATI)
Jika cerita lalu tentang kematian, maka ini cerita tentang hidup
MUKADIMAH
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sudah cukup lama sejak pertama kali akun kulon.kali memposting 100 Tahun Setelah Aku Mati pada 2016 yang lalu. Tidak terasa dua tahun sudah terlewati, dan ternyata benar bahwa perpisahan itu menyisakan rindu.
Kali ini perkenankanlah saya (WN) mewakili Mas Rizal untuk berterimakasih sebesar-besarnya kepada Mimin, Momod, dan semua agan dan agan wati jagad KASKUS yang sudah membaca 100 Tahun Setelah Aku Mati. Berkat dukungan dan doa dari semua agan dan aganwati di sini, 100TSAM sudah menjelma menjadi sebuah Novel yang bisa di terima dengan baik oleh pembaca tanah air, pernah juga di pentaskan dalam sebuah pertunjukan teater di Jogja, dan tak lama lagi akan di angkat sebagai film layar lebar.
Spoiler for Novel:
Spoiler for Teater:
Semoga cerita tersebut dapat menginspirasi dan di ambil hikmahnya oleh seluruh mata dan hati agan serta aganwati.
Dalam cerita ini saya berusaha memperbaiki cara penulisan yang begitu acakadutdi 100TSAM, semoga lebih nyaman untuk di baca.
Saya juga menulis cerita dengan judul CERMIN di SFTH , namun mohon maaf belum mampu saya lanjutkan karena beberapa sebab. Doakan nanti bisa kembali saya lanjutkan.
Oke, kembali ke topik.
Kali ini sesuai permintaan si empu cerita, saya akan kembali membahasakan kisah mereka yang sudah kalian kenal pada cerita lalu. Kisah ini merupakan jawaban atas pertanyaan kalian yang mungkin sudah ada sejak setahun lalu.
untukmu yang belum membaca kisah sebelum ini, silahkan klik
100 Tahun Setelah Aku Mati
untuk informasi Novel dan Film via ig @wn_naufal
“Cerita kemarin mengenai romantika maut, tapi sungguh jangan kalian sesali. Karena sejatinya perpisahan dan kematian merupakan akibat dari pertemuan dan kelahiran. Akan kuajak kalian bertualang, ke kehidupan mereka, dan kisahnya di mulai!”
--------------------
SEBUAH PROLOG
Aku akan menceritakan padamu sebuah cerita, kugunakan bahasa dan tutur kata yang tertulis dalam aksara. Aku adalah orang baru yang tidak tercantum dalam cerita sebelum ini. Namun demikian, namaku tersirat oleh suamiku yang menyebut nama lainku beberapa kali.
Aku akan menceritakan padamu sebuah cerita, kugunakan bahasa dan tutur kata yang tertulis dalam aksara. Aku adalah orang baru yang tidak tercantum dalam cerita sebelum ini. Namun demikian, namaku tersirat oleh suamiku yang menyebut nama lainku beberapa kali.
Seperti yang kalian duga aku adalah istri dari orang yang kalian kenal bernama Rizal, nama tengahnya adalah Markus, MUNGKIN namanya adalah Markus Horizon, atau Markus Fadillah, bisa juga dengan nama Markus Notonegoro, atau juga Markus-Markus lain, pokoknya banyak. Emmm tapi aku membayangkan sebuah nama “Rizal Markus Hartono”Terdengar keren kan? Nama belakanya seperti nama Almarhum Bapaknya.
Tapi sebenarnya Hartono bukanlah nama belakangnya, ataupun nama Bapaknya. Aku juga tidak menjamin nama Markus adalah nama tengahnya yang asli, dan nama Rizal tentunya hanya bisa kamu gunakan di dalam tulisan ini, tapi sebaiknya kita pakai nama terakhir tadi. Yaa walaupun nama itu hanya berlaku sampai lembar terakhir cerita.
Oke oke, aku minta maaf karena aku benar-benar tidak bisa memberitahumu, karena sssstttt ini adalah cerita rahasia, dan kalian sudah diperbolehkan menyimak sebuah rahasia. Makanya jangan tanyakan lagi, setuju?
Ahhh Great... Kalian memang sahabatku, baiklah kita lanjutkan perkenalan kita.
Aku adalah istri keduanya, kalian tau? Aku adalah bunga kertas miliknya, milik mas Rizal dan juga milik Abima. Dalam cerita ini akan kuceritakan padamu mengenai sebuah mimpi miliku yang kebanyakan dari kalian sudah raih begitu mata kalian terbuka.
Akan kuceritakan lagi sebuah kisah bagaimana aku menemukan dan ditemukan olehnya, atau bisa juga ini kisah tentang bagaimana kami saling dipertemukan. Kepada dua orang itu, Risa dan Rizal, orang yang bahkan tidak kuduga akan mengukir sebuah takdir yang tidak bisa kutolak.
Satu hal yang kudapati dari kisah yang kulakukan sendiri ini adalah betapa aku dan mungkin kita semua, hidup dalam sebuah garis yang dibuat sang pencipta, kadang garis itu lurus, namun juga kadang berkelok, beberapa kali kualami garis yang kulalui harus saling bersimpang siur seperti benang kusut yang harus kuurai sendiri, jangan sombong dan mengatakan bahwa “aku menggambar sendiri garisku” karena kalian sebenarnya tidak menggambar garis, kalian hanya mewarnainya. Membuat semburat berona agar garis yang kalian lalui itu bercorak, kadang gelap seperti hitam, kadang terang seperti putih dan kuning, kadang dalam seperti biru, kadang juga sejuk seperti hijau, kadang berkobar seperti merah, atau bahkan sendu seperti abu-abu. Seperti hidup ini, kita hanya bisa merubah nasib, namun tidak bisa kita melawan Takdir.
Satu saranku kepadamu sebelum melanjutkan lembar demi lembar tulisan ini adalah, jangan menebak endingnya. Karena sama seperti cerita 100 Tahun Setelah Aku Mati, cerita ini adalah tentang proses, dari peristiwa satu ke peristiwa lain yang berkaitan, endingnya ada di kepala dan hati kalian. Tentang bagaimana cara kalian menerjemahkan isi tulisan ini...
Cerita ini kami persembahkan untuk semua tokoh dalam cerita, dan semua mata hati para pembaca...
Teramat khusus untuk Risa..
-Asterina Afet Nebia
-----------------------------------
SEBUAH PROLOG LAGI
Sebenarnya kalian sudah tidak asing denganku….. bukan, aku bukan Sari. Saat cerita ini ditulis Sari sudah tidak disini lagi, maksudku tidak berada di dunia dimana aku dan kalian hidup.Lalu siapa aku? tentunya aku adalah Rizal, teman dari Sari, suami dari Risa dan Asterina, dan juga Ayah dari Abima. Yaa memang benar sih, hampir dari kesemua nama itu telah kurubah susunan huruf baik vokal dan konsonannya serta bunyi pelafalnya tapi setidaknya kalian jadi mengenal kami dari nama-nama itu.
Nama Istri keduaku adalah Asterina Afet Nebia, hhmmm, nama yang unik, nama itu memang bukan berasal dari kosakata endemik daerah sini. Itu aku sadur dari bahasa tanah leluhurnya, dan lagi nama itu hanya nama yang kusematkan padanya dalam cerita ini, nama aslinya sungguh tak bisa kusebutkan.Yaa karena seperti kata dia tadi, ini adalah cerita rahasiaaa.
Sssstttt... sebaiknya kupelankan suaraku. Dan kita harus kongkalikong untuk menjaga rahasia ini tetap terjaga. Kalian setuju? Naahhh kalian memang benar temanku, sekarang aku tidak akan ragu membagi kisah dwilogi ini.
Dalam cerita kali ini kalian akan bertemu denganku lagi, mengenal lebih dalam tentang kami, bahkan jauh lebih dalam dari pada cerita sebelumnya. Kali ini akan dibagikan sebuah judul tentang perpisahan, dan sebuah pertemuan. Kisah mengenai derita dan bahagia yang saling bersanding berbatas sekat setipis lidi. Kisah mengenai janji tak tertagih, kepada hati yang tak terganti.
Tak akan aku bersapa lama dengan kalian di halaman awal ini, tentunya kalian sudah mengenalku sangat baik lewat 740 halaman cerita sebelumnya, kali ini kugunakan nama yang lebih lengkap.. sesuai yang sudah diberikan istriku pada prolog pertama.
Cerita ini kami persembahkan untuk semua tokoh dalam cerita, dan semua mata hati para pembaca...
Jika cerita pertama untuk Sari, maka cerita ini untukmu Nduk.
-Rizal Markus Hartono
INDEKS:
1. PART 1 RINDU!
2. PART 2 PENUNGGU MAKAM
3. PART 3 AWAL MULA
4. PART 4 GADIS BIJAK
5. PART 5 BERTEMU BAPAK
6. PART 6 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 1 )
7. PART 7 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 2 )
8. PART 8 WANITA SELAIN RISA? (Bagian 3 )
9. PART 9 APAKAH AKU MEMBUNUHNYA?
ATTENTION PLEASE !
Diubah oleh kulon.kali 16-05-2022 15:20
indrag057 dan 193 lainnya memberi reputasi
178
208.7K
782
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kulon.kali
#52
BERTEMU BAPAK
“Haloo boy, seharian kamu gak nakal kan?” kataku sambil menerima Abima dari gendongan Simbok. Kucium ubun-ubun Abima dan berjalan menuju halaman belakang, tempat biasa aku dan Abima menghabiskan sore.
“Mas Rizal, kalau makan itu sudah simbok siapkan di meja ya, simbok mau permisi pulang dulu” ujar Simbok.
“Ohh iya mbok, maturnuwun nggih ” jawabku sambil mempersilahkan simbok untuk pulang.
Kulepas sepatuku sambil membopong abima, rerumputan itu terasa basah saat tersentuh kaki, aku duduk diatasnya sambil melihat bunga-bunga yang mulai berkuncup bergoyang terkena angin sore.
“Buruan gede Bim, biar ada yang bantuin Ayah buat ngerawat tanamanya Ibumu” ucapku sambil mengelus kepalanya pelan.
--
Malam itu Abima sudah tidur dikamar, sedangkan aku masih terjada di ruang depan, sambil memandang kosong ke album foto yang kupegang. Ibu dan Bapak, kedua orangtuaku yang sudah lama meninggal terlihat tersenyum sambil menggendongku yang masih berumur sekitar 3 tahun, aku jadi merindukan beliau berdua.
Entah kenapa aku jadi membayangkan, kalau ibuku ini seperti Risa, Galak dan seingatku ibu adalah sosok periang, antara ibu dan istriku Risa juga sama-sama meninggalkan putranya yang masih kecil. Sedangkan Bapakku, ya memang sangat banyak kemiripan fisik antara aku dan Bapakku, seperti yang kalian tau Bapak pada akhirnya juga memilih menyusul Ibu.
Ahh Pak, andaikan Bapak sekarang masih ada tentunya aku akan banyak bertanya bagaimana Bapak dulu menjalani hari setelah kepergian Ibu. Tentunya sangat berat ya Pak,batinku dalam hati.
Kuberanjak dari sofa dan menuju kamar Bapak yang tata ruangnya dari dulu tidak pernah aku rubah. Kutaruh album itu di rak dan duduk diatas dipan tak berkasur itu..
“Apa sesakit ini yang dirasaan Bapak saat Ibu meninggal dulu?” kataku pelan sambil mengurut dada.
Kubuka lemari di kamar itu, dan terlihat kumpulan baju bapak yang tergantung rapi disana.
Kuambil satu stel dan kuperhatikan seragam yang dulu dikenakan sehari-hari oleh bapak.
Sebuah baret berwarna coklat dari kesatuan artileri sewaktu bapak muda dulu juga ada disana.
“Mungkin jika aku jadi tentara seperti bapak ceritanya akan lain barangkali” gumamku sambil mengambil seragam itu dan mengenakannya, name tag itu masih tertempel. Letnan satu Hartono, kukenakan baju serta celana itu dan berdiri didepan cermin sambil mengenakan baretnya.
“Mungkin cita-cita menjadi dokter terlalu tinggi untuk Rizal pak” gumamku sambil berkaca.
Aku sedang mengalami fase down yang teramat sangat, dimana semua pekerjaanku berantakan, nilai-nilai selama aku kerja magang mendapatkan kritikan tajam, penanganan medisku buruk, dan pekerjaan administrasiku rutin mendapatkan tanda coretan di sana sini di lembar evaluasi, pikiranku yang dalam beberapa bulan ini tidak bisa fokus menjadi biang keladinya.
Seharusnya aku memang mengikuti saran dari Om Bowo dan mertuaku untuk jadi Polisi atau TNI. Kini dengan siapa aku harus berdiskusi? Ketika tiada lagi tempat berbagi saran.. Nduk, aku beneran butuh masukanmu..
Aku kembali terduduk didipan sambil memegangi kepala yang terasa pening karena banyak hal yang kupikir.
“Ibu , Bapak.. apa sudah bertemu menantu kalian di alam sana?” kataku sambil memejamkan mata.
--
“Le, copot baju Bapak.. kenapa malah kamu pakai? Bapak mau berangkat kerja”
Kutolehkan kepalaku dengan segera, saat suara itu menegurku.
“Pa.. Paa.. Bapak?” ujarku dengan tidak percaya siapa yang didepanku ini.
Segera kutingkatkan kepekaanku, untuk melihat sosok apa yang sebenarnya didepanku, namun kosong.. yaa tidak ada apapun, namun ada Bapak di depanku. Kukira ini adalah ulah jin seperti kejadian yang beberapa tahun lalu pernah kualami.
“Ini mimpi kan Pak?” kataku sambil memeluk sosok gagah itu, tak terasa setitik lelehan air menetes lewat mataku.
“Kenapa baru sekarang setelah terakhir Bapak muncul lewat mimpi” kataku sambil lebih erat memeluknya. Bapak menepuk-nepuk pundaku
“Banyak alasan le, diantaranya adalah sudah mampunya kamu menjalani hidup” suaranya tidak berbeda dengan terakhir aku bicara dengan beliau, keras dan terdengar mantap.
“Tapi sekarang, nampaknya kamu sedang kurang baik” kata beliau sambil memegang kedua lenganku dan melepaskan pelukanku. Bapak melangkah pelan dan duduk diatas dipan, diikuti aku yang mengekor tindakannya.
“Kamu kelihatan gagah dengan seragam itu” kata bapakseraya tersenyum
“Pak, Rizal mau cerita tentang...”
“Sshhhh.. sudah le, gak perlu kamu cerita. Bapak sudah tau, baik Bapak dan Ibumu selalu mengawasimu dari sana”
“Ibu?? Ibu juga?”
“Ya tentu saja.. termasuk istrimu”
“ Istriku? Bapak bertemu dengan dia? Pak bagaimana ....”
“Sssttt, itu bukan hal yang patut dibicarakan” kata bapak yang lagi-lagi memotong bicaraku.
“Semua yang kamu hadapi adalah ujian le, sama seperti saat bapak kehilangan ibumu, dan saat seperti kamu kehilangan ibu dan bapak, saat peristiwa itu terjadi kamu bisa melewatinya kan? lalu kenapa sekarang kamu merasa begitu sulit?” kata Bapak sambil menyulut rokoknya, entah darimana beliau mendapatkan rokok itu. Atau kah di alam sana juga ada toko serba ada seperti disini?
“Dulu ada Risa, Pak. Sekarang kepada siapa lagi Rizal harus bersama?”
“Yaa, sama persis seperti Bapak dulu, pertanyaan itu juga setiap hari berputar di kepala Bapak. Tapi pada akhirnya Bapak tau bagaimana melangkah lagi setelah Ibumu pergi”
“Bagaimana Pak?”
“Dengan terus bergerak le. Seperti teori Einstein, saat kamu naik sepeda kamu harus terus bergerak agar seimbang, kepergian seseorang itu tidak mengakhiri hidupmu. Kamu masih bisa berjalan, berlari, bahkan lebih cepat dari sebelumnya.”
Kurenungi kalimat Bapak, benar juga wejangan beliau, bahwa hidupku tidak berhenti setelah Risa pergi, hanya aku saja yang tidak mau bergerak lagi.
“Bapak tidak punya waktu banyak sekarang, tapi satu hal yang harus kamu ketahui dan ini penting buatmu. Bahwa kematian itu sebenarnya bukan akhir, kematian itu sebenarnya tidak ada”
“Maksud Bapak?”
“Kematian yang kamu anggap dari akhir kehidupan itu cuma delusi, yang fana adalah kamu, bukan kami. Kematian itu seperti saat kamu berpindah ruangan, dari ruangan kecil keruangan yang lebih besar itu saja. Seperti siang yang berganti malam,baik matahari dan bulan sama-sama tidak pernah tenggelam, mereka hanya terbit ditempat lain, kehidupan itu tidak pernah berakhir. Baik Bapak,Ibumu dan juga Istrimu sekarang sedang berada ditempat lain, sambil melihatmu, dan melihat cucu bapak. Jadilah dirimu sendiri, copot seragam itu dan kenakan seragammu sendiri, bukankah dari TK kamu memang ingin jadi dokter? Tinggal beberapa langkah lagi tujuanmu akan tercapai, tangga terakhir itu memang selalu sulit ditapak” ujar beliau dengan tegas, dan sekali lagi meremas pundaku. Bapak masih tersenyum dengan senyumannya yang khas, sama sekali beliau tidak menua, jika kalian lihat sekarang maka kami tidak ubahnya seperti kakak beradik.
“Bapak harus pergi sekarang, semua terserah kamu namun ketika Bapak mengalami kondosi seperti ini, Bapak selalu melihatmu. itu sudah cukup bagi bapak untuk memberi dorongan semangat” Bapak beranjak dari duduk dan berkjalan empat langkah didepanku.
“Buat Bapak Ibumu bangga, dan buat Istrimu bahagia dari alam sana” Aku berdiri, sambil mengangguk aku tersenyum dan bicara
“Rizal akan berusaha Pak, sampaikan salam Rizal buat Ibu, bilang kalau Rizal makan teratur, Rizal gak merokok, Rizal udah punya banyak teman, Rizal masih rajin belajar, dan bilang sama Ibu kalau Ibu punya cucu yang lucu dan menggemaskan” Bapak tersenyum sambil mengangguk
“Sampaikan rindu Rizal buat Risa pak, katakan kalau suaminya ini akan berjalan lagi, melanjutkan hidupnya, mengejar cita-cita dan janji yang pernah Rizal janjikanke dia, dan pak sampaikan juga kalau Rizal akan mengikuti cara Bapak, untuk tidak menikah lagi”
Telapak tangan bapak menyentuh dadaku, dengan pelan beliau berkata.
“Jadilah orang yang migunani tumraping liyan, mengenai hidupmu semua sudah diatur jangan kamu takut pada hari besok, pasrahkan semua kepada yang Maha Agung. Kamu punya jalan sendiri”
Ucapanm bapak diakhiri dengan sebuah sinar yang sangat terang, dan membangunkanku dari tidur.
Kudapati aku masih terduduk diatas kasur, kulirik jam yang masih menunjukan pukul 21.13, apakah waktu berhenti cukup lama tadi? Hanya Tuhan yang tau.
Terakhir kali bapak muncul dalam mimpi saat aku lulus SMA, sekarang lagi beliau datang dan memberikan ilmu baru bahkan setelah lama beliau meninggal, kudapati ini adalah sebuah bukti kekuasaan Illahi, dimana kuasa Allah mampu menembus batas-batas ruas ruang dan waktu mengizinkan dua orang yang terpisah alam bertemu lagi di dunia tidur, ada anggapan mengatakan bahwa alam tidur dan alam mati itu adalah sama. Beberapa dari kita yang mungkin pernah bertemu dengan orang yang sudah meninggal lewat mimpi bisa berarti sebagai anugerah dari yang kuasa. Malam itu aku mendapatkannya, dari sosok panutanku.
“Mas Rizal, kalau makan itu sudah simbok siapkan di meja ya, simbok mau permisi pulang dulu” ujar Simbok.
“Ohh iya mbok, maturnuwun nggih ” jawabku sambil mempersilahkan simbok untuk pulang.
Kulepas sepatuku sambil membopong abima, rerumputan itu terasa basah saat tersentuh kaki, aku duduk diatasnya sambil melihat bunga-bunga yang mulai berkuncup bergoyang terkena angin sore.
“Buruan gede Bim, biar ada yang bantuin Ayah buat ngerawat tanamanya Ibumu” ucapku sambil mengelus kepalanya pelan.
--
Malam itu Abima sudah tidur dikamar, sedangkan aku masih terjada di ruang depan, sambil memandang kosong ke album foto yang kupegang. Ibu dan Bapak, kedua orangtuaku yang sudah lama meninggal terlihat tersenyum sambil menggendongku yang masih berumur sekitar 3 tahun, aku jadi merindukan beliau berdua.
Entah kenapa aku jadi membayangkan, kalau ibuku ini seperti Risa, Galak dan seingatku ibu adalah sosok periang, antara ibu dan istriku Risa juga sama-sama meninggalkan putranya yang masih kecil. Sedangkan Bapakku, ya memang sangat banyak kemiripan fisik antara aku dan Bapakku, seperti yang kalian tau Bapak pada akhirnya juga memilih menyusul Ibu.
Ahh Pak, andaikan Bapak sekarang masih ada tentunya aku akan banyak bertanya bagaimana Bapak dulu menjalani hari setelah kepergian Ibu. Tentunya sangat berat ya Pak,batinku dalam hati.
Kuberanjak dari sofa dan menuju kamar Bapak yang tata ruangnya dari dulu tidak pernah aku rubah. Kutaruh album itu di rak dan duduk diatas dipan tak berkasur itu..
“Apa sesakit ini yang dirasaan Bapak saat Ibu meninggal dulu?” kataku pelan sambil mengurut dada.
Kubuka lemari di kamar itu, dan terlihat kumpulan baju bapak yang tergantung rapi disana.
Kuambil satu stel dan kuperhatikan seragam yang dulu dikenakan sehari-hari oleh bapak.
Sebuah baret berwarna coklat dari kesatuan artileri sewaktu bapak muda dulu juga ada disana.
“Mungkin jika aku jadi tentara seperti bapak ceritanya akan lain barangkali” gumamku sambil mengambil seragam itu dan mengenakannya, name tag itu masih tertempel. Letnan satu Hartono, kukenakan baju serta celana itu dan berdiri didepan cermin sambil mengenakan baretnya.
“Mungkin cita-cita menjadi dokter terlalu tinggi untuk Rizal pak” gumamku sambil berkaca.
Aku sedang mengalami fase down yang teramat sangat, dimana semua pekerjaanku berantakan, nilai-nilai selama aku kerja magang mendapatkan kritikan tajam, penanganan medisku buruk, dan pekerjaan administrasiku rutin mendapatkan tanda coretan di sana sini di lembar evaluasi, pikiranku yang dalam beberapa bulan ini tidak bisa fokus menjadi biang keladinya.
Seharusnya aku memang mengikuti saran dari Om Bowo dan mertuaku untuk jadi Polisi atau TNI. Kini dengan siapa aku harus berdiskusi? Ketika tiada lagi tempat berbagi saran.. Nduk, aku beneran butuh masukanmu..
Aku kembali terduduk didipan sambil memegangi kepala yang terasa pening karena banyak hal yang kupikir.
“Ibu , Bapak.. apa sudah bertemu menantu kalian di alam sana?” kataku sambil memejamkan mata.
--
“Le, copot baju Bapak.. kenapa malah kamu pakai? Bapak mau berangkat kerja”
Kutolehkan kepalaku dengan segera, saat suara itu menegurku.
“Pa.. Paa.. Bapak?” ujarku dengan tidak percaya siapa yang didepanku ini.
Segera kutingkatkan kepekaanku, untuk melihat sosok apa yang sebenarnya didepanku, namun kosong.. yaa tidak ada apapun, namun ada Bapak di depanku. Kukira ini adalah ulah jin seperti kejadian yang beberapa tahun lalu pernah kualami.
“Ini mimpi kan Pak?” kataku sambil memeluk sosok gagah itu, tak terasa setitik lelehan air menetes lewat mataku.
“Kenapa baru sekarang setelah terakhir Bapak muncul lewat mimpi” kataku sambil lebih erat memeluknya. Bapak menepuk-nepuk pundaku
“Banyak alasan le, diantaranya adalah sudah mampunya kamu menjalani hidup” suaranya tidak berbeda dengan terakhir aku bicara dengan beliau, keras dan terdengar mantap.
“Tapi sekarang, nampaknya kamu sedang kurang baik” kata beliau sambil memegang kedua lenganku dan melepaskan pelukanku. Bapak melangkah pelan dan duduk diatas dipan, diikuti aku yang mengekor tindakannya.
“Kamu kelihatan gagah dengan seragam itu” kata bapakseraya tersenyum
“Pak, Rizal mau cerita tentang...”
“Sshhhh.. sudah le, gak perlu kamu cerita. Bapak sudah tau, baik Bapak dan Ibumu selalu mengawasimu dari sana”
“Ibu?? Ibu juga?”
“Ya tentu saja.. termasuk istrimu”
“ Istriku? Bapak bertemu dengan dia? Pak bagaimana ....”
“Sssttt, itu bukan hal yang patut dibicarakan” kata bapak yang lagi-lagi memotong bicaraku.
“Semua yang kamu hadapi adalah ujian le, sama seperti saat bapak kehilangan ibumu, dan saat seperti kamu kehilangan ibu dan bapak, saat peristiwa itu terjadi kamu bisa melewatinya kan? lalu kenapa sekarang kamu merasa begitu sulit?” kata Bapak sambil menyulut rokoknya, entah darimana beliau mendapatkan rokok itu. Atau kah di alam sana juga ada toko serba ada seperti disini?
“Dulu ada Risa, Pak. Sekarang kepada siapa lagi Rizal harus bersama?”
“Yaa, sama persis seperti Bapak dulu, pertanyaan itu juga setiap hari berputar di kepala Bapak. Tapi pada akhirnya Bapak tau bagaimana melangkah lagi setelah Ibumu pergi”
“Bagaimana Pak?”
“Dengan terus bergerak le. Seperti teori Einstein, saat kamu naik sepeda kamu harus terus bergerak agar seimbang, kepergian seseorang itu tidak mengakhiri hidupmu. Kamu masih bisa berjalan, berlari, bahkan lebih cepat dari sebelumnya.”
Kurenungi kalimat Bapak, benar juga wejangan beliau, bahwa hidupku tidak berhenti setelah Risa pergi, hanya aku saja yang tidak mau bergerak lagi.
“Bapak tidak punya waktu banyak sekarang, tapi satu hal yang harus kamu ketahui dan ini penting buatmu. Bahwa kematian itu sebenarnya bukan akhir, kematian itu sebenarnya tidak ada”
“Maksud Bapak?”
“Kematian yang kamu anggap dari akhir kehidupan itu cuma delusi, yang fana adalah kamu, bukan kami. Kematian itu seperti saat kamu berpindah ruangan, dari ruangan kecil keruangan yang lebih besar itu saja. Seperti siang yang berganti malam,baik matahari dan bulan sama-sama tidak pernah tenggelam, mereka hanya terbit ditempat lain, kehidupan itu tidak pernah berakhir. Baik Bapak,Ibumu dan juga Istrimu sekarang sedang berada ditempat lain, sambil melihatmu, dan melihat cucu bapak. Jadilah dirimu sendiri, copot seragam itu dan kenakan seragammu sendiri, bukankah dari TK kamu memang ingin jadi dokter? Tinggal beberapa langkah lagi tujuanmu akan tercapai, tangga terakhir itu memang selalu sulit ditapak” ujar beliau dengan tegas, dan sekali lagi meremas pundaku. Bapak masih tersenyum dengan senyumannya yang khas, sama sekali beliau tidak menua, jika kalian lihat sekarang maka kami tidak ubahnya seperti kakak beradik.
“Bapak harus pergi sekarang, semua terserah kamu namun ketika Bapak mengalami kondosi seperti ini, Bapak selalu melihatmu. itu sudah cukup bagi bapak untuk memberi dorongan semangat” Bapak beranjak dari duduk dan berkjalan empat langkah didepanku.
“Buat Bapak Ibumu bangga, dan buat Istrimu bahagia dari alam sana” Aku berdiri, sambil mengangguk aku tersenyum dan bicara
“Rizal akan berusaha Pak, sampaikan salam Rizal buat Ibu, bilang kalau Rizal makan teratur, Rizal gak merokok, Rizal udah punya banyak teman, Rizal masih rajin belajar, dan bilang sama Ibu kalau Ibu punya cucu yang lucu dan menggemaskan” Bapak tersenyum sambil mengangguk
“Sampaikan rindu Rizal buat Risa pak, katakan kalau suaminya ini akan berjalan lagi, melanjutkan hidupnya, mengejar cita-cita dan janji yang pernah Rizal janjikanke dia, dan pak sampaikan juga kalau Rizal akan mengikuti cara Bapak, untuk tidak menikah lagi”
Telapak tangan bapak menyentuh dadaku, dengan pelan beliau berkata.
“Jadilah orang yang migunani tumraping liyan, mengenai hidupmu semua sudah diatur jangan kamu takut pada hari besok, pasrahkan semua kepada yang Maha Agung. Kamu punya jalan sendiri”
Ucapanm bapak diakhiri dengan sebuah sinar yang sangat terang, dan membangunkanku dari tidur.
Kudapati aku masih terduduk diatas kasur, kulirik jam yang masih menunjukan pukul 21.13, apakah waktu berhenti cukup lama tadi? Hanya Tuhan yang tau.
Terakhir kali bapak muncul dalam mimpi saat aku lulus SMA, sekarang lagi beliau datang dan memberikan ilmu baru bahkan setelah lama beliau meninggal, kudapati ini adalah sebuah bukti kekuasaan Illahi, dimana kuasa Allah mampu menembus batas-batas ruas ruang dan waktu mengizinkan dua orang yang terpisah alam bertemu lagi di dunia tidur, ada anggapan mengatakan bahwa alam tidur dan alam mati itu adalah sama. Beberapa dari kita yang mungkin pernah bertemu dengan orang yang sudah meninggal lewat mimpi bisa berarti sebagai anugerah dari yang kuasa. Malam itu aku mendapatkannya, dari sosok panutanku.
alcipea dan 32 lainnya memberi reputasi
31
Tutup

