- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.3K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#1205
PART 77
Peduli. Satu kata yang akhir-akhir ini baru gue sadari apa makna sebenarnya. Dateng ke ulang tahun temen dekat lo, itu peduli. Nungguin orang tua atau saudara lo yang lagi sakit, itu peduli. Ngadain baksos pengumpulan dana buat korban bencana alam, itu peduli. Peduli bisa dalam bentuk apa aja, seberapapun skalanya.
Tapi bukan itu yang gue sadari belakangan ini. Peduli yang gue pahami ini jauh lebih dasar. Bukan dalam sebuah tindakan, tapi sebuah dasar yang pada akhirnya berupa tindakan.
Dasar? Apa itu? Rasa kemanusiaan? Bukan. Kalo emang peduli itu suatu perwujudan dari rasa kemanusiaan, gue bisa aja dateng ke semua acara ulang tahun semua orang di sekitar gue, bahkan orang yang gue enggak kenal. Kalo emang peduli itu suatu bentuk dari rasa kemanusiaan, bisa aja gue nungguin orang sakit tanpa gue kenal siapa orang itu dan tanpa harus gue tau kenapa dia bisa dirawat di rumah sakit, ya, meskipun itu terdengar random banget. Ya… harusnya lo juga ngelakuin apa yang barusan gue omongin. Ya itu kalo emang dasar dari peduli lo itu rasa kemanusiaan.
Ya tapi enggak perlu selebay itu dong, Wi. Peduli itu enggak perlu lebay. Lhah, kalo emang rasa peduli itu berdasarkan rasa kemanusiaan, harusnya lo kayak gitu juga dong, harusnya selebay itu juga, kan sama-sama manusia. Ya, nggak?
Justru karena itu akhirnya gue sadar kalo peduli itu lebih dari sekedar rasa kemanusiaan. Mungkin lebih tepatnya tindakan lanjut dari sebuah pemikiran ‘memposisikan.’ Ya, satu kata asing yang bisa dibilang menjadi dasar sebuah tindakan. Gimana kalo posisi gue ada di orang yang lagi kesusahan itu? Gimana kalo gue yang ulang tahun dan enggak ada yang dateng? Gimana kalo gue yang sakit dan enggak ada yang nunggu? Gimana kalo gue yang kena bencana dan enggak ada yang bantu?
Lhoh? Bukannya itu sama aja kayak rasa kemanusiaan? No, dude! Lo bayangin di depan lo ada kucing kelaparan yang meang-meong dan kemudian dengan ikhlasnya lo potekin lele goreng yang ada di piring lo buat dia. Lo peduli, tapi apa itu karena kemanusiaan? Kalian bahkan bukan mahkluk yang sama, bukan spesies yang sama, tapi kenapa lo peduli sama kucing itu? Why bother?
Sama kayak yang barusan gue omongin, lo barusan ngerasain yang namanya ‘memposisikan.’ Ya, memposisikan, gimana kalo posisi lo lagi curhat tentang perut kosong dan tiba-tiba ada mahkluk random yang dengan senang hati berbagi buat lo. Itulah yang gue maksud belakangan ini gue maknai dengan peduli, sebuah dasar dimana lo akhirnya bertindak setelah memposisikan diri di posisi mahkluk lain yang lagi kesusahan. Bukan karena merasa sesama orang kulit hitam ataupun kulit putih. Atau bahkan karena sesama manusia. Hanya sesimpel karena lo mikir, gimana kalo lo yang ada di posisi dia.
Gue peduli ke Cassie, ya mau dilarang segimana juga gue pasti bakalan tetap peduli sama dia. Meskipun Melly bentak-bentak gue, ngatain gue segala macam kebun binatang juga percuma. Gue udah terlanjur memposisikan diri gue di posisi Cassie, enggak gampang buat orang yang terlanjur peduli buat menjauh gitu aja. Sama kayak trit ini, gue udah nulis panjang lebar kayak gini, apa iya lo bisa ngejauh gitu aja tanpa komen dan rate? Haha, bercanda. Meskipun sedikit ngarep juga.
No…! That was totally a joke! Ya… meskipun lo enggak ketawa. Kisah komedi enggak selalu bikin ketawa, kan?
Tindakan peduli dari satu orang dan yang lainnya emang kadang berbenturan. Meskipun maksudnya sama, tapi sering banget membuat permasalahan tersendiri. Contohnya waktu lo peduli sama gebetan lo dan tiba-tiba ada cowok atau cewek lain yang juga peduli sama gebetan lo. Ya maksudnya sama, peduli sama dia, tapi sering kali malah timbul masalah. Berantem pukul-pukulan di depan kosan gebetan lo misalnya.
Haha, itu sih bukan peduli, tapi cari muka. Sama dalam tindakan, tapi beda-beda tipis. Lo bantuin bersih-bersih kamar kosan temen lo, itu peduli. Lo bantuin bersih-bersih kamar gebetan lo, itu bukan peduli. Sesuatu yang lain, mungkin modus. Ya, emang kadang susah bedain peduli sama modus.
Gue sama Melly sama-sama peduli sama Cassie, tapi kenapa kita ribut? Sama-sama peduli, gue enggak ada modus apa-apa, begitu juga Melly, tapi kenapa bisa ribut? Setelah gue pikir-pikir berulang kali, ternyata alasannya sepele. Terkadang rasa peduli yang tadinya ikhlas, di tengah jalan bisa aja jadi terpaksa. Begitu juga gue dan Melly, kita berdua sama-sama peduli karena terpaksa. Ya, terpaksa.
Kalo aja gue sama Melly sejak awal peduli karena enggak terpaksa, gue yakin enggak bakal seribet itu. Melly peduli tapi enggak mau ngelakuin hal lebih dari yang selama ini udah dia lakuin, makanya dia enggak pengin ada orang lain yang merusak zona nyamannya. Dia tutup pintu rapat-rapat supaya masalah enggak menyebar kemana-mana. Istilah kerennya segel, enggak ada yang boleh keluar dan enggak ada yang boleh masuk.
Begitu juga dengan gue. Gue peduli, tapi enggak mau kalo Cassie ketergantungan sama gue dan akhirnya masuk ke zona nyaman gue lebih jauh lagi. Gue pengin bantu dia, tapi begitu gue tau ada suatu hal yang enggak gue pahamin, gue malah ngejauh. Yang padahal, itu semua malah makin memperkeruh keadaan.
Ya wajar aja sih kalo menurut gue. Enggak semua orang bisa bener-bener peduli sama orang lain. Maksud gue bukannya gue meragukan Melly tuh enggak sepenuhnya peduli sama Cassie, tapi kenyataannya kayak gitu, kan? Apa mungkin … peduli itu ada batasannya? Entahlah. Yang jelas, pada akhirnya Melly mau menerima masukan dari orang lain dan move on dari bentuk pedulinya yang dulu jadi pedulinya yang sekarang. Begitu juga dengan gue, daripada terus ngejauh pada akhirnya gue cari cara buat bener-bener membantu Cassie.
Yah… namanya juga temen, udah semestinya peduli satu sama lain, kan? Ngaku temen tapi enggak peduli sama orang lain, yakin itu temen? Jangan-jangan deket cuma karena sama-sama enggak pengin sendiri aja, eh.
Cukup dengan Cassie, sekarang pindah ke satu cewek yang bener-bener gue peduliin. The one and only, Emilia Rosa. Kalo ngomongin Emil, ah…, lebih dari sekedar peduli sih kalo dia. Dia pengin support gue kayak yang gue lakuin ke dia.
Contoh riilnya dia enggak suka, benci, dan dendam sama orang yang ngomongnya dengan nada tinggi atau ngebentak. Tapi di depan gue, saat sama gue, dia lupain itu semua cuma buat bikin gue bisa lega sama perasaan gue sendiri. Lebih dari sekedar melewati zona nyaman, malahan menurut gue dia sengaja mengorbankan dirinya. Just like a hero. A cute random hero, ah… heroine. Dan menurut gue, thats the next level of caring.
Peduli. Satu kata yang akhir-akhir ini baru gue sadari apa makna sebenarnya. Dateng ke ulang tahun temen dekat lo, itu peduli. Nungguin orang tua atau saudara lo yang lagi sakit, itu peduli. Ngadain baksos pengumpulan dana buat korban bencana alam, itu peduli. Peduli bisa dalam bentuk apa aja, seberapapun skalanya.
Tapi bukan itu yang gue sadari belakangan ini. Peduli yang gue pahami ini jauh lebih dasar. Bukan dalam sebuah tindakan, tapi sebuah dasar yang pada akhirnya berupa tindakan.
Dasar? Apa itu? Rasa kemanusiaan? Bukan. Kalo emang peduli itu suatu perwujudan dari rasa kemanusiaan, gue bisa aja dateng ke semua acara ulang tahun semua orang di sekitar gue, bahkan orang yang gue enggak kenal. Kalo emang peduli itu suatu bentuk dari rasa kemanusiaan, bisa aja gue nungguin orang sakit tanpa gue kenal siapa orang itu dan tanpa harus gue tau kenapa dia bisa dirawat di rumah sakit, ya, meskipun itu terdengar random banget. Ya… harusnya lo juga ngelakuin apa yang barusan gue omongin. Ya itu kalo emang dasar dari peduli lo itu rasa kemanusiaan.
Ya tapi enggak perlu selebay itu dong, Wi. Peduli itu enggak perlu lebay. Lhah, kalo emang rasa peduli itu berdasarkan rasa kemanusiaan, harusnya lo kayak gitu juga dong, harusnya selebay itu juga, kan sama-sama manusia. Ya, nggak?
Justru karena itu akhirnya gue sadar kalo peduli itu lebih dari sekedar rasa kemanusiaan. Mungkin lebih tepatnya tindakan lanjut dari sebuah pemikiran ‘memposisikan.’ Ya, satu kata asing yang bisa dibilang menjadi dasar sebuah tindakan. Gimana kalo posisi gue ada di orang yang lagi kesusahan itu? Gimana kalo gue yang ulang tahun dan enggak ada yang dateng? Gimana kalo gue yang sakit dan enggak ada yang nunggu? Gimana kalo gue yang kena bencana dan enggak ada yang bantu?
Lhoh? Bukannya itu sama aja kayak rasa kemanusiaan? No, dude! Lo bayangin di depan lo ada kucing kelaparan yang meang-meong dan kemudian dengan ikhlasnya lo potekin lele goreng yang ada di piring lo buat dia. Lo peduli, tapi apa itu karena kemanusiaan? Kalian bahkan bukan mahkluk yang sama, bukan spesies yang sama, tapi kenapa lo peduli sama kucing itu? Why bother?
Sama kayak yang barusan gue omongin, lo barusan ngerasain yang namanya ‘memposisikan.’ Ya, memposisikan, gimana kalo posisi lo lagi curhat tentang perut kosong dan tiba-tiba ada mahkluk random yang dengan senang hati berbagi buat lo. Itulah yang gue maksud belakangan ini gue maknai dengan peduli, sebuah dasar dimana lo akhirnya bertindak setelah memposisikan diri di posisi mahkluk lain yang lagi kesusahan. Bukan karena merasa sesama orang kulit hitam ataupun kulit putih. Atau bahkan karena sesama manusia. Hanya sesimpel karena lo mikir, gimana kalo lo yang ada di posisi dia.
Gue peduli ke Cassie, ya mau dilarang segimana juga gue pasti bakalan tetap peduli sama dia. Meskipun Melly bentak-bentak gue, ngatain gue segala macam kebun binatang juga percuma. Gue udah terlanjur memposisikan diri gue di posisi Cassie, enggak gampang buat orang yang terlanjur peduli buat menjauh gitu aja. Sama kayak trit ini, gue udah nulis panjang lebar kayak gini, apa iya lo bisa ngejauh gitu aja tanpa komen dan rate? Haha, bercanda. Meskipun sedikit ngarep juga.
No…! That was totally a joke! Ya… meskipun lo enggak ketawa. Kisah komedi enggak selalu bikin ketawa, kan?
Tindakan peduli dari satu orang dan yang lainnya emang kadang berbenturan. Meskipun maksudnya sama, tapi sering banget membuat permasalahan tersendiri. Contohnya waktu lo peduli sama gebetan lo dan tiba-tiba ada cowok atau cewek lain yang juga peduli sama gebetan lo. Ya maksudnya sama, peduli sama dia, tapi sering kali malah timbul masalah. Berantem pukul-pukulan di depan kosan gebetan lo misalnya.
Haha, itu sih bukan peduli, tapi cari muka. Sama dalam tindakan, tapi beda-beda tipis. Lo bantuin bersih-bersih kamar kosan temen lo, itu peduli. Lo bantuin bersih-bersih kamar gebetan lo, itu bukan peduli. Sesuatu yang lain, mungkin modus. Ya, emang kadang susah bedain peduli sama modus.
Gue sama Melly sama-sama peduli sama Cassie, tapi kenapa kita ribut? Sama-sama peduli, gue enggak ada modus apa-apa, begitu juga Melly, tapi kenapa bisa ribut? Setelah gue pikir-pikir berulang kali, ternyata alasannya sepele. Terkadang rasa peduli yang tadinya ikhlas, di tengah jalan bisa aja jadi terpaksa. Begitu juga gue dan Melly, kita berdua sama-sama peduli karena terpaksa. Ya, terpaksa.
Kalo aja gue sama Melly sejak awal peduli karena enggak terpaksa, gue yakin enggak bakal seribet itu. Melly peduli tapi enggak mau ngelakuin hal lebih dari yang selama ini udah dia lakuin, makanya dia enggak pengin ada orang lain yang merusak zona nyamannya. Dia tutup pintu rapat-rapat supaya masalah enggak menyebar kemana-mana. Istilah kerennya segel, enggak ada yang boleh keluar dan enggak ada yang boleh masuk.
Begitu juga dengan gue. Gue peduli, tapi enggak mau kalo Cassie ketergantungan sama gue dan akhirnya masuk ke zona nyaman gue lebih jauh lagi. Gue pengin bantu dia, tapi begitu gue tau ada suatu hal yang enggak gue pahamin, gue malah ngejauh. Yang padahal, itu semua malah makin memperkeruh keadaan.
Ya wajar aja sih kalo menurut gue. Enggak semua orang bisa bener-bener peduli sama orang lain. Maksud gue bukannya gue meragukan Melly tuh enggak sepenuhnya peduli sama Cassie, tapi kenyataannya kayak gitu, kan? Apa mungkin … peduli itu ada batasannya? Entahlah. Yang jelas, pada akhirnya Melly mau menerima masukan dari orang lain dan move on dari bentuk pedulinya yang dulu jadi pedulinya yang sekarang. Begitu juga dengan gue, daripada terus ngejauh pada akhirnya gue cari cara buat bener-bener membantu Cassie.
Yah… namanya juga temen, udah semestinya peduli satu sama lain, kan? Ngaku temen tapi enggak peduli sama orang lain, yakin itu temen? Jangan-jangan deket cuma karena sama-sama enggak pengin sendiri aja, eh.
Cukup dengan Cassie, sekarang pindah ke satu cewek yang bener-bener gue peduliin. The one and only, Emilia Rosa. Kalo ngomongin Emil, ah…, lebih dari sekedar peduli sih kalo dia. Dia pengin support gue kayak yang gue lakuin ke dia.
Contoh riilnya dia enggak suka, benci, dan dendam sama orang yang ngomongnya dengan nada tinggi atau ngebentak. Tapi di depan gue, saat sama gue, dia lupain itu semua cuma buat bikin gue bisa lega sama perasaan gue sendiri. Lebih dari sekedar melewati zona nyaman, malahan menurut gue dia sengaja mengorbankan dirinya. Just like a hero. A cute random hero, ah… heroine. Dan menurut gue, thats the next level of caring.
End of Chapter Nine
garingwew dan 2 lainnya memberi reputasi
3
