Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Aja dan Yaudah 2: Challenge Accepted.

Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.

Quote:


Quote:


Spoiler for Sinopsis:


Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 16:34
pulaukapok
genji32
andybtg
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
357.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.7KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#1197
PART 76

Ini bukan salahnya, maksud gue, ini bukan salah Emil. Lupa buat memberitahukan kabar duka dari Masayu, well… semua orang pasti pernah melakukannya, kan? Enggak ada yang bakalan berubah juga kalopun gue dapet kabar sejam lebih awal ataupun dari sewaktu pertama kali Emil menatap muka gue hari ini. Ya, enggak ada yang bakalan berubah, kecuali kalo gue dapat kabarnya sembilan tahun lebih awal. Dia enggak bakalan meninggal secepat ini, karena pada saat itu gue bakalan mati-matian minta bokap buat pindah ke Malang dan tinggal di sebelah rumah Masayu dan memaksa dia buat menjalankan pola hidup sehat sedari dini. Pffftt…, mikir apa gue ini.

“Kita bisa berangkat sekarang kalo kamu mau,” ucap Emil di tengah kebisingan musik rock yang entah sejak kapan gue mainkan di MP3. “Aku pesenin tiket kereta sekarang, ya? Masalah alamat gampang, kita bisa telepon orang rumahnya, atau enggak... kita bisa nanya orang di jalan.”
“It’s fine, Hon,” ucap gue mengusap rambutnya dengan tangan kiri sementara tangan kanan tetap pada kemudi. “Kamu enggak perlu sampai segitunya.”
“Ayo dong, Yang,” ajaknya lagi. “Kita berangkat, ya?”
Gue lempar senyuman yang sedikit gue paksakan, “Berkabung bisa dimana aja, Yang.”

Berkabung bisa dimana aja? Seriously? Ya emang bener sih sedih bisa kita rasakan dimana aja, tanpa dilihat orang lain pun. Bahkan, tanpa perlu datang ke rumah duka lalu posting foto di instagram dengan hashtag saddest day of my life, rasa sedih tetep bisa terasa. Tapi apa intinya?!

Maksud dan tujuan berkabung kan buat menunjukkan kalo kita peduli dengan orang itu, bukan buat menunjukkan kesedihan kita. If you feel sorry about her, you need to come and show it. And that’s the meaning of caring. Ini bukan tentang gue, ini semua tentang Masayu, keluarganya, dan juga kenalannya. Jadi…, berkabung bisa dimana aja, what kind of joke was that?

“What kind of joke was that?” gumam Emil pelan sambil masih memandangi jalan di tengah gelap.
“Eh?”
“Aku tau kamu kecewa sama aku?” tanyanya memelankan musik rock yang makin lama terdengar menjengkelkan. “Maafin aku.”
“Enggak, Yang...,” jawab gue. “Kamu enggak kecewain aku, kamu enggak kecewain siapapun. Udah to…, enggak perlu dipikirin gitu.”
“Enggak perlu dipikirin gitu gimana?!” keluhnya menjengkelkan. “Ya kalo gitu kita berangkat dong–”
“Ya gausah!” potong gue tiba-tiba dengan nada lumayan tinggi. “Kalo aku bilang enggak ya berarti enggak! Dia udah enggak ada! Yaudah, kan?! Apa lagi kepentingan kita ke sana?!”

Emil terdiam, begitu juga gue.

“Maaf,” ucap gue pelan. “Aku capek, jangan bikin aku enggak nyaman.”

Jujur, gue enggak nyaman dengan keheningan ini. Tapi di sisi lain gue juga enggak nyaman kalo Emil memaksakan idenya diwaktu gue udah membuat keputusan. Terlebih lagi ini bukan soal dia, ataupun kita. Bangke emang, kenapa sepelik ini.

Kalo udah kayak gini mau apa juga serba salah. Nyalain lagi MP3 biar suasana jadi cair? Yakin itu tindakan bijak? Gimana kalo dia lagi pengin sunyi biar bisa introspeksi diri satu sama lain? Pelik, kan?

“Kamu tau, kan?” ucap Emil lagi setelah sekian menit hening. “Aku ini orangnya gampang tertekan. Cewek random, yang apa aja gampang banget dimasukin hati. Cewek egois yang begitu pikirannya dilawan bakalan gila.”
“I-iya aku tau–”
“Kamu tau, kan?” lanjutnya lagi sebelum gue sempat menyela. “Selama ini aku sering banget down, dan kamu selalu ada buat aku. Kamu tau enggak … kamu tuh supporter terbaik buat aku. Selalu jagain aku, semangatin aku, bahkan sadarin aku kalo jalan di depan itu enggak bakalan pernah buntu.”

Gue lirik dia sebentar lalu gue palingkan muka gue ke arah jalan di depan.

“Kamu tau,” ucapnya hening. “Aku tuh juga pengin kayak gitu buat kamu.”
Jadi kayak gue?
“Supporter terbaik buat pasangannya.” Emil menatap gue tajam meski gue hanya melihatnya dair sudut mata gue, “Cuma itu.”

Did I do somethin wrong?

“Maaf kalo udah bikin kamu enggak nyaman,” ucapnya mengakhiri kalimat panjang yang seakan meminta gue untuk bertanggung jawab.
“Astaga, Yang,” kata gue meraih tangannya lalu menciumnya. “Bukan gitu maksud aku.”
“Aku tau banget kok maksud kamu.”
“Maafin aku, Yang,” pinta gue masih menggengam tangannya. “Aku–”
“Aku tau,” ucapnya menarik tangannya dengan cepat. “Aku tau banget.”

Dasar cewek egois! Gimana ceritanya jadi gue yang salah?! Ini semua bukan tentang lo! Ini semua tentang gue! Perasaan gue ke Masayu! Enggak ada lo di dalamnya! Kalopun lo ada di kehidupan gue, itu juga saat ini! Bukan masa lalu! Lo enggak punya hak buat mengusik kehidupan gue sama Masayu di masa lalu! Apapun itu!

Gue pasang lampu sein dan segera menepikan mobil ke pinggir jalan. Tanpa pikir panjang gue keluar dari mobil dan berjalan

“Dawi?!” panggilnya ketika gue keluar dari mobil. “Dawi kamu mau kemana?!”
“Itu bukan urusan lo!” teriak gue dengan nada yang naik oktaf demi oktaf. “Masalah gue sama Masayu bukan masalah lo! Ngerti enggak sih lo?!”

Emil tersenyum ketika gue tunjukkan wajah kesal gue di depannya. Senyum? Gimana ceritanya dia masih bisa senyum?!

“Gue hancur, Mil! Gue hancur sewaktu tau kabar dia udah enggak ada!” seru gue enggak terima karena dia tersenyum ke arah gue. “Lo pikir lo tau segalanya?! Enggak! Masalah ini bukan tentang lo! Enggak semuanya tentang lo! Hubungan gue sama Masayu lebih dari itu! Im hurt, im broke, im down!”

I’m messed up, gue lepas kontrol. Emosi gue menguasai isi kepala gue seutuhnya. Gue ucapkan kalimat-kalimat buruk yang jika secara sadar sebenarnya itu bukanlah kalimat yang pantas untuk diucapkan ke seorang pasangan.

Dilihat dari segi manapun, point of view siapapun, seharusnya, dimata pasangan, semua ini lebih dari memuakkan untuk dipertahankan. Lebih dari cukup untuk seorang pasangan meninggalkan orang yang tak tau diri ini.

“Kenapa juga gue harus ke Jogja?! Kenapa juga gue harus kenal sama dia?!” seru gue masih dengan hati yang panas. “Empat tahun, baru juga empat tahun gue kenal sama dia! Ya gue emang sekarang emang enggak lebih dari sekedar temen! Bangke! Tapi kenapa tetep aja kayak gini!”

Gue atur nafas gue yang entah sejak kapan berubah berat. Bukan hanya gara-gara emosi gue yang meledak-ledak, tapi juga pelukan erat dari Emil yang entah sejak kapan dilingkarkannya ke punggung gue.

“Mil,” panggil gue sesak.
“Its ok!” ucapnya lantang. “Say it out loud!”
“Say it out loud?”
"Sakit banget denger kamu marah-marah kayak gini," lanjutnya tenang. "Tapi asalkan bisa tetep sama kamu, aku gapapa."

Gue salah.

"Aku tau kamu kamu daritadi tuh sok tegar padahal sebenarnya enggak. Aku tau kamu pengin kelihatan tetep kuat, meskipun kamu hancur," katanya lagi. "Tapi kamu harus tau, jadi lemah itu gapapa, asalkan kamu bisa jadi kuat setelahnya. Waktu kamu yang lemah, kayak sekarang, biar aku yang jadi kuat!
“Enggak perlu kamu simpan sendiri! Keluarin aja semuanya ke aku! Jangan jadi sok kuat! Kenyataan emang kadang pedih kayak gini!" lanjutnya setengah terisak. "Tapi gapapa, jalanin aja seberat apapun itu!”
“Seberat apapun itu?” gumam gue di tengah pelukan Emil yang makin kuat.
“Ya,” ucapnya masih di tengah pelukan. “Seberat apapun itu.”

Begitu gue rasa kalo gue udah cukup tenang, gue melangkah mundur dan bersandar pada mobil.

Emil bikin gue enggak nyaman? What kind of joke was that? Haha. Munafik banget gue, jelas-jelas pelukan Emil satu-satunya pelukan ternyaman setelah pelukan nyokap gue.

Dia cuma pengin jadi orang yang bisa tetep peduli sama gue seberat apapun ceritanya, kenapa gue malah marahin dia? Dia pengin stay strong ketika gue getting weak, and even weaker, kenapa gue malah sok enggak butuh dia? Astaga, segitu butanya gue.

“Udah lega?” tanya Emil melepas pelukannya setelah sekian waktu.

Tanpa menjawab gue anggukan kepala gue pelan.

“Yuk balik," senyumnya menarik tangan gue kembali ke arah mobil.

Gue tarik gagang pintu. Sekali tarik, enggak kebuka. Dua kali tarik, kok macet. Tadi udah gue cabut kan kuncinya?
Gue tempelkan muka gue lekat-lekat ke kaca film yang masih bergetar. Astaga! Mobilnya masih nyala!

“Mil,” panggil gue pelan. “Kekunci, kah?”
“Mana aku tau,” jawabnya enteng. “Kan kamu yang bawa mobil.”

Ah… gue bisa cari bengkel buat minta tolong bukain pintu mobil yang ke kunci? Ya, gue bisa cari bengkel. Tapi bengkel mana yang buka tengah malem begini? Kalo enggak ada bengkel buka deket-deket sini bisa dong telepon yang agak jauhan, misal telepon bengkel langganan? Ya, gue bisa telepon bengkel langganan. Eh, tunggu hape gue … mana? Gue intip dalam mobil dan hape gue dengan nyamannya bersender pada tuas rem tangan, keren enggak tuh? Lemes.

Kampret! Kampret! Kampret! Ini lhoh yang gue enggak suka kalo gue kebawa emosi, jadi bego gini kan. Bawa anak orang malem-malem malah disuruh nunggu sampai pagi diluar mobil gara-gara kesalahan gue sendiri. Mana sebelumnya udah gue omelin lagi.

“Yok, pulang,” ajaknya sambil senyum.
“Tapi kuncinya–”

Emil berjalan memutar dan menarik pintu navigator yang ternyata enggak ditutup sepenuhnya.

“Yang situ enggak dikunci?!” seru gue kecewa dikibulin Emil tapi juga seneng karena dia cuma ngibulin.
“Classic Emil,” ucapnya membuka pintu sopir dari dalam.
“Classic Emil.”
nguntalsego
pulaukapok
JabLai cOY
JabLai cOY dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.