- Beranda
- Stories from the Heart
Gunung Hutan Dan Puisi
...
TS
arga.mahendraa
Gunung Hutan Dan Puisi
Pada pekat kabut yang menjalar di hamparan tanahtanah tinggi
Kulantunkan katakata sebagai penggalan doa
Untukmu yang kini telah sempurna hadir..
Pada peluh yang telah mengalir
Ketika kita ayunkan langkahlangkah
Menuju tempattempat teduh
Untuk menyemayamkan rasamu dan rasaku
Kini telah menyatu sudah
dan beku udara ini akan semakin kuat mengikatnya
Kita memang sering berbeda dalam banyak Hal
Namun Gunung, Hutan Dan Puisi selalu mampu menyatukannya..
***
Kulantunkan katakata sebagai penggalan doa
Untukmu yang kini telah sempurna hadir..
Pada peluh yang telah mengalir
Ketika kita ayunkan langkahlangkah
Menuju tempattempat teduh
Untuk menyemayamkan rasamu dan rasaku
Kini telah menyatu sudah
dan beku udara ini akan semakin kuat mengikatnya
Kita memang sering berbeda dalam banyak Hal
Namun Gunung, Hutan Dan Puisi selalu mampu menyatukannya..
***

Sebelumnya ijinkan saya untuk ikut berbagi cerita di forum ini. Forum yang sudah lumayan lama saya ikuti sebagai SR.. Salam kenal, saya Arga..
Cerita saya mungkin tidak terlalu menarik dan membahana seperti cerita-cerita fenomenal di SFTH ini. Hanya cerita biasa dari bagian kisah hidup saya. Semoga masih bisa dibaca dan dinikmati.
Seperti biasa, seluruh nama tokoh, dan tempat kejadian disamarkan demi kebaikan semuanya. Boleh kepo, tapi seperlunya saja ya.. seperti juga akan seperlunya pula saya menanggapinya..
Update cerita tidak akan saya jadwalkan karena saya juga punya banyak kesibukan. Tapi akan selalu saya usakan update sesering mungkin sampai cerita inI tamat, jadi jangan ditagih-tagih updetannya yaa..
Baiklah, tidak perlu terlalu berpanjang lebar, kita mulai saja...
****
Medio 2005...
Hari itu sore hari di sela kegiatan pendidikan untuk para calon anggota baru organisasi pencinta alam dan penempuh rimba gunung yang aku rintis tujuh tahun yang lalu sekaligus sekarang aku bina. Aku sedang santai sambil merokok ketika salah satu partnerku mendatangiku.
"Ga, tuh ada salah satu peserta cewek yg ikut pendidikan cuma karena Ada pacarnya yang ikut, kayaknya dia ga beneran mau ikut organisasi deh, tapi cuma ngikut pacarnya"
"Masak sih? Yang mana? Kok aku ga perhatiin ya" jawabku
"Kamu terlalu serius mikirin gimana nanti teknis di lapangan sih Ga, malah jadi ga merhatiin pesertamu sendiri" lanjutnya
"Coba deh nanti kamu panggil aja trus tanyain bener apa ga, namanya Ganis.. aku ke bagian logistik dulu" Kata temanku sambil meninggalkanku
"OK, nanti coba aku tanya" jawabku
"Pulangin aja kalo emang bener Ga.. ga bener itu ikut organisasi cuma buat pacaran" sahutnya lagi dari kejauhan sambil teriak
Dan aku pun cuma menjawab dengan acungan jempol saja
***
Pada malam harinya aku mengumpulkan seluruh peserta pendidikan di lapangan. Malam itu ada sesi pengecekan logistik peserta sekaligus persiapan untuk perjalanan ke gunung besok pagi untuk pendidikan lapangan.
Kurang lebih 2 jam selesai juga pengecekan logistik seluruh peserta pendidikan. Dan aku pun memulai aksiku.
"Yang merasa bernama Ganis keluar dari barisan dan maju menghadap saya sekarang..!!!" Teriakku di depan mereka
Tak lama keluarlah seorang cewek dari barisan dan menghadapku. Aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya, entah cantik atau biasa saja aku tak terlalu peduli karena aku sudah sedikit emosi sejak sore tadi temanku mengatakan kalau dia ikut kegiatan ini cuma karena pacarnya ikut.
"Benar kamu yang bernama Ganis?"
"Ya benar, Kak"
"Kamu ngapain ikut kegiatan ini!?"
"Karena saya ingin jadi anggota Kak"
"Dasar pembohong..!!!" Bentakku seketika
Dan dia pun langsung menunduk
"Hey, siapa suruh nunduk?? Kalau ada yang ngomong dilihat!! Kamu tidak menghargai seniormu!!"
"Siap, maaf Kak" jawabnya sambil langsung melihatku
"Saya dengar kamu ikut kegiatan ini karena pacar kamu ikut juga!! Benar begitu? Jawab!!"
"Siap, tidak Kak, saya ikut karena saya sendiri ingin ikut, tidak ada hubungannya dengan pacar!" Jawabnya tegas
"Tapi pacar kamu juga ikut kan!?"
"Siap benar"
"Siapa namanya!?"
"Alan Kak"
"Yang merasa bernama Alan, maju ke depan" teriakku di depan peserta lainnya
Kemudian datanglah cowok bernama Alan itu di depanku
"Benar kamu yang bernama Alan?" Tanyaku pada cowok itu
"Siap, benar Kak" jawabnya
"Benar kamu pacarnya Ganis?"
"Siap benar Kak"
"Kamu ikut kegiatan ini cuma buat ajang pacaran!!?? Kamu cuma mau cari tempat buat pacaran??"
"Tidak Kak"
"Kalian berdua masih mau jadi anggota organisasi ga!!?"
"Siap, masih mau Kak" jawab mereka berdua
"Baik, saya berikan pilihan, kalian berdua saat ini juga putus dan lanjut ikut pendidikan, atau tetap pacaran tapi sekarang juga pulang tidak usah lanjut ikut pendidikan dan jadi anggota organisasi.. silahkan tentukan pilihan sekarang!!"
***
Spoiler for INDEX:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 10 suara
Siapakah yang bakal jadi istri TS?
Rika
30%
Winda
20%
Dita
0%
Ganis
40%
Tokoh Yang Belum Muncul
10%
Diubah oleh arga.mahendraa 20-10-2018 13:37
kimpoijahat dan anasabila memberi reputasi
3
31.4K
264
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
arga.mahendraa
#218
47. Pertimbangan... Keputusan?
Desember 2008
Bagi sebagian orang, moment pergantian tahun merupakan salah satu moment spesial sebagai salah satu moment untuk merefleksikan diri atas apa yang telah dilakukan dalam setahun terakhir kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat resolusi untuk satu tahun kedepan, apa saja yang ingin di capai di masa depan. Bahkan ada yang merayakannya dengan pesta pora sebagai bentuk rasa syukur atas pencapaian mereka satu tahun ini. Tapi itu tidak berlaku padaku. Bagiku semua hari adalah sama saja. Kalau kita ingin merefleksikan diri, kenapa harus menunggu saat akhir tahun. Kalau ingin membuat suatu resolusi, kenapa harus menunggu moment pergantian tahun. Itulah pemikiranku saat ini. Aku, bisa dikatakan termasuk golongan minoritas orang-orang yang tidak menyukai keramaian. Hingar bingar keramaian pesta tahun baru bagiku hanyalah suatu kegiatan sia-sia yang memboroskan uang dan mengganggu ketenangan orang lain. Bahkan sejak pertama aku kenal mendaki gunung, aku sama sekali tidak pernah berada di puncak gunung saat moment-moment ramai seperti tahun baru, 17 an, malam 1 suro dan yang lainnya. Aku sama sekali merasa tidak nyaman berada di tengah banyak orang. Apalagi ketika di puncak gunung. Bagiku mendaki gunung adalah bentuk kegiatan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan Alam. Tapi ketika di puncak gunung sangat ramai, bagaimana kita bisa mendekatkan diri dengan Tuhan?
Kembali berbicara tentang moment tahun baru. Aku yang tidak menyukai hingar bingar keramaian seperti itu ternyata bertolak belakang dengan Ganis yang ternyata menyukai moment-moment perayaan, termasuk tahun baru. Sejak beberapa hari yang lalu Ganis selalu mengajakku untuk "tahun baruan". Dia tidak menyebutkan tempat dan acara yang hendak dia tuju. Lebih tepatnya belum sempat menyebutkan, aku sudah mengatakan menolak keinginannya karena aku memang tidak menyukai perayaan. Alhasil, Ganis marah dan mendiamkanku beberapa hari ini. Dia sempat bilang, tidak mempermasalahkan aku tidak pernah merayakan ulang tahunnya atau tanggal jadian kami. Tapi dia ingin kali ini saja keluar bersamaku untuk tahun baruan. Tapi aku tak bergeming dan tetap menolak keinginannya. Akhirnya dia tidak mau membalas smsku, mengangkat telponku, apalagi menelponku.
Beberapa kali aku sms Ganis untuk memberi penjelasan bahwa aku bukan tipe orang yang suka berada di tengah keramaian dan mencoba memberi pengertian padanya, tapi dia tetap tidak meresponku. Sampai akhirnya aku pun menyerah dan membiarkan saja sesuka dia sampai emosinya mereda dan mau sms aku. Tapi hingga hampir seminggu masih tetap tidak ada respon darinya sama sekali. Aku merasa sedikit bimbang, antara tetap kukuh pada pendirianku atau mengalah dan mengikuti keinginannya meskipun membuatku merasa tidak nyaman. Beberapa waktu aku memikirkannya hingga akhirnya terpikirkan olehku untuk meminta pendapat kepada seseorang. Seseorang yang sangat paham tentang aku dan Ganis. Siapa lagi kalau bukan Rika. Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon Rika.
Tuuuut tuuuut tuuuuut.. klik...
"Halo Assalamualaikum" ucap Rika dari seberang sana setelah mengangkat telponku.
"Waalaikumsalam.. apa kabar Rik?" Ucapku.
"Masih hidup.. meskipun udah gak kamu urus lagi.. hahahaha" ucapnya.
"Sialan.. jangan gitu lah Rik. Sorry aku jarang nelpon kamu" ucapku.
"Hahahaha.. bercanda kali, Ga. Aku baik kok. Kamu apa kabar? Tumben telpon, pasti lagi ada masalah nih" ucapnya.
"Aku sih sehat, Rik. Haaah... Kamu tau aja aku lagi ada masalah" ucapku.
"Hahahaha udah bisa ditebak, Ga. Kamu nelpon aku tuh cuma ada dua kemungkinan. Pertama kamu ngabari kalo mau nikah, kedua lagi ada masalah. Dan kemungkinan pertama kayaknya gak mungkin. Hahahaha" ucapnya.
"Sialan.. iya lagi ada masalah dikit sih.. mau minta pendapat kamu" ucapku.
"Ganis?" Sahutnya.
"Iya" jawabku.
"Kamu ke rumah aja deh biar enak ngobrolnya" ucapnya.
"Kamu gak kerja?" Tanyaku.
"Ya sore lah kesininya, dodol" ucapnya.
"Oh iya, ya... Ya udah nanti sore aku kerumah" ucapku.
"OK. Udah dulu ya, Ga. Aku masih kerja. Nanti ngobrol di rumah aja" ucapnya.
"Ya udah kalo gitu. Assalamualaikum" ucapku
"Waalaikumsalam"
Klik... Tuuut tuuut tuuuut
***
"Jadi gitu ceritanya, Rik" ucapku usai menceritakan permasalahanku pada Rika di teras rumahnya sore harinya.
"Hmmmm.. Argaaa.. Arga... Sampe sekarang pun kamu belum banyak berubah meskipun udah pacaran sama Ganis" ucapnya.
"Maksudnya?" Ucapku.
"Yaa kamu belum banyak berubah.. masih cuek, sedikit egois dan terlalu mengedepankan prinsip yg sebetulnya gak penting-penting amat" ucapnya.
"........"
"Jadi gini, Ga.. Aku salut sama kamu yang punya karakter memiliki prinsip kuat. Beda sama orang-orang kebanyakan. Bisa dikatakan idealis. Bahkan aku dulu kagum sama kamu karena karaktermu itu. Sayangnya kamu gak tertarik sama aku. Hahahaha.." ucapnya lagi dan aku hanya mengernyitkan dahi.
"OK kembali ke masalah Ganis yaa.. Kamu boleh punya prinsip kuat seperti itu. Kamu boleh idealis. Tapi itu cuma berlaku kalo kamu masih jomblo. Ngerti gak?" Sambungnya.
"Gak" sahutku dan Rika langsung menjitak kepalaku.
"Kalo kamu masih sendiri, kamu boleh aja mengedepankan idealisme kamu, atau keegoisan kamu. Tapi ketika kamu punya pasangan, kamu juga harus mikirin pasanganmu, Ga. Kalau prinsip kamu ada pertentangan dengan prinsip pasanganmu, seharusnya kamu bisa sedikit melunak untuk membahagiakan pasanganmu. Sekarang aku tanya sama kamu. Niat kamu pacaran sama Ganis apa?" Ucapnya.
"Mmmm.. anu... Apa ya Rik.. Bingung aku" ucapku kebingungan.
"Tuh kan malah bingung.. Coba deh kamu pikirin niatan kamu pacaran sama Ganis itu apa" ucap Rika lagi.
"Hhhmmmm... Ya niatku pengen jadiin dia pasanganku selamanya, Rik" ucapku setelah diam berfikir beberapa saat.
"Itu tujuan, Arga.. Tujuan kamu pengen jadiin Ganis istri trus kalian jadi pasangan selamanya. Yang aku tanya niatan kamu tuh apa.. kan ada yang niatnya sekedar untuk status, ada yang sekedar pelampiasan nafsu, dan lain-lain" ucap Rika.
"Oooh.. Iya aku paham, Rik. Apa yaa.. aku belum bisa jawab kayaknya Rik" ucapku.
"Baiklah.. Apapun niatan kamu, aku cuma mau ngingetin, Ga. Kamu boleh saja tetap memegang teguh prinsipmu, tapi jangan kaget kalau kamu gak akan bisa langgeng dengan Ganis. Juga mungkin dengan perempuan-perempuan lainnya. Inti dari orang berpasangan kan harus saling mengalah. Aku yakin selama ini Ganis sudah sering mengalah sama kamu kan?" Ucapnya.
"Iya juga sih Rik. Nanti aku pikirin dulu deh" ucapku.
"Terserah kamu. Dan satu lagi. Jangan sampai suatu saat kamu bikin Ganis nangis. Karena aku yakin rasanya sangat menyakitkan kalau ada laki-laki lain yang menghapus air matanya. Inget itu!" Ucapnya.
Seketika aku terdiam dan berfikir usai mendengar perkataan Rika. Benar juga selama ini Ganis lebih sering mengalah karena aku yang terlalu mengedepankan prinsip bodohku. Tapi bagaimanapun juga bukan hal yang mudah seketika merubah karakterku yang seperti ini menjadi berbeda bahkan bertolak belakang. Untuk ukuran seorang jomblo, Rika cukup jago juga memberikan pendapat bagi orang yang berpasangan. Mungkin karena basicnya sebagai seorang sarjana psikologi. Eh, tapi apa benar Rika jomblo? Selama ini kan memang aku jarang mendapatkan kabar tentang Rika.
"Makasih masukannya, Rik. Aku pasti memikirkannya nanti. Ngomong-ngomong sekarang kamu punya pacar gak sih?" Ucapku.
"Hahahaha.. kenapa jadi nanyain tentang aku? Masalah kamu itu beresin aja dulu" ucapnya.
"Anggap aja beres, udah. Jawab aja kenapa sih. Aku penasaran, Rik" ucapku.
"Kalo secara resmi pacaran sih aku gak punya, Ga. Tapi sekarang emang ada yang lagi deket sama aku. Teman kerjaku sendiri sih" ucapnya.
"Kok gak pernah cerita. Aku boleh kenal sama dia gak?" Ucapku.
"Sengaja aku gak cerita, Ga. Nanti aja kalau udah tepat waktunya. Sebaiknya juga gak aku kenalin dulu sama kamu. Aku mau coba seleksi sendiri orang yang mau jadi pasanganku. Kalau dulu kan aku selalu minta pendapat kamu. Sekarang aku mau coba tanya ke hati kecilku sendiri" ucapnya.
"Bagus deh kalo gitu. Aku harap dia orang baik yang bisa bahagiain kamu, Rik. Aku percaya kalo kamu bukan orang yang gegabah mengambil keputusan, termasuk dalam menerima seseorang jadi pasanganmu" ucapku
"InsyaAllah, Ga. Doain aja" ucapnya.
"Pasti, Rik. Kamu salah satu yang selalu kusebut dalam doaku. Ngomong-ngomong cowok itu udah tau belum kalau kamu dekat dengan aku? Takutnya ada salah paham" ucapku.
"Dia tau kok, Ga. Dia juga penasaran pengen kenal sama kamu. Tapi aku juga bilang nanti saja kalau sudah tepat waktunya aku kenalin" ucapnya.
"Bagus deh kalo gitu. Eh, aku pamit ya, Rik. Udah mau maghrib ini" ucapku.
"Pulang nanti aja lah. Malam aja dari sini" ucap Rika.
"Tapi...."
"Pokoknya nanti" potongnya sambil melotot.
"Iya iyaa.." ucapku sambil mendengus.
Akhirnya kami pun lanjut mengobrol ringan. Aku numpang sholat maghrib di rumah Rika dan makan malam bersama keluarganya. Malamnya sekitar jam 9 aku pun pamit pulang dan Rika juga mengijinkanku pulang.
***
Sesampainya di rumah aku memikirkan ucapan Rika sore tadi. Aku juga mempertimbangkan apakah aku harus mempertahankan prinsip dan egoku dengan resiko Ganis meninggalkanku atau aku harus mengalah demi kelanggengan hubunganku dengan Ganis. Selain itu, aku juga berfikir apa sebenarnya niatanku menjalin hubungan dengan Ganis. Akhirnya setelah beberapa jam menimbang-nimbang aku pun mengambil keputusan. Aku mengambil hpku yang sejak tadi tergeletak di meja kamarku dan mulai mengetik SMS untuk Ganis.
Bagi sebagian orang, moment pergantian tahun merupakan salah satu moment spesial sebagai salah satu moment untuk merefleksikan diri atas apa yang telah dilakukan dalam setahun terakhir kemudian dijadikan sebagai bahan untuk membuat resolusi untuk satu tahun kedepan, apa saja yang ingin di capai di masa depan. Bahkan ada yang merayakannya dengan pesta pora sebagai bentuk rasa syukur atas pencapaian mereka satu tahun ini. Tapi itu tidak berlaku padaku. Bagiku semua hari adalah sama saja. Kalau kita ingin merefleksikan diri, kenapa harus menunggu saat akhir tahun. Kalau ingin membuat suatu resolusi, kenapa harus menunggu moment pergantian tahun. Itulah pemikiranku saat ini. Aku, bisa dikatakan termasuk golongan minoritas orang-orang yang tidak menyukai keramaian. Hingar bingar keramaian pesta tahun baru bagiku hanyalah suatu kegiatan sia-sia yang memboroskan uang dan mengganggu ketenangan orang lain. Bahkan sejak pertama aku kenal mendaki gunung, aku sama sekali tidak pernah berada di puncak gunung saat moment-moment ramai seperti tahun baru, 17 an, malam 1 suro dan yang lainnya. Aku sama sekali merasa tidak nyaman berada di tengah banyak orang. Apalagi ketika di puncak gunung. Bagiku mendaki gunung adalah bentuk kegiatan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan Alam. Tapi ketika di puncak gunung sangat ramai, bagaimana kita bisa mendekatkan diri dengan Tuhan?
Kembali berbicara tentang moment tahun baru. Aku yang tidak menyukai hingar bingar keramaian seperti itu ternyata bertolak belakang dengan Ganis yang ternyata menyukai moment-moment perayaan, termasuk tahun baru. Sejak beberapa hari yang lalu Ganis selalu mengajakku untuk "tahun baruan". Dia tidak menyebutkan tempat dan acara yang hendak dia tuju. Lebih tepatnya belum sempat menyebutkan, aku sudah mengatakan menolak keinginannya karena aku memang tidak menyukai perayaan. Alhasil, Ganis marah dan mendiamkanku beberapa hari ini. Dia sempat bilang, tidak mempermasalahkan aku tidak pernah merayakan ulang tahunnya atau tanggal jadian kami. Tapi dia ingin kali ini saja keluar bersamaku untuk tahun baruan. Tapi aku tak bergeming dan tetap menolak keinginannya. Akhirnya dia tidak mau membalas smsku, mengangkat telponku, apalagi menelponku.
Beberapa kali aku sms Ganis untuk memberi penjelasan bahwa aku bukan tipe orang yang suka berada di tengah keramaian dan mencoba memberi pengertian padanya, tapi dia tetap tidak meresponku. Sampai akhirnya aku pun menyerah dan membiarkan saja sesuka dia sampai emosinya mereda dan mau sms aku. Tapi hingga hampir seminggu masih tetap tidak ada respon darinya sama sekali. Aku merasa sedikit bimbang, antara tetap kukuh pada pendirianku atau mengalah dan mengikuti keinginannya meskipun membuatku merasa tidak nyaman. Beberapa waktu aku memikirkannya hingga akhirnya terpikirkan olehku untuk meminta pendapat kepada seseorang. Seseorang yang sangat paham tentang aku dan Ganis. Siapa lagi kalau bukan Rika. Akhirnya aku memutuskan untuk menelpon Rika.
Tuuuut tuuuut tuuuuut.. klik...
"Halo Assalamualaikum" ucap Rika dari seberang sana setelah mengangkat telponku.
"Waalaikumsalam.. apa kabar Rik?" Ucapku.
"Masih hidup.. meskipun udah gak kamu urus lagi.. hahahaha" ucapnya.
"Sialan.. jangan gitu lah Rik. Sorry aku jarang nelpon kamu" ucapku.
"Hahahaha.. bercanda kali, Ga. Aku baik kok. Kamu apa kabar? Tumben telpon, pasti lagi ada masalah nih" ucapnya.
"Aku sih sehat, Rik. Haaah... Kamu tau aja aku lagi ada masalah" ucapku.
"Hahahaha udah bisa ditebak, Ga. Kamu nelpon aku tuh cuma ada dua kemungkinan. Pertama kamu ngabari kalo mau nikah, kedua lagi ada masalah. Dan kemungkinan pertama kayaknya gak mungkin. Hahahaha" ucapnya.
"Sialan.. iya lagi ada masalah dikit sih.. mau minta pendapat kamu" ucapku.
"Ganis?" Sahutnya.
"Iya" jawabku.
"Kamu ke rumah aja deh biar enak ngobrolnya" ucapnya.
"Kamu gak kerja?" Tanyaku.
"Ya sore lah kesininya, dodol" ucapnya.
"Oh iya, ya... Ya udah nanti sore aku kerumah" ucapku.
"OK. Udah dulu ya, Ga. Aku masih kerja. Nanti ngobrol di rumah aja" ucapnya.
"Ya udah kalo gitu. Assalamualaikum" ucapku
"Waalaikumsalam"
Klik... Tuuut tuuut tuuuut
***
"Jadi gitu ceritanya, Rik" ucapku usai menceritakan permasalahanku pada Rika di teras rumahnya sore harinya.
"Hmmmm.. Argaaa.. Arga... Sampe sekarang pun kamu belum banyak berubah meskipun udah pacaran sama Ganis" ucapnya.
"Maksudnya?" Ucapku.
"Yaa kamu belum banyak berubah.. masih cuek, sedikit egois dan terlalu mengedepankan prinsip yg sebetulnya gak penting-penting amat" ucapnya.
"........"
"Jadi gini, Ga.. Aku salut sama kamu yang punya karakter memiliki prinsip kuat. Beda sama orang-orang kebanyakan. Bisa dikatakan idealis. Bahkan aku dulu kagum sama kamu karena karaktermu itu. Sayangnya kamu gak tertarik sama aku. Hahahaha.." ucapnya lagi dan aku hanya mengernyitkan dahi.
"OK kembali ke masalah Ganis yaa.. Kamu boleh punya prinsip kuat seperti itu. Kamu boleh idealis. Tapi itu cuma berlaku kalo kamu masih jomblo. Ngerti gak?" Sambungnya.
"Gak" sahutku dan Rika langsung menjitak kepalaku.
"Kalo kamu masih sendiri, kamu boleh aja mengedepankan idealisme kamu, atau keegoisan kamu. Tapi ketika kamu punya pasangan, kamu juga harus mikirin pasanganmu, Ga. Kalau prinsip kamu ada pertentangan dengan prinsip pasanganmu, seharusnya kamu bisa sedikit melunak untuk membahagiakan pasanganmu. Sekarang aku tanya sama kamu. Niat kamu pacaran sama Ganis apa?" Ucapnya.
"Mmmm.. anu... Apa ya Rik.. Bingung aku" ucapku kebingungan.
"Tuh kan malah bingung.. Coba deh kamu pikirin niatan kamu pacaran sama Ganis itu apa" ucap Rika lagi.
"Hhhmmmm... Ya niatku pengen jadiin dia pasanganku selamanya, Rik" ucapku setelah diam berfikir beberapa saat.
"Itu tujuan, Arga.. Tujuan kamu pengen jadiin Ganis istri trus kalian jadi pasangan selamanya. Yang aku tanya niatan kamu tuh apa.. kan ada yang niatnya sekedar untuk status, ada yang sekedar pelampiasan nafsu, dan lain-lain" ucap Rika.
"Oooh.. Iya aku paham, Rik. Apa yaa.. aku belum bisa jawab kayaknya Rik" ucapku.
"Baiklah.. Apapun niatan kamu, aku cuma mau ngingetin, Ga. Kamu boleh saja tetap memegang teguh prinsipmu, tapi jangan kaget kalau kamu gak akan bisa langgeng dengan Ganis. Juga mungkin dengan perempuan-perempuan lainnya. Inti dari orang berpasangan kan harus saling mengalah. Aku yakin selama ini Ganis sudah sering mengalah sama kamu kan?" Ucapnya.
"Iya juga sih Rik. Nanti aku pikirin dulu deh" ucapku.
"Terserah kamu. Dan satu lagi. Jangan sampai suatu saat kamu bikin Ganis nangis. Karena aku yakin rasanya sangat menyakitkan kalau ada laki-laki lain yang menghapus air matanya. Inget itu!" Ucapnya.
Seketika aku terdiam dan berfikir usai mendengar perkataan Rika. Benar juga selama ini Ganis lebih sering mengalah karena aku yang terlalu mengedepankan prinsip bodohku. Tapi bagaimanapun juga bukan hal yang mudah seketika merubah karakterku yang seperti ini menjadi berbeda bahkan bertolak belakang. Untuk ukuran seorang jomblo, Rika cukup jago juga memberikan pendapat bagi orang yang berpasangan. Mungkin karena basicnya sebagai seorang sarjana psikologi. Eh, tapi apa benar Rika jomblo? Selama ini kan memang aku jarang mendapatkan kabar tentang Rika.
"Makasih masukannya, Rik. Aku pasti memikirkannya nanti. Ngomong-ngomong sekarang kamu punya pacar gak sih?" Ucapku.
"Hahahaha.. kenapa jadi nanyain tentang aku? Masalah kamu itu beresin aja dulu" ucapnya.
"Anggap aja beres, udah. Jawab aja kenapa sih. Aku penasaran, Rik" ucapku.
"Kalo secara resmi pacaran sih aku gak punya, Ga. Tapi sekarang emang ada yang lagi deket sama aku. Teman kerjaku sendiri sih" ucapnya.
"Kok gak pernah cerita. Aku boleh kenal sama dia gak?" Ucapku.
"Sengaja aku gak cerita, Ga. Nanti aja kalau udah tepat waktunya. Sebaiknya juga gak aku kenalin dulu sama kamu. Aku mau coba seleksi sendiri orang yang mau jadi pasanganku. Kalau dulu kan aku selalu minta pendapat kamu. Sekarang aku mau coba tanya ke hati kecilku sendiri" ucapnya.
"Bagus deh kalo gitu. Aku harap dia orang baik yang bisa bahagiain kamu, Rik. Aku percaya kalo kamu bukan orang yang gegabah mengambil keputusan, termasuk dalam menerima seseorang jadi pasanganmu" ucapku
"InsyaAllah, Ga. Doain aja" ucapnya.
"Pasti, Rik. Kamu salah satu yang selalu kusebut dalam doaku. Ngomong-ngomong cowok itu udah tau belum kalau kamu dekat dengan aku? Takutnya ada salah paham" ucapku.
"Dia tau kok, Ga. Dia juga penasaran pengen kenal sama kamu. Tapi aku juga bilang nanti saja kalau sudah tepat waktunya aku kenalin" ucapnya.
"Bagus deh kalo gitu. Eh, aku pamit ya, Rik. Udah mau maghrib ini" ucapku.
"Pulang nanti aja lah. Malam aja dari sini" ucap Rika.
"Tapi...."
"Pokoknya nanti" potongnya sambil melotot.
"Iya iyaa.." ucapku sambil mendengus.
Akhirnya kami pun lanjut mengobrol ringan. Aku numpang sholat maghrib di rumah Rika dan makan malam bersama keluarganya. Malamnya sekitar jam 9 aku pun pamit pulang dan Rika juga mengijinkanku pulang.
***
Sesampainya di rumah aku memikirkan ucapan Rika sore tadi. Aku juga mempertimbangkan apakah aku harus mempertahankan prinsip dan egoku dengan resiko Ganis meninggalkanku atau aku harus mengalah demi kelanggengan hubunganku dengan Ganis. Selain itu, aku juga berfikir apa sebenarnya niatanku menjalin hubungan dengan Ganis. Akhirnya setelah beberapa jam menimbang-nimbang aku pun mengambil keputusan. Aku mengambil hpku yang sejak tadi tergeletak di meja kamarku dan mulai mengetik SMS untuk Ganis.
Spoiler for SMS to Ganis:
0