- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#170
JAMPADI
Quote:
Siang harinya baru diketahui ternyata korban pembunuhan yang mayatnya ditemukan di kebun singkong bernama Rukmana salah seorang warga desa Telaga Muncar. Hampir seluruh penduduk desa datang melayat. Di luar rumah, di antara puluhan pelayat kelihatan Jampadi kepala desa Telaga Muncar duduk berdampingan dengan seorang lelaki paruh baya bernama Sopandi yang merupakan saudara dekat almarhum. Sementara aku duduk di deretan kursi bagian belakang di bawah rindangnya pohon asem. Mataku memandang ke arah setiap pelayat yang hadir. Aku lirik Alit yang duduk sambil gelisah.Ia seringkali menggigit bibirnya. Nathan kelihatan lebih tenang, tapi aku sangat yakin ia pun mengalami ketegangan yang serupa. Dua orang teman ku yang lain Mima dan Ajeng memilih tinggal di rumah menemani Ida yang masih sangat shock dan ketakutan.
Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau dengan tulisan arab dihiasi dengan rumbai - rumbai benang kuning emas disetiap tepiannya.
Tidak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid di tengah desa untuk disembahyangkan. Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, Jampadi selaku kepala desa Telaga Muncar menyampaikan sambutan pendek, mengharap agar sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon aga almarhum dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu mendoakan agar almarhum diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu, jenazah pun diusung ke pemakaman yang terletak di tepian desa sebelah barat. Di depan sekali seorang pemuda tanggung berjalan membawa payung besar untuk melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu. Rombongan pengantar jenazah bergerak perlahan menuju pekuburan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi cerah dan terik tampak mendung. Hanya dalam waktu relatif singkat, langit yang terang menjadi remang –remang. Mendung hitam bergumpal –gumpal menggantung di langit. Suasana yang ada telah berubah menjadi ganjil dan aneh.
Kilatan cahaya guntur tampak berkelebat seiring dengan gelegar suaranya yang membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Angin berhembus kencang. Benda –benda ringan beterbangan dedaunan kering dan debu bercampur tanah.
“ Astaga...” Sopandi yang sedari tadi berjalan tepat di belakang keranda berteriak setengah terkejut.
Sopandi memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat. Aku dan dua orang teman ku tampak ikut tegang. Perasaan yang aneh tiba –tiba menghinggapi hati. Bulu kudu meremang secara misterius. Beberapa kali aku usap tengkuk yang berangsur –angsur menjadi dingin.
Dari banyak orang yang menghadiri pemakaman ada tiga orang yang seakan memisahkan diri dari kelompok –kelompok pelayat. Aku sangat mengenalnya, seorang lelaki tua yang masih tampak tegap dan gagah. Meskipun rambut di kepala sudah sepenuhnya putih. Dia lah Tuan Dargo, setelan baju hitam dan sebuah topi fedora berwarna hitam membungkus kepalanya.
Disebelah kirinya berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi kurus memakai pakaian serba hitam juga. Pemuda itu melipat kedua tangannya di dada. Danny, aku sedikit aneh dengan perilaku anak itu hari ini. Tidak tampak keriangan dan kekonyolannya. Bahkan, tatkala melihat rombongan kami pun anak itu hanya tersenyum tipis dan kaku. Seolah –olah kita belum pernah ketemu sebelumnya. Dan disebelah kanan tuan Dargo terlihat seorang wanita paruh baya dengan muka tirus memakai baju panjang menjuntai hampir menyentuh tanah, orang itu tidak lain Gina pembantu setia di keluarga Tuan Dargo.
Waktu jenazah diturunkan ke liang lahat, sekilas aku lihat wajah Tuan Dargo berubah tegang dan badannya yang tegap sesaat bergetar. Lalu ia beranjak maju mendekati kelompok manusia yang berdiri di sekeliling kubur. Baru satu langkah kakinya bergerak, tangannya sudah keburu dicekal oleh tangan Gina.
Sambil berbisik, “ Kita disini saja Tuan “
Tanpa berpaling pada orang yang mencegahnya Tuan Dargo bergumam parau, “ Baiklah Gina “
Gina menelan ludah lalu wajahnya kembali kaku tanpa ekspresi.
Sementara di belakangku tepat bisik – bisik para pelayat tiba –tiba mengganggu pikiran ku. Tatkala aku melirik aku lihat dari beberapa pelayat berbisik satu dengan yang lainnya sembari sesekali mengarahkan pandangannya ke arah Taun Dargo yang masih berdiri memisahkan diri.
“ Aku yakin Dargo ikut bertanggung jawab atas kejadian rajapati di desa kita “, celetuk seorang lelaki berpeci hitam yang menaruh pantatnya di atas nisan.
“ Hush, jangan sembarangan Sumo. Salah –salah kau yang akan menyusul Rukmana “, sahut seorang lainnya sembari melempar putung rokok di atas rerumputan.
Tuan Dargo ikut bertanggung jawab?! Kalimat itu terngiang –ngiang beberapa kali di pikiran ku. Apakah Taun Dargo ikut terlibat? Pikiran ku menerawang saat malam itu diundang makan siang di kediamannya yang sangat besar dan letaknya sangat jauh dari desa Telaga Muncar. Dan anehnya lagi tepat dipekarangannya terdapat tiga makam tua. Aku menarik nafas panjang, tidak ada yang mamapu menjawab semua pertanyaan ku itu.
“ Zul....” , suara Alit memecahkan lamunan ku.
“ Ayo, kita pulang daritadi kau bengong saja. Lihat makan ini sudah mulai sunyi sedari tadi aku menunggu mu di pintu makam bersama Alit tapi tampaknya kau masih bengong saja di dalam sini “
Aku sontak terkejut. Aku perhatikan sekitarku benar saja. Makam telah sepi. Hanya terdapat deretan nisan-nisan terpancang di atas gundukan tanah penuh kebisuan. Orang –orang itu telah pulang kembali ke rumahnya masing –masing. Mengapa aku sama sekali tidak melihat dan mendengarnya? Seolah waktu berhenti berputar di kehidupan ku sendiri. Langit yang semakin gelap dan remang –remang padahal masih lewat tengah hari. Dan gerimis mulai tercurah dari langit.
“ Zulham, Nathan...cepatlah hujan sudah mulai akan turun!"
" Mengapa kalian masih saja berdiri di sana. Cepatlah.....!!”
Alit berteriak lantang dari pintu gerbang makam. Suaranya menggema beradu dengan hembusan angin dan guntur yang sesekali bersahut –sahutan. Tanpa menjawab teriakan Alit, segera saja aku dan Nathan bergegas meninggalkan makam. Setengah berlarian menuju keluar. Benar saja tidak lama kemudian hujan turun dengan lebat, air seperti dicurahkan dari langit.
Angin bertiup dingin mengeluarkan suara aneh tiada hentinya. Sekali¬sekali guntur menggeledek dan di kejauhan terkadang terdengar suara lolongan liar anjing hutan. Dari balik rerimbunan pepohonan di sekitar area pekuburan tiba –tiba menyeruak sesosok anjing berbulu kelabu kehitaman. Ukuran binatang ini sangat besar hampir sebesar sapi benggala. Moncongnya panjang dengan deretan gigi –gigi tajam. Matanya merah berkilat - kilat. Binatang itu memperhatikan gundukan makam yang masih memerah dari kegelapan rimbunan pohon. Sesaat saja, kemudian binatang itu mendongak ke angkasa sembari meninggalkan lolongan yang menggidikkan lalu sosoknya menyelinap lagi di kerapatan pohon dan menghilang..
Begitu kain kafan ditutup dan diikat pada ujung kepala dan ujung kaki, beberapa orang masuk membawa usungan. Jenazah dimasukkan ke dalam usungan, ditutup dengan beberapa lapis kain batik, lalu di atas sekali kain hijau dengan tulisan arab dihiasi dengan rumbai - rumbai benang kuning emas disetiap tepiannya.
Tidak lama kemudian jenazah di bawa ke mesjid di tengah desa untuk disembahyangkan. Selesai disembahyangkan, sebelum diberangkakan menuju pemakaman, Jampadi selaku kepala desa Telaga Muncar menyampaikan sambutan pendek, mengharap agar sanak keluarga yang ditinggalkan bersikap tabah menghadapi musibah itu, memohon aga almarhum dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya, lalu mendoakan agar almarhum diberi tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah.
Selesai upacara pendek itu, jenazah pun diusung ke pemakaman yang terletak di tepian desa sebelah barat. Di depan sekali seorang pemuda tanggung berjalan membawa payung besar untuk melindungi usungan dari teriknya sengatan matahari di siang itu. Rombongan pengantar jenazah bergerak perlahan menuju pekuburan. Sesampai di pekuburan, udara yang tadi cerah dan terik tampak mendung. Hanya dalam waktu relatif singkat, langit yang terang menjadi remang –remang. Mendung hitam bergumpal –gumpal menggantung di langit. Suasana yang ada telah berubah menjadi ganjil dan aneh.
Kilatan cahaya guntur tampak berkelebat seiring dengan gelegar suaranya yang membuat suasana menjadi semakin menegangkan. Angin berhembus kencang. Benda –benda ringan beterbangan dedaunan kering dan debu bercampur tanah.
“ Astaga...” Sopandi yang sedari tadi berjalan tepat di belakang keranda berteriak setengah terkejut.
Sopandi memberi isyarat agar pemakaman segera dilakukan secepatnya sebelum hujan turun. Maka usungan diturunkan, jenazah dikeluarkan dan segera dimasukkan ke liang lahat. Aku dan dua orang teman ku tampak ikut tegang. Perasaan yang aneh tiba –tiba menghinggapi hati. Bulu kudu meremang secara misterius. Beberapa kali aku usap tengkuk yang berangsur –angsur menjadi dingin.
Dari banyak orang yang menghadiri pemakaman ada tiga orang yang seakan memisahkan diri dari kelompok –kelompok pelayat. Aku sangat mengenalnya, seorang lelaki tua yang masih tampak tegap dan gagah. Meskipun rambut di kepala sudah sepenuhnya putih. Dia lah Tuan Dargo, setelan baju hitam dan sebuah topi fedora berwarna hitam membungkus kepalanya.
Disebelah kirinya berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi kurus memakai pakaian serba hitam juga. Pemuda itu melipat kedua tangannya di dada. Danny, aku sedikit aneh dengan perilaku anak itu hari ini. Tidak tampak keriangan dan kekonyolannya. Bahkan, tatkala melihat rombongan kami pun anak itu hanya tersenyum tipis dan kaku. Seolah –olah kita belum pernah ketemu sebelumnya. Dan disebelah kanan tuan Dargo terlihat seorang wanita paruh baya dengan muka tirus memakai baju panjang menjuntai hampir menyentuh tanah, orang itu tidak lain Gina pembantu setia di keluarga Tuan Dargo.
Waktu jenazah diturunkan ke liang lahat, sekilas aku lihat wajah Tuan Dargo berubah tegang dan badannya yang tegap sesaat bergetar. Lalu ia beranjak maju mendekati kelompok manusia yang berdiri di sekeliling kubur. Baru satu langkah kakinya bergerak, tangannya sudah keburu dicekal oleh tangan Gina.
Sambil berbisik, “ Kita disini saja Tuan “
Tanpa berpaling pada orang yang mencegahnya Tuan Dargo bergumam parau, “ Baiklah Gina “
Gina menelan ludah lalu wajahnya kembali kaku tanpa ekspresi.
Sementara di belakangku tepat bisik – bisik para pelayat tiba –tiba mengganggu pikiran ku. Tatkala aku melirik aku lihat dari beberapa pelayat berbisik satu dengan yang lainnya sembari sesekali mengarahkan pandangannya ke arah Taun Dargo yang masih berdiri memisahkan diri.
“ Aku yakin Dargo ikut bertanggung jawab atas kejadian rajapati di desa kita “, celetuk seorang lelaki berpeci hitam yang menaruh pantatnya di atas nisan.
“ Hush, jangan sembarangan Sumo. Salah –salah kau yang akan menyusul Rukmana “, sahut seorang lainnya sembari melempar putung rokok di atas rerumputan.
Tuan Dargo ikut bertanggung jawab?! Kalimat itu terngiang –ngiang beberapa kali di pikiran ku. Apakah Taun Dargo ikut terlibat? Pikiran ku menerawang saat malam itu diundang makan siang di kediamannya yang sangat besar dan letaknya sangat jauh dari desa Telaga Muncar. Dan anehnya lagi tepat dipekarangannya terdapat tiga makam tua. Aku menarik nafas panjang, tidak ada yang mamapu menjawab semua pertanyaan ku itu.
“ Zul....” , suara Alit memecahkan lamunan ku.
“ Ayo, kita pulang daritadi kau bengong saja. Lihat makan ini sudah mulai sunyi sedari tadi aku menunggu mu di pintu makam bersama Alit tapi tampaknya kau masih bengong saja di dalam sini “
Aku sontak terkejut. Aku perhatikan sekitarku benar saja. Makam telah sepi. Hanya terdapat deretan nisan-nisan terpancang di atas gundukan tanah penuh kebisuan. Orang –orang itu telah pulang kembali ke rumahnya masing –masing. Mengapa aku sama sekali tidak melihat dan mendengarnya? Seolah waktu berhenti berputar di kehidupan ku sendiri. Langit yang semakin gelap dan remang –remang padahal masih lewat tengah hari. Dan gerimis mulai tercurah dari langit.
“ Zulham, Nathan...cepatlah hujan sudah mulai akan turun!"
" Mengapa kalian masih saja berdiri di sana. Cepatlah.....!!”
Alit berteriak lantang dari pintu gerbang makam. Suaranya menggema beradu dengan hembusan angin dan guntur yang sesekali bersahut –sahutan. Tanpa menjawab teriakan Alit, segera saja aku dan Nathan bergegas meninggalkan makam. Setengah berlarian menuju keluar. Benar saja tidak lama kemudian hujan turun dengan lebat, air seperti dicurahkan dari langit.
Angin bertiup dingin mengeluarkan suara aneh tiada hentinya. Sekali¬sekali guntur menggeledek dan di kejauhan terkadang terdengar suara lolongan liar anjing hutan. Dari balik rerimbunan pepohonan di sekitar area pekuburan tiba –tiba menyeruak sesosok anjing berbulu kelabu kehitaman. Ukuran binatang ini sangat besar hampir sebesar sapi benggala. Moncongnya panjang dengan deretan gigi –gigi tajam. Matanya merah berkilat - kilat. Binatang itu memperhatikan gundukan makam yang masih memerah dari kegelapan rimbunan pohon. Sesaat saja, kemudian binatang itu mendongak ke angkasa sembari meninggalkan lolongan yang menggidikkan lalu sosoknya menyelinap lagi di kerapatan pohon dan menghilang..
Quote:
Malam bertambah pekat dan angin bertiup dingin yang mencucuk sampai ke tulang-tulang sungsum. Di kala setiap orang berada di tempat kediamarn masing-masing, di kala semua orang berusaha mencari tempat berteduh guna menghindari hujan yang masih mengguyur dengan deras sejak siang tadi, maka di samping sebuah bukit batu kapur di sebelah selatan desa Telaga Muncar terlihat sesosok tubuh berkelebat lari. Seolah-olah orang itu tidak memperdulikan lebatnya hujan, tidak mengacuhkan deras dinginnya tiupan angin. Tiba –tiba orang itu menghentikan langkah kakinya. Sepasang matanya memandang berkeliling dengan tajam berusaha menembus tabir hujan dan kabut yang menebal.
“ Aku tidak mungkin salah jalan. Meskipun sudah lama sekali aku tidak kesana, tapi aku sangat hafal sekali jalannya “
Orang itu menarik nafas panjang. Di wajahnya jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
“ Aku harus meneruskanlangkah ku “
Maka orang itu kembali melangkahkan kaki setengah berlari dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu. Bayangan tubuhnya sesekali terlihat terpantul cahaya kilat yang sesekali merobek cakrawala. Kemudian terlihat sosok tubuhnya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit kapur sebelah timur. Kilat tiba tiba menyambar lagi. Dan sekali lagi orang itu hentikan langkah kakinya.
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Tidak salah lagi, tempat itu yang akan aku tuju …"
Dalam waktu yang singkat orang itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Sebuah pondok terbuat dari kayu jati kokoh dengan atap rumbia di atasnya. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang perempuan paruh baya bertubuh tinggi, rambutnya yang telah berwarna kelabu dibiarkan tergerai tampak berkibar tertiup angin. Perempuan ini tidak lain adalah Gina.
“ Tuan Dargo telah menunggumu di dalam Jampadi “
Orang itu yang ternyata Jampadi hanya mengangguk, lalu segera masuk ke dalam pintu pondok yang telah terbuka..
“ Aku tidak mungkin salah jalan. Meskipun sudah lama sekali aku tidak kesana, tapi aku sangat hafal sekali jalannya “
Orang itu menarik nafas panjang. Di wajahnya jelas terlihat rasa cemas yang amat sangat.
“ Aku harus meneruskanlangkah ku “
Maka orang itu kembali melangkahkan kaki setengah berlari dan di lain kejap sudah lenyap dari tempat itu. Bayangan tubuhnya sesekali terlihat terpantul cahaya kilat yang sesekali merobek cakrawala. Kemudian terlihat sosok tubuhnya berlari cepat di dalam lebatnya hujan ke arah kaki bukit kapur sebelah timur. Kilat tiba tiba menyambar lagi. Dan sekali lagi orang itu hentikan langkah kakinya.
"Waktu kilat menyambar tadi, kulihat di sebelah sana ada sebuah pondok. Tidak salah lagi, tempat itu yang akan aku tuju …"
Dalam waktu yang singkat orang itu telah sampai di pondok yang tadi terlihat di kejauhan dalam terangnya sembaran kilat. Sebuah pondok terbuat dari kayu jati kokoh dengan atap rumbia di atasnya. Di ambang pintu pondok yang tertutup berdiri seorang perempuan paruh baya bertubuh tinggi, rambutnya yang telah berwarna kelabu dibiarkan tergerai tampak berkibar tertiup angin. Perempuan ini tidak lain adalah Gina.
“ Tuan Dargo telah menunggumu di dalam Jampadi “
Orang itu yang ternyata Jampadi hanya mengangguk, lalu segera masuk ke dalam pintu pondok yang telah terbuka..
Diubah oleh breaking182 05-09-2018 11:13
User telah dihapus dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas