Kaskus

Story

yohanaekkyAvatar border
TS
yohanaekky
Pintu Mimpi (Prolog)
Pintu Mimpi (Prolog)


Bagaimana jadinya jika pintu ke Narnia itu memang ada? Tapi bukan sekadar dunia yang penuh makhluk aneh nan unik. Itu adalah dunia yang kau impikan. Melody Harris tak sengaja menemukannya, dan dia menemukan sebuah dunia yang betul-betul ia impikan. Mimpi yang merupakan kehidupannya yang sesungguhnya.

All rights reserved.
Yohana Ekky. 2018.

Karakter (berdasarkan urutan keluar):
- Melody Harris a.k.a Putri Miloslava Cuda

Keluarga Krasny
- Madeline Krasny
- Garreth Krasny
- Guinevere Krasny
- Terrence Krasny
- Kystof Krasny

Kerajaan Milos (Tahta)
- Putri Irenka Cuda
- Raja Bedoich Cuda
- Ratu Ladislava Cuda
- Pangeran Klement Cuda

Kerajaan Mocny
- Duta besar Matous Zeleznik
- Ksatria Bohumir Zeleznik
- Raja Honza Elias
- Pangeran Dominic Elias

Orang tua angkat Miloslava
- Paul Harris
- Jeanette Harris

INDEX:
#1 (Pertemuan)
#2 (Kehidupan Baru)
#3 (Sebuah Perjalanan Dimulai)
#4 (Jati Diri)
#5 (Terjebak)
#6 (Hubungan)
#7 (Usaha Melarikan Diri)
#8 (Melarikan Diri)
#9 (Merangkai Teka-teki)
#10 (Kebenaran Terungkap)
#11 (Menuju Garis Akhir)
#12 (Akhirnya)
#Epilog (Mimpi Yang Menjadi Nyata)
Diubah oleh yohanaekky 23-05-2019 15:33
someshitnessAvatar border
zixzaxfireAvatar border
indrag057Avatar border
indrag057 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
7.1K
47
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
yohanaekkyAvatar border
TS
yohanaekky
#1
Pintu Mimpi #1 (Pertemuan)
Ku ingin melihat apa yang ingin ku lihat.
Ku ingin menjadi apa yang aku inginkan.
Dunia dimana aku tinggal, apakah mungkin?
Atau, adakah tempat lain yang dapat mengabulkan harapanku?

-- Melody Harris

○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●
Senin ke Minggu, Januari ke Desember, Musim Panas ke Musim Salju, matahari terbit mulai dari timur dan terbenam di barat. Adakah sesuatu yang baru di dunia ini? Tidak. Tak ada satu pun yang baru. Ini sama persis dengan kehidupanku. Bangun setiap jam enam pagi, bersiap untuk berangkat ke sekolah, makan sarapan hasil eksperimen papa dan mama yang hebat sekali, menaiki sepeda bututku menuju ke sekolah, menyapa para tetangga yang kulewati, masuk ke kelas dan belajar, pulang ke rumah setiap pukul tiga, mengerjakan tugas sekolah, atau – kalau tidak ada – menonton serial TV sampai tengah malam, dan tidur biasanya pada pukul sembilan malam. Segala sesuatunya membosankan. Aku berharap ada sebuah pintu ke Narnia di dunia ini. Yah, mungkin aku akan ketakutan jika melihat makhluk aneh di dalamnya, tetapi setidaknya aku punya sesuatu yang bisa kusebut dengan ... berbeda.

~~~

Pak Freeman, tutor kelas ekstrakulikuler bahasa Spanyol-ku terlalu banyak bicara sore ini sampai aku harus menghabiskan dua jam penuh bersama dengannya. Biasanya hanya satu jam saja, tetapi karena ia terlalu suka untuk bercerita, terpaksa aku harus berada di kelas selama dua jam. Aku sekarang berharap agar ia segera menyebutkan frasa kuncinya.
"Baiklah. Kelas selesai." Ya. Itu frasa kuncinya.

Selepas ia mengucapkannya, dengan segera aku berlari keluar kelas – tentu saja setelah menyampaikan selamat tinggal pada Pak Freeman atau ia akan membunuhku atas ketidaksopananku – dan memasukkan semua buku yang tak kuperlukan di rumah malam ini ke dalam loker.

Aku melirik pada jam tanganku yang menunjukkan pukul 04.45 sore. Ugh. Aku pulang ke rumah lebih lambat, berarti aku harus membelikan mama belajaan rutinnya setiap sore karena toko sayuran sore yang mama suka kunjungi buka pukul 04.30 sore. Aku tidak menyukai Bu Mason, penjaga toko itu, karena kecongkakannya.

Aku menuju ke parkiran dan mengambil sepedaku. Lalu aku segera menaiki sadelnya dan mulai mengayuh. Dengan terpaksa aku menuju toko sayuran sore.

Ketika aku sedang menikmati pemandangan yang kulewati, tanpa sengaja aku melewati sesuatu yang membuat sepedaku tiba-tiba saja bergoyang-goyang. Aku pun segera berhenti mengayuh sebelum ada sesuatu yang buruk terjadi. Aku turun dari sepeda dan membungkuk untuk melihat kedua rodanya. Malangnya, aku menemukan sebuah benda kecil tajam seperti pecahan gelas menempel di roda depan. Sekarang aku tidak dapat bersepeda. Ini sungguh buruk.

Aku tidak ingat apakah ada toko reparasi roda di dekat sini. Yah, aku pikir aku harus berjalan sambil menuntun sepedaku dan jika aku beruntung aku dapat menemukan toko reparasi. Sungguh aku tak ingin berjalan sepanjang ini ke rumah.

Sudah hampir sepuluh menit tetapi tidak ada toko reparasi di sekitar sini. Ini sungguh tak masuk akal. Kemudian aku memutuskan untuk bertanya kepada seorang pejalan kaki yang lewat, bertanya apakah ia tahu toko reparasi di dekat sini tetapi jawabannya mengecewakan. Tetapi aku belum menyerah. Aku masih bertanya kepada beberapa orang lainnya, dan akhirnya aku harus menyerah. Mungkin aku memang perlu berjalan kaki ke rumah. Dan tentu saja, lupakan toko sayuran.

Setelah membaca sebuah pesan yang mama baru saja kirimkan, yang mengatakan bahwa ia dan papa akan pergi ke rumah tanteku selama dua hari di luar kota seperti biasa karena penyakit yang dideritanya, kepalaku langsung merasa sedikit pusing. Kupikir ini juga disebabkan perutku yang sudah meminta untuk diisi. Aku tahu aku perlu berhenti di suatu tempat untuk menghabiskan sisa makanan yang telah kubeli dari kantin. Oleh karena itu, aku menyandarkan sepedaku pada dinding sebuah bangunan yang tak kuketahui, lalu mengeluarkan kotak makanan dari dalam tasku.

Kuambil makanan itu dan mulai memakannya. Rasanya tidak begitu enak saat aku menyantapnya di sekolah tadi, tetapi sekarang rasanya seperti surga. Oh, betapa sisa makanan ini memuaskanku hingga aku tak dapat menahan dari menutup kedua mataku, sambil bersyukur atas makanan yang sedang kunikmati ini, seolah aku tak pernah makan dalam waktu yang lama.

Namun kemudian aku mendengar suara bantingan secara tiba-tiba di dekatku hingga membuat kedua mataku terbuka lebar dan berawas-awas. Kulihat ke sekitar dan dari tempat aku duduk, sebuah kumpulan anak laki-laki berjalan dengan cara yang aneh sambil memegang pentungan di tangan mereka. Sepertinya mereka sedang mabuk karena alkohol. Mereka tertawa tetapi pada saat yang sama terlihat murka.

Ketakutan melingkupiku. Aku tak tahu kemana harus pergi karena aku sedang berdiri di tempat terbuka dan tidak ada seorang pun di dekatku kecuali sekumpulan anak laki-laki tersebut. Kucoba untuk bergerak tanpa diketahui sambil menuntun sepedaku sehingga mereka tak menyadari keberadaanku. Tapi malangnya, aku terlalu ceroboh sehingga aku tersandung karena tempat sampah ketika aku berjalan.

Aku menoleh ke belakang dan melihat sekumpulan anak laki-laki itu menjadi sangat murka ketika melihatku. Yah, mereka memang tak punya alasan untuk marah padaku, tapi cara mereka memandangku tampak sangat mengerikan sehingga aku tak menunggu untuk berlari, lalu mengendarai sepedaku tanpa memperhatikan kemana aku pergi.

Lagi dan lagi, aku merutuki diriku sendiri karena kecerobohanku. Aku terjebak di sebuah gang buntu. Dengan cepat aku berhenti dan berbalik arah tetapi sayang sekali mereka sudah berdiri di satu-satunya jalan keluar.

Saat ini aku merasa sangat takut, terlebih lagi ketika kulihat salah seorang anak laki-laki itu tersenyum jahat. Tak pernah sekalipun aku berpikir dapat terjebak dalam situasi seperti ini. Pernah aku melihat kejadian serupa di TV tetapi malangnya aku sekarang ada disini.

Kedua kakiku bergetar tanpa henti dan jantungku berdetak lebih kencang. Mungkin saja aku akan pingsan akibat ketakutan berlebih tetapi kemudian tanganku meraih pegangan pintu yang tanpa sengaja terbuka. Di dalam pikiranku hanya ada satu hal yang ingin kulakukan yaitu melarikan diri dari para anak laki-laki tersebut sehingga tanpa berpikir panjang aku memasuki bangunan tersebut dan menutup pintunya dengan meninggalkan sepedaku di luar sana.

Kutahan dengan keras pegangan pintu itu agar mereka tak dapat membuka pintu ini. Aku mendengar mereka berteriak, memintaku untuk membukakannya pintu. Awalnya begitu keras terdengar tetapi lama kelamaan suara mereka tak terdengar lagi.

"Aneh sekali." Aku mengerutkan dahikuu dan perlahan melepaskan pegangan pintu tersebut.

Aku berjalan menjauh dari pintu, mengantisipasi jika ada suatu hal tak diinginkan dapat terjadi. Bisa jadi ini hanyalah trik dari mereka. Lalu aku membalikkan badanku dan melihat ke sekitar, berniat mencari tempat persembunyian.

"Apa ini?" Aku berbisik pada diriku sendiri karena aku melihat tempat dimana aku berdiri bukanlah bagian dalam sebuah bangunan.

Itu adalah sebuah jalan kecil dimana orang-orang yan gmemakai setelah dan gaun yang indah berlalu lalang. Aku terpesona pada apa yang kulihat sembari bertanya-tanya dimana aku sendang berdiri. Disini, aku tidak lagi merasakan ketakutan.

Agar dapat kembali lagi kemari dan tidak tersesat di tempat antah berantah yang begitu mempesona ini, kuingat-ingat tempat dimana aku berdiri, sebuah pintu dari mana aku keluar dan di atas papan yang terpajang bertuliskan ‘Toko Mimpi’ di bawah sebuah tanda panah ke kiri.

Toko Mimpi? Aku berkata-kata pada diriku sendiri. Aku menjadi sangat penasaran sehingga aku memutuskan untuk berjalan ke arah kanan. Aku tidak tahu kenapa tetapi kebanyakan orang berkata bahwa sebelah kanan penuh dengan hal-hal baik, maka aku memilih untuk berjalan ke arah ini.

Orang-orang tersenyum kepadaku ketika mereka berjalan melintas. Beberapa pria bahkan melepaskan topi mereka saat menyapaku. Sama halnya, para wanita membungkukkan badan seperti yang para putri raja lakukan di film-film. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan tetapi aku tetap tersenyum pada mereka sebagai balasannya.

Ketika aku berjalan menyusuri jalanan, terdapat sebuah taman yang menarik perhatianku. Di tengah-tengahnya terletak sebuah pohon besar. Pohon tersebut penuh dengan buah-buahan yang berwarna-warni. Aku tak pernah melihat sesuatu yang seperti ini sebelumnya. Kuubah arah jalanku, lalu mendekati pohon tersebut.

Terlihat beberapa orang berdiri mengitari pohon tersebut tanpa melakukan apapun kecuali memandanginya. Tidak heran mengapa mereka melakukannya karena pohon itu sungguh menakjubkan. Tidak hanya karena bermacam-macam warna buahnya tetapi batangnya pun setengah transparan sehingga air yang mengalir di dalamnya dapat terlihat.

"Pohon apa ini?" aku bertanya pada seorang gadis yang berdiri di sebelahku.

Gadis itu memalingkan wajahnya padaku dan tersenyum. "Oh, kau tak tahu?" ia bertanya dengan sedikit terkejut.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Bagaimana kau bisa tak mengerti pohon apa ini?" dia masih tak menjawab pertanyaanku, karena begitu tidak percaya.

Aku sungguh tak tahu apa yang harus kukatakan padanya. "Em, aku... orang baru disini."

Dia mengernyit. "Kau baru saja pindah dari kota lain?"

Aku mengangguk dengan ragu menjawab pertanyaannya. "Iya?"

"Hmmm," dia menganggukkan kepalanya beberapa kali sebelum menanyakan pertanyaan lainnya yang aku tak dapat jawab. "Kota apa?"

Aku menghela nafas dan terdiam dalam beberapa waktu untuk berpikir. "Aku berasal dari kota sebelah," itulah yang akhirnya kupilih menjadi jawabanku.

"Ochrana?" dia menebak.

Aku menjentikkan jariku. "Benar, itu. Kau tahu."

"Itu kota yang membosankan, maaf. Tidak bermaksud untuk menyinggung."

Aku menggelengkan kepala. "Tidak masalah. Aku tidak tersinggung," kukatakan sejujurnya pada gadis itu karena sebetulnya aku memang berpikir hal yang sama mengenai tempat dimana aku tinggal.

"Namanya Pohon Kehidupan," gadis itu akhirnya menjawab pertanyaan sederhanaku setelah begitu panjang ia memberikan banyak pertanyaan pengenalan padaku di awal.

Aku menghela nafas diam-diam karena merasa lega. "Namanya... hmmm, unik. Apakah kau tahu kenapa pohon ini disebut seperti itu?" Namun aku menyesal atas apa yang baru saja kulakukan karena mungkin saja aku mendapatkan banyak pertanyaan lagi darinya.

"Ceritanya panjang. Tetapi secara singkat, pohon ini memberikan kehidupan kepada mereka yang memakan buahnya." Baguslah ia langsung menjawab kali ini.

Aku mengerutkan dahi atas jawabannya. Dia berkata pohon ini memberikan kehidupan? "Maksudnya mereka yang mati bisa hidup kembali jika mereka memakan buah ini?"

Ia tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan begitu lembutnya. "Tidak. Orang mati tidak dapat mengunyah, bukan?"

Dia betul. "Lalu apa yang kau maksud? Hidup hanya dapat diberikan kepada yang mati. Bukan begitu?" Aku tak tahu mengapa aku meragukan pernyataanku sendiri ketika aku melihat ekspresinya.

"Kematian tidak hanya dialami oleh orang mati. Yang hidup juga bisa." Dia menyentuh ujung hidungku seolah kami sudah berteman lama.

Aku mencoba untuk mencari tahu apa yang ia maksudkan. Aku tak pernah berpikir seperti itu sebelumnya.

"Sepertinya kau bingung dengan kata-kataku. Maaf. Mungkin terlalu berat untuk dipikirkan." Ia menepuk bahuku.

"Karena kau baru di sini, maukah kau mendapatkan tur singkat dariku?"

Tawarannya membangkitkan semangatku sehingga kedua mataku melebar. "Kalau tidak masalah denganmu!" Aku mengatakannya dengan senang dan sepertinya ia menyadari kegembiraanku hingga ia tertawa.

"Baiklah. Aku akan membawamu berkeliling. Oh ya, aku Madeline," ia mengulurkan tangan kanannya.

Aku menjabat tangannya dan menggoyangkannya ketika aku menyebutkan nama ku, "Melody."

"Nama yang manis. Kurasa orang tuamu memberimu nama itu agar kau dapat bernyanyi atau memainkan alat musik?" Ia menebak.

Aku mengangkat bahu. "Mungkin. Dan ya, aku bermain piano dan bernyanyi sedikit," kataku padanya.

"Itu bagus. Ayo mulai tur kita." Dia memimpin jalan.

Kami berjalan dari taman dan menuju ke arah utara. Sebuah papan menunjukkannya sehingga aku tahu bahwa itu arah utara.

Tepat di hadapanku terdapat sebuah gunung yang sangat besar. Itu bukan gunung yang biasa karena gunung-gunung yang selama ini pernah kulihat tampak hijau, tetapi yang ini memiliki bermacam-macam warna. Seperti Pohon Kehidupan, gunung tersebut begitu menyenangkan hatiku hanya dengan memandanginya.

"Itu adalah Tahta," Perkataan Madeline membuatku berpaling padanya. "Gunung itu."

"Oh," aku mengangguk. "Kau tahu apa yang aku pikirkan. Apakah kau ini pembaca pikiran atau apa?" Aku tertawa kecil.

Madeline mengagguk. "Ya. Aku salah satunya."

Aku menelan ludah. Apa yang sedang ia bicarakan? Jadi ia mendengar apa yang kupikirkan ketika aku mengeluh mengenai banyaknya pertanyaan yang ia berikan? "Kau mendengar itu?" Aku bertanya demi memastikan.

Ia mengangguk lagi. "Tetapi aku tidak membaca pikiran jika aku berpikir tidak perlu melakukannya. Maksudku, ketika tidak ada sesuatu yang penting. Aku tak ingin mencampuri kepentingan orang lain." Di wajahnya, sebuah senyuman terbentuk.

"Tetapi aku tak berpikir bahwa baru saja kau membaca pikiranku karena itu penting."

Madeline tersenyum lebar. Lesung pipitnya yang dalam di pipi kanan dan kirinya tampak. "Maaf. Aku terlalu penasaran akan dirimu," ia mengakuinya.

"Mengapa kau penasaran?" Aku mengernyit.

Ia menunjuk padaku. "Gaunmu," ucapnya.

"Gaunku?" Kupandangi tubuhku. Apa? Bagaimana bisa aku... Lalu aku berhenti berpikir. Aku tak ingin ia mengetahui bahwa aku tidak berasal dari dunia ini. "Oh, mengapa?"

"Gaunmu terbuat dari sutra terbaik. Tampak sangat indah. Kau pasti bukan rakyat biasa. Kau adalah anggota keluarga kerajaan." Ia menjelaskan hal-hal yang tak kupahami. Aku tak tahu kapan, bagaimana dan mengapa aku berganti baju. Bahkan aku tak merasa bahwa aku sudah memakai sebuah gaun.

Aku hanya menghela nafas singkat dan tersenyum kecil. Tak ada tanggapan yang terucap dari mulutku.

"Kupikir aku beruntung karena bertemu denganmu. Tak semua anggota kerajaan bersedia untuk berbicara dengan rakyat kecil seperti aku. Keluargamu pasti telah mengajarkanmu kerendahan hati." Ia lagi-lagi mengatakan sesuatu yang aku masih coba pahami. Ketika aku memandangi wajahnya, ia tampak sedih.

Kutarik tangannya. "Aku tak tahu apa yang mengganggu pikiranmu saat ini, tapi lupakan sejenak, ya? Kau masih harus mengajakku berkeliling, kau tahu itu." Kukatakan padanya disertai tawa kecil.

Ia mengangguk beberapa kali dalam sukacita. "Tentu! Mari lanjutkan perjalanan."

Bersama-sama kami berjalan bersandingan. Ia menunjukkanku banyak tempat dan menjelaskan hal-hal yang perlahan kucoba untuk ingat. Semua hal itu begitu baru bagiku tetapi aku tak mengerti mengapa aku dapat beradapasi begitu cepat dengan segala sesuatunya disini.

Yang aku tahu adalah tempat ini sungguh membuatku merasa bahagia, tetapi yang aku tak tahu adalah kapan atau akankah aku kembali ke duniaku yang sesungguhnya. Untuk saat ini, aku hanya ingin tinggal disini.

○●○●○●○●○●○●○●○●○●○●
Diubah oleh yohanaekky 23-05-2019 20:22
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.