Kaskus

Story

yohanaekkyAvatar border
TS
yohanaekky
A Born Beauty (The Sequel)
A Born Beauty (The Sequel)

Bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bagi gadis yang berpenampilan tomboy ini untuk meraih segala impiannya. Pasalnya, dia adalah pejuang keras. Apapun yang ia inginkan selalu dikejarnya sampai dapat. Tidak heran, banyak prestasi yang ia raih di sepanjang perjalanan hidupnya, baik secara akademis maupun secara bakat.

Charice Patricia Lee, namanya. Jika remaja seusianya tidak pernah melepaskan gadgetdari tangannya, Charice justru seringkali melupakannya dan bahkan meninggalkannya di rumah. Hanya ada satu hal yang tak pernah ia lepaskan dari tangannya. Gitar yang sejak umur tujuh tahun dibelikan oleh Jackson, papanya.

Kecintaannya bermusik diturunkan dari kedua orang tuanya. Sejak pertama kali menyentuh gitar, tidak pernah satu hari pun ia melepaskannya. Setiap waktu senggang yang ia miliki selalu ia isi dengan bermain gitar. Bahkan ketika ia sibuk pun, sebisa mungkin ia menyediakan waktu luang setidaknya lima sampai sepuluh menit untuk sekedar memetik gitar. Itulah mengapa Charice sangat mahir memainkan gitar, bahkan melebihi pemuda yang lebih tua darinya.

Namun, kedua orang tuanya tidak lantas membiarkannya bergelut di dunia musik tanpa menyeimbangkan dengan sekolahnya. Charice dididik untuk mengerti prioritasnya dengan baik. Sekolah adalah yang utama, bakat adalah...

"Sama-sama utama." Begitulah jawab Charice ketika Ifone menanyainya mengenai prioritas yang benar untuk kesekian kalinya. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tidak pernah merubah pendapatnya mengenai hal ini.

Mendengarnya, Ifone hanya menggeleng-geleng heran.

"Anak papa ini memang keras kepala." Jackson yang sekilas mendengar percakapan istri dan anaknya di ruang keluarga, melewati Charice lalu mengacak-acak rambutnya.

Charice mengerucutkan bibirnya. "Siapa yang bikin coba? Bukannya papa juga gitu?" Ia tak mau kalah begitu saja.

Jackson menertawai tanggapan putrinya itu. "Bukan cuma papa yang keras kepala, tapi mamamu juga."

Lantas, sebuah bantal dilemparkan pada Jackson dari tangan Ifone, mengenai tepat di lengan kanannya.

"Nah, mulai deh. Papa sama mama nunjukin kemesraannya lagi." Brandon menyeletuk saat masuk ke dalam ruang keluarga, bergabung dengan keluarganya untuk bersenda gurau selepas belajar.

"Iya ih, papa mama." Charice ikut tidak terima. "Kak Brandon nanti jadi kepingin punya pacar lho, pa, ma. Tahu nggak sih? Dia juga udah suka sama cewek loh."

Brandon kemudian mencubit pelan pipi adiknya. "Apaan sih, dek?"

Yang dicubit pun mengerang lalu memukul lengan kakaknya hingga dengan cepat Brandon melepaskannya.

"Tapi kan aku udah dua puluh tahun. Udah boleh pacaran, ya kan, pa, ma?" Brandon meminta persetujuan yang kemudian ditanggapi dengan anggukan oleh kedua orang tuanya. "Cuma aku emang mau fokus sama sekolah sambil kerja-kerja dikit. Biar kalo nanti waktunya punya calon istri tuh udah siap segala materi yang diperluin. Kaya papa dulu. Ya nggak, pa?"

"Cakep," Jakcson yang kini sudah duduk menyebelahi istrinya itu mengacungkan jempol.

Charice mengangkat sebelah alisnya. "So what? Emangnya aku buru-buru mau punya pacar apa?" Ia memprotes ucapan kakaknya yang seakan sedang menyindirnya.

"Nah itu sih masalahnya. Kamu tuh terlalu cuek tahu nggak jadi cewek? Tar cowok-cowok pada pergi ninggalin kamu karena takut loh. Kamu udah kelas dua belas juga. Berubah dong." Brandon mengomentari balik. Ia menggerak-gerakkan kedua alisnya kepada papa mamanya seakan sedang saling berkomunikasi dalam pikiran.

Charice menunjukkan ekspresi khas-nya; ditariknya lidahnya keluar dan bibirnya membentuk persegi. "Apaan sih kak? 'Serah lah mau bilang apa."

"Udah, udah." Ifone menengahi sebelum suasana berubah menjadi tidak enak. Pasalnya kedua anaknya itu pernah bertikai hanya karena hal yang sepele. "Gimana kalo kita nge-jam sekarang?"

"Ayo." Brandon dan Charice menyahut bersamaan.

Momen bermain musik dan bernyanyi bersama adalah hal yang paling keluarga ini sukai. Terlebih karena ini hari Jumat dimana Charice dan Brandon sama-sama terbebas dari tugas sekolah atau kuliah.

Segera masing-masing mengambil bagian mereka. Jackson dengan bass, Ifone dengan piano, Brandon dengan drum dan Charice dengan gitar. Sama-sama memiliki suara yang bagus, mereka bernyanyi ria sampai larut malam.

~ ABB2
Hai! Sekuel dari A Born Beauty akhirnya hadir buat kamu yang udah setia baca buku pertamanya. Belum baca yang pertama? Baca disini 》A Born Beauty (Berkat atau Kutukan)
Kali ini karakter yang sempat disebut di ending cerita buku pertama jadi pemeran utamanya disini. Penasaran sama ceritanya? Ikutin terus ya. Jangan lupa komen ya! Thanks a lot!





Spoiler for INDEX:
Diubah oleh yohanaekky 30-08-2018 08:00
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
4.8K
36
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
yohanaekkyAvatar border
TS
yohanaekky
#31
A Born Beauty (The Sequel) - Chapter 8
"Tadi kenapa kamu keluar?" Rachel yang sedari tadi tampak begitu penasaran mengutarakan pertanyaannya pada Charice selepas keluar dari ruang bioskop.

Charice menyeringai. "Eh? Enggak papa sih."

"Tapi kenapa sampai James ikut keluar?" Masih belum puas, Rachel kembali bertanya.

"Itu kebetulan aja aku juga mau keluar," sahut James membantu Charice menjawab.

Rachel mengangguk-angguk. "Begitu ya," ucapnya.

William menyenggol lengan temannya itu sambil berkata, "Kamu ini memang mau tahu saja. Kalaupun mereka keluar sama-sama juga tidak masalah." Ucapannya membuat Rachel menahan tawa.

Tapi tidak begitu dengan Charice dan James sebagai subyek pembicaraan. Keduanya hanya menampakkan ekspresi canggung. Charice menyeringai, James menggaruk-garuk kepalanya sambil melihat-lihat ke arah lain berpura-pura tidak mendengar.

"Kalian berdua ini memang lucu," ungkap Rachel terkekeh bersamaan dengan William.

"Lucu apanya?" tanya Charice tak mengerti.

Rachel menggeleng. "Nanti kamu akan tahu sendiri." Ia menolak memberitahu, membiarkan Charice menebak-nebak sendiri.

"Oh," masih tak mengerti, begitulah Charice menyahut. Ia pun dengan cepat mengganti topik untuk mengatasi situasi yang canggung. "Kalian berdua laper nggak? Mau makan?"

William menggeleng. "Terima kasih. Aku sudah cukup di Starbuck tadi." Ia menolak dengan halus.

"Kamu?" Charice mengarah pada Rachel yang kemudian tersenyum penuh arti. Ia terkikik melihat gadis itu. "Laper ya? Oke, kita mampir dulu ya nanti di salah satu restoran di lantai dua."

Rachel mengangguk senang. "Terima kasih, Charice."

Charice menepuk pelan bahu Rachel dan mengangguk. Ia kemudian berpaling pada James. "Kalo kamu gimana, James? Mau makan?"

James tampak berpikir.

"Sudah. Kamu ikut saja dengan kami." William menyahut, menaik-naikkan alisnya seperti memberi sebuah kode.

James mengerutkan dahinya, mencoba memahami William. "Aku laper sih. Ya--"

"Kalo gitu ikut aja nggak papa." Charice mengajak.

James mengiyakan.

Keempatnya kemudian mengarahkan tujuan mereka pada sebuah restoran Thailand setelah berdiskusi singkat. Mengambil salah satu meja di dekat pintu masuk, mereka duduk.

Seorang pelayan kemudian mendatangi mereka, memberikan beberapa menu.

"Tom Yam satu," ucap Charice dan James secara bersamaan sehingga keduanya kemudian saling memandang dan tertawa mengetahui situasi ini.

Ahem. William berdehem. "Romantis ya, Rachel." Ia tersenyum pada gadis yang duduk di sampingnya yang terkikik atas ucapan pemuda itu. "Sudah dua kali mereka memesan sesuatu yang sama."

Tak bisa bicara, Charice lagi-lagi hanya menyeringai.

"Kupikir kalian justru yang pacaran," celetuk James membalikkan keadaan.

William dan Rachel entah bagaimana menjadi tampak canggung satu sama lain.

"Nah ya kan!" James tertawa cukup keras sehingga sejenak menyita perhatian pelanggan di restoran itu. "Kalian ternyata saling suka ya?"

Mengalihkan pembicaraan, Rachel mengajukan pertanyaan pada Charice. "Menu yang ini enak tidak?" Ia menunjuk pada sebuah gambar di buku menu.

"Coba aja," sahut Charice singkat.

James tersenyum meledek pada William yang sekarang ganti terdiam. "Mbak, Tom Yam-nya pesen satu aja kalo gitu," ia berpesan pada pelayan.

"Loh, kenapa, James?" tanya Charice. "Tadi William cuman becanda kan. Masa kamu mau ganti pesenan?"

"Iya, aku bercanda saja." William menyetujui. "Maaf, maaf."

James terkekeh. "Santai. Aku bukan orang yang cepat tersinggung, Will." Ia meyakinkan baik William maupun Charice.

"Terus?" Charice meminta penjelasan lebih.

James tersenyum lebar. "Aku nanti minta Tom Yam dari kamu boleh ya? Kayanya aku nggak bakalan habis." Ia memberitahu seraya memohon.

Charice menggeleng-geleng tak percaya sambil terkikik. "Dasar. Iya, nggak papa."

James kemudian membalas ekspresi William sebelumnya yang menaik-naikkan kedua alisnya seolah mengembalikan kode itu padanya.

William pun tertawa. "Kamu memang hebat, James. Aku angkat tangan." Ia kemudian mengangkat tangannya dan menjulurkannya kepada James yang duduk di depannya.

James kemudian menyambut tangan William dan menepuknya ala laki-laki. "Iya dong." Ia tertawa juga.

Rachel dan Charice yang tak mengerti apa-apa saling berpandangan, berkomunikasi dalam diam.

"Urusan laki-laki," ucap James saat mengetahui ekspresi kedua gadis itu.

Mereka mengobrol mengenai banyak hal baik sebelum dan setelah makanan disajikan. Keempatnya saling berbagi cerita mengenai kejadian di negara masing-masing. Bahkan tanpa merasa canggung, mereka bisa saling meledek tanpa merasa takut menyakiti atau tersakiti.

//ABB2//

Matahari di pagi yang cerah menyapa para murid yang menapakkan kakinya kembali ke sekolah. Begitu pula Natalia dengan senyumannya yang manis ketika melihat sahabatnya menampakkan diri di kelasnya.

Sehari sebelumnya Charice berjanji untuk meminjaminya DVD lengkap serial TV Game of Thrones milik Brandon. Tentu saja bukan Charice, karena ia bukan penggemar film bermuatan sadisme.

"Charice cantik, makasih ya," ucap Natalia menyentil dagu sahabatnya. Memasukkan semua DVD itu ke dalam tasnya, ia kemudian berpaling kembali pada Charice dan menyadari sesuatu yang berbeda padanya.

Charice pun mengernyitkan dahinya melihat ekspresi Natalia. "Apaan sih liat-liat segitunya?" Ia merasa cukup risih karena diamati dengan seksama.

"Kenapa aku ngerasa ada yang beda ya dari kamu?" Natalia menelusuri seluruh sisi tubuh Charice dari atas ke bawah.

Charice membentuk huruf 'o' dengan bibirnya tanpa suara terdengar. "Maksudmu ini?" Ia menunjuk pada bando putih tipis yang menghiasi rambutnya yang tergerai rapi.

"Iya!" Natalia menjentikkan jari-jarinya. "Pantesan kok kamu jadi cantik gitu."

"Yee.. dari dulu cantik kali," ungkap Charice sambil menjulurkan lidahnya.

Tanpa ijin, Natalia kemudian menyentuh rambut Charice. "Ini juga. Rasanya nggak kasar."

"Eh, dasar. Rambutku nggak pernah kasar ya. Asal deh kamu." Charice menyeruak tak terima dikatai seperti itu.

Natalia terkikik. "Ya maaf. Soalnya biasa rambut kamu tuh beneran berantakan. Nggak disisir gitu. Asal kuncir aja. Ya kan?"

Charice menyeringai, menampakan deretan gigi rapinya. "Emang. Makanya sekarang mau berubah."

"Eits, ada angin tornado dari mana nyamber kamu sampe berubah kaya gini?"

Charice kemudian menoyor pipi sahabatnya itu. "Nggak ada angin tornado. Adanya angin amonia."

"Itu sih kentut," Natalia tertawa geli. Sahabatnya jika merasa kesal akan mengucapkan apapun yang tidak masuk akal atau menggelikan. "Tapi bagus sih. Biar nanti ada yang berani untuk ungkapin cinta ke kamu. Soalnya selama ini mereka tuh suka sama kamu tapi ragu kamunya ini cewek atau cowok." Ia tertawa puas meledek gadis yang kini tampak cemberut itu.

Charice melipat kedua lengannya di depan dada. "Awas ya. Aku nggak bakalan bantuin kamu dapet cowok." Ia mengancam.

Natalia cepat-cepat menarik tangan Charice sambil memohon, "Ah, anak cantik cepet marah nanti jadinya cepet tua loh. Jangan gitu dong. Kan becanda doang. Comblangin ya? Sama siapa kek yang keren gitu? Shawn Mendes atau Nick Jonas juga boleh."

Charice kemudian menjitak pelan dahi Natalia. "Woy, sadar. Permintaan mustahil. Mending aku yang sama mereka." Ia terkekeh geli. "Udah ah. Aku mau ke kelas dulu. Biar nggak telat terus dimarahin sama bu Siska."

Natalia mengedipkan matanya membuat Charice bergidik geli lalu meninggalkan kelas Natalia.

Koridor sekolah tampak mulai ramai. Terang saja karena waktu sudah menunjukkan pukul 6.45. Lima belas menit lagi kelas pertama akan dimulai. Tidak ada seorang murid pun di sekolah ini yang ingin terlambat karena konsekuensi yang diterima akan sangat berat.

Karena kelas Charice berjarak cukup dekat, ia tidak terburu-buru tapi hanya berjalan santai. Disapanya beberapa teman yang ia lalui.

"Eh, ini beneran Charice?" Suara seorang pemuda membuat langkah Charice terhenti.

Ketika Charice menangkap sosok Stanley, pemuda yang mengganggunya di kantin tempo lalu, secara reflek ia mundur selangkah.

"Nggak usah takut, Rice. Aku nggak bakalan apa-apain kamu kok. Cuman mau memuji aja. Habisnya kamu keliatan beda. Cantik banget." Stanley menggoda dengan tatapan mautnya.

Charice tidak merespon. Ia kemudian berpaling dari Stanley.

Stanley tidak terima diperlakukan seperti itu. Ia paling tidak suka diabaikan. Tangannya secepat kilat diayunkannya untuk menarik tangan Charice, namun kalah cepat dari pemuda lainnya yang datang merangkul Charice.

Angga kemudian berjalan di samping Charice seraya mendorongnya jauh dari Stanley. "Pagi, Rice. Apa kabar?" Sekilas ia menoleh ke belakang mendapati Stanley yang tampak gusar dan pergi.

"Pagi, Ngga," balasnya dengan perasaan sedikit risih karena tidak suka lawan jenisnya melakukan kontak fisik yang terlalu dekat dengannya.

Angga kemudian menurunkan lengannya dari bahu Charice. "Maaf ya. Cuman mau ngehindarin tuh cowok sedeng satu."

Charice mengerti sekarang. Tidak ada niat jahat dari Angga. "Makasih banyak ya." Ia tersenyum senang. "Aku juga nggak suka sama si Stanley. Apalagi cara dia ngeliat aku yang kaya mesum-mesum gimana gitu."

Tawa meledak di mulut Angga. "Kamu lucu."

"Idih, malah ketawa. Aku ngomong beneran. Dia kalo ngeliat tuh tampangnya mesum." Charice mengulangi ucapannya kembali, seorang menggarisbawahi kata 'mesum'.

Angga mengangguk. "Yah untungnya aku liat kan. Jadi bisa nyelamatin kamu," ucapnya bangga.

"Ngerasa kaya pahlawan nih ceritanya?" Charice menaikkan kedua alisnya, memberikan tatapan meledek.

"Emang pahlawan. Kalo bisa sih aku mau jadi pahlawan kamu selamanya."

Ucapan Angga membuat Charice terbungkam. Ia menelan ludah tak tahu harus merespon apa.

Melihat ekspresi temannya itu, Angga kembali tertawa, membuat Charice bertambah bingung. "Becanda doang kali." Ia mengacak pelan rambut gadis itu. "Udah ya. Lima menit lagi masuk. Sampe nanti sore ya di basecamp."

Charice melambai pada Angga yang kemudian menghilang ke lantai dua, dimana kelasnya berada. Sementara itu, ia berbelok ke kanan, memasuki kelasnya.

"CHARICE, I LOVE YOU!"

Suara yang terdengar begitu keras tak hanya menyita perhatian Charice melainkan seisi kelasnya dan para siswa yang berada di sekitar. Charice cepat-cepat keluar dari kelasnya, celingukan kesana kemari untuk menangkap sosok yang mengucapkan perkataan lantang itu. Namun, tidak ada seorang pun yang tampak mencurigakan. Malahan, semua siswa yang berjalan lalu di depan Charice menunjukkan ekspresi geli.

Tak mau terlalu memikirkannya, Charice kembali masuk ke kelas. Baginya lebih baik ia fokus pada pelajaran yang tinggal beberapa bulan lagi saja didapatkannya sebelum ujian semester tiba.

~ ABB2

Update-nya lama yah? Maaf ya. Berusaha cari waktu soalnya. Huhu. Padat banget jadwalnya. #berasaartis wkwkwk.

Semoga tetep suka ya!! Vomment ok? 😁 Thanks!

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.