- Beranda
- Stories from the Heart
(Babad Agung Kesatria Pasundan) Wasiat Iblis
...
TS
farizpradipta
(Babad Agung Kesatria Pasundan) Wasiat Iblis
Hai hai, salam kenal Agan2 dan Aganwati2 para kaskuser semua, saya mau posting cerita saya disini, semoga ga salah kamar ya 
Sebelumnya, ini bukan salah satu kisah Wiro Sableng yg berjudul "Wasiat Iblis", ini cerita lain yg kebetulan berjudul sama yakni "Wasiat Iblis" , nah karena sudah ada thread yg berjudul "Wasiat Iblis", maka saya terpaksa menambah embel didepannya dengan (Babad Agung Kesatria Pasundan), di cerita alinya yang sudah terbit di ceritera.net tidak memakai embel2 tersebut.
Cerita ini bergenre silat dan fiksi Sejarah. Bagi Agan2 & Aganwati2 yang suka dengan cerita2 silat klasik dengan latar kerajaan kaya Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Babad Tanah Leluhur, Misteri Nini Pelet dll mungkin cocok dengan cerita saya ini. Selain cerita2 silat kolosal tersebut, saya juga memasukan unsur cerita2 silat kaya Wiro Sableng & Pendekar Rajawali Sakti juga dalam cerita saya ini. Cerita say bergenre Silat, Fiksi Sejarah, Light Fantasy dan Light Horror. Kisahnya berlatar pada masa Senjakala Kerajaan Padjadjaran dan awal mula kejayaan Kesultanan Banten.
Langsung aja, ini sinopsisnya.
Sumber : Aplikasi Mangatoon atau Noveltoon.
Cerita Selengkapnya ada di aplikasi Mangatoon atau Noveltoon, langsung saja search : "Wasiat Iblis"
Ikuti kisah selengkapnya hanya di https://ceritera.net/stories/31-wasiat-iblis
Untuk update cerita lebih cepat, silakan berkunjung ke https://ceritera.net/stories/31-wasiat-iblisterbit setiap hari Selasa & Sabtu
Terima kasih, hatur nuhun untuk semua Agan2 dan Aganwati2 di Kaskus yg sudah mengikuti dan berkunjung ke ceritera.net untuk membaca kisah Wasiat Iblis, hari ini kisah Wasiat Iblis sudah tembus 100k readers! Sekali lagi hatur nuhun 😁
Episode 1 Prolog
Episode 2 Perjanjian Wasiat Iblis
Episode 3 Perjanjian Wasiat Iblis 2
Episode 4 Putera Petaka
Episode 5 "Putri Mega Sari 1"
Episode 6 "Putri Mega Sari 2"
Episode 7 - Dharmadipa
Episode 8 - Misteri Gunung Patuha
Eps. 9 - Rajah Cakra Bisma (1)
Episode 10 - Rajah Cakra Bisma (2)
Episode 11 - Ilmu Teluh Ngareh Jiwa
Episode 12 - Mimpi Pertanda
Episode 13 - Pelet Sang Putri
Episode 14 - Awal Dendam Kesumat
Episode 15 - Duel Dua Saudara
Episode 16 - Tautan Janji
Episode 17 - Kiyai Supit Pramana
Episode 18 - Bisikan Iblis (1)
Episode 19 - Bisikan Iblis
Episode 20 - Bisikan Iblis (3)
Episode 21 - Jaya Laksana
Episode 22 - Tabib Dari Tionggoan (1)
Episode 23 - Tabib Dari Tionggoan (2)
Episode 24 - Tabib Dari Tionggoan (3)
Episode 25 - Gerombolan Pengemis Dari Bukit Tunggul (1)
Episode 26 - Gerombolan Pengemis Dari Bukit Tunggul (2)
Episode 27 - Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul (1)
Episode 28 - Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul (2)
Wasiat Iblis eps. 29 - Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul (3)
Episode 30 - Cincin Mustika Kalimasada
Wasiat Iblis eps. 31 Pendekar Dari Lembah Akhirat (1)
Wasiat Iblis eps. 32 Pendekar Dari Lembah Akhirat (2)
Wasiat Iblis eps. 33 Pendekar Dari Lembah Akhirat (3)
Episode 34 - Guna-Guna Siluman Ular (1)
Episode 35 - Guna-Guna Siluman Ular (2)
Episode 36 - Ki Patih Balangnipa
Episode 37 - Perpisahan Di Persimpangan
Episode 38 - Siasat Sang Pendekar (1)
Episode 39 - Siasat Sang Pendekar (2)
Episode 40 - Cermin Noda Gelora (1)
Episode 41 - Cermin Noda Gelora (2)
Epsidoe 42 - PAngeran Adipati Bogaseta
Episode 43 - Tersibaknya Tabir (1)
Episode 44 - Tersibaknya Tabir (2)
Wasiat Iblis eps. 45 - Kepekatan Dalam Dendam
Episode 46 - Dalam Kebeningan Cinta Kasih
Episode 47 - Siluman Srigala Putih
Episode 48 - Galuh Parwati
Wasiat Iblis Eps.49 - Kala Mega Kian Mendung Di Mega Mendung (1)
Wasiat Iblis Ep. 50 - Kala Mega Kian Mendung (2)
Wasiat Iblis Ep. 51 - Kala Mega Kian Mendung Di Mega Mendung (3)
Wasiat Iblis eps. 52 - Langit Merah Di Mega Mendung (1)
Wasiat Iblis eps. 53 - Langit merah Di Mega Mendung (2)
WASIAT IBLIS Episode 54 – Langit Merah Di Mega Mendung (3)
Episode 55 - Pelangi Di Mega Mendung
Episode 56 - Keris Kyai Segara Geni
Episode 57 - Dendam Tak Bertepi
Episode 58 - Pernikahan Sepasang Pendekar
Episode 59 - Kehidupan Kedua
Episode 60 - Tumenggung Tubagus Jaya Laksana (1)
Episode 61 - Tumenggung Tubagus Jaya Laksana (2)
Wasiat Iblis Episode 62 - Tumenggung Tubagus Jaya Laksana (3)
Wasiat Iblis Episode 63 - Jin Bagaspati
Wasiat Iblis Episode 64 - Korban Pertama

Sebelumnya, ini bukan salah satu kisah Wiro Sableng yg berjudul "Wasiat Iblis", ini cerita lain yg kebetulan berjudul sama yakni "Wasiat Iblis" , nah karena sudah ada thread yg berjudul "Wasiat Iblis", maka saya terpaksa menambah embel didepannya dengan (Babad Agung Kesatria Pasundan), di cerita alinya yang sudah terbit di ceritera.net tidak memakai embel2 tersebut.
Cerita ini bergenre silat dan fiksi Sejarah. Bagi Agan2 & Aganwati2 yang suka dengan cerita2 silat klasik dengan latar kerajaan kaya Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Babad Tanah Leluhur, Misteri Nini Pelet dll mungkin cocok dengan cerita saya ini. Selain cerita2 silat kolosal tersebut, saya juga memasukan unsur cerita2 silat kaya Wiro Sableng & Pendekar Rajawali Sakti juga dalam cerita saya ini. Cerita say bergenre Silat, Fiksi Sejarah, Light Fantasy dan Light Horror. Kisahnya berlatar pada masa Senjakala Kerajaan Padjadjaran dan awal mula kejayaan Kesultanan Banten.
Langsung aja, ini sinopsisnya.
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Cover:
Quote:
Sumber : Aplikasi Mangatoon atau Noveltoon.
Cerita Selengkapnya ada di aplikasi Mangatoon atau Noveltoon, langsung saja search : "Wasiat Iblis"
Spoiler for Chara 1:
Spoiler for Chara 2:
Ikuti kisah selengkapnya hanya di https://ceritera.net/stories/31-wasiat-iblis
Untuk update cerita lebih cepat, silakan berkunjung ke https://ceritera.net/stories/31-wasiat-iblisterbit setiap hari Selasa & Sabtu

Terima kasih, hatur nuhun untuk semua Agan2 dan Aganwati2 di Kaskus yg sudah mengikuti dan berkunjung ke ceritera.net untuk membaca kisah Wasiat Iblis, hari ini kisah Wasiat Iblis sudah tembus 100k readers! Sekali lagi hatur nuhun 😁
Episode 1 Prolog
Episode 2 Perjanjian Wasiat Iblis
Episode 3 Perjanjian Wasiat Iblis 2
Episode 4 Putera Petaka
Episode 5 "Putri Mega Sari 1"
Episode 6 "Putri Mega Sari 2"
Episode 7 - Dharmadipa
Episode 8 - Misteri Gunung Patuha
Eps. 9 - Rajah Cakra Bisma (1)
Episode 10 - Rajah Cakra Bisma (2)
Episode 11 - Ilmu Teluh Ngareh Jiwa
Episode 12 - Mimpi Pertanda
Episode 13 - Pelet Sang Putri
Episode 14 - Awal Dendam Kesumat
Episode 15 - Duel Dua Saudara
Episode 16 - Tautan Janji
Episode 17 - Kiyai Supit Pramana
Episode 18 - Bisikan Iblis (1)
Episode 19 - Bisikan Iblis
Episode 20 - Bisikan Iblis (3)
Episode 21 - Jaya Laksana
Episode 22 - Tabib Dari Tionggoan (1)
Episode 23 - Tabib Dari Tionggoan (2)
Episode 24 - Tabib Dari Tionggoan (3)
Episode 25 - Gerombolan Pengemis Dari Bukit Tunggul (1)
Episode 26 - Gerombolan Pengemis Dari Bukit Tunggul (2)
Episode 27 - Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul (1)
Episode 28 - Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul (2)
Wasiat Iblis eps. 29 - Dewi Pengemis Dari Bukit Tunggul (3)
Episode 30 - Cincin Mustika Kalimasada
Wasiat Iblis eps. 31 Pendekar Dari Lembah Akhirat (1)
Wasiat Iblis eps. 32 Pendekar Dari Lembah Akhirat (2)
Wasiat Iblis eps. 33 Pendekar Dari Lembah Akhirat (3)
Episode 34 - Guna-Guna Siluman Ular (1)
Episode 35 - Guna-Guna Siluman Ular (2)
Episode 36 - Ki Patih Balangnipa
Episode 37 - Perpisahan Di Persimpangan
Episode 38 - Siasat Sang Pendekar (1)
Episode 39 - Siasat Sang Pendekar (2)
Episode 40 - Cermin Noda Gelora (1)
Episode 41 - Cermin Noda Gelora (2)
Epsidoe 42 - PAngeran Adipati Bogaseta
Episode 43 - Tersibaknya Tabir (1)
Episode 44 - Tersibaknya Tabir (2)
Wasiat Iblis eps. 45 - Kepekatan Dalam Dendam
Episode 46 - Dalam Kebeningan Cinta Kasih
Episode 47 - Siluman Srigala Putih
Episode 48 - Galuh Parwati
Wasiat Iblis Eps.49 - Kala Mega Kian Mendung Di Mega Mendung (1)
Wasiat Iblis Ep. 50 - Kala Mega Kian Mendung (2)
Wasiat Iblis Ep. 51 - Kala Mega Kian Mendung Di Mega Mendung (3)
Wasiat Iblis eps. 52 - Langit Merah Di Mega Mendung (1)
Wasiat Iblis eps. 53 - Langit merah Di Mega Mendung (2)
WASIAT IBLIS Episode 54 – Langit Merah Di Mega Mendung (3)
Episode 55 - Pelangi Di Mega Mendung
Episode 56 - Keris Kyai Segara Geni
Episode 57 - Dendam Tak Bertepi
Episode 58 - Pernikahan Sepasang Pendekar
Episode 59 - Kehidupan Kedua
Episode 60 - Tumenggung Tubagus Jaya Laksana (1)
Episode 61 - Tumenggung Tubagus Jaya Laksana (2)
Wasiat Iblis Episode 62 - Tumenggung Tubagus Jaya Laksana (3)
Wasiat Iblis Episode 63 - Jin Bagaspati
Wasiat Iblis Episode 64 - Korban Pertama
Diubah oleh farizpradipta 07-10-2020 14:12
egama dan 45 lainnya memberi reputasi
46
50.3K
197
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
farizpradipta
#1
Episode 1 Prolog
Pada abad kelima belas, Bangsa Portugis yang telah berhasil menguasai Malaka dan Pasai mulai menginjakan kakinya ke pulau Jawa. Saat itu yang menjadi perhatian mereka adalah pelabuhan Sunda Kelapa yang sedang berkembang pesat menjadi salah satu bandar perdagangan terbesar di pulau Jawa yang dikuasai oleh kerajaan Pajajaran.
Prabu Mundinglaya Dikusumah alias Prabu Arya Suriawisesa, Raja Pajajaran kala itu menerima kehadiran Portugis dengan tangan terbuka yang datang dengan iming-iming akan membantu Pajajaran mempertahankan diri dari Kesultanan Demak yang sedang berkembang pesat di pulau Jawa bagian tengah. Kabar ini segera tersiar pada telinga Sultan Trenggono, penguasa Demak kala itu, yang sedang resah oleh pengaruh Portugis di Nusantara murka ketika mendengar berita bahwa kerajaan Pajajaran telah menjalin kerjasama perdagangan dengan Portugis.
Sang Sultan segera berunding dengan para Wali Sanga untuk mengambil sikap atas apa yang sedang terjadi di Kerajaan Pajajaran tersebut, saat itu para Wali Sanga yang dipimpin oleh Sunan Giri Prapen sepakat untuk menyerbu Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kerajaan Pajajaran serta mengusir Bangsa Portugis dibawah pimpinan adik ipar Sultan Trengono juga anak menantu Sunan Gunung Jati, yakni Fadillah Khan atau yang lebih dikenal dengan nama Fatahillah alias Wong Bagus Pasai. Kekuatan Demak, Cirebon, dan Banten pun dikumpulkan untuk memulai penyerbuan besar-besaran tersebut.
Penyerbuan ke bagian barat pulau Jawa tersebut pun dilaksanakan, dan pada tanggal 22 Ramadan 933 H, atau bertepatan dengan 22 Juni 1527 M, Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dari Bangsa Portugis. Keberhasilan Fatahillah merebut Sunda Kelapa kemudian disebut sebagai Fathan Mubina atau kemenangan yang nyata. Kata-kata ini dalam bahasa Sansekerta disebut Jayakarta. Oleh sebab itu, kota Sunda Kelapa diganti oleh Fatahillah menjadi kota Jayakarta atau Jakarta.
Setelah berhasil menguasai Sunda Kelapa, pasukan gabungan tiga negara Islam itupun langsung bergerak ke selatan menuju ke Kota Pakuan Ibukota Pajajaran. Namun satu kesalahan perhitungan dari Fatahillah adalah pasukan Portugis yang terhalang oleh blokade angkatan laut Islam di kepulauan seribu sehingga tidak bisa memasuki pelabuhan Sunda Kelapa, membelokan aah kapal-kapalnya dan mendarat di Pantai Subang dan Karawang, darisana mereka langsung bergerak cepat ke Kota Pakuan melalui jalan darat.
Prabu Suriawisesa yang amat gelisah setelah mendapati pelabuhan terbesar di wilayah kekuasaannya jatuh ke tangan pasukan gabungan Islam dibawah pimpinan Fatahillah segera menghimpun kekuatan Pajajaran yang tersisa serta meminta bantuan negeri Mega Mendung, negeri bawahannya yang masih setia pada Pajajaran. Sang Prabu pun bisa bernafas lega ketika pasukan Portugis yang berjumlah besar serta seluruh persenjataan mereka yang modern telah tiba di kota Pakuan dibawah pimpinan Laksamana D’Almeida, dengan tergesa-gesa, mereka pun menyusun siasat pertahanan Kota Pakuan.
***
Kabut pagi mulai memudar, cahaya mentari mulai menampakan sinarnya di ufuk timur, burung-burung berterbangan kesana-kemari sambil berkicau riang meriuhkan suasana, seiring dengan mulai ramainya orang-orang keluar dari rumahnya masing-masing dan berhilir mudik untuk memulai kegiatannya sehari-hari.
Namun nampaknya suasana pagi yang cerah ceria itu tidak sama dengan keadaan di perbatasan Kutaraja Pakuan Padjadjaran yang sangat mencekam. Dari seberang sebelah timur dan selatan serta barat, ribuan prajurit gabungan Demak, Cirebon, dan Banten di bawah pimpinan Senopati Demak Bintoro bernama Fatahillah, seorang pria asal Pasai keturunan Arab yang juga menantu Sunan Gunung Jati mengepung ribuan pasukan Padjadjaran yang berkumpul di mulut perbatasan Kutaraja Pakuan.
Jumlah pasukan Gabungan Demak, Cirebon, dan Banten tersebut nampak unggul dalam jumlah dibandingkan dengan pasukan Padjadjaran. Pasukan Padjadjaran hanya didukung oleh pasukan dari Mega Mendung yang masih setia mendukung Padjadjaran sementara Negara-negara bawahan Padjadjaran di tanah pasundan termasuk Galuh Pakuan sudah jatuh ketangan Cirebon atau Banten. Beruntung Padjadjaran mendapatkan dukungan dari pasukan Portugis yang mempunyai persenjataan modern hingga mereka unggul dalam hal persenjataan.
Prabu Suriawisesa Raja Padjadjaran kala itu yang memimpin langsung pasukan Padjadjaran yang didukung oleh pasukan Mega Mendung dan Portugis tersebut. Raja Padjadjaran yang merupakan putra kedua dari Raja Padjadjaran pertama yakni Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dari istinya Mayang Sunda yang didampingi Prabu Kertapati dari Mega Mendung dan Laksamana D’Almeida dari Portugis, Nampak nanar menatap gabungan tiga kesultanan Islam besar yang bergabung itu.
“Sungguh tak kukira, Syarif Hidayatullah yang masih keponakanku sendiri, cucu dari Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja tega untuk menyerbu Negeri leluhurnya sendiri! Malah ia bersekutu dengan orang-orang dari wetan yang masih keturunan Majapahit!” geram Sang Prabu dengan tatapan tajam kearah pasukan lawannya itu sambal mengingat-ngingat sosok keponakannya sendiri yakni Syarif Hidayattullah yang kini bergelar sebagai Sunan Gunung Jati tersebut.
“Benar Kakang Prabu, nampaknya ia tidak mengindahkan larangan dari Eyang Prabu wastu Kencana yang melarang kita untuk berhubungan dengan orang-orang Majapahit! Ia malah lebih mendengarkan mereka, daripada wasiat Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja yang meminta kita keturunannya untuk hidup damai!” sahut Prabu Kertapati.
Prabu Suriawisesa menoleh pada adik seayah lain ibunya tersebut, “Betul Adi Prabu, Padahal ayahanda mengizinkan Islam untuk berkembang di wilayah Padjadjaran ini, kita tidak membeda-bedakan kaum muslim dengan kaum kepercayaan kita! Apakah itu masih kurang untuk Syarif Hidayatullah?!”
Laksamana D’Almeida, Komandan Pasukan Portugi yang ditugaskan untuk membantu Padjadjaran menangkis serangan gabungan tiga negara Islam itu mendengus “Gusti Prabu, mereka hanya iri dan dengki dengan kemajuan Padjadjaran! Apalagi kini anda bersekutu dengan kami bangsa Portugis, orang-orang Demak memang memusuhi kami, mereka juga tidak senang dengan perkembangan dagang Padjadjaran yang bermitra dengan kerajaan Portugis!”
“Apa yang diucapkan oleh Laksamana benar Kakang Prabu, mereka hanya iri pada kemajuan Padjadjaran! Sultan Trenggono dari Demak hanya takut kalah bersaing dalam berdagang dengan kita, hingga memerintahkan Syarif dan menantunya Fatahillah untuk menyerang kita!” Sahut Prabu Kertapati.
“Laknat!” bentak Prabu Suriawisesa yang marahnya bukan main “Orang-orang wetan keturunan Majapahit itu hendak mengadu domba keturunan Prabu Wastukencana! Adi Prabu Kertapati, dan Laksmana D’Almeida! Siapkan pasukan kalian untuk menghadang dan meluluhlantakkan Pasukan Demak, Cirebon, dan Banten itu! Kita gunakan gelaran perang Madibya atau gedung tertutup! Hancurkan para penghianat itu!” gelegar perintahnya, Prabu Kertapati dan Laksamana D’Almeida pun berkuda menuju ke prajuritnya masing-masing. (Madibya = Gelaran Perang atau formasi pasukan yang menyerupai sebuah gedung tertutup).
Prabu Kertapati menghampiri Ki Balangnipa, Patihnya “Kakang Patih, ingat! Kita hanya berpura-pura perang! Jangan sampai banyak jatuh korban dari pihak kita, begitu ada kesempatan, kita akan tikam kedua belah pihak!” perintahnya pada Ki Patih.
“Daulat Gusti!” sembah Patihnya, ia pun memberikan instruksi kepada seluruh kepala tantama rencana dari rajanya yang meminta mereka untuk hanya berpura-pura perang dan melihat setiap celah kesempatan untuk membokong Gabungan pasukan Islam dan Padjadjaran.
Sekitar satu jam kemudian, suara terompet sangkakala pun ditiup, suara tambur mendebur dipukul-pukul tanda perang akan dimulai, ribuan pasukan dari kedua belah pihak berlarian bagaikan ombak menerpa karang menuju musuhnya. Pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten menyerbu menggunakan gelaran perang ‘Garuda Ngelayang’ yang disambut oleh pasukan Padjadjaran yang bersikap defensive menggunakan gelarang perang ‘Madibya’ atau Gedung Tertutup! Baku hantam terjadi, tombak, pedang, perisai berdentingan mengeluarkan percikan api, anak-anak panah bertebangan mencari mangsa, suara senapan dan meriam meletus-letus, asap-asap mesiu berterbangan bercampur debu pasir, tubuh-tubuh mulai berjatuhan bermandikan darah segar! (Garuda Ngelayang = Gelaran perang yang formasi pasukannya menyerupai paruh dan kedua sayap burung garuda yang sedang terbang).
setelah peperangan berlangsung selama 3 hari, mulai nampak siapa yang unggul. Pasukan gabungan tiga kesultanan Islam besar itu walaupun unggul dalam jumlah, namun kalah dalam persenjataan sebab Padjadjaran dibantu oleh persenjataan Portugis. Mereka memang berhasil menekan pasukan pihak Padjadjaran sampai ke benteng kota, namun tidak berhasil menjebol benteng kota Pakuan yang sangat kokoh tersebut, sementara dari atas benteng dan dari perbukitan, mereka dihujani oleh tembakan-tembakan Meriam, senapan, dan panah yang sangat deras!
Mereka mulai terdesak, hingga pada saat matahari tenggelam, mereka terpaksa mundur dari medanlaga karena sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan, berkat tembakan-tembakan senapan dan meriam-meriam Portugis dari tempat-tempat yang tinggi serta benteng keraton Padjadjaran. Namun korban di Padjadjaran juga tidak sedikit, sehingga mereka tidak bisa melakukan balasan dan melakukan pengejaran pada pasukan gabungan kesultanan Islam tersebut, mereka pun terpaksa kembali kedalam benteng yang mengelilingi Kutaraja Pakuan untuk menyusun kekuatan kembali, jaga-jaga kalau ada serangan lagi dari pasukan Islam.
Sayang pula bagi Prabu Kertapati yang berniat untuk menghianati Prabu Mungdinglaya Kakaknya sendiri, karena peperangan yang berkecamuk dengan dahsyatnya serta pasukan-pasukan Portugis yang berada di tempat-tempat tinggi dan benteng keraton yang dapat melihat jalannya peperangan, ia dan pasukannya tidak mendapatkan kesempatan untuk membokong pasukan Padjadjaran maupun pasukan Islam.
***
Malam harinya, Laksama D’Almeida menghadap Prabu Suriawisesa yang sedang disertai patihnya di kamar tamu kerajaan secara pribadi, “Laksamana, gerangan apakah yang hendak anda sampaikan pada malam hari begini?” Tanya Prabu Suriawisesa.
“Mohon maaf Gusti Prabu, apakah Gusti Prabu melihat ada keanehan pada Prabu Kertapati dan seluruh pasukan Mega Mendung seperti berperang dengan setengah hati?” Sahut Laksamana Portugis tersebut.
Prabu Suriawisesa berpikir sejenak, “Ya ya… Aku menyadarinya, seluruh pasukan Mega Mendung seperti diulur kedepan lalu ditarik kebelakang”. Dia lalu melirik pada Patihnya “Bagaimana menurutmu Ki Patih?”
Ki Patih menjura hormat terlebih dahulu sebelum menjawab, “Ampun Gusti Prabu, hamba sendiri sudah menaruh curiga sejak lama pada Prabu Kertapati, maka hamba mengambil suatu tidakan tanpa sepengetahuan Gusti prabu, mohon ampun kalau hamba lancang Gusti”.
Prabu Suriawisesa menatap Ki Patih dengan tegang, “Katakan saja Ki Patih!”
“Ampun Gusti Prabu, hamba telah mengutus seorang mata-mata untuk memata-matai Prabu Kertapati, dan memang beliau mempunyai maksud untuk memberontak pada Gusti Prabu, ada pun rencananya adalah mencari celah untuk membokong Pasukan Padjadjaran juga pasukan Islam saat perang tadi, namun untunglah mereka tidak berhasil mendapat celah tersebut” jelas Ki Patih.
“Biadab!” maki Prabu Suriawisesa, dia lalu kembali menatap wajah Ki Patih yang telah sepuh itu “Lalu menurut Ki Patih kita harus bagaimana? Saat ini di antara negeri-negeri bawahan kita yang masih mendukung kita hanya Mega Mendung, Kertapati juga adalah adikku sendiri, kami sama-sama putra mendiang Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja… Dan yang terpenting kita masih membutuhkan dukungan kekuatan Mega Mendung!”
Tanpa berpikir panjang Ki Patih langsung menjawab “Ampun beribu ampun Gusti Prabu, bagi hamba akan lebih berbahaya apabila pembakangan Mega Mendung kita biarkan dalam situasi sekarang ini, lagipula mereka hanya berpura-pura mendukung kita… Dan yang paling berbahaya adalah mereka dapat membokong kita di setiap saat yang tak terduga! Bukankah begitu Laksmana?” sambung Ki Patih sambil meminta pendapat Laksamana D’Almeida.
“Benar Gusti Prabu, Gusti Prabu tidak perlu khawatir, seluruh kekuatan kerajaan Portugis akan mendukung Padjadjaran! Dan soal Mega Mendung, sebaiknya kita padamkan penghianatan mereka saat ini juga mumpung mereka masih setitik api kecil!”.
Prabu Suriawisesa mengangguk-ngangguk setuju, maka menggelegarlah titahnya. “Malam ini juga serbu perkemahan pasukan Mega Mendung! Dan besok, kita ratakan dengan tanah Negeri di Kaki Gunung Gede itu!”maka Ki Patih dan Laksamana D’Almeida pun pamit untuk mengatur serangan terhadap Mega Mendung.
PS :
Untuk selengkapnya silahkan baca di aplikasi Mangatoon atau noveltoon dengan judul "Wasiat Iblis" Silahkan Search : "Wasiat Iblis"
Pada abad kelima belas, Bangsa Portugis yang telah berhasil menguasai Malaka dan Pasai mulai menginjakan kakinya ke pulau Jawa. Saat itu yang menjadi perhatian mereka adalah pelabuhan Sunda Kelapa yang sedang berkembang pesat menjadi salah satu bandar perdagangan terbesar di pulau Jawa yang dikuasai oleh kerajaan Pajajaran.
Prabu Mundinglaya Dikusumah alias Prabu Arya Suriawisesa, Raja Pajajaran kala itu menerima kehadiran Portugis dengan tangan terbuka yang datang dengan iming-iming akan membantu Pajajaran mempertahankan diri dari Kesultanan Demak yang sedang berkembang pesat di pulau Jawa bagian tengah. Kabar ini segera tersiar pada telinga Sultan Trenggono, penguasa Demak kala itu, yang sedang resah oleh pengaruh Portugis di Nusantara murka ketika mendengar berita bahwa kerajaan Pajajaran telah menjalin kerjasama perdagangan dengan Portugis.
Sang Sultan segera berunding dengan para Wali Sanga untuk mengambil sikap atas apa yang sedang terjadi di Kerajaan Pajajaran tersebut, saat itu para Wali Sanga yang dipimpin oleh Sunan Giri Prapen sepakat untuk menyerbu Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kerajaan Pajajaran serta mengusir Bangsa Portugis dibawah pimpinan adik ipar Sultan Trengono juga anak menantu Sunan Gunung Jati, yakni Fadillah Khan atau yang lebih dikenal dengan nama Fatahillah alias Wong Bagus Pasai. Kekuatan Demak, Cirebon, dan Banten pun dikumpulkan untuk memulai penyerbuan besar-besaran tersebut.
Penyerbuan ke bagian barat pulau Jawa tersebut pun dilaksanakan, dan pada tanggal 22 Ramadan 933 H, atau bertepatan dengan 22 Juni 1527 M, Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dari Bangsa Portugis. Keberhasilan Fatahillah merebut Sunda Kelapa kemudian disebut sebagai Fathan Mubina atau kemenangan yang nyata. Kata-kata ini dalam bahasa Sansekerta disebut Jayakarta. Oleh sebab itu, kota Sunda Kelapa diganti oleh Fatahillah menjadi kota Jayakarta atau Jakarta.
Setelah berhasil menguasai Sunda Kelapa, pasukan gabungan tiga negara Islam itupun langsung bergerak ke selatan menuju ke Kota Pakuan Ibukota Pajajaran. Namun satu kesalahan perhitungan dari Fatahillah adalah pasukan Portugis yang terhalang oleh blokade angkatan laut Islam di kepulauan seribu sehingga tidak bisa memasuki pelabuhan Sunda Kelapa, membelokan aah kapal-kapalnya dan mendarat di Pantai Subang dan Karawang, darisana mereka langsung bergerak cepat ke Kota Pakuan melalui jalan darat.
Prabu Suriawisesa yang amat gelisah setelah mendapati pelabuhan terbesar di wilayah kekuasaannya jatuh ke tangan pasukan gabungan Islam dibawah pimpinan Fatahillah segera menghimpun kekuatan Pajajaran yang tersisa serta meminta bantuan negeri Mega Mendung, negeri bawahannya yang masih setia pada Pajajaran. Sang Prabu pun bisa bernafas lega ketika pasukan Portugis yang berjumlah besar serta seluruh persenjataan mereka yang modern telah tiba di kota Pakuan dibawah pimpinan Laksamana D’Almeida, dengan tergesa-gesa, mereka pun menyusun siasat pertahanan Kota Pakuan.
***
Kabut pagi mulai memudar, cahaya mentari mulai menampakan sinarnya di ufuk timur, burung-burung berterbangan kesana-kemari sambil berkicau riang meriuhkan suasana, seiring dengan mulai ramainya orang-orang keluar dari rumahnya masing-masing dan berhilir mudik untuk memulai kegiatannya sehari-hari.
Namun nampaknya suasana pagi yang cerah ceria itu tidak sama dengan keadaan di perbatasan Kutaraja Pakuan Padjadjaran yang sangat mencekam. Dari seberang sebelah timur dan selatan serta barat, ribuan prajurit gabungan Demak, Cirebon, dan Banten di bawah pimpinan Senopati Demak Bintoro bernama Fatahillah, seorang pria asal Pasai keturunan Arab yang juga menantu Sunan Gunung Jati mengepung ribuan pasukan Padjadjaran yang berkumpul di mulut perbatasan Kutaraja Pakuan.
Jumlah pasukan Gabungan Demak, Cirebon, dan Banten tersebut nampak unggul dalam jumlah dibandingkan dengan pasukan Padjadjaran. Pasukan Padjadjaran hanya didukung oleh pasukan dari Mega Mendung yang masih setia mendukung Padjadjaran sementara Negara-negara bawahan Padjadjaran di tanah pasundan termasuk Galuh Pakuan sudah jatuh ketangan Cirebon atau Banten. Beruntung Padjadjaran mendapatkan dukungan dari pasukan Portugis yang mempunyai persenjataan modern hingga mereka unggul dalam hal persenjataan.
Prabu Suriawisesa Raja Padjadjaran kala itu yang memimpin langsung pasukan Padjadjaran yang didukung oleh pasukan Mega Mendung dan Portugis tersebut. Raja Padjadjaran yang merupakan putra kedua dari Raja Padjadjaran pertama yakni Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dari istinya Mayang Sunda yang didampingi Prabu Kertapati dari Mega Mendung dan Laksamana D’Almeida dari Portugis, Nampak nanar menatap gabungan tiga kesultanan Islam besar yang bergabung itu.
“Sungguh tak kukira, Syarif Hidayatullah yang masih keponakanku sendiri, cucu dari Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja tega untuk menyerbu Negeri leluhurnya sendiri! Malah ia bersekutu dengan orang-orang dari wetan yang masih keturunan Majapahit!” geram Sang Prabu dengan tatapan tajam kearah pasukan lawannya itu sambal mengingat-ngingat sosok keponakannya sendiri yakni Syarif Hidayattullah yang kini bergelar sebagai Sunan Gunung Jati tersebut.
“Benar Kakang Prabu, nampaknya ia tidak mengindahkan larangan dari Eyang Prabu wastu Kencana yang melarang kita untuk berhubungan dengan orang-orang Majapahit! Ia malah lebih mendengarkan mereka, daripada wasiat Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja yang meminta kita keturunannya untuk hidup damai!” sahut Prabu Kertapati.
Prabu Suriawisesa menoleh pada adik seayah lain ibunya tersebut, “Betul Adi Prabu, Padahal ayahanda mengizinkan Islam untuk berkembang di wilayah Padjadjaran ini, kita tidak membeda-bedakan kaum muslim dengan kaum kepercayaan kita! Apakah itu masih kurang untuk Syarif Hidayatullah?!”
Laksamana D’Almeida, Komandan Pasukan Portugi yang ditugaskan untuk membantu Padjadjaran menangkis serangan gabungan tiga negara Islam itu mendengus “Gusti Prabu, mereka hanya iri dan dengki dengan kemajuan Padjadjaran! Apalagi kini anda bersekutu dengan kami bangsa Portugis, orang-orang Demak memang memusuhi kami, mereka juga tidak senang dengan perkembangan dagang Padjadjaran yang bermitra dengan kerajaan Portugis!”
“Apa yang diucapkan oleh Laksamana benar Kakang Prabu, mereka hanya iri pada kemajuan Padjadjaran! Sultan Trenggono dari Demak hanya takut kalah bersaing dalam berdagang dengan kita, hingga memerintahkan Syarif dan menantunya Fatahillah untuk menyerang kita!” Sahut Prabu Kertapati.
“Laknat!” bentak Prabu Suriawisesa yang marahnya bukan main “Orang-orang wetan keturunan Majapahit itu hendak mengadu domba keturunan Prabu Wastukencana! Adi Prabu Kertapati, dan Laksmana D’Almeida! Siapkan pasukan kalian untuk menghadang dan meluluhlantakkan Pasukan Demak, Cirebon, dan Banten itu! Kita gunakan gelaran perang Madibya atau gedung tertutup! Hancurkan para penghianat itu!” gelegar perintahnya, Prabu Kertapati dan Laksamana D’Almeida pun berkuda menuju ke prajuritnya masing-masing. (Madibya = Gelaran Perang atau formasi pasukan yang menyerupai sebuah gedung tertutup).
Prabu Kertapati menghampiri Ki Balangnipa, Patihnya “Kakang Patih, ingat! Kita hanya berpura-pura perang! Jangan sampai banyak jatuh korban dari pihak kita, begitu ada kesempatan, kita akan tikam kedua belah pihak!” perintahnya pada Ki Patih.
“Daulat Gusti!” sembah Patihnya, ia pun memberikan instruksi kepada seluruh kepala tantama rencana dari rajanya yang meminta mereka untuk hanya berpura-pura perang dan melihat setiap celah kesempatan untuk membokong Gabungan pasukan Islam dan Padjadjaran.
Sekitar satu jam kemudian, suara terompet sangkakala pun ditiup, suara tambur mendebur dipukul-pukul tanda perang akan dimulai, ribuan pasukan dari kedua belah pihak berlarian bagaikan ombak menerpa karang menuju musuhnya. Pasukan gabungan Demak, Cirebon, dan Banten menyerbu menggunakan gelaran perang ‘Garuda Ngelayang’ yang disambut oleh pasukan Padjadjaran yang bersikap defensive menggunakan gelarang perang ‘Madibya’ atau Gedung Tertutup! Baku hantam terjadi, tombak, pedang, perisai berdentingan mengeluarkan percikan api, anak-anak panah bertebangan mencari mangsa, suara senapan dan meriam meletus-letus, asap-asap mesiu berterbangan bercampur debu pasir, tubuh-tubuh mulai berjatuhan bermandikan darah segar! (Garuda Ngelayang = Gelaran perang yang formasi pasukannya menyerupai paruh dan kedua sayap burung garuda yang sedang terbang).
setelah peperangan berlangsung selama 3 hari, mulai nampak siapa yang unggul. Pasukan gabungan tiga kesultanan Islam besar itu walaupun unggul dalam jumlah, namun kalah dalam persenjataan sebab Padjadjaran dibantu oleh persenjataan Portugis. Mereka memang berhasil menekan pasukan pihak Padjadjaran sampai ke benteng kota, namun tidak berhasil menjebol benteng kota Pakuan yang sangat kokoh tersebut, sementara dari atas benteng dan dari perbukitan, mereka dihujani oleh tembakan-tembakan Meriam, senapan, dan panah yang sangat deras!
Mereka mulai terdesak, hingga pada saat matahari tenggelam, mereka terpaksa mundur dari medanlaga karena sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan, berkat tembakan-tembakan senapan dan meriam-meriam Portugis dari tempat-tempat yang tinggi serta benteng keraton Padjadjaran. Namun korban di Padjadjaran juga tidak sedikit, sehingga mereka tidak bisa melakukan balasan dan melakukan pengejaran pada pasukan gabungan kesultanan Islam tersebut, mereka pun terpaksa kembali kedalam benteng yang mengelilingi Kutaraja Pakuan untuk menyusun kekuatan kembali, jaga-jaga kalau ada serangan lagi dari pasukan Islam.
Sayang pula bagi Prabu Kertapati yang berniat untuk menghianati Prabu Mungdinglaya Kakaknya sendiri, karena peperangan yang berkecamuk dengan dahsyatnya serta pasukan-pasukan Portugis yang berada di tempat-tempat tinggi dan benteng keraton yang dapat melihat jalannya peperangan, ia dan pasukannya tidak mendapatkan kesempatan untuk membokong pasukan Padjadjaran maupun pasukan Islam.
***
Malam harinya, Laksama D’Almeida menghadap Prabu Suriawisesa yang sedang disertai patihnya di kamar tamu kerajaan secara pribadi, “Laksamana, gerangan apakah yang hendak anda sampaikan pada malam hari begini?” Tanya Prabu Suriawisesa.
“Mohon maaf Gusti Prabu, apakah Gusti Prabu melihat ada keanehan pada Prabu Kertapati dan seluruh pasukan Mega Mendung seperti berperang dengan setengah hati?” Sahut Laksamana Portugis tersebut.
Prabu Suriawisesa berpikir sejenak, “Ya ya… Aku menyadarinya, seluruh pasukan Mega Mendung seperti diulur kedepan lalu ditarik kebelakang”. Dia lalu melirik pada Patihnya “Bagaimana menurutmu Ki Patih?”
Ki Patih menjura hormat terlebih dahulu sebelum menjawab, “Ampun Gusti Prabu, hamba sendiri sudah menaruh curiga sejak lama pada Prabu Kertapati, maka hamba mengambil suatu tidakan tanpa sepengetahuan Gusti prabu, mohon ampun kalau hamba lancang Gusti”.
Prabu Suriawisesa menatap Ki Patih dengan tegang, “Katakan saja Ki Patih!”
“Ampun Gusti Prabu, hamba telah mengutus seorang mata-mata untuk memata-matai Prabu Kertapati, dan memang beliau mempunyai maksud untuk memberontak pada Gusti Prabu, ada pun rencananya adalah mencari celah untuk membokong Pasukan Padjadjaran juga pasukan Islam saat perang tadi, namun untunglah mereka tidak berhasil mendapat celah tersebut” jelas Ki Patih.
“Biadab!” maki Prabu Suriawisesa, dia lalu kembali menatap wajah Ki Patih yang telah sepuh itu “Lalu menurut Ki Patih kita harus bagaimana? Saat ini di antara negeri-negeri bawahan kita yang masih mendukung kita hanya Mega Mendung, Kertapati juga adalah adikku sendiri, kami sama-sama putra mendiang Ayahanda Prabu Sri Baduga Maharaja… Dan yang terpenting kita masih membutuhkan dukungan kekuatan Mega Mendung!”
Tanpa berpikir panjang Ki Patih langsung menjawab “Ampun beribu ampun Gusti Prabu, bagi hamba akan lebih berbahaya apabila pembakangan Mega Mendung kita biarkan dalam situasi sekarang ini, lagipula mereka hanya berpura-pura mendukung kita… Dan yang paling berbahaya adalah mereka dapat membokong kita di setiap saat yang tak terduga! Bukankah begitu Laksmana?” sambung Ki Patih sambil meminta pendapat Laksamana D’Almeida.
“Benar Gusti Prabu, Gusti Prabu tidak perlu khawatir, seluruh kekuatan kerajaan Portugis akan mendukung Padjadjaran! Dan soal Mega Mendung, sebaiknya kita padamkan penghianatan mereka saat ini juga mumpung mereka masih setitik api kecil!”.
Prabu Suriawisesa mengangguk-ngangguk setuju, maka menggelegarlah titahnya. “Malam ini juga serbu perkemahan pasukan Mega Mendung! Dan besok, kita ratakan dengan tanah Negeri di Kaki Gunung Gede itu!”maka Ki Patih dan Laksamana D’Almeida pun pamit untuk mengatur serangan terhadap Mega Mendung.
PS :
Untuk selengkapnya silahkan baca di aplikasi Mangatoon atau noveltoon dengan judul "Wasiat Iblis" Silahkan Search : "Wasiat Iblis"
Diubah oleh farizpradipta 07-10-2020 14:14
danjau dan 9 lainnya memberi reputasi
10

