- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#444
Quote:
PART 35
Mentari keemasan tampak memamerkan keperkasaannya di ufuk berat, senja kembali menyapa bersiap menjemput sang malam.
Berbeda dengan senja yang selalu bersemangat mengakhiri hari, Adam justru mengalami hal sebaliknya.
Tatapan teduhnya kian meredup menyaksikan cakrawala yang perlahan kian gelap.
Taman kota yang tadinya ramai, kini berangsur sepi. Temaram lampu jalanan juga mulai menyala satu persatu bak domino.
Lagi...Adam tidak peduli dengan itu. Bahkan Nando yang sejak tadi duduk di sampingnya, juga tidak ia pedulikan. Pikirannya sedang kacau. Ia masih tidak yakin, apakah yang dia lakukan pada adiknya tadi, sudah benar? Sudah benarkah keegoisannya hingga sukses membuat Medina menangis? Rasanya tidak.
“ Kalau lo mau balik lagi ke sana dan jemput Medina pulang, gue bakal antar lo ke sana kak,” suara Nando memecah keheningan yang sejak tadi menguasai keduanya.
Adam menghela nafas berat,” Nggak perlu, Ndo. Medina bahagia di sana. Buat apa gue bawa dia pulang?”
“ Segitu beratnya ya lo maafin orang tua lo?”
“ ... ,”
“ Gue ngerasa, sekarang bukan Cuma Medina yang berubah, tapi lo juga. Lo berdua sama – sama berubah jadi orang yang nyebelin. Medina yang makin songong, dan lo yang mendadak sulit buat maafin orang. Terlebih lagi ini orang tua lo.”
“ ...”
“ Lo yang dari dulu di kenal sebagai manusia tanpa cela dan super baik, mendadak jadi orang paling keras kepala dan paling egois sama keluarganya sendiri.”
“ Udah jelaskan sekarang, kalau penilaian itu semuanya salah besar. Gue bukan orang baik, Allah hanya sedang menutupi aib gue kemaren,” ucap Adam yang akhirnya membuka suara. “Nggak ada manusia yang sempurna, Ndo. Termasuk gue.”
Usai mengakhiri kalimatnya, Adam beranjak pergi meninggalkan taman serta Nando yang hanya memandanginya dalam diam. Tak sepenuhnya diam, karena otaknya sekarang tengah berpikir keras untuk membangun kembali hubungan baik antara dua kakak adik yang sama keras kepalanya itu.
Nando sendiri tak berniat menyusul Adam yang kini berjalan semakin jauh dari pandangannya, ia merasa Adam membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Akan lebih baik ia tidak mengganggunya.
Lamunan Nando teralihkan oleh dering ponselnya. Satu panggilan masuk dari Medina membuat berisik handphonenya yang sejak tadi senyap.
Tapi...karena alasan apa, Medina tiba – tiba meneleponnya?
***
Nando bergegas menuju ke sebuah cafe yang terletak di pusat kota, tempat di mana Medina menunggunya. Perasaan penasaran yang terus merongrong pemuda ini, membawanya kian menambah laju mobilnya.
Saat di telepon tadi tak menjelaskan apapun, ia hanya bilang ingin berbicara empat mata dengan Nando. Itu saja. Dan itu cukup menjadi umpan untuk memancing rasa ingin tahu Nando.
Usai memarkirkan mobilnya Nando bergegas memasuki cafe yang di dominasi warna hitam dan putih itu. Aroma khas caramel dan kopi berbaur menjadi satu dan langsung menyergap indra penciumannya.
Beruntung cafe tidak begitu ramai, hingga ia bisa dengan mudah menemukan keberadaan Medina yang duduk di salah satu meja yang terletak di area sudut cafe.
Gadis itu tampak mengenakan kemeja kebesaran kotak – kotak, ripped jeans berwarna hitam, dan topi baseball andalannya. Medina sungguh kembali pada dirinya yang dulu. Dan entah kenapa Nando justru tidak menyukai hal itu.
“ Lo mau ngomong apa?” tanya Nando saat ia sudah duduk di kursi yang terletak berseberangan dengan Medina.
“ Darimana aja sih lo? Lama banget!!” Bukannya menjawab Medina malah memamerkan sifat ketusnya.
“ Dari taman, terus ke sini, kejebak macet,” ucap Nando menerangkan. Berusaha meredam emosinya, ia tahu ini bukan kali pertama Medina bersikap kasar. Tapi entah mengapa setelah beberapa hal yang terjadi belakangan ini, sikap kasar yang sebelumnya sudah bisa ia maklumi justru menjadi hal yang begitu menyebalkan sekarang.
“ Kenapa lo nggak bilang, kalau lo bakalan pindah kuliah semester depan?”
“ Gue bilang ataupun nggak, apa peduli lo? Selama ini, apapun yang gue lakuin, nggak pernah pentingkan buat lo?”
“ Beda ceritanya kalau lo pindah karena gue,” ungkap Medina yang membuat Nando sedikit terkejut.
“ Gue tahu lo kehilangan beasiswa lo karena perkelahian lo dengan Tirta waktu itu. Dan karena itu juga bokap lo maksa supaya lo pindah kuliah ke Jerman, “ ungkap Medina semakin gamblang dan semakin membuat Nando kehabisan kata – kata.
Rahasia yang seharusnya ia tutupi terungkap begitu saja di hadapan Medina. Tapi bagaimana mungkin? Tidak ada yang tahu tentang itu selain ia, ayahnya, dan...Tirta.
“ Tirta yang ngasih tahu lo?” tanya Nando berusaha memastikan.
“ Nggak penting gue tahu darimana, yang jelas gue nggak suka ada orang yang sok – sok’an jadi pahlawan , tapi diam – diam bohongin gue.”
“ Benar Tirtakan yang ngasih tahu lo? Cuma dia yang tahu kalau beasiswa gue di batalin. Dan Cuma dia yang tahu, kalau bokap gue datang ke kampus buat mengurus kepindahan gue.”
“ Iya. Dan gue bersyukur karena dia udah jujur sama gue. Seenggaknya, gue bisa membayar hutang budi gue sama lo, sebelum lo benar – benar pergi.”
Nando melempar senyuman hambar, ia tak menyangka niat baiknya selama ini ternyata tak pernah di pandang Medina sebagai ketulusan.
“ Belasan tahun kita kenal, dan lo belum bisa bedain mana yang tulus gue lakuin dan mana yang nggak? Lo pura – pura bego’ atau benaran bego’ sih Na?”
Kali ini justru Medina yang di buat kehabisan kata – kata.
“ Gue yakin lo tahu persis, kenapa gue bela – belain bikin onar di kampus, ngebohongin lo soal hukuman gue, dan nggak bilang apapun sama lo soal kepindahan gue.” Sambung Nando lagi dengan tatapan fokus ke arah pemilik iris mata coklat terang itu.
“ ...”
“ Dan kenapa lo harus pusing mikirin soal ini. Kenapa lo harus buang waktu, ketika lo sebaiknya menghabiskan waktu lo buat menyelesaikan masalah lo dengan kak Adam? Kenapa lo nggak pernah tanya kenapa kak Adam nggak bisa maafin orang tua lo? Kenapa lo nggak tanya kenapa dia ngebohongin lo selama ini?”
“ ... “
“ Lo juga nggak pernah mau tahu kenapa dia memutuskan untuk menyembunyikan itu semua dari lo? Lo memutuskan untuk membangun tembok besar antara lo dengan kak Adam tanpa mau mendengar penjelasan dari dia. “
“ Jangan banyak omong, lebih baik lo kasih tahu apa yang harus gue lakuin buat ngebayar lunas budi baik lo itu Tuan Muda Nando YANG TERHORMAT!!” tegas Medina tanpa peduli jika sekarang perhatian semua orang mengarah padanya.
Nando kembali tersenyum hambar, ia tak menyangka sikap Medina akan seperti ini,“ Gue nggak butuh balas budi dari lo. Gue Cuma mau lo sadar, kalau lo itu penting buat gue!!”
Tanpa banyak kata, Nando bergegas pergi meninggalkan Medina yang kini hanya bisa mematung dengan nafas tercekat. Kalimat terakhir Nando lebih dari cukup untuk membangunkan kupu – kupu yang ada di dalam perutnya. Sebegitu pentingnya kah bahkan Nando tidak bisa melihat cinta dari sahabatnya sendiri? Nina.
“ Nina, dia kemaren nemuin gue.” Ucapan Medina kembali menghentikan pergerakan Nando.
“ Soal beasiswa dan kepindahan lo, gue tahu itu semua dari Nina. Bukan Tirta. Dia selalu curiga kenapa lo terus – terusan ngilang dari kampus, dia terus ngikutin lo. Sampai dia tahu kejadian yang sebenarnya dari bokap lo sendiri. Dia nemuin gue, buat bikin gue sadar seberapa besar perjuangan lo buat gue. Tapi di sisi lain, lo tahu apa yang gue dapatin?”
Medina beranjak dari kursinya dan berjalan mendekati Nando, mata teduh itu memandang lekat wajah tegas dihadaapannya, “ Dia emang nggak bilang, tapi gue tahu Nina suka sama lo. Dia sayang sama lo.” Medina melangkah pergi , dan kali ini justru ucapan Nando yang menghentikan langkahnya.
“ Lantas gimana dengan lo? Lo suka sama gue? Apa lo juga sayang sama gue?”
Medinaa kembali tersentak mendengar ucapan Nando, tapi sebisa mungkin ia berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan apapun yang bisa merusak rencananya untuk sahabat terbaiknya.
“ Nggak sama sekali,” jawab Medina tegas tanpa berani sedikitpun memutar badannya hanya untuk bertatap muka dengan Nando.
Medina bergegas pergi meninggalkan Nando yang masih tidak percaya dengan jawaban yang baru saja ia dengar.
Entah kenapa gue berharap lo bohong kali ini, Na.
●●●
2
Kutip
Balas