- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#41
PART 5
Quote:
Komandan pasukan kecil itu akhirnya berbicara. Meski ucapannya terdengar tegas dan penuh wibawa akan tetapi, ada sedikit rasa gentar disana sewaktu mengajukan pertanyaan.
“ Parlin bin Kartadikrama ?!”
Parlin menutup mulut rapat –rapat.
Merasa disepelekan sang komandan hanya tersenyum tipis. Kemudian tangannya terulur ke bawah. Masuk ke dalam kantong perbekalan yang tergantung di samping punggung kudanya. Ketika tangan itu terangkat lagi ke atas. Sebuah gulungan kertas tergenggam di tangannya. Jari –jemarinya dilonggarkan sedikit, membiarkan gulungan kertas itu turun terbuka sendiri.
“ Surat perintah untuk menangkapmu, Parlin. Hidup atau mati, atas tuduhan pengkhianatan atas pemerintahan Ratu Yang Mulia...”
Kertas itu digulung kembali lalu dimasukkam ke tempat semula.
“ Serahkan dirimu tanpa harus melawan, Parlin !”
“ Dengan syarat ! “
Parlin menyahut dengan dingin.
“ Kami sudah tahu....” jawab si komandan seraya menyeringai.
“ Syarat yang kau kehendaki ada di sini, anak gadis mu ada di sini...”
Tangan si penunggang kuda kemudian terulur ke gagang pistol berlaras panjang dengan gerakan hati –hati. Matanya dan juga dua pasang mata dari Bodas dan Kamal memandang tegang ke arah Parlin. Akan tetapi, Parlin tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya berdiri.
Sang komandan mengacungkan pistolnya ke angkasa. Detik berikutnya, suara gelegar pistol membahana bergema seakan menggetarkan bumi tempat Parlin berpijak. Gaung bunyi letusan pistol yang memantul dari satu bukit ke bukit lain.
Di antara sapuan angin di pepohonan, ia kemudian mendengar banyak langkah kaki mendekat. Dari balik kabut tebal terlihat bayangan dari beberapa orang. Tatkala bayangan itu mulai jelas terlihat lima orang berbadan tegap dan seorang gadis kecil. Kedua tangan gadis itu terikat ke belakang. Pakaian yang dikenakan kumal dan robek disana –sini. Beberapa luka tampak menggores di sekujur tubuh gadis itu. Beberapa luka maih mengucurkan darah. Dan beberapa sisanya darah sudah membeku. Mulut gadis itu disumpal menggunakan secarik kain kumal berwarna putih yang dibelitkkan ke belakang rambutnya yang kusut dan acak –acakan.
Gadis itu tidak lain adalah Partinah. Anak gadis satu –satunya Parlin. Sepasang mata Partinah tidak saja letih, tetapi juga putus asa tatkala melihat ayahnya yang jelas – jelas sudah masuk perangkap. Tetapi gadis itu masih cukup tabah untuk tidak menangis. Sementara Parlin berusaha keras membendung amarah yang telah memuncak. Wajahnya merah padam. Mengelam menahan marah. Parlin bermaksud mendekati anak gadisnya itu, namun sebuah bentakan dingin mencegahnya.
“ Maju selangkah lagi, anak mu ini akan mati !”
Dan memang itulah yang tampaknya akan terjadi, setelah Parlin melihat si komandan telah mengarahkan laras pistolnya langsung ke arah kepala Partinah. Parlin menggeram dalam hati.
“ Mereka tidak menyentuhmu Partinah?”
Partinah menggeleng lemah. Parlin menarik nafas lega. Matanya memerah tatkala melihat kelima lelaki yang telah menyiksa anaknya. Ia mengenali mereka sebagai anak buahnya dahulu sewaktu ia masih bekerja pada kompeni. Suasana sunyi itu pecah manakala Kamal membuka mulut.
“ Kami menunggu perintah Tuan “
“ Ikat dia ! “
Komandan kompeni itu menjawab pendek, tanpa mengalihkan moncong pistolnya dari arah jidat Parlin.
“ Dengan senag hati Tuan “
Kamal segera melompat turun dari punggung kuda. Ia segera mengambil alih Partinah dari cengkeraman anak buahnya. Lelaki itu lalu mencabut goloknya. Mata golok tajam itu ditempelkan ke arah luher Partinah. Gadis itu memejamkan matanya. Terdongak ke atas saking ngerinya. Terpaksa Parlin membiarkan kedua tangannya diikat oleh anak buah Kamal. Salah seorang anak buah Kamal menancapkan sepotong tonggak kayu ke tanah.
Tonggak itu manancap dengan kokoh. Parlin setengah diseret kesana. Ujung tali yang mengikat tangannya diikatkan erat ke tengah tonggak kayu. Pandangannya melirik ke arah Partinah yang sudah mulai mengucurkan ar mata dalam tangis yang ditahan. Tiba –tiba sepasang kaki Parlin telah terbelit tali. Tubuh lelaki itu jatuh berlutut ke tanah. Tangan dan kaki terikat di belakang punggung, langsung ke tonggak kau. Ia benar –benar tidak berdaya.
“ Apa maumu Kamal?”
Parlin bertanya dengan suara keras agar suaranya terlihat tenang dan acuh, meski rasa khawatir dalam dada telah berubah jadi perasaan yang cemas.
Kamal tertawa dingin. Kelima anak buahnya memandang dengan sinis ke arah Parlin terikat. Kamal memnadng ke arah si komandan yang masih duduk tenang di atas punggung kuda. Komandan itu menyarungkan pistol di samping punggung kuda. Lalu tangan kanannya merogoh ke dalam kantong perbekalan. Sebuah pundi –pundi ada di dalam genggaman tangannya. Tatkala pundi –pundi itu dilemparkan ke arah Kamal terdengar suara gemerincingan.
“ Pundi –pundi uamg emas itu untuk imbalan mu,” ujar si komandan sambil tersenyum.
Kamal menjura dalam –dalam, kemudian menyahut gembira.
“ Terimakasih Tuan “
Setelah berkata demikian Kamal bergerak cepat untuk mencabut golok berhulu kepala naga yang terselip di balik pinggang Parlin.
“ Kau akan mati di ujung senjata mu sendiri Parlin “
Jantung Parlin berdetak cepat. Sekujur tubuhnya mendadak lemas seperti tidak bertulang. Wajahnya memutih pucat pasi. Semua kegagahan dan kegarangannya seketika lenyap musnah. Kecuali satu, sinar matanya kini memandang buas dan penuh dendam kesumat pada orang –orang yang berdiri di sekitarna. Terutama Kamal.
Kamal sempat tergetar tatkala matanya beradu pandang dengan mata Parlin. Tetapi, hal itu hanya sekejap saja. Kamal menyeringai lebar, sementara mata Parlin makin merah membara. Tiba –tiba mata golok menyentuh dagu Parlin. Tampaknya ia akan menemui ajal di ujung goloknya sendiri.
“ Pandang anak mu Parlin! Pandang dia untuk terakhir kalinya dan bersiap –siaplah kau bertemu dengan malaikat maut !”
Tidak ada yang mengeluarkan perintah. Bodas yang sedari tadi diam di atas punggung kuda melompat turun lalu menghampiri Partinah yang setengah berlutut di tanah. Gadis malang itu hanya menjerit dan menangis manakala bajunya yang sudah robek –robek kini dikoyak –koyak oleh Bodas. Mulutnya tampak ingin mengeluarkan jeritan setinggi langit saat tubuhnya dipaksa rebah menelentang dengan kedua paha dikangkangkan dengan paksa.
"Jangan ! Jangan kau lakukan itu Bodas ! “
Parlin mendesah lirih, kemudian berteriak dengan marah. Ia berusaha melepaskan diri. Usahanya sia –sia belaka. Ia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan yang sangat erat itu. Kamal tertawa bergelak. Sementara orang –orang yang berdiri melihat pemandangan di depannya dengan mata yang nyalang. Partinah meronta –ronta berusaha melepaskan diri dari tubuh Bodas yang mulai menghimpitnya. Bekas pimpinan rampok itu sibuk menanggalkan celananya. Tidak ada jeritan yang mampu dikeluarkan oleh Partinah, ketika kehormatannya direnggut secara paksa.
Parlin yang ramputnya dicengkeram dari belakang oleh Kamal, dipaksa unutk menyaksikan kebiadaban yang berada di depan matanya. Jeritan Parlin seperti tertelan di dalam tenggorokan bercampur oleh kemarahan serta dendam yang makin berkobar.
Puas merampas kegadisan anak perempuan Parlin, Bodas lalu berdiri sempoyongan. Kamal lalu mendekat dan berbisik.
“ Sudah cukup. Kembali kau ke atas kuda mu “
Parlin menengadah dengan wajah penuh duka dan amarah. Mulutnya komat –kamit tidak menentu dan diakhiri dengan sebuah kalimat pendek.
“ Biarkanlah aku hidup setelah mati ! “
Kamal berdiri tegak di depan Parlin. Golok milik Parlin terhunus ditangannya. Mata golok tampak berkilat – kilat tajam. Kamal meraih kantong putih yang ada di balik bajunya. Isi dari kantong itu kemudian ditabur –taburkan di sekujur tubuh Parlin. Sebelah tangan Kamal kembali mencengkeram rambut Parlin agar bisa tengadah. Kamal berbisik lirih.
“ Kini tiba saatnya kau mati Parlin “
Parlin tidak menjawab. Matanya memandang tajam ke arah Kamal. Tatapan penuh dendam.
Sesaat kemudian terlontar bisikan tajam dari mulut Parlin.
“ Demi setan dan iblis yang bersemayam di gunung ini. Aku akan kembali Kamal!”
Kamal meludah ke arah muka Parlin.
“ Silahkan saja. Akan ku tunggu kau menuntut balas. Kalau kau masih bisa hidup setelah aku penggal !”
Lalu pegangannya di rambut Parlin dilepaskan. Parlin masih sempat melihat anaknya yang masih terkapar di tanah yang becek berembun. Partinah tidak melihat ke arah ayahnya itu. Gadis itu tengah menangisi nasib malangnya. Terdengar seruan tertahan. Ringkikan liar kuda –kuda menggugah Partinah unutk membuka matanya yang sembab. Matanya mencoba melihat disekitarnya. Lalu pandangannya tertumbuk ke arah sosok ayhnya yang masih terikat di tonggak kayu.
Terikat erat, kaku, diam tak berdaya.
Tanpa kepala!
Darah yang masih terus menerus menyembur dari batang leher Parlin yang putus, menggelapkan pandangan mata Partinah. Gadis itu pingsan seketika. Sementara para penunggang kuda sibuk mendiamkan kuda masing –masing. Lalu seseorang tiba –tiba berteriak.
“ Lihat!”
Kapala Parlin yang telah tanggal dari badannya jatuh menggelinding di tanah dan terbentur pada sebuah batu yang mecuat. Terhempas diam dalam posisi tegak. Sepasang mata itu masih melotot merah, seakan memandangi siapa saja yang ada di tempat itu. Sepasang mata yang menyiratkan dendam kesumat.
Kamal lalu berjalan mendekati kepala Parlin yang tertegak miring di permukaan tanah. Kakinya sudah siap menendang kepala itu. Manakala angin bertiup dengan kencang, bumi bergetar dengan hebat. Disusul bunyi longsornya bongkahan tanah berbatu –batu. Getaran itu ikut menggoyang badan tanpa kepala yang masih terikat dan juga kepala yang telah terpenggal itu menggelinding ke bibir tebing. Kemudian jatuh ke bawah dan lenyap di kegelapan kabut yang menutupi lembah.
“ Parlin bin Kartadikrama ?!”
Parlin menutup mulut rapat –rapat.
Merasa disepelekan sang komandan hanya tersenyum tipis. Kemudian tangannya terulur ke bawah. Masuk ke dalam kantong perbekalan yang tergantung di samping punggung kudanya. Ketika tangan itu terangkat lagi ke atas. Sebuah gulungan kertas tergenggam di tangannya. Jari –jemarinya dilonggarkan sedikit, membiarkan gulungan kertas itu turun terbuka sendiri.
“ Surat perintah untuk menangkapmu, Parlin. Hidup atau mati, atas tuduhan pengkhianatan atas pemerintahan Ratu Yang Mulia...”
Kertas itu digulung kembali lalu dimasukkam ke tempat semula.
“ Serahkan dirimu tanpa harus melawan, Parlin !”
“ Dengan syarat ! “
Parlin menyahut dengan dingin.
“ Kami sudah tahu....” jawab si komandan seraya menyeringai.
“ Syarat yang kau kehendaki ada di sini, anak gadis mu ada di sini...”
Tangan si penunggang kuda kemudian terulur ke gagang pistol berlaras panjang dengan gerakan hati –hati. Matanya dan juga dua pasang mata dari Bodas dan Kamal memandang tegang ke arah Parlin. Akan tetapi, Parlin tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya berdiri.
Sang komandan mengacungkan pistolnya ke angkasa. Detik berikutnya, suara gelegar pistol membahana bergema seakan menggetarkan bumi tempat Parlin berpijak. Gaung bunyi letusan pistol yang memantul dari satu bukit ke bukit lain.
Di antara sapuan angin di pepohonan, ia kemudian mendengar banyak langkah kaki mendekat. Dari balik kabut tebal terlihat bayangan dari beberapa orang. Tatkala bayangan itu mulai jelas terlihat lima orang berbadan tegap dan seorang gadis kecil. Kedua tangan gadis itu terikat ke belakang. Pakaian yang dikenakan kumal dan robek disana –sini. Beberapa luka tampak menggores di sekujur tubuh gadis itu. Beberapa luka maih mengucurkan darah. Dan beberapa sisanya darah sudah membeku. Mulut gadis itu disumpal menggunakan secarik kain kumal berwarna putih yang dibelitkkan ke belakang rambutnya yang kusut dan acak –acakan.
Gadis itu tidak lain adalah Partinah. Anak gadis satu –satunya Parlin. Sepasang mata Partinah tidak saja letih, tetapi juga putus asa tatkala melihat ayahnya yang jelas – jelas sudah masuk perangkap. Tetapi gadis itu masih cukup tabah untuk tidak menangis. Sementara Parlin berusaha keras membendung amarah yang telah memuncak. Wajahnya merah padam. Mengelam menahan marah. Parlin bermaksud mendekati anak gadisnya itu, namun sebuah bentakan dingin mencegahnya.
“ Maju selangkah lagi, anak mu ini akan mati !”
Dan memang itulah yang tampaknya akan terjadi, setelah Parlin melihat si komandan telah mengarahkan laras pistolnya langsung ke arah kepala Partinah. Parlin menggeram dalam hati.
“ Mereka tidak menyentuhmu Partinah?”
Partinah menggeleng lemah. Parlin menarik nafas lega. Matanya memerah tatkala melihat kelima lelaki yang telah menyiksa anaknya. Ia mengenali mereka sebagai anak buahnya dahulu sewaktu ia masih bekerja pada kompeni. Suasana sunyi itu pecah manakala Kamal membuka mulut.
“ Kami menunggu perintah Tuan “
“ Ikat dia ! “
Komandan kompeni itu menjawab pendek, tanpa mengalihkan moncong pistolnya dari arah jidat Parlin.
“ Dengan senag hati Tuan “
Kamal segera melompat turun dari punggung kuda. Ia segera mengambil alih Partinah dari cengkeraman anak buahnya. Lelaki itu lalu mencabut goloknya. Mata golok tajam itu ditempelkan ke arah luher Partinah. Gadis itu memejamkan matanya. Terdongak ke atas saking ngerinya. Terpaksa Parlin membiarkan kedua tangannya diikat oleh anak buah Kamal. Salah seorang anak buah Kamal menancapkan sepotong tonggak kayu ke tanah.
Tonggak itu manancap dengan kokoh. Parlin setengah diseret kesana. Ujung tali yang mengikat tangannya diikatkan erat ke tengah tonggak kayu. Pandangannya melirik ke arah Partinah yang sudah mulai mengucurkan ar mata dalam tangis yang ditahan. Tiba –tiba sepasang kaki Parlin telah terbelit tali. Tubuh lelaki itu jatuh berlutut ke tanah. Tangan dan kaki terikat di belakang punggung, langsung ke tonggak kau. Ia benar –benar tidak berdaya.
“ Apa maumu Kamal?”
Parlin bertanya dengan suara keras agar suaranya terlihat tenang dan acuh, meski rasa khawatir dalam dada telah berubah jadi perasaan yang cemas.
Kamal tertawa dingin. Kelima anak buahnya memandang dengan sinis ke arah Parlin terikat. Kamal memnadng ke arah si komandan yang masih duduk tenang di atas punggung kuda. Komandan itu menyarungkan pistol di samping punggung kuda. Lalu tangan kanannya merogoh ke dalam kantong perbekalan. Sebuah pundi –pundi ada di dalam genggaman tangannya. Tatkala pundi –pundi itu dilemparkan ke arah Kamal terdengar suara gemerincingan.
“ Pundi –pundi uamg emas itu untuk imbalan mu,” ujar si komandan sambil tersenyum.
Kamal menjura dalam –dalam, kemudian menyahut gembira.
“ Terimakasih Tuan “
Setelah berkata demikian Kamal bergerak cepat untuk mencabut golok berhulu kepala naga yang terselip di balik pinggang Parlin.
“ Kau akan mati di ujung senjata mu sendiri Parlin “
Jantung Parlin berdetak cepat. Sekujur tubuhnya mendadak lemas seperti tidak bertulang. Wajahnya memutih pucat pasi. Semua kegagahan dan kegarangannya seketika lenyap musnah. Kecuali satu, sinar matanya kini memandang buas dan penuh dendam kesumat pada orang –orang yang berdiri di sekitarna. Terutama Kamal.
Kamal sempat tergetar tatkala matanya beradu pandang dengan mata Parlin. Tetapi, hal itu hanya sekejap saja. Kamal menyeringai lebar, sementara mata Parlin makin merah membara. Tiba –tiba mata golok menyentuh dagu Parlin. Tampaknya ia akan menemui ajal di ujung goloknya sendiri.
“ Pandang anak mu Parlin! Pandang dia untuk terakhir kalinya dan bersiap –siaplah kau bertemu dengan malaikat maut !”
Tidak ada yang mengeluarkan perintah. Bodas yang sedari tadi diam di atas punggung kuda melompat turun lalu menghampiri Partinah yang setengah berlutut di tanah. Gadis malang itu hanya menjerit dan menangis manakala bajunya yang sudah robek –robek kini dikoyak –koyak oleh Bodas. Mulutnya tampak ingin mengeluarkan jeritan setinggi langit saat tubuhnya dipaksa rebah menelentang dengan kedua paha dikangkangkan dengan paksa.
"Jangan ! Jangan kau lakukan itu Bodas ! “
Parlin mendesah lirih, kemudian berteriak dengan marah. Ia berusaha melepaskan diri. Usahanya sia –sia belaka. Ia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan yang sangat erat itu. Kamal tertawa bergelak. Sementara orang –orang yang berdiri melihat pemandangan di depannya dengan mata yang nyalang. Partinah meronta –ronta berusaha melepaskan diri dari tubuh Bodas yang mulai menghimpitnya. Bekas pimpinan rampok itu sibuk menanggalkan celananya. Tidak ada jeritan yang mampu dikeluarkan oleh Partinah, ketika kehormatannya direnggut secara paksa.
Parlin yang ramputnya dicengkeram dari belakang oleh Kamal, dipaksa unutk menyaksikan kebiadaban yang berada di depan matanya. Jeritan Parlin seperti tertelan di dalam tenggorokan bercampur oleh kemarahan serta dendam yang makin berkobar.
Puas merampas kegadisan anak perempuan Parlin, Bodas lalu berdiri sempoyongan. Kamal lalu mendekat dan berbisik.
“ Sudah cukup. Kembali kau ke atas kuda mu “
Parlin menengadah dengan wajah penuh duka dan amarah. Mulutnya komat –kamit tidak menentu dan diakhiri dengan sebuah kalimat pendek.
“ Biarkanlah aku hidup setelah mati ! “
Kamal berdiri tegak di depan Parlin. Golok milik Parlin terhunus ditangannya. Mata golok tampak berkilat – kilat tajam. Kamal meraih kantong putih yang ada di balik bajunya. Isi dari kantong itu kemudian ditabur –taburkan di sekujur tubuh Parlin. Sebelah tangan Kamal kembali mencengkeram rambut Parlin agar bisa tengadah. Kamal berbisik lirih.
“ Kini tiba saatnya kau mati Parlin “
Parlin tidak menjawab. Matanya memandang tajam ke arah Kamal. Tatapan penuh dendam.
Sesaat kemudian terlontar bisikan tajam dari mulut Parlin.
“ Demi setan dan iblis yang bersemayam di gunung ini. Aku akan kembali Kamal!”
Kamal meludah ke arah muka Parlin.
“ Silahkan saja. Akan ku tunggu kau menuntut balas. Kalau kau masih bisa hidup setelah aku penggal !”
Lalu pegangannya di rambut Parlin dilepaskan. Parlin masih sempat melihat anaknya yang masih terkapar di tanah yang becek berembun. Partinah tidak melihat ke arah ayahnya itu. Gadis itu tengah menangisi nasib malangnya. Terdengar seruan tertahan. Ringkikan liar kuda –kuda menggugah Partinah unutk membuka matanya yang sembab. Matanya mencoba melihat disekitarnya. Lalu pandangannya tertumbuk ke arah sosok ayhnya yang masih terikat di tonggak kayu.
Terikat erat, kaku, diam tak berdaya.
Tanpa kepala!
Darah yang masih terus menerus menyembur dari batang leher Parlin yang putus, menggelapkan pandangan mata Partinah. Gadis itu pingsan seketika. Sementara para penunggang kuda sibuk mendiamkan kuda masing –masing. Lalu seseorang tiba –tiba berteriak.
“ Lihat!”
Kapala Parlin yang telah tanggal dari badannya jatuh menggelinding di tanah dan terbentur pada sebuah batu yang mecuat. Terhempas diam dalam posisi tegak. Sepasang mata itu masih melotot merah, seakan memandangi siapa saja yang ada di tempat itu. Sepasang mata yang menyiratkan dendam kesumat.
Kamal lalu berjalan mendekati kepala Parlin yang tertegak miring di permukaan tanah. Kakinya sudah siap menendang kepala itu. Manakala angin bertiup dengan kencang, bumi bergetar dengan hebat. Disusul bunyi longsornya bongkahan tanah berbatu –batu. Getaran itu ikut menggoyang badan tanpa kepala yang masih terikat dan juga kepala yang telah terpenggal itu menggelinding ke bibir tebing. Kemudian jatuh ke bawah dan lenyap di kegelapan kabut yang menutupi lembah.
Diubah oleh breaking182 23-01-2019 21:07
1980decade dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas