Gejala radikalisasi di 41 masjid milik negara: 'Tidak mudah menyensor mubalig atau isi khotbah'
[/Centet]
Gejala radikalisasi di masjid-masjid milik negara seharusnya disikapi pemerintah dengan terus mendorong masyarakat agar peduli terhadap ancaman nyata adanya radikalisme dan intoleransi, kata seorang pengamat.
Sebaliknya, tuntutan agar pemerintah melakukan semacam sensor terhadap mubalig serta materi khotbahnya dianggap langkah yang sulit dilakukan dalam situasi seperti di Indonesia.
"Kecuali terus mendorong usaha masyarakat untuk memahami permasalahan ini lebih baik, bahwa kita hidup dalam ancaman radikalisme dan intoleransi," kata pemerhati keislaman dan guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Noorhaidi Hasan, kepada BBC News Indonesia, Senin (09/07).
Usulan ini menanggapi kesimpulan sebuah survei terbaru yang menyimpulkan ada gejala radikalisasi "cukup kuat" pada 41 masjid milik kementerian, lembaga negara dan BUMN.
Dalam rekomendasinya, pembuat survei itu kemudian meminta pemerintah turun tangan langsung dengan "mengurangi atau mencegah" gejala radikalisasi di masjid-masjid milik negara itu.
Namun demikian, Noorhaidi kurang sepakat apabila pemerintah dan kementerian BUMN disibukkan untuk mengontrol atau menyensor isi khotbah di masjid-masjid tersebut.
"Cuma tak lucu kalau akhirnya (semua khotbah di masjid pemerintah) sama semua. Dan, reaksi yang muncul akibat usaha itu mungkin akan merepotkan pemerintah," katanya.
Dia kemudian mencontohkan adanya penolakan dari ormas-ormas Islam atas langkah Kementerian Agama yang menyebarkan daftar 200 mubalig sesuai kriteria pemerintah.
"Itu kan banyak yang menolak," ujarnya.
Karena itulah, Noorhadi lebih meminta agar pemerintah dan ormas Islam - utamanya NU dan Muhammadiyah - agar terus mempromosikan nilai-nilai Islam moderat dan damai ketimbang menyensor isi khotbah.
"Kontra narasi seperti itu sudah diciptakan dan terus dipromosikan. Mungkin itu bisa diefektifikan lagi, bagaimana produk itu bisa betul-betul dipakai oleh masjid-masjid," kata Noorhaidi.
Untuk persoalan gejala radikalisasi di masjid-masjid negara, Noorhaidi meminta Kementerian Agama berusaha lebih efektif menggerakkan jaringan birokrasinya sampai ke kantor urusan agama di tingkat kecamatan.
"Agar mensosialisasikan khotbah-khotbah yang moderat. Mungkin ini yang bisa dikencangkan lagi," tambahnya.
Apa kesimpulan survei atas 100 masjid BUMN dan kementerian?
Survei terhadap 100 masjid BUMN, pemerintah dan lembaga negara yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyakarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan menyimpulkan ada gejala radikalisasi di sebagian masjid-masjid tersebut.
"Temuan pentingnya ada 41% masjid (milik BUMN, lembaga negara dan pemerintah di Jakarta) yang ternyata terpapar radikalisasi," kata ketua dewan pengawas P3M, Agus Muhammad, kepada BBC News Indonesia, Senin (09/07).
Mereka meneliti isi khotbah Jumat selama empat hari, yaitu pada 29 September hingga 21 Oktober 2017.
"Selama ini kita menganggap hanya dugaan (ada radikalisasi di masjid milik pemerintah) saja. Dan melalui penelitian, itu sudah terjawab, walaupun penelitian ini sifatnya indikatif bukan konklusif," jelas Agus.
Adapun istilah radikal itu, kata Agus, meliputi enam masalah, yaitu kebencian terhadap minoritas, sikap positif terhadap konsep khilafah, hingga sikap negatif terhadap minoritas.
"Lainnya sikap negatif terhadap agama lain, sikap negatif terhadap pemimpin perempuan dan ujaran kebencian," ungkapnya.
Survei itu menyebutkan, topik radikal paling populer adalah ujaran kebencian (73,60%), sikap negatif terhadap agama lain (21,17%), sikap positif terhadap khilafah (15%), sikap kebencian terhadap minoritas (6%), kebencian terhadap minoritas (2,1%), serta sikap negatif terhadap pemimpin perempuan (1,1%).
"Topik yang paling sering muncul adalah ujaran kebencian," kata Agus.
Temuan lain yang dianggap penting adalah ditemukannya fakta bahwa materi khotbah yang radikal (57%) di masjid-masjid BUMN lebih tinggi dari materi moderat (43%). "Ini justru paling mengkhawatirkan," ungkapnya.
Siapa bertanggungjawab atas masjid BUMN?
Dalam kesimpulannya, Agus Muhammad dan timnya menyatakan gejala radikalisasi di 41 masjid milik negara itu "cukup kuat".
Dan, "masjid-masjid BUMN adalah masjid paling rentan terhadap penyusupan kelompok radikal."
Tingginya gejala radikalisasi ini menunjukkan pemerintah kurang peduli terhadap masjid-masjid yang secara struktural dibawah mereka, demikian kesimpulan survei itu.
"Kami meminta pemerintah agar lebih peduli terhadap masjid-masjid yang membawa simbol negara, sehingga gejala radikalisasi itu bisa dikurangi atau dicegah," kata Agus.
"Kita tentunya harus mengecek secara langsung, kondisinya seperti apa," kata Staf Khusus Menteri BUMN Wianda Pusponegoro kepada BBC News Indonesia, Senin (09/07) malam.
Dia kemudian meminta agar pimpinan BUMN atau lembaga pemerintah melakukan "pendekatan" dengan takmir masjid yang di dalam lingkungannya.
"Kemudian ajak mereka membuat SOP (standard operating procedure) bersama, merumuskan topik apa yang boleh dan tidak boleh," ujarnya.
Lalu mengajak mereka untuk menjalankan kesepakatan tentang SOP itu. "Baik sisi manajemen atau konten khotbahnya."
"Karena bagaimanapun, masjid-masjid BUMN itu milik pemerintah, bukan milik masyarakat. Jadi ini tanggung jawab pemerintah," tandas Agus.
Dihubungi melalui sambungan telepon, Staf Khusus III Menteri BUMN Wianda Pusponegoro mengatakan dirinya belum mendalami lebih jauh hasil survei tersebut.
"Kita tentunya harus mengecek secara langsung, kondisinya seperti apa," kata Wianda kepada BBC News Indonesia, Senin (09/07) malam.
"Tapi kami di Kementerian BUMN memiliki prinsip dalam semua kegiatan sosial dan kemasyarakatan, termasuk BUMN di dalamnya, selalu mendorong agar saling menghormati, menjunjung dan menghargai prinsip-prinsip keberagaman," jelasnya.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44766651
Waspadalah waspadalah..
sudah membuktikan hancurnya sebuah negara karena meningkatnya radikalisme, fanatisme dan islamisme.