- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#425
Quote:
PART 34
“ Kak...lo yakin mau pulang sekarang? Keadaan lo kan belum begitu pulih.”
Nando terlihat mengkhawatirkan kondisi Adam yang ngotot minta pulang pagi ini juga. Sekalipun dokter bilang jika Adam akan tetap baik – baik saja dengan rawat jalan, nyatanya itu tak sedikitpun mengurangi kecemasan Nando.
“ Gue yakin, Ndo,” jawab Adam singkat sambil memandangi Nando yang terlihat sibuk mengemasi tak miliknya.
“ Ingat loh kak, 3 minggu lagi lo harus berangkat ke Jerman. Gue harus pastikan kalau keadaan lo baik – baik aja saat berangkat.”
“ Iya. Tenang aja.”
“ Tapi lo yakin tetap mau berangkat? Medina kan nggak ngizinin lantaran kondisi lo sekarang.”
“ Dia nggak akan tahu, kalau lo nggak ngomong. Lagian...udah seminggu ini dia nggak pernah datang buat nemuin gue,” ucap Adam penuh ketenangan walau sebenarnya hatinya tengah sangat gelisah memikirkan prihal adiknya yang berubah menjadi tak peduli padanya.
“ Dia baik – baik ajakan?” tanya Adam pada Nando.
Nando terkesiap, ia sempat melamun tadi pikirannya terus mengarah pada Medina. Sama seperti Adam, ia juga khawatir.
“ Gue yakin dia baik – baik aja kok kak,” jawab Nando seadanya, karena sejak menemui Medina minggu lalu, ia tidak pernah lagi bertemu gadis itu dimanapun.
Kecuali...jika Nando memaksakan diri menerobos ke dalam rumah orang tua Medina dengan penjagaan yang begitu ketat itu. Nando hanya yakin jika Medina ada di sana dan gadis itu tentu akan baik – baik saja.
“ Lo bisa anterin gue ke rumah?”
“ Ya bisalah kak.”
“ Rumah mama sama papa.”
Nando menoleh cepat ke arah Adam, kaget karena rumah yang di maksud Adam, bukan rumah di gang sempit yang selama ini ia huni, melainkan rumah mewah yang di bentengi pria berotot.
“ Lo ngapain ke sana? Lo nggak kapok di keroyokin lagi?” kesal Nando yang sudah mengetahui detail kejadian yang menimpa Adam. Adam telah menceritakan semuanya bahkan soal Tirta yang menjadi penyelamat Adam malam itu.
“ Gue nggak peduli, gue harus ketemu adek gue,” keukeuh Adam dan kemudian beranjak pergi meninggalkan ruangan sambil menjinjing tasnya yang tadi ada di tangan Nando.
“ Kak...gue bakal cari cara buat mempertemukan lo sama Medina. Tapi bukan dengan cara bawa lo ke kandang singa.” Pekik Nando namun tentu saja hanya mendapat pengabaian dari laki – laki itu.
Nggak Medina , nggak Adam sama aja. Sama – sama keras kepala.
***
Mobil sedan porsche putih kepunyaan Nando berhenti persis di depan pagar besi nan tinggi itu.
Tak tega membiarkan Adam pergi sendirian, Nando terpaksa menuruti keinginan laki – laki itu. Dan di sinilah mereka sekarang, di depan rumah yang Nando sebut dengan kandang singa, karena pasukan keamanannya yang berwajah cukup garang menurut Nando.
Rasanya lebih baik Nando berada di kandang singa sungguhan, daripada harus mati perlahan karena di keroyok habis – habisan.
“ Lo yakin mau nemuin Medina di sini?”
Adam mengangguk pelan, dengan tatapan lurus ke arah pekarangan rumah.
“ Gimana kalau Medina nggak ada disini? Gimana kalau sebenarnya Medina udah balik ke rumah kalian yang lama?”
“ Gue yakin dia ada di sini.”
“ Perlu gue temenin?”
“ Lo tunggu di sini aja. Gue Cuma bentar kok.” Adam bergegas keluar dari mobil dan berjalan memasuki pekarangan rumah dengan sangat tenang, bahkan security yang ada di sana tak satupun yang berani mengusiknya.
Melihat pemandangan itu, Nando sedikit merasa lega Setidaknya orang – orang itu tidak akan melukai siapapun tanpa izin dari tuan besarnya. Siapa lagi kalau bukan ayah Adam.
Tibalah Adam tepat di depan pintu masuk. Kedatangannya kali ini langsung di sambut sang ayah yang kebetulan berjalan keluar melewati pintu masuk bersama dengan beberapa bodyguardnya. Terlihat seperti mau pergi.
Pria paruh baya berperawakan tegap dan berwajah tegas itu tampak sedikit kaget mendapati Adam kini berada di teras rumahnya.
“ Sudah berubah pikiran?” tanya Tuan Vegar bernada dingin.
Adam hanya menanggapi itu dengan tatapan tak suka, mengerti betul akan ke arah mana pembicaraan sang ayah.
“ Sayangnya, papa udah nggak peduli kamu mau pulang atau tidak. Papa nggak butuh anak yang nggak tahu sopan santun!”
“ Mana Medina?” tanya Adam langsung pada tujuan awalnya, ia terlalu malas meladeni ayahnya berdebat.
Toh...pada akhirnya akan berakhir sama. Saling tak mau mengalah satu sama lain. Sifat keras kepala yang di miliki Adam dan Medina tampaknya turunan langsung dari sang ayah.
“ Aku mau ketemu sama dia,” sambung Adaam lagi semakin tak peduli dengan kemarahan sang ayah yang semakin terlihat dari wajahnya.
“ Pa...hari ini Medina-,” Medina yang baru saja muncul dari arah ruang tamu, menghentikan kata – katanya, ia sedikit terkejut menemukan Adam tiba – tiba berada di sini.
Sama halnya dengan Medina, Adam juga sedikit kaget melihat kemunculan adiknya itu. Apalagi kini penampilan Medina kembali tomboy dan tanpa jilbab yang membungkus rambutnya.
Haruskah Adam memarahinya? Tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat. Tapi hanya diam saja...justru bertentangan dengan hati Adam saat ini.
***
Suasana taman kecil yang terletak di samping rumah, terasa begitu hening Sudah 10 menit Adam dan Medina di sana, tapi tak satupun yang terpancing untuk berbicara lebih dulu. Mereka terlalu asyik tamasya di pikirannya masing - masing.
“ Nando udah cerita semuanya,” tutur Adam yang merasa lelah dengan kesunyian di antara mereka.
“ Dia bilang, kamu berubah,”sambung Adam lagi yaang masih belum mendapat ranggapan.
“ ...”
“ Kakak nggak akan memaksa kaamu pulang, kalau kamu senang berada di sini, silakan. Kakak nggak akan ngelarang.”
“ ...”
“ Kakak ke sini hanya ingin memastikan kalau kamu baik – baik aja.”
“ Aku baik. Mama dan papa sayang sama aku.”
Adam tersenyum, akhirrnya Medina mau membuka suara,” Syukurlah.”
“ ...”
Adam beranjak dari tempat duduknya, ia mengusap pucuk kepala Medina secara perlahan,“ Kapanpun kamu mau pulang, rumah kita selalu terbuka buat kamu.”
Tanpa Adam sadari, Medina terlihat tengah berusaha keras menahan diri agar tidak menangis. Jujur ia tidak tega bersikap dingin seperti ini kepada kakaknya. Tapi ia harus jika ingin semuanya membaik. Medina tidak punya pilihan lain.
“ Kakak pulang dulu. Jaga diri kamu baik – baik.”
Adam melangkah pergi meeninggalkan Medina dengan perasaan yang cukup berantakan.
Ia sangat ingin adiknya pulang ke rumah, tapi sepertinya Medina lebih bahagia tinggal bersama kedua orang tuanya. Adam tidak ingin memaksakan kehendaknya terhadap Medina. Adik kecilnya sudah besar dan punya hak memutuskan dengan siapa ia akan tinggal.
“ Dari kecil-“ Suara Medina sukses meenghentikan langkah Adam. Posisinya kini, berdiri memunggungi Medina.
“ Dari kecil kakak selalu ngajarin aku, betapa pentingnya kata maaf. Kakak selalu bilang sama aku untuk belajar ikhlas memaafkan orang lain.”
Adam masih membatu, ia sedikit bingung akan ke arah mana pembicaraan Medina.
“ Kakak juga minta aku buat memaklumi kesalahan mbak Ningrum yang dengan terang – terangan nyakitin aku. Dan sekarang tanpa perlu kakak minta, aku memaklumi kebohongan kakak yang kakak tutupi bertahun – tahun sama aku.”
“...”
“ Apa boleh sekarang aku minta kakak buat memaklumi kesalahan mama dan papa,” suara Medina mulai terdengar parau. Tangisan yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya tumpah ruah membasahi kedua pipinya. Ia ingin Adam dan kedua orang tuanya kembali akur, ia ingin keluarganya kembali utuh.
“ Apa boleh aku minta kakak buat memaafkan semua kesalahan mereka?”
Adam menghela nafas panjang dan kemudian membalikkan badannya. Kini pandangannya fokus ke arah Medina,” Boleh. Tapi belum sekarang.”
Tanpa menunggu sahutan dari Medina lagi, Adam bergegas pergi meninggalkan adiknya yang kini menangis kian deras.
Bukannya ia tak peduli dengan tangisan dan permintaan Medina, ia hanya belum siap untuk itu. Memaafkan kedua orang tuanya tersa begitu sulit untuk ia lakukan. Adam tahu itu salah, ia sangat tahu itu.
Adaam bukannya tidak ingin memaafkan, ia hanya butuh waktu lebih banyak untuk mengobati luka yang di ciptakan orang tuanya sendiri.
●●●
2
Kutip
Balas