Kaskus

Story

ningsiw878Avatar border
TS
ningsiw878
The Game (Thriller)
THE GAME
(Thriller, Fiction)


The Game (Thriller)


Quote:

Apa kau tidak merasa hidup ini membosankan? Seperti terlalu monoton. Bahkan aku mulai merasa sekolah itu melelahkan. Tidak ada tantangan. Aku selalu ingin adrenalinku terpacu dan membuatku berteriak “Waw ini menyenangkan!”. Tak satu pun membuatku tertarik, hingga aku bertemu dia. Namanya Reol, dia adalah murid pindahan yang menyita perhatian seisi kelas dengan tampangnya yang persis seperti boneka, benar-benar imut.

Selepas bel istirahat berbunyi, dia langsung dikerumuni banyak orang. Layaknya artis yang terjepit di antara para wartawan. Berbagai pertanyaan pun terlontar untuknya.

“Reol, apa kau sudah punya pacar?” celetuk Iki sang ketua kelas. Sebagai laki-laki, dia cukup percaya diri dengan tampangnya yang memikat.

Di sana juga ada Pinkan yang tampak iri dan bertanya, “Apa rahasiamu bisa cantik? Jangan bilang karena oplas?”

“Rambut Reol sangat lembut, bagaimana bisa warnanya begitu hitam?” Rinrin ikut bertanya.

Aku bisa melihat tampang Reol yang cukup kebingungan untuk menjawab satu persatu pertanyaan yang tanpa henti menghujani dirinya. Pada akhirnya, rentetan pertanyaan bodoh itu hanya ia jawab dengan seulas senyum. Di sisi lain, aku terus memperhatikan mereka dari pojok tempat duduk. Berusaha menahan tawa atas aksi teman-temanku yang kelewat konyol.

“Timi, apa kau mendengarkanku?” tanya Sasya.

Segera aku melempar pandangan ke arah gadis yang saat ini berdiri di hadapanku. Entah sejak kapan gadis bermata sipit itu masuk ke kelasku. Dia itu teman masa kecil yang merepotkan, selalu menempel seperti permen karet. Aku sendiri heran mengapa bisa selalu satu sekolah dengannya. Satu-satunya yang kusyukuri saat SMA adalah kami tidak sekelas. Seandainya bukan karena permintaan ibu, aku tidak akan bersikap baik kepadanya.

“Eh? Ada apa?”

“Apa itu murid baru yang heboh dibicarakan?” tanya Sasya sambil menunjuk ke arah Reol. Aku pun langsung mengiyakan dengan satu anggukan. “Menurutmu apa aku lebih imut dari dia?”

Tanpa ditanya pun jawabannya pasti “Tidak”, sudah jelas Reol seratus kali lebih imut. Namun, itu bukan jawaban yang diinginkan Sasya. Aku tak mau melihatnya pulang sambil menangis dan mengadu pada ibuku.

“Sudah pasti kamu yang terimut,” jawabku bohong. “Memang perlu jawaban apa lagi?”

Mendengar jawabanku, Sasya langsung tersenyum puas.

Tiba-tiba saja Denis menghampiri kami. Dia membawa buku tebal panjang dan pulpen. Aku menatapnya penuh tanda tanya, tak biasanya Denis yang pendiam berinteraksi dengan orang lain.

“Timi, bisa kau menulis nomor teleponmu di sini?” minta Denis sambil menunjuk bagian kosong di bawah deretan nomor telepon lainnya.

“Tentu,” aku segera menulisnya. “Tapi untuk apa?”

“Ah, ini demi membantu teman baru kita agar tidak kesulitan menanyai tugas,” jawabnya antusias.

“Maksudmu untuk Reol?” tanya Sasya. “Kalau begitu biarkan aku ikut mengisinya, aku juga ingin berteman dengan Reol.”

Aku benar-benar tidak percaya bahwa pengaruh Reol sebesar ini. Dia memberi dampak luas, bahkan bagi si Denis. Hari ini kehadiran Reol berhasil menguncang satu sekolah. Meski terdengar berlebihan, tapi begitulah kenyataannya.

***

Tak ada yang lebih baik dari mandi tengah malam. Tubuhku jadi segar. Setelah berpakaian, aku mencoba mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. Kemudian aku membaringkan tubuhku di kasur. Sebelum aku merasa benar-benar terlelap, ponselku berdering. Dengan setengah malas aku memeriksa pesan yang baru saja masuk.

“Apa kau ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan? Seperti membunuh kebosananmu yang menumpuk? Aku akan menunggumu di sekolah, tepatnya di kelas. Mari memainkan sebuah game malam ini.”



Quote:

The Game (Thriller)


Quote:

PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13 (END)
Diubah oleh ningsiw878 09-10-2019 18:22
adivaazzahraAvatar border
anasabilaAvatar border
someshitnessAvatar border
someshitness dan 4 lainnya memberi reputasi
5
6.5K
35
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
ningsiw878Avatar border
TS
ningsiw878
#12
PART 3
Reol mengocok sebuah dadu menggunakan gelas yang ditelungkupkan di atas meja. Kami memperhatikannya. Begitu ia berhenti dan bersiap mengangkat gelasnya, semua orang membeku di tempat. Aku menahan napas. Lalu kembali mengembuskannya. Untungnya bukan nomor satu yang keluar.

Setelah menghitung jumlah titiknya dengan baik, itu adalah dadu yang memiliki lima titik. Tapi siapa? Kami bahkan tak tahu pemilik nomor lima. Kemudian jika sudah tahu, lalu apa? Tidak mungkin kan kami membunuhnya?

Aku mengambil langkah mundur dan menyejajarkan posisiku dengan Sasya. Tangan Sasya gemetaran. Dia tidak terlihat baik-baik saja.

Aku berbisik di telinga Sasya, “Kau tidak berpikir untuk memainkan game gila ini, bukan? Bagaimana kalau kita menyerang Reol dan kabur dari tempat ini.”

“Tapi Timi, bukankah itu beresiko?”

“Percayalah padaku, ok?”

“Hey aku bisa dengar loh apa yang kalian bicarakan,” ujar Reol dari posisinya berdiri.

Reol berjalan beberapa langkah, dan ia berhenti di meja nomor dua dari kanan. Tepatnya meja paling depan. Ia mengintip kolong meja dan mengambil sesuatu. Sebuah pistol semi otomatis yang biasanya dimiliki polisi. Hey yang benar saja bagaimana mungkin dia punya senjata itu?

Reol mengarahkan pistol itu ke arahku, “Jangan mencoba menyerangku. Melanggar aturan sama saja dengan ingin mati,” ancam Reol. Ia meletakkan jari telunjuknya pada trigger, lalu “Bang!” teriaknya hingga membuatku memejamkan mata. Kupikir dia benar-benar akan melubangi kepalaku.

“Jangan ada yang macam-macam, ini sudah lebih dari cukup untuk menghabisi kalian semua,” sambungnya.

“Tidak jangan bunuh aku!” gumam Sasya berulang kali. “Timi kau akan menyelamatku hingga game ini selesai, bukan?”

Sejujurnya aku tak bisa menjanjikan apa pun. Aku sendiri tak bisa menjamin keselamatanku di hadapan gadis sinting seperti Reol.

“Tentu, akan kuusahakan” jawabku ragu.

Bruk!

Suara meja terjatuh. Denis terjatuh ke belakang bersama meja tersebut. Tanpa kami sadari, telah terjadi pertengkaran kecil di pojok kelas. Iki memegang kerah baju Denis dan meninju perutnya beberapa kali. Denis tak melawan, ia hanya tersenyum dengan muka yang babak belur.

“Iki, tahan emosimu!” Aku menghampiri mereka. Lalu menarik Iki agar segera menjauh dari Denis.

Rinrin membantu Denis untuk kembali berdiri. “Denis kau tak apa?” tanyanya khawatir. Denis tak menjawab.

“Jangan coba hentikan aku, Timi! Biar kuberi dia pelajaran.” Iki masih memberontak.

Denis tertawa. “Sudah kubilang kan kalau kau benar-benar marah, artinya memang benar kau lah si nomor lima.”

Sontak semuanya melemparkan tatapan aneh ke arah Iki. Merasa tak terima, Iki semakin marah dan terlihat panik. “Apa kalian semua pecaya dengan ucapan si mata empat itu? Hah?”

Sesaat hening. Hingga akhirnya Pinkan berteriak histeris, “Aku tahu! Tadi aku melihatnya ketika dia mengambil stik. Jelas sekali itu adalah angka lima. Ya, pemilik nomor lima itu adalah Denis.” Ia menunjuk Denis sambil menatap kami semua. Seolah ia berkata, bunuh saja Denis dan jangan bunuh Iki.

“Jangan ada yang bergerak!” seru Rinrin. Ia memegang pisau dengan kedua tangannya. Boneka koala yang tadi dipeluknya kini ia biarkan tergeletak di lantai. Pisau itu sepanjang tujuh belas sentimter dengan sisi yang bergerigi.

“Ah, iya ada yang lupa kukatakan,” sela Reol. “Di beberapa meja aku menyimpan beberapa kejutan. Jadi jika kalian beruntung, kalian bisa menemukan alat untuk saling bunuh di kolong meja itu. Ya, seperti yang Rinrin temukan. Kurasa pisau itu ikut terjatuh bersama meja tadi,” jelasnya. Reol kembali duduk sambil menyilangkan kaki di kursi guru, layaknya seorang bos.

“Siapa pun yang bergerak …. Aku akan membunuhnya,” ancam Rinrin dengan suara yang gemetar. “Gamenya sudah dimulai dan aku tak ingin mati.” Ia menatap kami dengan tatapan penuh waspada.

“Aku berani sumpah, si nomor lima itu adalah Denis.” Sekali lagi Pinkan meyakinkan.

“Tidak! Aku tidak percaya ucapan Pinkan! Kau pasti menuduh Denis karena membencinya kan?”

Rinrin berdiri di sisi Denis. Ia seolah berusaha melindungi Denis apa pun yang terjadi.

“Kau menuduhku membencinya? Hah yang benar saja. Orang menyedihkan seperti Denis yang bahkan tak mampu bersosialisasi, dia sama sekali tak layak mendapat perhatianku. Dan kau pikir aku membencinya? Itu bukan hal yang pantas,” ujar Pinkan sinis.

Apa yang dikatakan Pinkan sedikit masuk akal. Mengingat tak sekali pun Pinkan pernah mempedulikan kehadiran Denis di kelas. Sebenarnya cukup sulit menilai siapa yang berbohong di antara mereka. Untuk sementara aku dan Sasya meimilih diam. Ada kalanya mengamati adalah pilihan yang terbaik.

Pinkan memegang kepalanya seperti sedang berpikir. Lalu ia tersenyum, seakan mengingat sesuatu. “Aku mengerti. Kau itu menyukai Denis kan? Buktinya kau sering memandanginya diam-diam. Pernah saat Denis tak masuk sekolah, hanya kau satu-satunya yang menyadari bahwa dia tidak masuk.”

Dengan cepat muka Rinrin memerah. Semburat merah itu tak dapat ditutupi lagi. Lalu ia menangis.

“Pinkan kau keterlaluan. Aku bahkan belum mengungkapkan perasaanku kepada Denis,” isak Rinrin penuh air mata. “Dan kau malah mengumumkan perasaan yang dengan susah payah kupendam kepada semua orang? Itu sangat jahat.” Rinrin berjalan ke arah Pinkan. Ia menggores sepanjang tembok dengan pisaunya hingga tercipta bunyi “kriiiittt” yang menyakiti telinga.

Denis mengusap perutnya yang masih terasa sakit. “Pertengkaran antara wanita? Sepertinya menarik. Hey Rinrin jika kau benar menyukaiku, cobalah bunuh si Pinkan! Mungkin dengan begitu cintamu tak akan bertepuk sebelah tangan,” ujar Denis bercanda.

Sasya hendak menghampiri mereka. Namun, aku segera menggeleng. Mencegahnya untuk ikut campur.

Langkah Rinrin diiringi lagu mengerikan itu menambah suasana menegangkan. Kini giliran Pinkan yang berdiri ketakutan begitu Rinrin menghampirinya dengan sebilah pisau.

Rinrin mendekatkan wajahnya kepada Pinkan. Menatap lekat-lekat gadis yang berhasil memancing kebenciannya itu. “Pinkan, apa kau dengar itu? Akhirnya perasaanku selama dua tahun ini akan terbalas.”

Sebelum salah satu di antara kami dapat mengambil tindakan yang tepat. Aku tidak pernah menyangka Rinrin benar-benar akan melakukan itu. Semuanya terjadi sangat cepat. Dan begitu tersadar, sesuatu seperti potongan telinga jatuh ke lantai.

Pinkan berteriak begitu kencang. Darah memercik di mana-mana. Dia baru saja kehilangan telinga kirinya.
Diubah oleh ningsiw878 22-07-2018 00:29
CinukA
CinukA memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.