- Beranda
- Stories from the Heart
[MATURE / 21+] Burung Kertas Merah Muda 2
...
TS
chrishana
[MATURE / 21+] Burung Kertas Merah Muda 2
![[MATURE / 21+] Burung Kertas Merah Muda 2](https://s.kaskus.id/images/2019/01/08/9503613_20190108120951.png)
Quote:
Cerita ini adalah kisah lanjutan dari Burung Kertas Merah Muda. Kalian boleh membaca dari awal atau memulai membaca dari kisah ini. Dengan catatan, kisah ini berkaitan dengan kisah pertama. Saya sangat merekomendasikan untuk membaca dari awal.
Silahkan klik link untuk menuju ke kisah pertama.
Terima kasih.
Spoiler for Perkenalan:
Quote:
Polling
0 suara
Siapakah sosok perempuan yang akan menjadi pendamping setia Rendy?
Diubah oleh chrishana 02-04-2020 09:31
jalakhideung dan 59 lainnya memberi reputasi
54
274.4K
981
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chrishana
#116
Chapter 11
Rendy terkejut mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya. Dia tidak ada cerita bahwa dia sudah mempunyai calon suami. Rendy langsung lemas dan kaku setelah mendengar apa yang Anna ucapkan. Mencoba berpikir dan menanamkan pengertian bahwa Anna tidak mencintainya namun tak berhasil. Anna berjalan ke arah Rendy dan berhenti tepat di depannya.
Tanpa pikir panjang, Rendy mengeluarkan sebuah burung kertas berwarna merah muda dan menaruhnya di atas tangan Anna. Dengan emosi, Anna merobek burung kertas itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil lalu dia lemparkan ke wajah Rendy. Kejadian yang cukup menyita waktu dan mencuri perhatian orang-orang yang sedang berlalu lalang. Bahkan, ada yang sengaja merekam kejadian itu seperti layaknya merekam acara reality show.
Anna dan Gavin masuk ke dalam mobil mewah buatan Jerman itu lalu melaju meninggalkan Rendy yang hanya diam mematung. Tak lama kemudian, Rendy melihat ke arah serpihan-serpihan burung kertas berwarna merah muda tersebut yang sudah berceceran di atas trotoar. Sebelum angin bertiup semakin kencang, Rendy memunguti serpihan demi serpihan satu persatu. Tiba-tiba saja ada seorang wanita di sampingnya membantu memunguti sisa dari serpihan burung kertas merah muda tersebut.
Drama antara Rendy dan Anna berakhir saat munculnya Vanessa yang membantu Rendy mengumpulkan serpihan dari sobekan burung kertas merah muda yang dibuat oleh Anna. Orang-orang yang melihat kejadian itu sontak melayangkan pujian kepada Vanessa karena bersedia membantu Rendy mengumpulkan serpihan kertas tersebut. Setelah selesai mengumpulkan serpihan itu, mereka berdua berjalan bersama.
Tiba-tiba saja langkah kaki mereka berdua berhenti. Vanessa tak sengaja tersandung dan berpegangan pada tangan Rendy. Kondisi trotoar jalan yang tidak rata membuat kaki Vanessa berhasil dibuat tersandung olehnya. Untung saja ada Rendy dengan respon yang cepat memegangi Vanessa agar tak terjatuh.
Mau tidak mau, Vanessa harus ikut dengan Rendy. Vanessa tak bisa membantah apa yang diminta oleh Rendy. Hingga akhirnya, mereka berdua sampai di area parkir motor yang sudah agak sepi karena para karyawan sudah meninggalkan area gedung lebih awal.
Rendy sudah menyalakan motor dengan kapasitas isi silindernya sama dengan dua ratus lima puluh. Vanessa juga langsung naik dan tak lupa berpegangan dengan Rendy karena sepeda motornya tidak mempunyai pegangan belakang. Rendy memacu motornya sedikit cepat karena lalu lintas kali ini agak lenggang. Vanessa mengencangkan pegangannya karena sedikit takut.
Vanessa melingkarkan tangannya ke pinggang Rendy yang sedang mengemudikan motornya. Pelukannya semakin lama semakin erat, menyesuaikan dengan tingkat ketakutan yang dialami oleh Vanessa. Rendy memacu motornya tak seperti biasa. Terlihat jelas bahwa dia sedang emosi.
Rendy menghentikan laju sepeda motornya di pinggir jalan. Vanessa yang takut dicampur dengan emosi yang sudah memuncak langsung turun dari motor Rendy. Vanessa membuka helm dan menggantungkan helm tersebut di penyangga kaca spion fairingNinja milik Rendy lalu berjalan menjauhi Rendy.
Suara dari pipa pembuangan racingdengan DB Killer dari motor milik Rendy terdengar jelas melewati area perumahan yang sangat sederhana ini. Setelah berjuang melewati lalu lintas ibukota yang sangat ramai, akhirnya sampailah Rendy di depan rumah Vanessa.
Rendy duduk bersila beralaskan karpet yang sudah lusuh dan tua di sebuah rumah kontrakan yang ukurannya kecil. Tempat di mana Vanessa dan ibunya berjuang dengan kerasnya hidup di dunia ini. Rendy mengeluarkan semua serpihan kertas yang sobek dan mencoba menyatukannya kembali. Namun, semua tak dapat disatukan karena sangat sulit mengembalikan apa yang sudah hancur. Kemudian, Rendy merebahkan tubuhnya di atas karpet lusuh tersebut sambil mengingat kejadian yang baru saja dia alami.
Di sampingnya sudah ada Vanessa yang menggunakan atasan tanktopberwarna hitam yang dilapisi sweater lengan pendek dan celana pendek hingga pahanya, sedang duduk di samping Rendy. Terdapat sebuah gunting dan juga selotip di depan Vanessa.
Telepon genggam milik Vanessa tiba-tiba saja bergetar. Tanda ada panggilan masuk dengan nama “Bella” tertera pada layar telepon genggam miliknya. Vanessa hanya menghela napas, lalu memilih opsi ignore call dan meletakkannya di samping tempat di mana dia duduk.
“Aku minta burung kertas itu...” ucap Anna sambil menadahkan tangannya.
Tanpa pikir panjang, Rendy mengeluarkan sebuah burung kertas berwarna merah muda dan menaruhnya di atas tangan Anna. Dengan emosi, Anna merobek burung kertas itu hingga menjadi serpihan-serpihan kecil lalu dia lemparkan ke wajah Rendy. Kejadian yang cukup menyita waktu dan mencuri perhatian orang-orang yang sedang berlalu lalang. Bahkan, ada yang sengaja merekam kejadian itu seperti layaknya merekam acara reality show.
“...” Rendy hanya terdiam membisu dengan perlakuan Anna kepadanya.
“Urus sana pacar barumu! Hubungan kita hanya sebatas atasan-bawahan! Gak lebih!” ujar Anna lalu meninggalkan Rendy.
“Urus sana pacar barumu! Hubungan kita hanya sebatas atasan-bawahan! Gak lebih!” ujar Anna lalu meninggalkan Rendy.
Anna dan Gavin masuk ke dalam mobil mewah buatan Jerman itu lalu melaju meninggalkan Rendy yang hanya diam mematung. Tak lama kemudian, Rendy melihat ke arah serpihan-serpihan burung kertas berwarna merah muda tersebut yang sudah berceceran di atas trotoar. Sebelum angin bertiup semakin kencang, Rendy memunguti serpihan demi serpihan satu persatu. Tiba-tiba saja ada seorang wanita di sampingnya membantu memunguti sisa dari serpihan burung kertas merah muda tersebut.
“Eh, Vanessa.” Rendy sedikit terkejut.
“Hai, Kak...”
“Udah, gak usah. Biar aku aja.” ujar Rendy.
“Gak apa-apa, Kak. Aku bantuin, daripada nanti ketiup angin terus makin jauh kesebarnya.” ujar Vanessa.
“Hai, Kak...”
“Udah, gak usah. Biar aku aja.” ujar Rendy.
“Gak apa-apa, Kak. Aku bantuin, daripada nanti ketiup angin terus makin jauh kesebarnya.” ujar Vanessa.
Drama antara Rendy dan Anna berakhir saat munculnya Vanessa yang membantu Rendy mengumpulkan serpihan dari sobekan burung kertas merah muda yang dibuat oleh Anna. Orang-orang yang melihat kejadian itu sontak melayangkan pujian kepada Vanessa karena bersedia membantu Rendy mengumpulkan serpihan kertas tersebut. Setelah selesai mengumpulkan serpihan itu, mereka berdua berjalan bersama.
“Yang tadi itu siapa, Kak?” tanya Vanessa.
“Oh, itu orang yang ada di masa lalu aku.” jawab Rendy.
“Terus, kenapa Kakak mungutin sobekan kertas yang tadi?”
“Itu pemberian terakhir dari dia sebelum kita berpisah di masa lalu, Dek...”
“Aduh!” Vanessa menjerit memegang tangan Rendy.
“Oh, itu orang yang ada di masa lalu aku.” jawab Rendy.
“Terus, kenapa Kakak mungutin sobekan kertas yang tadi?”
“Itu pemberian terakhir dari dia sebelum kita berpisah di masa lalu, Dek...”
“Aduh!” Vanessa menjerit memegang tangan Rendy.
Tiba-tiba saja langkah kaki mereka berdua berhenti. Vanessa tak sengaja tersandung dan berpegangan pada tangan Rendy. Kondisi trotoar jalan yang tidak rata membuat kaki Vanessa berhasil dibuat tersandung olehnya. Untung saja ada Rendy dengan respon yang cepat memegangi Vanessa agar tak terjatuh.
“Kamu hati-hati dong, Dek...” ujar Rendy.
“Hehehehe... Maaf, Kak. Aku udah biasa kok... Kalau gak kepeleset, ya kesandung.” ujar Vanessa.
“Kamu ini... Oh ya, kamu mau langsung pulang?” tanya Rendy.
“Iya, Kak. Aku nunggu bus dari sini.” jawab Vanessa.
“Aku anterin aja, yuk!” ajar Rendy.
“Gak usah, Kak... Aku bisa pulang sendiri kok.” ujar Vanessa.
“Gak usah ngerasa gak enak sama aku. Kamu udah bantuin kumpulih serpihan kertas tadi.”
“Aku ikhlas, Kak... Beneran gak apa-apa.”
“Udah, ayo...” Rendy menarik tangan Vanessa.
“Hehehehe... Maaf, Kak. Aku udah biasa kok... Kalau gak kepeleset, ya kesandung.” ujar Vanessa.
“Kamu ini... Oh ya, kamu mau langsung pulang?” tanya Rendy.
“Iya, Kak. Aku nunggu bus dari sini.” jawab Vanessa.
“Aku anterin aja, yuk!” ajar Rendy.
“Gak usah, Kak... Aku bisa pulang sendiri kok.” ujar Vanessa.
“Gak usah ngerasa gak enak sama aku. Kamu udah bantuin kumpulih serpihan kertas tadi.”
“Aku ikhlas, Kak... Beneran gak apa-apa.”
“Udah, ayo...” Rendy menarik tangan Vanessa.
Mau tidak mau, Vanessa harus ikut dengan Rendy. Vanessa tak bisa membantah apa yang diminta oleh Rendy. Hingga akhirnya, mereka berdua sampai di area parkir motor yang sudah agak sepi karena para karyawan sudah meninggalkan area gedung lebih awal.
“Nih, pakai helmnya.” Rendy memberikan helm kepada Vanessa.
“Eh, iya Kak...” Vanessa memakai helmnya. “Kak, aku mau tanya boleh?”
“Tanya apa?”
“Kakak selalu bawa helm dua ya?” tanya Vanessa.
“Iya gitu deh... Soalnya kan aku kalau pagi sering bareng sama adekku...”
“Eh, iya Kak...” Vanessa memakai helmnya. “Kak, aku mau tanya boleh?”
“Tanya apa?”
“Kakak selalu bawa helm dua ya?” tanya Vanessa.
“Iya gitu deh... Soalnya kan aku kalau pagi sering bareng sama adekku...”
Rendy sudah menyalakan motor dengan kapasitas isi silindernya sama dengan dua ratus lima puluh. Vanessa juga langsung naik dan tak lupa berpegangan dengan Rendy karena sepeda motornya tidak mempunyai pegangan belakang. Rendy memacu motornya sedikit cepat karena lalu lintas kali ini agak lenggang. Vanessa mengencangkan pegangannya karena sedikit takut.
“Kamu kenapa, Dek? Takut?” tanya Rendy.
“I... Iya sedikit, Kak...” jawab Vanessa.
“Oh, pegangan aja yang kenceng kalau takut...”
“I... Iya sedikit, Kak...” jawab Vanessa.
“Oh, pegangan aja yang kenceng kalau takut...”
Vanessa melingkarkan tangannya ke pinggang Rendy yang sedang mengemudikan motornya. Pelukannya semakin lama semakin erat, menyesuaikan dengan tingkat ketakutan yang dialami oleh Vanessa. Rendy memacu motornya tak seperti biasa. Terlihat jelas bahwa dia sedang emosi.
“Kak...” Vanessa berbicara agak lantang.
“Iya...”
“Jangan ngebut...”
“Biasa aja ah...”
“Kak! Stop! Aku turun di sini!” terika Vanessa. “Berhenti kataku!”
“Iya...”
“Jangan ngebut...”
“Biasa aja ah...”
“Kak! Stop! Aku turun di sini!” terika Vanessa. “Berhenti kataku!”
Rendy menghentikan laju sepeda motornya di pinggir jalan. Vanessa yang takut dicampur dengan emosi yang sudah memuncak langsung turun dari motor Rendy. Vanessa membuka helm dan menggantungkan helm tersebut di penyangga kaca spion fairingNinja milik Rendy lalu berjalan menjauhi Rendy.
“Eh, Dek! Tunggu!” Rendy mematikan sepeda motornya lalu berlari mengejar Vanessa yang sedang marah. “Nessa, tunggu...” Rendy memegang tangan Vanessa.
“Tunggu apa! Tunggu sampai aku mati, hah!” bentak Vanessa.
“...”
“Kalau kakak lagi emosi, tolong dikontrol lah sedikit, Kak... Kakak lagi sama aku...”
“Iya, maaf... Aku kepikiran kejadian tadi...” ujar Rendy.
“Kepikiran boleh, Kak... Tapi, Kakak mikir gak ada aku di belakang?”
“...”
“Kalau masih emosi, aku gak mau dianterin pulang.” ujar Vanessa.
“Iya nggak emosi lagi, Dek... Maafin aku...”
****
“Tunggu apa! Tunggu sampai aku mati, hah!” bentak Vanessa.
“...”
“Kalau kakak lagi emosi, tolong dikontrol lah sedikit, Kak... Kakak lagi sama aku...”
“Iya, maaf... Aku kepikiran kejadian tadi...” ujar Rendy.
“Kepikiran boleh, Kak... Tapi, Kakak mikir gak ada aku di belakang?”
“...”
“Kalau masih emosi, aku gak mau dianterin pulang.” ujar Vanessa.
“Iya nggak emosi lagi, Dek... Maafin aku...”
****
Suara dari pipa pembuangan racingdengan DB Killer dari motor milik Rendy terdengar jelas melewati area perumahan yang sangat sederhana ini. Setelah berjuang melewati lalu lintas ibukota yang sangat ramai, akhirnya sampailah Rendy di depan rumah Vanessa.
“Assalamu ‘alaikum...” ucap Vanessa seraya mencium tangan mamanya.
“Wa’alaikum salam...Eh ada Rendy juga... Masuk masuk.” jawab mamanya Vanessa dengan ramah.
“Iya, makasih Bu...”
“Saya tinggal dulu ya... Cucian tetangga masih banyak. Hehehehe...” ujar ibunda Vanessa.
“Iya, Bu...”
“Duduk dulu, Kak... Kakak mau minum apa?” tanya Vanessa.
“Apa aja, Dek...”
“Ya udah, aku tinggal dulu ya...”
“Wa’alaikum salam...Eh ada Rendy juga... Masuk masuk.” jawab mamanya Vanessa dengan ramah.
“Iya, makasih Bu...”
“Saya tinggal dulu ya... Cucian tetangga masih banyak. Hehehehe...” ujar ibunda Vanessa.
“Iya, Bu...”
“Duduk dulu, Kak... Kakak mau minum apa?” tanya Vanessa.
“Apa aja, Dek...”
“Ya udah, aku tinggal dulu ya...”
Rendy duduk bersila beralaskan karpet yang sudah lusuh dan tua di sebuah rumah kontrakan yang ukurannya kecil. Tempat di mana Vanessa dan ibunya berjuang dengan kerasnya hidup di dunia ini. Rendy mengeluarkan semua serpihan kertas yang sobek dan mencoba menyatukannya kembali. Namun, semua tak dapat disatukan karena sangat sulit mengembalikan apa yang sudah hancur. Kemudian, Rendy merebahkan tubuhnya di atas karpet lusuh tersebut sambil mengingat kejadian yang baru saja dia alami.
****
“Eh, aku ketiduran ya...” ujar Rendy seraya membuka matanya dan bangun dari tidurnya.
“Eh, aku ketiduran ya...” ujar Rendy seraya membuka matanya dan bangun dari tidurnya.
Di sampingnya sudah ada Vanessa yang menggunakan atasan tanktopberwarna hitam yang dilapisi sweater lengan pendek dan celana pendek hingga pahanya, sedang duduk di samping Rendy. Terdapat sebuah gunting dan juga selotip di depan Vanessa.
“Eh, Kakak udah bangun...” ujar Vanessa.
“Kamu ngapain, Dek?” tanya Rendy.
“Ini...” Vanessa memberikan serpihan-serpihan kertas yang berhasil disatukan kembali oleh Vanessa.
“Loh, kamu...”
“Namanya Devianna Azzahra, Kak?”
“...” Rendy mengangguk pelan.
“Namanya bagus... Pasti orangnya cantik... Yang berhijab itu tadi, Kak?” tanya Vanessa.
“Iya, Dek... Dia orangnya.”
“Kamu ngapain, Dek?” tanya Rendy.
“Ini...” Vanessa memberikan serpihan-serpihan kertas yang berhasil disatukan kembali oleh Vanessa.
“Loh, kamu...”
“Namanya Devianna Azzahra, Kak?”
“...” Rendy mengangguk pelan.
“Namanya bagus... Pasti orangnya cantik... Yang berhijab itu tadi, Kak?” tanya Vanessa.
“Iya, Dek... Dia orangnya.”
Telepon genggam milik Vanessa tiba-tiba saja bergetar. Tanda ada panggilan masuk dengan nama “Bella” tertera pada layar telepon genggam miliknya. Vanessa hanya menghela napas, lalu memilih opsi ignore call dan meletakkannya di samping tempat di mana dia duduk.
“Kenapa gak di angkat?” tanya Rendy.
“Males, Kak...”
“Bella itu siapa?”
“Males, Kak...”
“Bella itu siapa?”
jenggalasunyi dan 9 lainnya memberi reputasi
10