- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#1073
PART 73
Kamis siang, setelah menjalankan tugas-tugas kami selama sebulan pada masa KKN, perpisahan kami tutup dengan sebuah pesta rakyat kecil-kecilan. Ada warga yang membuat es kelapa buat satu desa, ada beberapa warga yang membuatkan kue apem, ada juga warga yang enggak ngapa-ngapain, enggak bayar juga, tapi ikutan makan. Ya, itu Luther.
Kita seneng banget hari perpisahan KKN disambuat antusias oleh warga. Desa KKN ini seolah menyambut kita dengan hangat dan melepas kita dengan gembira. Well, sesuatu yang setiap mahasiwa KKN inginkan.
Pada akhirnya kita enggak dapet penyanyi dangdut sama sekali. Lagipula, duit segitu mau dicariin penyanyi macem apa coba? Walaupun itu penyanyi dangdut gratis juga buat ongkos pulang masih kurang.
Tapi untungnya si Bull bisa main gitar dan ada beberapa warga yang memang lihai memainakan beberapa alat musik dangdut. Dipadukan dengan suara Sasha dan sound system kelurahan, jadilah, konser dangdut papan atas yang enggak terlalu atas.
“Huu…!” seru Luther. “Dangdut enggak ada dangdutnya sama sekali, hu…!”
Ya... mau gimana lagi, suara Sasha emang enggak ada cengkok-cengkoknya. Dia mau nyanyi aja udah syukur kita. Dasar Luther.
Siang itu, sementara yang lain sibuk menikmati konser, gue berpamitan dengan warga desa. Mulai dari pamit sama pak RW, pamit sama pak Maif yang berterima kasih banyak karena udah dapet program bedah rumah, bahkan sampai pamit sama pak Slamet juga yang ujung-ujungnya malah dibawain sebuah apem yang suruh gantung di depan pintu rumah. Balik dari sini hidup gue bakal berubah kayaknya.
Tiga puluh mencari cinta? Itu sih KKN jaman dulu. Tiga puluh hari menderita kalo KKN jaman sekarang mah, apalagi kalo ada Luther, menderita abis.
“Abang beneran balik duluan?” tanya Cassie.
“Enggak,” kata gue. “Ini cuma beres-beres sama pamit duluan, nanti sampai gapura desa balik lagi.”
“Kok kurang kerjaan banget?”
“Ya lo pikir?! Gue kurang kerjaan banget udah packing terus enggak jadi balik.”
“Gausah ngegass!” potong Melly menusuk pinggang gue pake jarinya.
“Pasti besok bakalan kangen kayak gini lagi, ya?” ucap Cassie sambil senyum.
“Besok di Jogja kan ketemu lagi, Cass,” kata Melly menenangkan.
“Lo taulah harus gimana besok,” kata gue mengusap kepala Cassie. “Gausah mellow lagi.”
“Ih…,” kata Cassie menepis tangan gue. “Siapa juga yang mellow!”
“Bang,” panggil Echa. “Di gapura ada yang nyariin lo, tuh.”
“Oh…, ya, makasih, Cha,” kata gue segera mengangkat barang-barang bawaan gue. “Gue, duluan, ya? Jemputan gue udah dateng.”
“Iya,” ucap Cassie lirih.
Gue kira tadinya pamitan gue bakalan lebih heboh dari ini, ternyata, biasa aja. Tapi gapapa juga sih sebenernya, syukur deh kalo si Cassie enggak nempel-nempel ke gue lagi. Untung aja malem itu gue dapet ide cemerlang.
Gue berjalan menjauh dari Cassie, gue lambaikan tangan gue. Terlihat senyum tipis dibibirnya ketika membalas lambaian tangan gue.
Kamis siang, setelah menjalankan tugas-tugas kami selama sebulan pada masa KKN, perpisahan kami tutup dengan sebuah pesta rakyat kecil-kecilan. Ada warga yang membuat es kelapa buat satu desa, ada beberapa warga yang membuatkan kue apem, ada juga warga yang enggak ngapa-ngapain, enggak bayar juga, tapi ikutan makan. Ya, itu Luther.
Kita seneng banget hari perpisahan KKN disambuat antusias oleh warga. Desa KKN ini seolah menyambut kita dengan hangat dan melepas kita dengan gembira. Well, sesuatu yang setiap mahasiwa KKN inginkan.
Pada akhirnya kita enggak dapet penyanyi dangdut sama sekali. Lagipula, duit segitu mau dicariin penyanyi macem apa coba? Walaupun itu penyanyi dangdut gratis juga buat ongkos pulang masih kurang.
Tapi untungnya si Bull bisa main gitar dan ada beberapa warga yang memang lihai memainakan beberapa alat musik dangdut. Dipadukan dengan suara Sasha dan sound system kelurahan, jadilah, konser dangdut papan atas yang enggak terlalu atas.
“Huu…!” seru Luther. “Dangdut enggak ada dangdutnya sama sekali, hu…!”
Ya... mau gimana lagi, suara Sasha emang enggak ada cengkok-cengkoknya. Dia mau nyanyi aja udah syukur kita. Dasar Luther.
Siang itu, sementara yang lain sibuk menikmati konser, gue berpamitan dengan warga desa. Mulai dari pamit sama pak RW, pamit sama pak Maif yang berterima kasih banyak karena udah dapet program bedah rumah, bahkan sampai pamit sama pak Slamet juga yang ujung-ujungnya malah dibawain sebuah apem yang suruh gantung di depan pintu rumah. Balik dari sini hidup gue bakal berubah kayaknya.
Tiga puluh mencari cinta? Itu sih KKN jaman dulu. Tiga puluh hari menderita kalo KKN jaman sekarang mah, apalagi kalo ada Luther, menderita abis.
“Abang beneran balik duluan?” tanya Cassie.
“Enggak,” kata gue. “Ini cuma beres-beres sama pamit duluan, nanti sampai gapura desa balik lagi.”
“Kok kurang kerjaan banget?”
“Ya lo pikir?! Gue kurang kerjaan banget udah packing terus enggak jadi balik.”
“Gausah ngegass!” potong Melly menusuk pinggang gue pake jarinya.
“Pasti besok bakalan kangen kayak gini lagi, ya?” ucap Cassie sambil senyum.
“Besok di Jogja kan ketemu lagi, Cass,” kata Melly menenangkan.
“Lo taulah harus gimana besok,” kata gue mengusap kepala Cassie. “Gausah mellow lagi.”
“Ih…,” kata Cassie menepis tangan gue. “Siapa juga yang mellow!”
“Bang,” panggil Echa. “Di gapura ada yang nyariin lo, tuh.”
“Oh…, ya, makasih, Cha,” kata gue segera mengangkat barang-barang bawaan gue. “Gue, duluan, ya? Jemputan gue udah dateng.”
“Iya,” ucap Cassie lirih.
Gue kira tadinya pamitan gue bakalan lebih heboh dari ini, ternyata, biasa aja. Tapi gapapa juga sih sebenernya, syukur deh kalo si Cassie enggak nempel-nempel ke gue lagi. Untung aja malem itu gue dapet ide cemerlang.
Gue berjalan menjauh dari Cassie, gue lambaikan tangan gue. Terlihat senyum tipis dibibirnya ketika membalas lambaian tangan gue.
End of Chapter Eight
Diubah oleh dasadharma10 30-06-2018 22:50
pulaukapok dan rudymojopahit memberi reputasi
0
