- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#1072
PART 72
Enggak cuma itu, remah-remah masa KKN kita juga akhirnya jadi sesuatu yang seru. Selain makin kompak buat nge-bully si Luther, unit kita juga makin terbuka dengan pemikiran Dinda tentang dunia lain, dan juga terbuka menerima bahasa Indonesia yang medok milik Maya. Secara ilmiah, tiga puluh hari adalah waktu yang tepat untuk menjadikan sesuatu yang enggak biasa menjadi sesuatu yang biasa. Emang serem sih, tapi itu kenyataannya.
“Kata orang jaman dulu,” terang Dinda menegangkan. “Mimpi itu pertanda kejadian yang akan datang.”
Gue melirik ke arah Yansa yang mulai nempel-nempel sama si Luther. Meski sering ribut, kayaknya buat dengerin cerita si Dinda mereka perlu bersatu.
“Kalo mimpinya buruk,” lanjutnya. “Ya ke depannya bakal buruk.”
“D-Din,” panggil Bull lirih. “L-lo bisa enggak ceritanya dicepetin terus enggak dipenggal-penggal gitu? Ngeri sih dengernya.”
Dinda menatap si Bull, bukan karena setuju dengan usulan si Bull, tapi karena benci dengan usulan si Bull.
“Y-ya…, tapi terserah lo juga, sih,” kata Bull lagi. “Mau lo penggal-penggal lagi gue juga gapapa, kok. Enggak cuma perkalimat, kalo perlu per suku kata gue juga enggak masalah, kok.”
“Jadi menurut lo, mimpi gue sebelum KKN itu berkaitan sama masa-masa sulit gue waktu di KKN?” tanya gue. “Gitu?”
“Iya,” angguk Dinda pelan. “Berkaitan.”
“Dia cuma bilang berkaitan kok gue merinding, ya?” ucap Bull lirih.
“Jangan deket-deket Luther makanya,” timpal Melly.
“Gue lagi yang kena.”
“Emang abang mimpi apaan, Bang?” tanya Maya dengan suara medoknya.
“Jalan ke arah desa yang enggak abis-abis, sama ketemu simbah-simbah yang duduk dipangkuan Cassie.”
“Aku enggak mangku apa-apa, kok!” seru Cassie nempel ke Echa.
“Sstt…!” desis Yansa terganggu.
“Aku enggak mangku apa-apa, kok!” ulang Cassie lirih.
“Jalan yang enggak habis-habis itu apa?” tanya Sasha. “Terus simbah-simbah dipangkuan itu apa?”
“Hubungan yang enggak berakhir,” jawab Dinda cekatan. “Sesuatu yang enggak berakhir.”
“Se-serem juga ya kalo Dinda yang ngomong,” bisik Melly di sebelah gue.
“Terus kalo simbah-simbah itu?” tanya Yansa. “Pengibaratan DPD?”
“Mungkin.”
“Ah… Din, lo bisa enggak kalo ngomong enggak pake diserem-seremin gitu?” pinta gue. “Merinding sih gue.”
Sebuah hubungan yang enggak berakhir sama seorang cewek pengidap DPD? Serem juga kalo diartiin begitu.
Bukannya gue enggak mau berhubungan sama Cassie, tapi dalam kondisi ini, gue mana sanggup. Menurut gue, yang dibutuhin Cassie bukan cowok yang bisa kapan aja bareng terus sama dia. Menurut gue, yang dia butuhin adalah cowok yang bisa nerima kekurangan dia dan melengkapinya. Gue? Mana ada sisi keren gue yang kayak gitu? Emil sendawa aja gue masih sering ngomel.
Untungnya jalanan panjang bersama simbah-simbah itu cuma sekedar mimpi, untungnya hubungan gue sama Cassie enggak harus berakhir sama seperti di mimpi. Ah… lega gue.
Ada kalanya kita pengin hidup kita sama seperti di mimpi, tapi ada kalanya kita lega hidup kita enggak sama seperti di mimpi.
Enggak cuma itu, remah-remah masa KKN kita juga akhirnya jadi sesuatu yang seru. Selain makin kompak buat nge-bully si Luther, unit kita juga makin terbuka dengan pemikiran Dinda tentang dunia lain, dan juga terbuka menerima bahasa Indonesia yang medok milik Maya. Secara ilmiah, tiga puluh hari adalah waktu yang tepat untuk menjadikan sesuatu yang enggak biasa menjadi sesuatu yang biasa. Emang serem sih, tapi itu kenyataannya.
“Kata orang jaman dulu,” terang Dinda menegangkan. “Mimpi itu pertanda kejadian yang akan datang.”
Gue melirik ke arah Yansa yang mulai nempel-nempel sama si Luther. Meski sering ribut, kayaknya buat dengerin cerita si Dinda mereka perlu bersatu.
“Kalo mimpinya buruk,” lanjutnya. “Ya ke depannya bakal buruk.”
“D-Din,” panggil Bull lirih. “L-lo bisa enggak ceritanya dicepetin terus enggak dipenggal-penggal gitu? Ngeri sih dengernya.”
Dinda menatap si Bull, bukan karena setuju dengan usulan si Bull, tapi karena benci dengan usulan si Bull.
“Y-ya…, tapi terserah lo juga, sih,” kata Bull lagi. “Mau lo penggal-penggal lagi gue juga gapapa, kok. Enggak cuma perkalimat, kalo perlu per suku kata gue juga enggak masalah, kok.”
“Jadi menurut lo, mimpi gue sebelum KKN itu berkaitan sama masa-masa sulit gue waktu di KKN?” tanya gue. “Gitu?”
“Iya,” angguk Dinda pelan. “Berkaitan.”
“Dia cuma bilang berkaitan kok gue merinding, ya?” ucap Bull lirih.
“Jangan deket-deket Luther makanya,” timpal Melly.
“Gue lagi yang kena.”
“Emang abang mimpi apaan, Bang?” tanya Maya dengan suara medoknya.
“Jalan ke arah desa yang enggak abis-abis, sama ketemu simbah-simbah yang duduk dipangkuan Cassie.”
“Aku enggak mangku apa-apa, kok!” seru Cassie nempel ke Echa.
“Sstt…!” desis Yansa terganggu.
“Aku enggak mangku apa-apa, kok!” ulang Cassie lirih.
“Jalan yang enggak habis-habis itu apa?” tanya Sasha. “Terus simbah-simbah dipangkuan itu apa?”
“Hubungan yang enggak berakhir,” jawab Dinda cekatan. “Sesuatu yang enggak berakhir.”
“Se-serem juga ya kalo Dinda yang ngomong,” bisik Melly di sebelah gue.
“Terus kalo simbah-simbah itu?” tanya Yansa. “Pengibaratan DPD?”
“Mungkin.”
“Ah… Din, lo bisa enggak kalo ngomong enggak pake diserem-seremin gitu?” pinta gue. “Merinding sih gue.”
Sebuah hubungan yang enggak berakhir sama seorang cewek pengidap DPD? Serem juga kalo diartiin begitu.
Bukannya gue enggak mau berhubungan sama Cassie, tapi dalam kondisi ini, gue mana sanggup. Menurut gue, yang dibutuhin Cassie bukan cowok yang bisa kapan aja bareng terus sama dia. Menurut gue, yang dia butuhin adalah cowok yang bisa nerima kekurangan dia dan melengkapinya. Gue? Mana ada sisi keren gue yang kayak gitu? Emil sendawa aja gue masih sering ngomel.
Untungnya jalanan panjang bersama simbah-simbah itu cuma sekedar mimpi, untungnya hubungan gue sama Cassie enggak harus berakhir sama seperti di mimpi. Ah… lega gue.
Ada kalanya kita pengin hidup kita sama seperti di mimpi, tapi ada kalanya kita lega hidup kita enggak sama seperti di mimpi.
pulaukapok memberi reputasi
1
