- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#22
PART 2
Quote:
SORE itu sehabis hujan mengguyur kota Wonosari sehingga jalanan menjadi licin. Beberapa genangan air terlihat di beberapa ruas jalan yang berlubang. Mobil Starlet berwarna merah merambat pelan membelah jalanan Wonosari di bagian selatan yang bisa dibilang relatif sepi. Hanya sesekali terlihat kendaraan yang lewat. Meskipun saat itu hari belum juga beranjak gelap. Mia duduk di belakang kemudi mobil ini. Mata gadis ini sesekali melirik kartu nama yang tergeletak di atas dashboard. Ia kemudian mengarahkan mobilnya berbelok kiri ke arah jalanan di pinggiran kota yang mulai menanjak dan berkelok -kelok.
Setelah melewati beberapa kebun jati dengan jalan yang mulai berlubang –lubang di kiri kanan. Mia menghentikan laju mobilnya di depan sebuah gerbang desa. Di bagian gapura terpampang dengan jelas Dukuh Karang Kobar. Mia kembali melirik kartu nama yang masih berada di atas dashboard. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.
“ Akhirnya ku temukan juga alamat ini “
Mobil berwarna merah itu kembali merayap pelan memasuki jalan desa yang masih berbatu dan becek karena di guyur hujan deras tadi siang. Beberapa lampu telah mulai dinyalakan oleh para pemilik rumah. Nyala lampu itu berkelap –kelip seperti taburan bintang di angkasa. Mia menghembuskan nafas kesal karena alamat yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Lalu ia menghentikan mobilnya di ujung desa di dekat kerumunan pohon bambu.
Pada saat itu lah Mia memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di depannya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kanannya ada sebatang kayu kecil sepanjang satu depa yang selalu dikibas-kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan bebek yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Mia segera keluar dari mobil dan buru –buru menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi Mia lalu seperti tak acuh dia terus saja berjalan.
"Mbah......, " Mia menegur.
Orang tua pengangon bebek itu hentikan langkahnya.
“ Ada apa ?”
“ Maaf, mengganggu. Saya numpang tanya rumah Pak Sudarmaji di sebelah mana ya? “
Yang ditanya berpaling sambil kernyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
“ Sudarmaji yang kerja di peternakan itu bukan? “
“ Wah, saya kurang tahu Mbah. Sepertinya begitu “
Orang tua itu terlihat manggut –manggut.
“ Kau lihat, jalan di depan itu? Ikuti saja sampai kau temukan ladang jagung. Lalu belok kanan. Nah, di ujung jalan itulah rumah si Sudarmaji “
“ Terimakasih Mbah “
Mia segera masuk kembali ke dalam mobilnya tidak lama kemudian mobil itu kembali merayap ke arah petunjuk yang diberikan oleh orang tua pengangon bebek tadi. Mobil itu tidak lama kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang termasuk agak besar dibandingkan dengan rumah –rumah yang telah dilalui. Halamannya luas, di beberapa sudut tampak pohon mangga menjulang dengan kokoh.
Sebuah kebun bunga tampak berseri dalam siraman temaram senja. Teras dengan tegel berwarna kuning gading. Dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota besar. Setelah memarkir mobil di tepi jalan. Mia segera turun dari kendaraannya. Berjalan pelan menuju ke pintu yang tertutup rapat. Sejenak gadis wartawan ini ragu untuk mengetuk pintu dengan ukiran bergambar burung cendrawasih itu.
Sepi di dalam.
Tangan halus itu terangkat dan mulai mengetuk. Sekali. Tidak ada jawaban.
Ke dua kalinya Mia mengetuk pintu lebih keras.
Lalu ada suara langkah –langkah kaki. Tertegun –tegun dan agak kaku. Ketika Mia melihat bayangan tubuh lelaki di ambang pintu yang telah terbuka.
“ Selamat sore Pak “
Laki –laki itu sedikit berkerut kening seperti mengingat –ngat wajah sesosok gadis yang berdiri di ambang pintu rumahnya.
“ Mbak Mia? “
“ Ya, Pak “
Lalu lelaki itu menyisi memberi jalan.
“ Masuklah “
Mia segera berada di ruang tamu yang cukup besar, dilengkapi dengan perabotan yang bisa dikatakan bagus untuk ukuran di desa yang terpencil. Mia duduk seraya menghela nafas panjang disalah satu sofa berwarna ungu. Sudarmaji nama lelaki yang ditemui Mia pagi tadi di warung kopi sejenak memperhatikan Mia tanpa berkedip.
“ Sendirian di jalan?”
“ Ya, pak “
“ Kau sangat pemberani sebagai seorang perempuan. Desa ini bisa dikatakan desa terpencil di Wonosari...”
Mia hanya tersenyum mendengar Pak Sudarmaji berkata seperti itu.
“ .... kubuatkan kopi, ya? “
Mia hendak mencegah, tetapi lelaki itu telah masuk ke dalam. Mia mengikuti dengan pandangan mata ku sampai menghilang di balik tirai ruang tengah yang kemudian tertutup. Tirai itu bergerak – gerak sedikit. Lalu diam.
Tidak berapa lama kemudian Pak Sudarmaji keluar dengan sebuah nampan dengan gelas berisi dua gelas kopi panas yang masih menghamparkan aroma dan sepiring ubi rebus. Ia letakkan gelas kopi itu di depan Mia. Duduk di kursi yang berseberangan lantas mempersilahkan Mia minum.
“ Oh ya, maaf Pak? Bapak disini tinggal sendiri?”
Pandangan lelaki paruh baya ini tiba –tba berubah sayu. Matanya seperti menerawang.
“ Saya di desa ini hidup sendirian tanpa anak sejak istri meninggal dua puluh tahun lalu itu. Anak saya lelaki satu –satunya juga entah dimana keberadaannya. Setelah lima tahun ini tidak ada kabar beritanya setelah sebelumnya dia kerja di pabrik itu“
Mia sebenarnya ingin berbasa –basi. Ternyata salah.
“ Maaf, Pak. Saya tidak tahu “
“ Tidak apa –apa Mbak Mia “
Akan tetapi, kalimat terakhir Pak Sudarmaji menggelitik naluri wartawan Mia untuk bertanya.
“ ...maksud bapak di pabrik itu? Apakah pabrik yang kita bicarakan tadi pagi di warung kopi? “
Sudarmaji menghela nafas panjang. Lalu mengangguk dengan lemah.
“ Itulah salah satu alasan saya mengajak Mbak Mia untuk datang ke rumah ini. Dan perlu mbak Mia ketahui.....”
Sudarmaji menghentikan ucapannya. Lelaki itu menarik kursi agar lebih dekat dengan Mia.
Jantung Mia tiba –tiba bergedug kencang. Nalurinya sebagai wartawan mencium gelagat yang sangat penting. Mungkin inilah kunci untuk membuka kasus ini dengan tulisannya.
“ Mobil yang ditemukan kemarin di tempat kejadian perkara itu adalah mobil saya. Eka yang membawanya di malam itu dan selanjutnya menghilang serta raib entah kemana “
“ Eka itu anak Bapak? Apakah bapak tidak melaporkan hal itu kepada polisi? “
Sudarmaji tersenyum letih. Gemetar jemarinya mengambil cangkir yang ada di atas meja. Bibirnya terlihat bergetar saat meneguk minumannya.
“ Semua telah saya lakukan, lapor polisi. Mencari sendiri dibantu oleh teman –temannya. Akan tetapi, semua tidak ada hasilnya. Hingga saya terpaksa harus merelakannya dan menganggapnya telah mati “
Ada setitik air duka di sudut mata lelaki paruh baya itu. Sekian lamanya suasana menjadi sunyi. Kumandang adzan dari masjid mengalun sayup –sayup memberitahukan saatnya sholat Maghrib telah tiba. Sudarmaji bangkit dari tempat duduknya seraya tidak lupa mengajak Mia untuk sholat bersama –sama. Ajakan itu membuat gadis itu terhenyak. Lantas berkata terburu –buru.
“ Maaf Pak. Saya sedang haid...”
Selagi menunggu Sudarmaji selesai sholat. Mia duduk termenung. Berpikir. Tuhan tahu bahwa ia tidak sedang haid. Dan itu merupakan dusta dan kebohongan besar. Pada saat bersamaan, malaikat penjaga pintu neraka menyeringai lebar sambil merancang siksaan apa yang kelak patut diberikan untuk Mia. Sekujur tubuh Mia gemetar. Tiba –tiba tubuhnya diguncang –guncang dengan keras dan ada seseorang memanggil –manggil namanya.
” Mbak Mia. Mbak Mia....!”
Mia tersentak ternyata yang memanggil –manggil namanya adalah sang tuan rumah.
“ Ohh..”
Mia menggumam.
“ Ada apa mbak Mia? Njenengan sakit?”
“ Tidak Pak. Tidak. Tadi tiba – tiba saja kehilangan konsentrasi. Terlalu sibuk memikirkan kasus yang sedang saya tulis ini. Saya tidak sadar kalau bapak sudah berada lagi di tempat ini “
“ Bagaimana Mbak, apakah masih ada keinginan untuk meneruskan pembicaraan kita yang tadi terpotong? “
“ Silahkan Pak. Saya sudah sangat siap “.
Mia dengan buru –buru meraih tas kecil berwarna biru yang ada di sampingnya. Sebuah tape recorder kecil dikeluarkan dari dalam tas. Setelah mengecek kaset untuk merekam. Gadis ini menatap ke arah Sudarmaji.
“ Pembicaraan kita nanti akan saya rekam Pak. Bisa di mulai sekarang “
Mia lalu menekan tombol record dan meletakkan tapr rocorder itu di atas meja. Sudarmaji menarik nafas panjang. Lelaki paruh baya ini kemudian mulai berbicara.
“ Anak saya sudah lama kerja di pabrik itu hampir lima tahun lamanya. Satu hari sebelum kejadian malam itu dia menghilang. Ia sempat berkata pada saya ingin meninggalkan Wonosari. Katanya disini ia sudah merasa tidak nyaman lagi “
“ Waktu itu saya mengira anak itu hanya sekedar bercanda saja. Akan tetapi, ternyata keesokan harinya ia tidak pernah pulang lagi ke rumah “
“ Bapak tahu. Eka pergi dengan siapa? “
“ Pergi dengan kekasihnya. Rencana sebulan kemudian mereka akan menikah. Tetapi, Tuhan berkata lain. Eka anak saya dan Rini calon istrinya itu menghilang secara misterius”
Mia menelan ludah yang iba –tiba terasa getir di tenggorokan.
“ Jadi Eka malam itu pergi dengan kekasihnya?”
Sudarmaji hanya mengangguk. Tampak sekali kesedihan yang mendalam terpancar dari kedua matanya.
“ Saya pada saat itu juga mendengar desas – desus kalau hilangnya anak saya karena ditumbalkan untuk pabrik kayu itu. Karena saya dengar pernah beberapa kali ada kasus orang hilang dan rata –rata hilang bersama pasangannya “
Mia menarik nafas panjang. Dimatikannya tape recorder yang masih dalam posisi aktif.
Otaknya bekerja dengan cepat dalam menyimpulkan kasus ini.
“ Sepertinya kejadian hilangnya sepasang kekasih sudah sering terjadi. Dan banyak laporan orang hilang yang masuk di kepolisian setempat. Sehingga pihak polisi menyelidiki hal ini dengan mengirimkan intelnya. Dan kemarin pagi ketiga intel itu ditemukan tewas mengenaskan di pinggir jalan tidak jauh dari pabrik kayu itu. Apakah yang aku simpulkan ini benar?! Aku tidak boleh terlalu gegabah menyimpulkan masalah ini. Ada baiknya aku bertanya pada seorang saudara jauh ku yang menjadi polisi di sini “
Hati Mia berkecamuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bisa terjadi.
Kepalanya tiba -tiba berdenyut – denyut.
“ Aku jadi penasaran seperti apa pabrik itu? Malam ini juga aku harus melihat tempat itu. Mungkin ada lagi satu petunjuk yang dapat aku temukan “
Lamunan Mia buyar tatkala Sudarmaji memanggil namanya.
“ Mbak Mia apakah sudah cukup?"
Mia tergagap.
“ Sudah Pak, sudah terlalu cukup”
“ Saya harap Mbak Mia bisa sedikit membantu. Mungkin bisa menemukan Eka anak saya. Entah hidup atau mati. Saya hanya ingin memastikan bagaimana sebenarnya nasib anak itu. Lima tahun saya sudah berusaha untuk melupakann akan tetapi....hal itu sangat sulit”
Lelaki paruh baya itu terisak. Bahunya terguncang – guncang menahan kepedihan yang selama ini selalu ditahannya. Mia hanya bisa terdiam membisu. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi itu.
Setelah melewati beberapa kebun jati dengan jalan yang mulai berlubang –lubang di kiri kanan. Mia menghentikan laju mobilnya di depan sebuah gerbang desa. Di bagian gapura terpampang dengan jelas Dukuh Karang Kobar. Mia kembali melirik kartu nama yang masih berada di atas dashboard. Senyuman tipis tersungging di bibirnya.
“ Akhirnya ku temukan juga alamat ini “
Mobil berwarna merah itu kembali merayap pelan memasuki jalan desa yang masih berbatu dan becek karena di guyur hujan deras tadi siang. Beberapa lampu telah mulai dinyalakan oleh para pemilik rumah. Nyala lampu itu berkelap –kelip seperti taburan bintang di angkasa. Mia menghembuskan nafas kesal karena alamat yang dicarinya tidak kunjung ditemukan. Lalu ia menghentikan mobilnya di ujung desa di dekat kerumunan pohon bambu.
Pada saat itu lah Mia memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di depannya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kanannya ada sebatang kayu kecil sepanjang satu depa yang selalu dikibas-kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan bebek yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor.
Mia segera keluar dari mobil dan buru –buru menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi Mia lalu seperti tak acuh dia terus saja berjalan.
"Mbah......, " Mia menegur.
Orang tua pengangon bebek itu hentikan langkahnya.
“ Ada apa ?”
“ Maaf, mengganggu. Saya numpang tanya rumah Pak Sudarmaji di sebelah mana ya? “
Yang ditanya berpaling sambil kernyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
“ Sudarmaji yang kerja di peternakan itu bukan? “
“ Wah, saya kurang tahu Mbah. Sepertinya begitu “
Orang tua itu terlihat manggut –manggut.
“ Kau lihat, jalan di depan itu? Ikuti saja sampai kau temukan ladang jagung. Lalu belok kanan. Nah, di ujung jalan itulah rumah si Sudarmaji “
“ Terimakasih Mbah “
Mia segera masuk kembali ke dalam mobilnya tidak lama kemudian mobil itu kembali merayap ke arah petunjuk yang diberikan oleh orang tua pengangon bebek tadi. Mobil itu tidak lama kemudian berhenti di depan sebuah rumah yang termasuk agak besar dibandingkan dengan rumah –rumah yang telah dilalui. Halamannya luas, di beberapa sudut tampak pohon mangga menjulang dengan kokoh.
Sebuah kebun bunga tampak berseri dalam siraman temaram senja. Teras dengan tegel berwarna kuning gading. Dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota besar. Setelah memarkir mobil di tepi jalan. Mia segera turun dari kendaraannya. Berjalan pelan menuju ke pintu yang tertutup rapat. Sejenak gadis wartawan ini ragu untuk mengetuk pintu dengan ukiran bergambar burung cendrawasih itu.
Sepi di dalam.
Tangan halus itu terangkat dan mulai mengetuk. Sekali. Tidak ada jawaban.
Ke dua kalinya Mia mengetuk pintu lebih keras.
Lalu ada suara langkah –langkah kaki. Tertegun –tegun dan agak kaku. Ketika Mia melihat bayangan tubuh lelaki di ambang pintu yang telah terbuka.
“ Selamat sore Pak “
Laki –laki itu sedikit berkerut kening seperti mengingat –ngat wajah sesosok gadis yang berdiri di ambang pintu rumahnya.
“ Mbak Mia? “
“ Ya, Pak “
Lalu lelaki itu menyisi memberi jalan.
“ Masuklah “
Mia segera berada di ruang tamu yang cukup besar, dilengkapi dengan perabotan yang bisa dikatakan bagus untuk ukuran di desa yang terpencil. Mia duduk seraya menghela nafas panjang disalah satu sofa berwarna ungu. Sudarmaji nama lelaki yang ditemui Mia pagi tadi di warung kopi sejenak memperhatikan Mia tanpa berkedip.
“ Sendirian di jalan?”
“ Ya, pak “
“ Kau sangat pemberani sebagai seorang perempuan. Desa ini bisa dikatakan desa terpencil di Wonosari...”
Mia hanya tersenyum mendengar Pak Sudarmaji berkata seperti itu.
“ .... kubuatkan kopi, ya? “
Mia hendak mencegah, tetapi lelaki itu telah masuk ke dalam. Mia mengikuti dengan pandangan mata ku sampai menghilang di balik tirai ruang tengah yang kemudian tertutup. Tirai itu bergerak – gerak sedikit. Lalu diam.
Tidak berapa lama kemudian Pak Sudarmaji keluar dengan sebuah nampan dengan gelas berisi dua gelas kopi panas yang masih menghamparkan aroma dan sepiring ubi rebus. Ia letakkan gelas kopi itu di depan Mia. Duduk di kursi yang berseberangan lantas mempersilahkan Mia minum.
“ Oh ya, maaf Pak? Bapak disini tinggal sendiri?”
Pandangan lelaki paruh baya ini tiba –tba berubah sayu. Matanya seperti menerawang.
“ Saya di desa ini hidup sendirian tanpa anak sejak istri meninggal dua puluh tahun lalu itu. Anak saya lelaki satu –satunya juga entah dimana keberadaannya. Setelah lima tahun ini tidak ada kabar beritanya setelah sebelumnya dia kerja di pabrik itu“
Mia sebenarnya ingin berbasa –basi. Ternyata salah.
“ Maaf, Pak. Saya tidak tahu “
“ Tidak apa –apa Mbak Mia “
Akan tetapi, kalimat terakhir Pak Sudarmaji menggelitik naluri wartawan Mia untuk bertanya.
“ ...maksud bapak di pabrik itu? Apakah pabrik yang kita bicarakan tadi pagi di warung kopi? “
Sudarmaji menghela nafas panjang. Lalu mengangguk dengan lemah.
“ Itulah salah satu alasan saya mengajak Mbak Mia untuk datang ke rumah ini. Dan perlu mbak Mia ketahui.....”
Sudarmaji menghentikan ucapannya. Lelaki itu menarik kursi agar lebih dekat dengan Mia.
Jantung Mia tiba –tiba bergedug kencang. Nalurinya sebagai wartawan mencium gelagat yang sangat penting. Mungkin inilah kunci untuk membuka kasus ini dengan tulisannya.
“ Mobil yang ditemukan kemarin di tempat kejadian perkara itu adalah mobil saya. Eka yang membawanya di malam itu dan selanjutnya menghilang serta raib entah kemana “
“ Eka itu anak Bapak? Apakah bapak tidak melaporkan hal itu kepada polisi? “
Sudarmaji tersenyum letih. Gemetar jemarinya mengambil cangkir yang ada di atas meja. Bibirnya terlihat bergetar saat meneguk minumannya.
“ Semua telah saya lakukan, lapor polisi. Mencari sendiri dibantu oleh teman –temannya. Akan tetapi, semua tidak ada hasilnya. Hingga saya terpaksa harus merelakannya dan menganggapnya telah mati “
Ada setitik air duka di sudut mata lelaki paruh baya itu. Sekian lamanya suasana menjadi sunyi. Kumandang adzan dari masjid mengalun sayup –sayup memberitahukan saatnya sholat Maghrib telah tiba. Sudarmaji bangkit dari tempat duduknya seraya tidak lupa mengajak Mia untuk sholat bersama –sama. Ajakan itu membuat gadis itu terhenyak. Lantas berkata terburu –buru.
“ Maaf Pak. Saya sedang haid...”
Selagi menunggu Sudarmaji selesai sholat. Mia duduk termenung. Berpikir. Tuhan tahu bahwa ia tidak sedang haid. Dan itu merupakan dusta dan kebohongan besar. Pada saat bersamaan, malaikat penjaga pintu neraka menyeringai lebar sambil merancang siksaan apa yang kelak patut diberikan untuk Mia. Sekujur tubuh Mia gemetar. Tiba –tiba tubuhnya diguncang –guncang dengan keras dan ada seseorang memanggil –manggil namanya.
” Mbak Mia. Mbak Mia....!”
Mia tersentak ternyata yang memanggil –manggil namanya adalah sang tuan rumah.
“ Ohh..”
Mia menggumam.
“ Ada apa mbak Mia? Njenengan sakit?”
“ Tidak Pak. Tidak. Tadi tiba – tiba saja kehilangan konsentrasi. Terlalu sibuk memikirkan kasus yang sedang saya tulis ini. Saya tidak sadar kalau bapak sudah berada lagi di tempat ini “
“ Bagaimana Mbak, apakah masih ada keinginan untuk meneruskan pembicaraan kita yang tadi terpotong? “
“ Silahkan Pak. Saya sudah sangat siap “.
Mia dengan buru –buru meraih tas kecil berwarna biru yang ada di sampingnya. Sebuah tape recorder kecil dikeluarkan dari dalam tas. Setelah mengecek kaset untuk merekam. Gadis ini menatap ke arah Sudarmaji.
“ Pembicaraan kita nanti akan saya rekam Pak. Bisa di mulai sekarang “
Mia lalu menekan tombol record dan meletakkan tapr rocorder itu di atas meja. Sudarmaji menarik nafas panjang. Lelaki paruh baya ini kemudian mulai berbicara.
“ Anak saya sudah lama kerja di pabrik itu hampir lima tahun lamanya. Satu hari sebelum kejadian malam itu dia menghilang. Ia sempat berkata pada saya ingin meninggalkan Wonosari. Katanya disini ia sudah merasa tidak nyaman lagi “
“ Waktu itu saya mengira anak itu hanya sekedar bercanda saja. Akan tetapi, ternyata keesokan harinya ia tidak pernah pulang lagi ke rumah “
“ Bapak tahu. Eka pergi dengan siapa? “
“ Pergi dengan kekasihnya. Rencana sebulan kemudian mereka akan menikah. Tetapi, Tuhan berkata lain. Eka anak saya dan Rini calon istrinya itu menghilang secara misterius”
Mia menelan ludah yang iba –tiba terasa getir di tenggorokan.
“ Jadi Eka malam itu pergi dengan kekasihnya?”
Sudarmaji hanya mengangguk. Tampak sekali kesedihan yang mendalam terpancar dari kedua matanya.
“ Saya pada saat itu juga mendengar desas – desus kalau hilangnya anak saya karena ditumbalkan untuk pabrik kayu itu. Karena saya dengar pernah beberapa kali ada kasus orang hilang dan rata –rata hilang bersama pasangannya “
Mia menarik nafas panjang. Dimatikannya tape recorder yang masih dalam posisi aktif.
Otaknya bekerja dengan cepat dalam menyimpulkan kasus ini.
“ Sepertinya kejadian hilangnya sepasang kekasih sudah sering terjadi. Dan banyak laporan orang hilang yang masuk di kepolisian setempat. Sehingga pihak polisi menyelidiki hal ini dengan mengirimkan intelnya. Dan kemarin pagi ketiga intel itu ditemukan tewas mengenaskan di pinggir jalan tidak jauh dari pabrik kayu itu. Apakah yang aku simpulkan ini benar?! Aku tidak boleh terlalu gegabah menyimpulkan masalah ini. Ada baiknya aku bertanya pada seorang saudara jauh ku yang menjadi polisi di sini “
Hati Mia berkecamuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin bisa terjadi.
Kepalanya tiba -tiba berdenyut – denyut.
“ Aku jadi penasaran seperti apa pabrik itu? Malam ini juga aku harus melihat tempat itu. Mungkin ada lagi satu petunjuk yang dapat aku temukan “
Lamunan Mia buyar tatkala Sudarmaji memanggil namanya.
“ Mbak Mia apakah sudah cukup?"
Mia tergagap.
“ Sudah Pak, sudah terlalu cukup”
“ Saya harap Mbak Mia bisa sedikit membantu. Mungkin bisa menemukan Eka anak saya. Entah hidup atau mati. Saya hanya ingin memastikan bagaimana sebenarnya nasib anak itu. Lima tahun saya sudah berusaha untuk melupakann akan tetapi....hal itu sangat sulit”
Lelaki paruh baya itu terisak. Bahunya terguncang – guncang menahan kepedihan yang selama ini selalu ditahannya. Mia hanya bisa terdiam membisu. Tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi itu.
1980decade dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup